Anda di halaman 1dari 31

Kami asumsikan bahwa gugatan tersebut didasarkan pada perkara yang sama dan ditujukan kepada tergugat yang

sama. Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H. dalam buku Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek (hal. 15-17), gugatan dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan. Dalam praktiknya
saat ini gugatan dibuat secara tertulis yang dikenal dengan surat gugatan. Surat gugatan harus memuat tanggal
termasuk tanggal pemberian surat kuasa bila memberika kuasa, ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya,
menyebutkan identitas penggugat dan tergugat, memuat gambaran yang jelas mengenai duduk persoalan
(fundamentum petendi atau posita), dan petitum yaitu hal-hal apa yang dinginkan untuk diputus oleh hakim.
Gugatan tersebut kemudian ditujukan dengan mangacu pada ketentuan Pasal 118 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (“HIR”).

Gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum didasarkan pada ketentuan yang berbeda. Gugatan
wanprestasi didasarkan pada adanya cidera janji dalam perjanjian sehingga salah satu pihak harus bertanggung
jawab. Mengenai hal ini Saudara dapat melihat Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
Sedangkan untuk gugatan perbuatan melawan hukum (“PMH”), biasanya didasarkan pada Pasal 1365 KUHPer:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian
tersebut.”

Apabila gugatan perdata diajukan dengan dasar wanprestasi dan PMH, akan membingungkan hakim karena
didasarkan pada dasar hukum yang berbeda sehingga gugatan menjadi tidak jelas (obscuur libel). Mengutip artikel
Penggabungan Gugatan Wanprestasi dan PMH Tidak Dapat Dibenarkan, Mahkamah Agung bahkan pernah
mengeluarkan Putusan MA No. 1875 K/Pdt/1984 tertanggal 24 April 1986 yang menegaskan tentang hal ini.
Ditambah lagi dalam Putusan MA No. 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001 dijelaskan bahwa penggabungan
PMH dengan wanprestasi dalam satu gugatan melanggar tata tertib beracara karena keduanya harus diselesaikan
tersendiri.

M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata (hal. 456) mengkomentari putusan tahun 1997 tersebut. Ia
berpendapat, dalam putusan tersebut posita gugatan didasarkan atas perjanjian, namun dalam petitum dituntut agar
tergugat dinyatakan melakukan PMH. Apabila hal ini dianggap mengandung kontradiksi (obscuur libel) berarti
terlalu bersifat formalistis karena jika petitum itu dihubungkan dengan posita, hakim dapat meluruskannya sesuai
dengan maksud posita.

Ternyata dalam praktiknya, masalah penggabungan gugatan wanprestasi dan PMH dalam satu gugatan juga
dibolehkan. Hal ini dapat dilihat dari yurisprudensi MA dalam Putusan MA No. 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29
Januari 1987. Masih dalam buku yang sama, Yahya Harahap menjelaskan bahwa dalam putusan tersebut, meskipun
dalil gugatan yang dikemukakan dalam gugatan adalah PMH, sedangkan persitiwa hukum yang sebenarnya adalah
wanprestasi, gugatan tidak obscuur libel, karena hakim dapat mempertimbangkan bahwa dalil gugatan itu dianggap
wanprestasi. Hal yang serupa juga dapat ditemui dalam Putusan MA No. 886 K/Pdt/2007 tanggal 24 Oktober
2007. Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan:

1
“Bahwa sungguhpun dalam gugatan terdapat posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan
Hukum, akan tetapi dengan tegas diuraikan secara terpisah, maka gugatan demikian yang
berupa kumulasi obyektif dapat dibenarkan.”

Jadi seperti kami jelaskan sebelumnya, dalam praktik terdapat yurisprudensi yang menyatakan penggabungan PMH
dengan wanprestasi dalam satu gugatan adalah melanggar tata tertib beracara karena keduanya harus diselesaikan
tersendiri. Namun, ada juga yurisprudensi lain yang membolehkan penggabungan PMH dan wanprestasi dalam satu
gugatan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Staatsbald Nomor 23 Tahun 1847

2. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941

Putusan:

1. Putusan Mahmakah Agung Nomor 1875 K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001

4. Putusan Mahkamah Agung Nomor 886 K/Pdt/2007 tanggal 24 Oktober 2007

2
Dikenal beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan Perdata yaitu:

1. Penggugat

Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut sebagai Penggugat.
Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut dalam gugatannya dengan
“Para Penggugat”.

2. Tergugat

Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah melanggar hak
Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang digugat, maka pihak-pihak
tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya.

3. Turut Tergugat

Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak
menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Namun, demi
lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan.

Dalam pelaksanaan hukuman putusan hakim, pihak Turut Tergugat tidak ikut menjalankan
hukuman yang diputus untuk Tergugat, namun hanya patuh dan tunduk terhadap isi putusan
tersebut.

4. Penggugat/Tergugat Intervensi

Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara perdata yang ada, dapat
mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam proses pemeriksaan perkara perdata
tersebut yang lazim dinamakan sebagai Intervensi.. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum
oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan
diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung.
Pihak Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi atau pun sebagai Tergugat
Intervensi.

Menurut, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata
Khusus yang dikeluarkan oleh Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007, dalam hal
pengikut-sertaan pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst dan
vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg. Tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini
dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv, yaitu berdasarkanPasal 279 Rv dst dan Pasal
70 Rv serta sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum
materil maupun hukum formil. Berikut ini penjelasan 3 (tiga) macam intervensi yang dimaksud,
yaitu:

a) Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat
atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim memberi kesempatan kepada para

3
pihak untuk menanggapi, kemudian dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan, maka
dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.

b) Intervensi /tussenkomst (menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam
proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi
diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan
oleh Penggugat dan Tergugat.

Kemudian, permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan Putusan Sela. Apabila
permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu
gugatan asal dan gugatan intervensi.

c) Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung
jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada Penggugat). Vrijwaring
diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara
lisan atau tertulis.

Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi
permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan
permohonan tersebut.

Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang
dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama
dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya
permohonan banding dari intervenient (pihak intervensi) tidak dapat diteruskan dan yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka
putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan
selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan permohonan intervensi ke
dalam perkara pokok.

Dalam suatu gugatan perdata, orang yang bertindak sebagai Pengugat harus orang yang memiliki
kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu juga dengan menentukan pihak Tergugat, haruslah
mempunyai hubungan hukum dengan pihak Penggugat dalam perkara gugatan perdata yang
diajukan. Kekeliruan bertindak sebagai Pengugat maupun Tergugat dapat mengakibatkan
gugatan tersebut mengandung cacat formil. Cacat formil dalam menentukan pihak Penggugat
maupun Tergugat dinamakan Error in persona.

Sofie Widyana P.

Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa
juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat.
Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang
menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau
pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah. Konsekuensi jika gugatan tersebut

4
tidak sah adalah gugatan tidak dapat diterima (inadmissible).Dengan demikian keberatan yang
diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok
perkara (verweer ten principale).

Secara garis besar eksepsi dikelompokkan sebagai berikut:

1. Eksepsi kompetensi

a. Tidak berwenang mengadili secara absolut

Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan pengadilan


(Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer),
Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).

b. Tidak berwenang mengadili secara relatif

Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu
lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch
Reglement (“HIR”)

Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), eksepsi
kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan
berlangsung di persidangan tingkat pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan
menurut Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan
bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak
terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi relatif
menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk memeriksa dan memutus terlebih
dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan
atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan
pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind Vonnis).

2. Eksepsi syarat formil

a. Surat kuasa khusus tidak sah

Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat
kuasa bersifat umum (Putusan Mahkamah Agung no.531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak
mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat bukan
atas nama yang berwenang (Putusan Mahkamah Agung no. 10.K/N/1999).

b. Error in Persona

Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak dibawah
umur (Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)), mereka yang
berada dibawah pengampuan/curatele (Pasal 446 dan Pasal 452 KUH Perdata), seseorang yang

5
tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in
judicio).

c. Nebis in Idem

Nebis in Idem adalah sebuah perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama,
dan materi pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali.

d. Gugatan Prematur

Suatu gugatan/permohonan disebut prematur apabila ada faktor hukum yang menangguhkan
adanya gugatan/permohonan tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris
belum meninggal dunia.

e. Obscuur Libel

Obscuur libel dapat disebut secara sederhana sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan misalnya
terletak pada:

1. hukum yang menjadi dasar gugatan,


2. ketidakjelasan mengenai objek gugatan, misalnya dalam hal tanah tidak disebutkan luas
atau letak atau batas dari tanah tersebut.
3. petitum yang tidak jelas, atau
4. terdapat kontradiksi antara posita dan petitum

Menurut Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 133 dan Pasal 136 HIR eksepsi lain dan eksepsi kompetensi
relatif hanya dapat diajukan secara terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama sama dengan
bantahan pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk
mengajukan eksepsi menjadi gugur. Berdasarkan Pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar
eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Dengan
demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan
bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi dikabulkan maka putusan
bersifat negatif, sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan bersifat positif berdasarkan
pokok perkara.

6
Penerapan Prejudiciel Geschill dalam Perkara Publik dan Privat

Prejudiciel geschill hanya dapat digunakan untuk perkara yang para pihaknya sama.

Tanggal 27 Juni lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan putusan terkait kasus
dugaan korupsi perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 26 dan 27/Gelora dengan
terdakwa dua mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) . Dalam pertimbangan
hukumnya, hakim menjawab argumentasi kuasa hukum mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI
Jakarta Robert Jeffrey Lumempouw. Pengacara Rober mengganggap bahwa perkara ini mengandung
unsur prejudiciel geschill.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, argumentasi itu sudah diangkat sejak awal dalam nota
keberatan tertanggal 3 Oktober 2006 diajukan. Dalam nota keberatan disebutkan bahwa perkara ini
mengandung masalah-masalah yang harus diselesaikan dahulu menurut ketentuan hukum perdata
(prejudiciel geschill).

Apa sebetulnya prejudiciel geschill? Dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea, prejudiciel geschill
(prejudicele geschillen) berarti sengketa yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan
untuk perkara di belakang. Di Indonesia, ketentuan prejudiciel geschill diatur dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1980. SEMA itu membagi prejudiciel geschill menjadi dua.

Pertama, prejudiciel a l' action, yaitu mengenai perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), antara lain Pasal 284 KUHP, dimana disebutkan ketentuan
perdata diputus lebih dulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana.

Kedua, question prejudiciel au jugement, yakni menyangkut permasalahan yang diatur dalam Pasal 81
KUHP. Pasal tersebut sekedar memberi kewenangan -bukan kewajiban- kepada hakim pidana untuk
menangguhkan pemeriksaan menunggu adanya putusan hakim perdata mengenai persengketaan. Lebih
lanjut, jika hakim hendak menggunakan lembaga ini, hakim pidana tidak terikat pada putusan hakim
perdata yang bersangkutan. Demikian bunyi Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 1956.

7
Meski nota keberatan tidak menunjuk lebih lanjut prejudiciel jenis mana yang dimaksud, namun
argumentasi ini pada akhirnya dipertimbangkan juga oleh majelis hakim. Merujuk pada SEMA Nomor 4
Tahun 1980, majelis hakim memasukkan perkara ini dalam prejudiciel geschill berupa prejudiciel au
jugement. Artinya, majelis hakim PN Jakarta Pusat tidak wajib menangguhkan perkara pidana, hingga
keluarnya putusan pengadilan dalam perkara perdata soal sah tidaknya perpanjangan sertifikat HGB
Nomor 26 dan 27/Gelora.

Perkara perdata itu diajukan di PN Jakarta Selatan dengan melibatkan PT Indobuildco sebagai penggugat
dan BPN, Sekretariat Negara (Sekneg) serta Kejaksaan Agung sebagai tergugat. Meski telah diputus
beberapa waktu lalu. Namun hingga kini putusan PN Jakarta Selatan itu belum berkekuatan hukum
tetap karena pihak tergugat mengajukan upaya hukum banding.

Sejalan dengan itu, majelis juga menggunakan Perma Nomor 1 tahun 1956. Karenanya, majelis
menyerahkan permasalahan status kedua HGB itu tersebut kepada hakim perdata, dan dalam hal ini
hakim PN Jakarta Pusat tidak terikat pada putusan pengadilan dalam perkara perdata.

Tidak tepat

Menurut pakar Hukum Acara Pidana Chaerul Huda, penggunaan prejudiciel geschill dalam perkara ini
tidak tepat. Menurut dia, kasus ini bukanlah perselisihan prejudiciel geschill, karena tidak ada hubungan
antara masalah perdata dengan pidananya. Di perdata, pihak Indobuildco melawan Sekneg, di pidana
para pihaknya JPU dengan BPN.

Lebih lanjut ia mengambil Pasal 284 KUHP tentang perzinahan sebagai contoh prejudiciel geschill. Pasal
284 KUHP mengatur bahwa sebelum hakim pidana menjatuhkan putusan tindak pidana perzinahan yang
dilakukan oleh seorang suami, maka harus ada putusan perdata lebih dulu tentang perceraian antara
istri dan suami yang dituduh berzina itu. Artinya, pemeriksaan perkara pidana harus ditangguhkan
hingga adanya putusan perdata. Dalam perceraian (perdata), pihaknya itu adalah suami istri. Demikian
pula para pihak dalam perkara pidana, pihaknya juga si istri sebagai pelapor-yang kemudian diwakili oleh
negara/JPU dengan suami sebagai terlapor. Jadi pihak yang sedang sengketa perdata itu adalah pihak
yang sama dengan pihak yang berperkara di pidana, ujarnya.

Prejudiciel geschill, mutlak atau tidak?

Lebih lanjut dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini menuturkan teori menyangkut hakikat peran
negara dalam menyelesaikan konflik kemasyarakatan saat ini juga sudah mengalami perkembangan.

8
Kalau dulu, negara mengambil posisi dominan, termasuk dengan memberdayakan hukum pidana.
Sekarang, peran negara justru ingin diundurkan, sejauh mungkin konflik kemasyarakatan diselesaikan
oleh masyarakat itu sendiri, bebernya.

Di sinilah menurutnya sebenarnya asal ketentuan prejudiciel geschill. Yakni adanya kasus-kasus tertentu
yang unsur publiknya tidak murni, karena juga ada unsur privat di dalamnya. Sehingga campur tangan
negara terhadap quasi privat atau quasi publik menunggu penyelesaian dari segi privatnya.

Chairul kembali mengambil Pasal 284 KUHP sebagai contoh. Kalau ada seorang suami didakwa, maka
istri juga akan ikut menderita. Oleh karena itu mereka harus bercerai dulu, supaya ketika si suami
didakwa melakukan perzinahan, si istri tidak merasa lantas dia menjadi bagian dari terdakwa. Tujuannya
agar para pihak-pelaku dengan korban tidak sama, jelasnya.

Dalam hal ini, sifat privat lebih menonjol dari segi publik. Karena itu menurut Chaerul, segi privat harus
diselesaikan lebih dulu baru kemudian negara bisa campur tangan. Inilah kemudian yang dimaksud
dengan question prejudiciel a l action, artinya penundaan perkara pidana bersifat mutlak, terangnya.

Dalam perkembangannya, sifat mutlak itu mengalami pergeseran. Ia mengambil kuasa pertambangan
yang sedang digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) sebagai contoh. Untuk bisa membuktikan
apakah orang yang menerima kuasa pertambangan telah melakukan illegal logging atau tidak,
menunggu putusan pengadilan TUN yang memeriksa pemberian kuasa pertambangan itu, sebab sifatnya
tidak semata-mata privat, jelasnya.

Inilah yang kemudian dimaksud Chaerul dengan question prejudiciel au jugement. Artinya, pidananya
ditunda atau ditangguhkan dulu sampai TUN-nya mempunyai kekuatan hukum tetap, tambahnya.

Meski demikian, Chaerul mengakui bahwa sifat mutlak atau tidaknya penangguhan masih menjadi
perdebatan. Ada yang berpendapat penundaan itu tidak mutlak, karena publik dengan publik sama
kuatnya-sehingga kemudian dapat untuk menolak menangguhkan. Tapi ada juga yang berpendapat
sama wajibnya, sepanjang perselisihan di luar sifat pidana dan perselisihan itu menentukan pemenuhan
salah satu unsur dari salah satu tindak pidana, beber Chaerul.

9
Ia juga menambahkan, meski wewenang untuk menentukan mutlak atau tidaknya penangguhan perkara
berada di tangan hakim, namun sesuai Pasal 81 KUHP penuntut juga punya hak untuk menentukan
demikian. Jadi tidak perlu ditunggu sampai hakim yang memutuskan, ujarnya.

Lebih lanjut Chaerul menuturkan, berdasarkan sejarahnya, SEMA Nomor 40 Tahun 1980 dan Perma
Nomor 1 Tahun 1956 lahir ketika pengadilan masih sederhana dan belum berkembang seperti sekarang.
Itu sebabnya, kata Chairul, kedua aturan tersebut sudah selayaknya diperbaiki.

Sudah tidak relevan dan harus diperbaiki untuk memperjelas kompetensi ruang-ruang pengadilan.
Sebab pengadilan sekarang sudah sangat berkembang, tidak seperti dulu yang masih bisa dibedakan
dengan jelas. Pemakaiannya pun harus digunakan dengan benar, jangan hanya sekedar dijadikan alasan,
ujarnya mengingatkan.

Definisi dan Dasar Hukum Putusan Provisi

Putusan Provisi atau provisionil menurut Prof. Sudikno Mertokusumo adalah putusan yang menjawab
tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan
guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.

Dasar hukum pengaturan Putusan Provisi tidak diatur secara tegas, melainkan secara implisit dalam Pasal 180
ayat (1) Het Herziene Indlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 191 ayat (1) Rechtsreglement voor de
Buitengewesten (“RBg”).

C. Pembeda atau Persamaan Putusan Provisi dengan Putusan Sementara

Kami mengasumsikannya maksud dari “penetapan putusan sementara” dalam pertanyaan anda tersebut
menjadi 2 (dua), yaitu sebagai:

1. Putusan Sela sebagaimana terdapat dalam Hukum Acara Perdata; atau

2. Penetapan Sementara sebagaimana terdapat dalam Pengadilan Niaga pada lingkungan Hak Kekayaan
Intelektual (“HKI”).

10
Putusan Sela

Menurut Pasal 185 ayat (1) HIR, terdapat 2 (dua) jenis Putusan Hakim dilihat dari waktu penjatuhannya, yaitu:

1. Putusan Akhir (eind vonnis)

Putusan akhir adalah suatu putusan yang bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu sengketa atau
perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu (pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan
Mahkamah Agung). Putusan Akhir dapat bersifat deklaratif, constitutief, dan condemnatoir.

2. Putusan Sela (tussen vonnis)

Putusan Selaadalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan
untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.

Dalam praktik peradilan terdapat 4 (empat) jenis Putusan Sela yaitu:

1. Putusan Prepatoir: Putusan yang dijatuhkan oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur
pemeriksaan perkara tanpa mempengaruhi pokok perkara dan putusan akhir.

2. Putusan Interlucotoir: Putusan yang berisi bermacam-macam perintah terkait masalah pembuktian
dan dapat mempengaruhi putusan akhir.

3. Putusan Insidentil: Putusan yang berhubungan dengan adanya insiden tertentu, yakni timbulnya
kejadian yang menunda jalannya persidangan. Contoh : putusan insidentil dalam gugatan intervensi
dan putusan insidentil dalam sita jaminan.

4. Putusan Provisionil: Putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu menetapkan suatu tindakan
sementara bagi kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Contoh : putusan yang
berisi perintah agar salah satu pihak menghentikan sementara pembangunan di atas tanah objek
sengketa.

(Lihat juga artikel “Putusan Sela”)

11
Penetapan Sementara

Penetapan Sementara diatur dalam Pasal 49 s/d Pasal 52 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang
Desain Industri (“UU Desain Industri”), Pasal 125 s/d Pasal 128 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten (“UU Paten”), Pasal 85 s/d Pasal 88 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
(“UU Merek”), Pasal 67 s/d Pasal 70 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UU Hak
Cipta”) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penetapan Sementara (“PERMA
5/2012”) adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan berupa perintah yang harus ditaati semua pihak
terkait berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pemohon terhadap pelanggaran hak atas Desain Industri,
Paten, Merek dan Hak Cipta, untuk :

a. Mencegah masuknya barang yang diduga melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual dalam jalur
perdagangan

b. Mengamankan dan mencegah penghilangan barang bukti oleh Pelanggar.

c. Menghentikan pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar.

Pendapat Dr. Lilik Mulyadi dalam tulisannya “Putusan Provisionil dan Penetapan Sementara”, menjelaskan
bahwa:

· Putusan Provisi dan Penetapan Sementara bersifat sangat segera dan mendesak

· Terdapat nuansa yuridis yang bersifat identik antara Putusan Provisi dengan Penetapan Sementara.

· Apabila Putusan Provisi dituangkan dalam bentuk Putusan Sela, maka hakekatnya identik dengan
Penetapan Sementara.

Demikian jawaban yang dapat kami berikan. Semoga dapat membantu.

Dasar Hukum:

1. Het Herziene Indlandsch Reglement (Reglement Indonesia Diperbaharui) (Staatsblad 1848 No. 16 jo Staatsblad
No. 44)

2. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement untuk Daerah Seberang) (Staatsblad 1927 No. 227)

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

12
6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

7. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penetapan Sementara

Hukum acara Perdata.

Tingkat pertama

Gugatan

Mediasi : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bb2d4541fd5/ini-poin-penting-yang-diatur-
dalam-perma-no1-tahun-2016

Persidangan

Tingkat banding

Kasasi

PK

Acara perdata khusus :

Contoh : hukum kepailitan,

HUKUM ACARA PERDATA TEORI DAN PRAKTIK


Untuk beracara didepan persidangan khususnya hak keperdataan warga Negara sampai sekarang
tetap berlaku hukum acara perdata yang diatur dalam HIR untuk wilayah Jawa Madura dan
RBG untuk diluar Jawa Madura,pemberlakuannya sejak jaman wilayah nusantara masih dichasia
penjajah Belanda berdasarkan asas konkordansi dan sejak Indonesia merdeka diberlakukan
berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945 sampai sekarang.

Hukum Acara Perdata merupakan hukum formil dibentuk dengan tujuan untuk mempertahankan
dan melaksanakan hukum perdata materiil,Prof.Mr.Dr.Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya
Hukum Acara Perdata di Indonesia (hal 12) memberikan batasan : Hukum Acara Perdata adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.

PROSEDUR DAN PROSES BERACARA DIDEPAN PERSIDANGAN

13
1 . SURAT KUASA.

KUASA UMUM.

Secara umum surat kuasa diatur dalam bab ke enambelas, buku III KUH Perdata dan secara
khusus diatur dalam hukum acara perdata HIR dan RBG. Pemberian kuasa merupakan perjanjian
sebagaimana secara jelas daitur dalam pasal 1792 KUH Perdata yang berbunyi : Pemberian
kuasa adalah suatu perstujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain,
yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Dari pengertian pemebrian kuasa dalam pasal 1792 KUHPerdata tersebut dalam perjanjian
pemberian kuasa terdapat dua pihak yaitu :

· Pemberi kuasa (lastgever).

· Penerima kuasa, yang diberi perintah atau mandat untuk melakukan sesuatu untuk
dan atas nama pemberi kuasa.

 Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan kepada penerima kuasa untuk mengurus


kepentingannya, sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam surat kuasa.
 Penerima kuasa berkuasa penuh bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga
untuk dan atas nama pemberi kuasa.
 Pemberi kuasa bertanggungjawab atas segala perbuatan penerima kuasa sepanjang
perbuatan yang dilakukan tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.

Secara umum pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa tidak bersifat imperative, apabila
pemberi dan penerima kuasa menghendaki dapat disepakati hal-hal yang tidak diatur dalam
undang-undang, hal ini berkaitan dengan hukum perjanjian hanya bersipat mengatur apapun
yang disepakati kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar norma-norma yang bersipat
larangan.

Pemberian kuasa kepada penerima kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu bentuk akta
umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan.
Namun dalam perkembangan dinamika masyarakat yang demikian cepat untuk mengantisipasi
segala kemungkinan adanya sengketa dikemudian hari untuk keperluan pembuktian didepan
persidangan,pemberian kuasa dilakukan dengan akta umum atau akta autentik atau setidak
tidaknya dengan akta dibawah tangan, dan pemberian kuasa secara lisan hampir tidak pernah
dilakukan kecuali untuk hal-hal yang bersifat sederhana. Pemberian kuasa juga bisa berlangsung
secara diam-diam disimpulkan dari pelaksanaan kuasa tersebut oleh sipenerima kuasa tersebut.
Surat kuasa umum tidak dapat digunakan untuk beracara didepan persidangan guna
memperjuangkan kepentingan para pihak yang bersengketa;

Pemberian kuasa kepada penerima kuasa dapat berakhir secara sepihak yaitu: ditarik kembali
oleh pemberi kuasa ,penerima kuasa melepas kuasanya ,salah satu pihak meninggal dunia,salah
satu pihak mengalami pailit.

14
Ø KUASA KHUSUS.

Untuk beracara didepan pengadilan, penggugat maupun tergugat wajib hadir sendiri
dipersidangan, namun demikian jika para pihak penggugat dan tergugat karena alasan agar
tuntutan dalil gugatan dan bantahan dari masing-masing pihak dapat dimaksimalkan dalam
proses pembuktian, diperkenankan menunjuk dan memberikan surat kuasa khusus kepada
seorang advokat untuk hadir mewakilinya dipersidangan. Surat kuasa tersebut sebagaimana
diatur dalam pasal 123 HIR/147 R.Bg ayat 3 telah ditentukan secara limitative bahwa kuasa
boleh dengan suatu akta notaris berarti dengan suatu akta autentik, dengan akta yang dibuat oleh
Panitera Pengadilan Negeri yang dalam wilayah hukumnya orang yang memberikan kuasa itu
bertempat tinggal atau sebenarnya berdiam, boleh juga dengan akta dibawah tangan yang
dilegalisir serta didaftar menurut ordonansi dalam Stbl 1916 No.46.

Ketentuan pasal 123 HIR/147 R.Bg tersebut sangat pleksibel dan memudahkan didalam praktek
peradilan berkaitan dengan luasnya cakupan wilayah Pengadilan, persebaran jumlah penduduk
sampai kepelosok dengan infrastruktur yang terbatas akan sangat menyulitkan bagi para pihak
apabila diwajibkan dalam pemberian kuasa khusus dengan akta autentik. Tidak disetiap wilayah
kompetensi Pengadilan Negeri ada Notaris dan juga belum semua wilayah hukum Pengadilan
Negeri ada advokat, atas dasar cakupan wilayah yang begitu luas dan tingkat pendidikan yang
masih rendah, HIR dan R.Bg yang diperuntukkan bagi golongan warga pribumi tidak
mewajibkan bagi para pihak yang bersengketa untuk beracara dengan memberikan kuasa kepada
advokat. Berbeda dengan RV yang berlaku bagi golongan eropa dan timur asing diwajibkan
untuk beracara dengan memberikan kuasa khusus kepada seorang advokat.

Tentu menjadi sebuah pertanyaan mengapa dalam pemberian kuasa kepada seorang advokat
bentuk surat kuasanya bersifat khusus. Pemberian kuasa untuk beracara dipersidangan dengan
kuasa khusus berkaitan dengan sifatnya yang khusus untuk menangani proses penyelesaian
perkara baik yang bersifat sengketa maupun bersifat volunteer dipersidangan pengadilan dengan
persyaratan kualifikasi keakhlian kusus bagi penerima kuasa, yang telah ditentukan secara
limitative dan menangani perkara tertentu yang telah ditunjuk dalam surat kuasa;

2 . GUGATAN DAN JENIS-JENISNYA.

a. Gugatan Perdata biasa

Gugatan perdata biasa pada umumnya diajukan berkaitan dengan peristiwa hukum adanya
pelanggaran hak akibat dari tidak dilaksanakannya prestasi yang timbul dari suatu perjanjian atau
tidak dilaksanakannya suatu kewajiban oleh pihak lainnya, adanya tindakan yang bersipat
melawan hukum mengakibatkan timbulnya kerugian, adanya budel harta warisan peninggalan
sipewaris yang belum dibagi dan dikuasai salah seorang ahli waris sehingga merugikan ahli
waris lainnya, gugatan kepemilikan benda bergerak dan tidak bergerak disertai dengan
permintaan penyerahan dan pengosongan karena dikuasai oleh yang tidak berhak secara hukum.

15
Secara garis besarnya dalam praktik gugatan biasa yang diajukan kedepan persidangan
pengadilan negeri dapat dibagi kedalam beberapa kategori yaitu :

– Gugatan Wanprestasi.

– Gugatan Perbuatan Melawan Hukum.

– Gugatan Budel Waris Yang belum dibagi.

– Gugatan Perceraian.

– Gugatan Harta Gono-Gini.

b. Gugatan Claas Action/Perwkilan.

Gugatan Kelompok (Class Action) menurut PERMA No.1 Tahun 2002 didefinisikan sebagai
suatu tatacara atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang
yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan
kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

Jadi gugatan Class Acction adalah suatu prosedur beracara dalam proses perkara perdata biasa
dan biasanya berkaitan dengan permintaan injunction atau ganti kerugian, yang memberikan hak
procedural kepada satu atau beberapa orang untuk bertindak sebagai penggugat untuk
memperjuangkan kepentingan para penggugat itu sendiri, dan sekaligus mewakili kepentingan
ratusan,ribuan bahkan jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau
kerugian.

Orang yang tampil dalam gugatan perwakilan kelompok atau class action bisa lebih dari satu
orang yang disebut sebagai wakil kelas (class refresentative), sedangkan sejumlah orang banyak
yang diwakilinya disebut anggota kelas (class members), dua komponen ini merupakan pihak-
pihak yang mengalami kerugian atau sama-sama menjadi korban.

Dasar hukum yang mengatur gugatan Class Action terdapat dalam beberapa undang-undang
yaitu :

Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 37 Undang-Undang No.23 tahun 1997 mengatur hak masyarakat dan organisasi
lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan perwakilan maupun gugatan kelompok ke
Pengadilan mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan peri kehidupan
masyarakat.

16
Pasal 37 UUPL No.23 tahun 1997 :

1. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke


penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan peri kehidupan
masyarakat.

2. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan pokok masyarakat, maka
instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk
kepentingan masyarakat.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 2 daitur dengan Peraturan
Pemerintah.

Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Pasal 71 UU No.41 tahun 1999 :

Ayat 1 : Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwkilan ke pengadilan dan/atau melaporkan


ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.

Ayat 2 : Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terbatas pada tuntutan
terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Dalam pasal 46 ayat 1 ditegaskan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan
oleh :

a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.

b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

c) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat,yaitu


berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.

c. Gugatan Legal Standing.

Gugatan Legal Standing adalah pemberian hak gugat kepada LSM tertentu oleh Undang-Undang
sebagai pihak, untuk mewakili kepentingan tertentu diantaranya adalah :

17
 Pasal 46 ayat 1 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, memberikan hak gugat(legal standing) kepada LPKSM yang berbentuk badan
hukum atau yayasan yang memenuhi syarat, didalam anggaran dasarnya disebutkan
dengan tegas tujuan didirikannya untuk perlindungan konsumen dan telah melakukan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
 Pasal 38 Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup ditentukan,
dalam rangka pelaksanaan tanggungjawab pengelolaan linkungan hidup sesuai dengan
pola kemitraan , organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan hanya
terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan
ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. LSM Lingkungan Hidup yang berhak
mengajukan gugatan harus memenuhi syarat berbentu badan hukum atau yayasan, dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup,telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

d . Gugatan Citizen Law Suit

Gugatan citizen law suit atau gugatan warga Negara terhadap penyelenggara Negara tidak
dikenal dalam system civil law yang diterapkan dan dianut di Indonesia. Citizen lawa suit lahir di
Negara-negara yang menganut system hukum common law, dan pertama kali diterapkan
berkaitan dengan hukum lingkungan, dalam perkembangannya lebih lanjut sudah sering
diterapkan dalam berbagai bidang dimana Negara dianggap melakukan kelalaian dalam
memenuhi hak warga negaranya.

Citizen Law Suit pada intinya adalah mekanisme bagi warga Negara untuk menggugat
tanggungjawab Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga Negara.
Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga gugatan citizen law
suit diajukan pada lingkup kewenangan peradilan umum. Atas kelalaian tersebut petitum
gugatan, Negara dihukum untuk mengeluarkan kebijakan yang bersifat mengatur
umum(regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi dikemudian hari.

MENGAJUKAN GUGATAN

Dalam praktek prosedur dan proses pengajuan surat gugatan sesuai dengan ketentuan pasal 118
HIR /142 R.Bg :

1. Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri, harus
diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang
dikuasakan menurut pasal 123HIR/147 R.Bg. Kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam
daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya
tempat tergugat sebenarnya berdiam.

2. Jika tergugat lebih dari seorang, sedangkan mereka tidak tinggal didalam satu daerah
hukum Pengadilan Negeri, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat
tinggal salah seorang tergugat menurut pilihan penggugat. Kalau antara para tergugat dalam

18
hubungan satu dengan lainnya masing-masing sebagai pihak yang “berhutang”dan pihak yang
“menanggung”maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal yang
“berhutang”.

3. (HIR) Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui, begitu pula sebenarnya ia berdiam tidak
diketahui atau kalau ia tidak dikenal, maka gugatan itu dajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat atau kalau gugatan itu tentang benda
tidak bergerak , maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah
hukumnya terletak benda tidak bergerak itu.

3 . (R.Bg) Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui, begitu pula sebenarnya ia berdiam tidak
diketahui atau kalau ia tidak dikenal, maka gugatan itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.

4 . Apabila ada suatu tempat tinggal yang dipilih dan ditentukan bersama dalam suatu akta,
maka penggugat kalau ia mau dapat mengajukan gugatannya kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang dalam daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang telah dipilih itu.

5 . (R.Bg) Dalam hal gugatan tentang benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak benda bergerak itu. Jika benda
tidak bergerak itu terletak dalam beberapa daerah hukum Pengadilan Negeri, maka gugatan
diajukan kepada Ketua salah satu Pengadilan Negeri, menurut pilihan penggugat.

3 .M E D I A S I.

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Prosedur mediasi diatur dalam PERMA
No.1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap perkara gugatan yang diajukan ke Pengadilan pada
saat sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak penggugat dan tergugat untuk menempuh
upaya damai melalui mediator.

Jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa dengan mediasi melalui mediator selama 40 hari
dan dapat diperpanjang selama 14 hari atas permintaan para pihak . Mediator dapat dipilih oleh
para pihak dari daftar mediator yang telah bersertifikasi dan memilih tempat pertemuan diluar
gedung Pengadilan Negeri sesuai kesepakatan atas biaya para pihak. Apabila tidak ada mediator
bersertifikasi diluar Pengadilan Negeri, para pihak dapat memilih mediator di Pengadilan Negeri
yang telah ditunjuk dan sesuai ketentuan PERMA No.1 Tahun 2008 dapat dipilih salah satu
hakim anggota majelis sesuai kesepakatan para pihak.

Apabila tercapai kesepakan perdamaian maka kedua belah pihak dapat mengajukan rancangan
draf perdamaian yang nantinya disetujui dan ditanda tangani keduabelah pihak untuk dibuatkan
akta perdamaian yang mengikat keduabelah pihak untuk mematuhinya dan melaksanakannya.
Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secra
tertulis perstujuan atas kesepakatan yang dicapai. Dan sengketa keduabelah pihak berakhir
dengan perdamaian. Sebaliknya jika mediator tidak berhasil mencapai kesepakatan damai bagi
kedua belah pihak,maka sidang dilanjutkan dengan membacakan gugatan,jawaban,replik

19
duplik,pembuktian,kesimpulan dan putusan. Walaupun mediator tidak berhasil mendamaikan
para pihak , dalam proses pemeriksaan perkara selanjutnya Majelis Hakim tetap memberikan
kesempatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara damai sesuai ketentuan pasal
130 HIR.

Jenis perkara yang dimediasi adalah semua perkara gugatan wajib terlebih dahulu diselesaikan
melalui perdamaian dengan bantuan mediator, terkecuali perkara yang diselesaikan melalui
prosedur pengadilan niaga,pengadilan hubungan industrial,keberatan atas putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha.

Para pihak atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara
yang sedang dalam proses banding,kasasi,atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang
sedang diperiksa pada tingkat banding,kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu
belum diputus.

4 .SIDANG LANJUTAN DALAM HAL PERDAMAIAN TIDAK TERCAPAI DENGAN


KEMUNGKINAN TERGUGAT TIDAK HADIR.

a) Sidang tanpa kehadiran tergugat

Pada hari persidangan yang telah ditetapkan ternyata tergugat atau para tergugat tidak hadir
tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil dengan patut dan sah, tidak juga menunjuk
seorang kuasa untuk hadir mewakilinya, maka sidang dilanjutkan dengan membacakan surat
gugatan tanpa kehadiran tergugat dengan terlebih dahulu menanyakan kepada penggugat apakah
ada perubahan terhadap gugatannya atau tetap pada gugatan yang telah diajukannya tersebut.

b) Pembuatan akta bukti dan acara pembuktian

Karena tergugat tidak hadir dipersidangan meskipun telah dipanggil dengan patut dan sah maka
tergugat dianggap tidak menggunakan hak-haknya untuk menjawab atau membantah semua
dalil-dalil gugatan penggugat,otomatis proses penyelesaian perkara berjalan sepihak tidak ada
jawab-jinawab, replik-duplik, dan langsung pada acara pembuktian berupa pengajuan bukti-bukti
surat berupa foto copy dicocokkan dengan aslinya, dibubuhi meterai cukup diberi tanda sesuai
jumlah surat bukti yang diajukan misalnya P1 s/d P10,selain bukti berupa surat dapat diajukan
bukti saksi dan ahli sesuai kebutuhan untuk membuktikan posita gugatan penggugat.

c) Putusan Verstek

Pasal 125 HIR/149 R.Bg apabila pada hari persidang yang telah ditentukan, tergugat tidak hadir
dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil
dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir(verstek), kecuali kalau ternyata
bagi Pengadilan Negeri bahwa gugatan tersebut melwan hak atau tidak beralasan.

Jika gugatan diterima ,maka atas perintah Ketua Pengadilan Negeri diberitahukan isi putusan itu
kepada tergugat yang dikalahkan dan diterangkan kepadanya bahwa tergugat berhak

20
mengajukan perlawanan (verzet) dalam tempo 14 hari setelah menerima pemberitahuan. Jika
putusan itu tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri,perlawanan masih diterima sampai pada
hari ke 8 sesudah peneguran (anmaning) seperti yang tersebut dalam pasal 196 HIR/207 R.Bg
atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari ke 14 (R.Bg) dan
hari ke 8(HIR) sesudah dijalankan surat perintah seperti tersebut dalam pasal 208 R.Bg/197 HiR.
Jika telah dijatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya,maka perlwanan selanjutnya yang
diajukan oleh tergugat tidak dapat diterima.

5 . PERSIDANGAN DENGAN DIHADIRI PARA PIHAK

Dengan tidak tercapainya perdamaian melalui mediasi, persidangan dilanjutkan dengan


pembacaan gugatan dan tergugat ataupun turut tergugat mengajukan jawaban yang isinya dapat
berupa :

Ø Tuntutan Provisionil.

Ø Eksepsi atau tangkisan.

Ø Jawaban mengenai pokok perkara.

Ø Gugatan rekonpensi

Ø Permohonan petitum putusan.

Eksepsi atau tangkisan mengenai kompetensi kewenangan nisbi harus diajukan segera pada
permulaan persidangan dan tidak akan diperhatikan kalau tergugat telah menjawab pokok
perkaranya. Untuk eksepsi kompetensi kewenangan absolute dapat diajukan setiap saat dalam
pemeriksaan perkara itu dan Pengadilan Negeri karena jabatannya harus pula menyatakan bahwa
tidak berwenang mengadili perkara itu.

Setelah tergugat mengajukan jawabannya selanjutnya replik duplik, hakim akan meneliti secara
seksama apabila diajukan eksepsi tentang kewenangan mengadili yang bersifat nisbi atau
absolute, akan terlebih dahulu diputus dengan putusan sela sebelum memeriksa pokok
perkaranya. Apabila eksepsi tersebut beralasan hukum dan Pengadilan Negeri menyatakan tidak
berwenang mengadili maka pemeriksaan pokok perkaranya tidak dilanjutkan dan gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima, sebaliknya jika eksepsi tidak beralasan hukum dan ditolak maka
pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan dengan pembuktian baik bukti saksi maupun bukti surat.

Seluruh proses jawab-jinawab,replik,duplik dan pembuktian selesai maka para pihak


mengajukan kesimpulan dan akhirnya mohon putusan. Jika penggugat mampu membuktikan
seluruh dalil-dalil gugatannya maka gugatan penggugat dikabulkan seluruhnya dan apabila
terbukti sebagian, gugatan dikabulkan sebagian dan menolak gugatan selain dan selebihnya.
Sebaliknya jika tergugat mampu mematahkan dalil-dalil gugatan penggugat maka gugatan
dinyatakan ditolak seluruhnya, demikian pula apabila dalil-dalil gugatan kabur dan secara formil
tidak memenuhi syarat maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

21
Hukum Acara Perdata Dalam Praktek: Proses Dan Tata Cara
Persidangan
R. Soeroso, S.H.

Sinar Grafika 2005

156 hlm

Rp 37,000

Tidak tersedia

Deskripsi
Hukum Acara Perdata Dalam Praktek: Proses Dan Tata Cara Persidangan
Oleh: R. Soeroso, S.H.

Daftar Isi

BAGIAN 1 : PENGERTIAN, DASAR HUKUM, DAN SUSUNAN KEKUASAAN BADA-BADAN PENGADILAN

BAB I : PENGERTIAN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA

BAB II : DASAR HUKUM SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN PENGADILAN


A. Dasar Hukum
B. Macam-macam Pengadilan
C. Sususnan Badan-Badan Pengadilan Umum
D. Kewenangan Pengadilan
E. Tempat Kedudukan Pengadilan
F. Sususnan Pejabat pada Suatu Pengadilan

BAGIAN 2 : PRAKTIK HUKUM ACARA PERDATA

BAB III : PARA PIHAK YANG DAPAT BERPERKARA


A. Asas yang dapat Menjadi Pihak
B. Yang Dianggap Tidak Mampu
C. Badan-badan Hukum Sebagai Pihak

BAB IV : KUASA PARA PIHAK

22
A. idak Ada Keharusan untuk Mewakilkan
B. Contoh-Contoh Surat Kuasa

BAB V : MENYUSUSN GUGATAN


A. Pendahuluan
B. Identitas Para Pihak
C. Fundamentum Petendiv D. Petitum atau Tuntutanv E. Kesimpulan

BAB VI : SIDANG PEMERIKSAAN PERKARA


A. Memasukan Gugatan
B. Persiapan Sidang

BAB VII : JALANNYA PERSIDANGAN


A. Susunan Persidangan
B. Sidang Kedua (jawaban tergugat)
C. Sidang Kedua (Replik)
D. Sidang Ketiga (Duplik)
E. Sidang Keempatv F. Sidang Kelima (Pembuktian Dari Penggugat)
G. Sidang Keenam (Pembuktian Dari Tergugat)
H. Sidang Ketujuh
I. Sidang Kedelapan

BAB VIII : JAWABAN TERGUGAT


Pendahuluan

BAB IX : PUTUSAN HAKIM

BAB X : UPAYA HUKUM


A. Banding
B. Kasasi
C. Peninjauan Kembali

BAB XI : EKSEKUSI (PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM)

23
Actio Pauliana
Adalah suatau upaya hukum untuk membtalkan transaksi yang dilakukan oleh debitor untuk
kepentingan debitor yang dapat merugikan pihak kreditor. Upaya ini dilakukan dalam jangka 1 tahun
sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Adapun yang menjadi dasar hukum dari Actio Pauliana
adalah Pasal 1341 KUHPdt dan Pasal 42 UU No.37 Tahun 2004

24
Prosedur Dan Proses Beracara Di Pengadilan Negeri Dalam Perkara Perdata

Proses dan mekanisme penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri dilakukan melalui
beberapa tahapan dan prosedur sebagaimana terurai di bawah ini.

1. Tahap Persiapan :

a. Pihak Yang Berperkara/Bersengketa

Dalam perkara perdata setidaknya ada 2 (dua) pihak, yakni pihak Penggugat dan pihak Tergugat.
Tetapi dalam hal-hal tertentu secara kasuistis ada pihak Turut Tergugat. Penggugat adalah orang
atau pihak yang merasa dirugikan haknya oleh orang atau pihak lain (Tergugat). Tergugat adalah
orang atau pihak yang dianggap telah merugikan hak orang atau pihak lain (Penggugat),
sedangkan Turut Tergugat adalah orang atau pihak yang tidak berkepentingan langsung dalam
perkara tersebut, tetapi ada sangkut pautnya dengan pihak atau obyek perkara yang
bersangkutan.

Selain pihak Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat dalam hal-hal tertentu secara kasuistis
terdapat pihak ketiga yang berkepentingan yang turut campur atau mencampuri (intervensi) ke
dalam sengketa yang sedang berlangsung antara Penggugat dan Tergugat, dalam bentuk voeging
(menyertai), tussenkomst (menengahi) dan vrijwaring/garantie (penanggungan/pembebasan).
Baik Penggugat, Tergugat, Turut Tergugat maupun Pihak Ketiga yang berkepentingan,
kesemuanya merupakan subyek hukum yang terdiri dari orang perseorangan (natuurlijk
persoon) dan badan hukum (rechtspersoon).

b. Pembuatan atau Penyusunan Surat Gugatan

Surat gugatan merupakan dasar bagi hakim untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
perdata, oleh karena itu surat gugatan tidak boleh cacat hukum, atau dengan kata lain surat
gugatan haruslah sempurna. Surat gugatan yang tidak sempurna berakibat tidak menguntungkan
bagi pihak Penggugat, karena hakim akan menjatuhkan putusan bahwa gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

HIR maupun R.Bg hanya mengatur tentang cara mengajukan gugatan, sedangkan tentang
persyaratan mengenai isi gugatan tidak mengaturnya. Persyaratan mengenai isi gugatan dapat
diketemukan dalam Pasal 8 No.3 Rv yang pada pokoknya berisikan :

 Identitas Para Pihak

Di dalam surat gugatan harus diuraikan secara jelas, tegas dan lengkap identitas dari masing-
masing pihak, baik Penggugat, Tergugat maupun Turut Tergugat, yang menyangkut tentang
nama lengkap, jenis kelamin, usia, agama, pekerjaan dan alamat tempat tinggal (domicili).
Kesalahan dalam menentukan identitas pihak dapat berakibat gugatan salah alamat (error in
subjecto).

 Posita/Fundamentum Petendi

25
Posita atau fundamentum petendi adalah uraian-uraian yang menjadi dasar dan alasan
diajukannya gugatan maupun tuntutan. Penggugat dalam menyusun gugatan harus menguraikan
secara jelas tentang obyek sengketa, hubungan hukum (korelasi yuridis) antara subyek dan obyek
sengketa, alas hak yang dijadikan dasar dan alasan untuk menuntut obyek sengketa, kerugian-
kerugian yang timbul (bila ada) harus diperinci. Surat gugatan yang disusun secara tidak jelas
atau kabur (obscuur libel), berakibat hakim akan menjatuhkan putusan bahwa gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima

 Tuntutan (Petitum)

Tuntutan atau petitum adalah segala sesuatu yang oleh Penggugat diminta (dituntut) dan
diharapkan akan dikabulkan dalam putusan hakim. Oleh karena itu tuntutan yang diajukan oleh
Penggugat harus jelas dan tegas dengan mendasarkan pada posita yang ada. Berdasarkan Pasal
178 HIR, hakim dalam putusannya dilarang mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut oleh
Penggugat (Asas Ultra Petita).

c. Penandatanganan Surat Gugatan

Surat gugatan yang telah dibuat dan disusun oleh Penggugat harus ditandatangani sendiri oleh
Penggugat atau Kuasa Hukumnya, apabila Penggugat bermaksud mewakilkan kepada orang lain.
Surat gugatan tidak perlu dibubuhi meterai, oleh karena berdasarkan Pasal 164 HIR, surat
gugatan bukan merupakan alat bukti, tetapi justru nantinya yang harus dibuktikan di persidangan.
Meterai diperlukan untuk pengajuan alat bukti tertulis (surat), artinya terhadap alat bukti tertulis
(surat) yang akan diajukan sebagai alat bukti di persidangan, harus difoto copy kemudian
ditempeli meterai 6000 dan ditandatangani oleh pejabat pos yang berwenang untuk itu
(nachzegelen).

Apabila Penggugat bermaksud mewakilkan kepada orang lain, maka pembuatan atau
penyusunan dan penandatanganan surat gugatan dapat dilakukan oleh orang lain yang ditunjuk
atas dasar pemberian kuasa. Surat yang dipakai dasar bagi Penggugat atau Tergugat/Turut
Tergugat untuk mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk dalam penanganan perkara perdata
disebut surat kuasa khusus.

Orang lain yang ditunjuk oleh Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat untuk mewakili
kepentingannya di pengadilan dibedakan antara yang memiliki hubungan keluarga dengan
Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat dan yang tidak memiliki hubungan keluarga. Orang lain
yang memiliki hubungan keluarga dengan Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat dan ditunjuk
untuk mewakili kepentingan Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat di pengadilan
berkedudukan sebagai pemegang atau penerima kuasa dan kuasa yang telah diterima tersebut
dinamakan kuasa insidentil. Sedangkan orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga
dengan Penggugat atau Tergugat/Turut Tergugat, berdasarkan UU No.18 tahun 2003, Tentang
Advokat yang boleh bertindak untuk mewakili kepentingan Penggugat atau Tergugat/ Turut
Tergugat hanya Advokat.

d. Biaya Perkara

26
Berperkara di pengadilan pada asasnya dikenakan biaya perkara, kecuali bagi mereka yang
termasuk golongan tidak mampu yang dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu dari
pejabat yang berwenang untuk itu (Kepala Desa/Lurah dan direkomendasi oleh Camat) dapat
berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo).

Adapun biaya perkara yang harus dipersiapkan dan dibayar oleh Penggugat atau melalui
Kuasa/Kuasa Hukumnya meliputi :

 panjar atau porskot biaya perkara (gugatan)


 biaya peletakan sita jaminan (conservatoir beslag), bila diminta/diajukan
biaya Pemeriksaan Obyek Sengketa (Pemeriksaan Setempat), apabila yang menjadi
obyek sengketa berupa benda tetap/tidak bergerak.

1. Tahap Pengajuan dan Pendaftaran Surat Gugatan

 Surat gugatan yang telah ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasa Hukumnya
dimasukkan untuk didaftarkan di Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri yang memiliki
yurisdiksi (kompetensi absolut dan relatif) untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara (sengketa) yang diajukan dan sekaligus mendaftarkan surat kuasa khusus, apabila
dalam perkara tersebut Penggugat mewakilkan kepada orang lain, baik kuasa insidentil
ataupun kuasa yang diberikan oleh Advokat, dengan membayar biaya panjar perkara dan
biaya pendaftaran surat kuasa
 Penggugat atau Kuasa Hukumnya menerima SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dan
kwitansi pembayaran panjar perkara dari Bendahara Pengadilan Negeri yang
bersangkutan
 Penggugat atau Kuasa Hukumnya menerima kembali 1 (satu) bendel surat gugatan yang
telah dibubuhi Nomor Register Perkara yang telah diparaf oleh Panitera atau pejabat lain
yang ditunjuk untuk itu.

III. Tahap Persidangan :

 Ketua Pengadilan Negeri setelah membaca surat gugatan dan kelengkapan berkas
lainnya, menunjuk dan menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa, mengadili dan
memutus perkara yang bersangkutan. Kemudian Panitera Kepala menunjuk dan
menetapakan Panitera Pengganti dalam perkara yang bersangkutan yang bertugas
mencatat semua fakta persidangan dalam Berita Acara Sidang.
 Majelis Hakim yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
menetapkan hari sidang pertama dan memerintahkan Panitera Kepala untuk memanggil
pihak-pihak dalam perkara tersebut
 Panitera Kepala memerintahkan Jurusita Pengganti untuk melakukan pemanggilan
terhadap para pihak dalam perkara tersebut (Penggugat, Tergugat/Turut Tergugat) agar
hadir pada hari, tanggal dan waktu sebagaimana yang terurai dalam Surat Panggilan
(Relaas) tersebut.
 Jurusita Pengganti menyampaikan Surat Panggilan Sidang kepada Penggugat atau Kuasa
Hukumnya dan Tergugat maupun Turut Tergugat dengan disertai surat gugatan. Surat
Panggilan tersebut dapat disampaikan melalui Kepala Desa atau Lurah setempat, bila

27
pihak yang dipanggil tidak ada di tempat, dengan permintaan agar Kepala desa atau
Lurah tersebut meneruskan dan menyampaikan Surat Panggilan tersebut kepada pihak
yang tidak ada di tempat tersebut.
 Pada hari, tanggal dan waktu sebagaimana terurai dalam Surat Panggilan yang telah
diterima oleh para pihak, Majelis Hakim yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri membuka sidang dan mempersilahkan para pihak memasuki ruang
sidang. Apabila ada pihak yang belum hadir, maka melalui Panitera Pengganti
memerintahkan Jurusita Pengganti untuk memanggil lagi pihak yang tidak hadir. Pada
sidang berikutnya setelah para pihak dalam perkara tersebut hadir semua (lengkap),
ataupun ada pihak yang tidak hadir tanpa dasar dan alasan yang sah, walaupun telah
dipanggil secara patut, layak dan cukup, maka para pihak melalui majelis hakim tersebut
sepakat untuk memilih dan menentukan mediator untuk melakukan mediasi.

1. Sidang Mediasi

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Prosedur mediasi diatur dalam PERMA
No.1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap perkara gugatan yang diajukan ke Pengadilan pada
saat sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak Penggugat dan Tergugat untuk menempuh
upaya damai melalui mediator.

Jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa dengan mediasi melalui mediator selama 40 hari
dan dapat diperpanjang selama 14 hari atas permintaan para pihak . Mediator dapat dipilih oleh
para pihak dari daftar mediator yang telah bersertifikasi dan memilih tempat pertemuan diluar
gedung Pengadilan Negeri sesuai kesepakatan atas biaya para pihak. Apabila tidak ada mediator
bersertifikasi di luar Pengadilan Negeri, para pihak dapat memilih mediator di Pengadilan Negeri
yang telah ditunjuk dan sesuai ketentuan PERMA No.1 Tahun 2008 dapat dipilih salah satu
Hakim Anggota Majelis sesuai kesepakatan para pihak.

Apabila tercapai kesepakan perdamaian maka kedua belah pihak dapat mengajukan rancangan
draf perdamaian yang nantinya disetujui dan ditanda tangani kedua belah pihak untuk dibuatkan
Akta Perdamaian yang mengikat kedua belah pihak untuk mematuhinya dan melaksanakannya.
Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara
tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. Dan sengketa keduabelah pihak berakhir
dengan perdamaian.

Sebaliknya jika mediator tidak berhasil mencapai kesepakatan damai bagi kedua belah pihak,
maka dengan disertai Berita Acara tentang tidak tercapainya perdamaian, mediator melalui
Panitera Pengganti mengembalikan dan menyerahkan kembali Berkas Perkara tersebut kepada
Majelis Hakim. Selanjutnya Majelis Hakim memerintahkan para pihak atau Kuasa Hukumnya
untuk hadir pada sidang berikutnya guna dilanjutkan pemeriksaan terhadap perkara yang
bersangkutan dengan membacakan gugatan, jawaban, replik duplik, pembuktian, pemeriksaan
obyek sengketa (pemeriksaan setempat) bilamana obyek sengketanya benda tetap dan dipandang
perlu, kesimpulan dan putusan. Walaupun mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak,
dalam proses pemeriksaan perkara selanjutnya Majelis Hakim tetap memberikan kesempatan
para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara damai sesuai ketentuan pasal 130 HIR.

28
1. Sidang Lanjutan Dalam Hal Perdamaian Tidak Tercapai
2. Persidangan Tanpa Kehadiran Tergugat

Pada hari persidangan yang telah ditetapkan ternyata Tergugat atau Para Tergugat tidak hadir
tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil dengan patut dan sah, tidak juga menunjuk
seorang kuasa untuk hadir mewakilinya, maka sidang dilanjutkan dengan membacakan surat
gugatan tanpa kehadiran Tergugat dengan terlebih dahulu menanyakan kepada penggugat apakah
ada perubahan terhadap gugatannya atau tetap pada gugatan yang telah diajukannya tersebut.

1. Pembuktian Pihak Penggugat

Karena Tergugat tidak hadir di persidangan meskipun telah dipanggil dengan patut dan sah maka
Tergugat dianggap tidak menggunakan hak-haknya untuk menjawab atau membantah semua
dalil-dalil gugatan Penggugat, sehingga proses penyelesaian perkara berjalan sepihak
(contradictoir), tidak ada jawab menjawab, replik, duplik, dan pemeriksaan langsung dilanjutkan
dengan acara pembuktian, berupa pengajuan alat bukti, yakni bukti-bukti tertulis atau surat
berupa foto copy dicocokkan dengan aslinya, dibubuhi meterai cukup diberi tanda sesuai jumlah
surat bukti yang diajukan misalnya P.1 s/d P.10. Selain bukti berupa surat tersebut, dapat
diajukan pula bukti saksi dan ahli sesuai kebutuhan untuk membuktikan posita gugatan
Penggugat.

1. Putusan Verstek

Pasal 125 HIR/149 R.Bg, menentukan bahwa apabila pada hari sidang yang telah ditentukan,
Tergugat tidak hadir dan lagi pula tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya,
padahal ia telah dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan di luar
hadirnya Tergugat (verstek), kecuali kalau ternyata Pengadilan Negeri berpendapat bahwa
gugatan Penggugat tersebut bersifat melawan hak atau tidak beralasan hukum.

Apabila gugatan Penggugat diterima dan dikabulkan, maka atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri diberitahukan isi putusan itu kepada Tergugat yang dikalahkan dan diterangkan
kepadanya bahwa Tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet) dalam tempo 14 hari setelah
menerima pemberitahuan. Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada Tergugat sendiri,
perlawanan masih diterima sampai pada hari ke 8 sesudah peneguran (anmaning) seperti yang
tersebut dalam pasal 196 HIR/207 R.Bg atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan
patut, sampai pada hari ke 14 (R.Bg) dan hari ke 8(HIR) sesudah dijalankan surat perintah
seperti tersebut dalam pasal 208 R.Bg/197 HiR. Jika telah dijatuhkan putusan verstek untuk
kedua kalinya,maka perlawanan selanjutnya yang diajukan oleh Tergugat tidak dapat diterima.

2. Persidangan Dengan Dihadiri Oleh Para Pihak

Dengan tidak tercapainya perdamaian melalui mediasi, persidangan dilanjutkan dengan


pembacaan gugatan dan Tergugat ataupun Turut tergugat mengajukan Jawaban yang isinya dapat
berupa :

 Tuntutan Provisionil

29
 Eksepsi atau tangkisan
 Jawaban mengenai pokok perkara d. Gugatan Balik (Rekonpensi)
 Permohonan petitum putusan.

Eksepsi atau tangkisan mengenai kompetensi (kewenangan) relatif harus diajukan segera pada
permulaan persidangan dan tidak akan diperhatikan kalau Tergugat telah menjawab pokok
perkaranya. Untuk eksepsi kompetensi (kewenangan) absolute dapat diajukan setiap saat dalam
pemeriksaan perkara itu dan hakim karena jabatannya secara ex officio harus pula menyatakan
bahwa tidak berwenang mengadili perkara tersebut.

Setelah Tergugat mengajukan jawabannya dan selanjutnya pengajuan Replik oleh Penggugat dan
Duplik oleh Tergugat, hakim akan meneliti secara seksama apabila diajukan eksepsi tentang
kewenangan mengadili yang bersifat relatif atau absolut, akan terlebih dahulu diputus dengan
putusan sela, sebelum memeriksa pokok perkaranya. Apabila eksepsi tersebut beralasan hukum
dan Pengadilan Negeri menyatakan tidak berwenang mengadili maka pemeriksaan pokok
perkaranya tidak dilanjutkan dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, sebaliknya jika
eksepsi tidak beralasan hukum dan ditolak maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan dengan
pembuktian dari Pihak Penggugat dan Tergugat maupun Turut Tergugat, baik berupa bukti
tertulis (surat) maupun bukti saksi, ahli dan bilamana dipandang perlu dilakukan pemeriksaan
terhadap obyek sengketa (Pemeriksaan setempat), apabila obyek sengketanya berupa benda tidak
bergerak atau benda tetap.

Apabila dari serangkaian tahapan atau proses jawab- menjawab, Replik, Duplik dan pembuktian
dari masing- mamsing pihak telah selesai, maka para pihak mengajukan dapat mengajukan
kesimpulan dan pada akhirnya mohon putusan.

Apabila Penggugat mampu membuktikan seluruh dalil-dalil gugatannya maka gugatan


Penggugat akan dikabulkan seluruhnya dan apabila terbukti sebagian, maka gugatan Penggugat
akan dikabulkan sebagian serta menolak gugatan selain dan selebihnya. Sebaliknya apabila
Tergugat mampu mematahkan dalil-dalil gugatan Penggugat, maka gugatan Penggugat akan
ditolak seluruhnya. Demikian pula apabila gugatan Penggugat kabur dan secara formil tidak
memenuhi syarat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

30
HUKUM ACARA
PERDATA

31

Anda mungkin juga menyukai