Anda di halaman 1dari 6

DISSENTING OPINION

Pada negara negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika dan Inggris, Pendapat atau Opini di bidang hukum biasanya merupakan penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan peranan Para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan Tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsip hukum yang mengarahkan mereka kepada peraturan yang dibuat. Pendapat biasanya diterbitkan dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para Hakim Pengadilan tersebut biasanya kemudian melakukan penegakkan kembali, perubahan, dan penerbitan terhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan dalam hukum. Pendapat atau Opini dalam hukum tersebut dikenal dengan istilah Legal Opinion. Legal Opinion dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai pendapat hukum. Pada negara negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon, Legal Opinion tersebut terdiri dari : 1. Judicial Opinion adalah pernyataan atau pendapat atau putusan hakim di dalam memutuskan perkara atau kasus, baik kasus perdata maupun pidana; 2. Majority Opinion adalah pendapat hakim yang disetujui oleh mayoritas dari para hakim pengadilan; 3. Dissenting Opinion adalah perbedaan pendapat;

Sie Infokum Ditama Binbangkum

-1-

4. Plurality Opinion adalah pendapat yang berasal dari suatu kelompok dari lingkungan peradilan, yang kerapkali dalam pengadilan banding, dimana tidak terdapat pendapat tunggal yang diterima yang didukung oleh kelompok mayoritas di pengadilan. 5. Concuring Opinion adalah pendapat tertulis dari beberapa hakim pengadilan yang setuju dengan kelompok mayoritas di pengadilan tetapi menuangkannya dengan cara yang berbeda. 6. Memorandum Opinion adalah pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan tertinggi kepada lembaga peradilan yang lebih rendah berupa catatan atau memo. Namun, dalam kajian singkat ini akan dibahas lebih jauh tentang Dissenting Opinion. Pada Hakekatnya Dissenting Opinion adalah merupakan perbedaan pendapat yang terjadi antara Majelis Hakim yang menangani suatu kasus tertentu dengan Majelis Hakim lainnya yang menangani kasus tertentu lainnya. Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara berjumlah 3 (tiga) orang, dari ketiga orang anggota majelis hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia. Dissenting Opinion itu sendiri lebih sering digunakan di negaranegara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris. Pada Sistem Hukum tersebut Dissenting Opinion digunakan jika terjadi perbedaan pendapat antara seorang Hakim dengan Hakim lain yang putusannya bersifat mayoritas. Pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan tersebut akan ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting Opinion. Di Amerika Serikat yang menjadi perdebatan oleh para hakim adalah kasus yang diperiksa. Hal tersebut dimaksudkan agar terciptanya suatu hukum baru karena secara prinsip para hakim tersebut berpegang teguh pada pemikiran Judge Made Law. Dimana para hakim tersebut dituntut untuk senantiasa dapat menjawab dan memberikan kepastian hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

-2-

Lain halnya dengan sistem Eropa Kontinental yang bersifat Dogmatis, dimana dalam proses peradilannya tidak menggunakan sistem juri tetapi segala sesuatunya kembali kepada ketentuan undang-undang, sehingga yang diperdebatkan oleh para hakim seharusnya adalah pasal-pasal dalam undang-undang yang didakwakan kepada terdakwa. Namun, sebenarnya pada negara negara yang menganut sitem hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia dan Belanda, penerapan Dissenting Opinion sangatlah tidak mungkin untuk dilakukan karena tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga terdapat ketentuan dalam Buku II MA yang melarang penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Walaupun demikian Dissenting Opinion itu sendiri bukan merupakan suatu hal yang baru khususnya dalam komunitas masyarakat hukum yang secara tatanan keilmuan telah mempelajari teori teori maupun aplikasinya dalam bidang hukum. Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam tatanan teori maupun praktek hukum, namun dirasakan sangatlah perlu untuk diberikan suatu perspektif yang jelas tentang penggunaan mekanisme Dissenting Opinion. Seiring dengan perkembangan zaman, dimana muncul banyak sekali kasus-kasus yang menuntut kecermatan dari para hakim dalam memutuskannya maka di indonesia diterapkan juga penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Selain itu, penerapan Dissenting Opinion tersebut juga dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran sederhana yang menyatakan bahwa sebuah putusan itu baru bisa disebut adil apabila setiap hakim bisa menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas, terbuka dan jujur dengan tentunya menggunakan pertimbangan hukum, sampai dihasilkan satu putusan yang bersifat kolektif. Di Indonesia istilah Dissenting Opinion mulai mencuat dikarenakan kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh Mahkamah Agung (MA). Namun, sampai saat ini di negara kita belum ada aturan yang khusus mengatur tentang Dissenting Opinion tersebut. Untuk itu diperlukan adanya peraturan tentang Pelaksanaan Dissenting Opinion dalam Hukum Acara Pidana. Hal ini dapat dilakukan dengan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP (UU. Nomor 8 Tahun 1981) yang didalamnya tidak mengatur tentang Dissenting Opinion itu sendiri. Di negara kita Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam putusan diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang

Sie Infokum Ditama Binbangkum

-3-

diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan Dissenting Opinion pada Lembaga-Lembaga Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencatuman Dissenting Opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada Pengadilan Niaga dan pada Mahkamah Konstitusi : 1. Pada Pengadilan Niaga, model pencatuman Dissenting Opinion terpisah dari putusan. 2. Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting Opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Sehingga diperlukan penyeragaman model pencatuman Dissenting Opinion dalam suatu peraturan yang khusus mengatur tentang Dissenting Opinion tersebut. Namun, sebelum memasukkan Dissenting Opinion dalam Peraturan Perundang-Undangan kita terlebih dahulu harus mengetahui adakah nilai-nilai positif atau manfaat yang dapat kita peroleh dari penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Apakah Dissenting Opinion dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum negara kita. Pada Kenyataanya keinginan memasukan Dissenting Opinion dalam KUHAP kita dilatarbelakangi oleh karena Dissenting Opinion dirasakan mempunyai manfaat dan nilai-nilai positif yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengontrol Hakim. Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting Opinion, yaitu : 1. dapat diketahui pendapat Hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat Hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut; 2. sebagai indikator untuk menetukan jejang karir Hakim, karena dari sinilah dapat dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi Hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi Hakim berdasarkan kualitas putusan Hakim; 3. sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat terhadap praktek Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan Mafia Peradilan; 4. dengan Dissenting Opinion dapat diketahui apakah putusan Hakim tersebut sesuai dengan Aspirasi Hukum yang berkembang dalam masyarakat; 5. Dissenting Opinion juga dapat dipakai untuk mengatur apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan cukup responsif.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

-4-

Nilai-nilai positif tersebut di atas baru dapat diwujudkan jika kebijakan untuk memberlakukan Dissenting Opinion tersebut didukung juga dengan adanya kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan, karena jika tidak maka Dissenting Opinion tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat karena masyarakat tidak dapat mengetahui dan menilai pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan. Di Indonesia terdapat 2 (dua) contoh penggunaan Dissenting Opinion dalam sejarah peradilan ditingkat kasasi yaitu : 1. Dissenting Opinion yang dilakukan oleh Hakim Agung, Artidjo Alkostar pada kasus Bank Bali pada akhir Juni 2001. Putusan Majelis Kasasi yang membebaskan Joko S. Tjandra terdakwa tindak korupsi dalam kasus Bank Bali. Sebagai anggota Majelis, Artidjo mengeluarkan Dissenting Opinion atas putusan yang didukung dua anggota Majelis lain tersebut. Dissenting Opinion Artidjo sebenarnya tidak dicantumkan dalam berkas putusan, namun dengan inisiatif sendiri Hakim Agung nonkarier itu membeberkan isi perbedaan pendapat itu kepada masyarakat, khususnya pers; 2. Contoh lainnya terjadi sekitar April 2002. Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan kasasi yang disertai Dissenting Opinion yaitu menolak permohonan kepailitan oleh PT. Bank Niaga Tbk terhadap PT Barito Pacific Timber Tbk. Maju selangkah dibandingkan dengan perkara Bank Bali, putusan Majelis untuk perkara kepailitan ini secara tegas mencantumkan pendapat seorang Hakim Agung yang berbeda sebagai Dissenting Opinion, namun sayangnya nama si Hakim Agung tidak disebutkan. Kedua contoh tersebut di atas, meski masih bersifat terobosan baru, namun dapat dijadikan titik awal untuk pemberlakuan sistem Dissenting Opinion di lingkungan peradilan MA. Dissenting Opinion itu sendiri sebenarnya merupakan satu aspek hukum yang juga perlu untuk dikritisi guna mencegah terbentuknya opini yang keliru di kalangan masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena dewasa ini sudah mulai terbentuk persepsi bahwa Dissenting Opinion adalah suatu rekayasa hukum, yang bukannya berupaya menegakkan supremasi hukum tetapi malah menjadi media yang memberi kesempatan bagi para terdakwa korupsi (bahkan para Koruptor-Koruptor Kakap) terlepas dari jeratan pidana. Misalnya kasus Korupsi Akbar Tandjung. Akbar Tandjung didakwa sebagai terdakwa utama dalam kasus penggelapan dana Bulog, tetapi justru dapat menghirup udara kebebasan, sedangkan pihak-pihak yang

Sie Infokum Ditama Binbangkum

-5-

bukan merupakan terdakwa utama malah mendekam di dalam penjara. Hal tersebut dikarenakan kontribusi Majelis Hakim tingkat kasasi yang ternyata terdapat perbedaan pendapat. Oleh Karena itu, dipandang sangatlah perlu untuk segera dirampungkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang salah satu pasalnya direncanakan mengatur tentang Dissenting Opinion. Dengan demikian, diharapkan agar Dissenting Opinion tersebut dapat diterapkan dengan baik oleh Para Hakim pada Lembaga-Lembaga Yudikatif, dalam rangka menegakkan supremasi hukum khususnya dalam menciptakan transparansi informasi di dunia peradilan di Indonesia.
Sumber : Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia ( MAPPI-fHUI) Wikipedia, the free encyclopedia ITB Central Library Hukumonline

Sie Infokum Ditama Binbangkum

-6-

Anda mungkin juga menyukai