Anda di halaman 1dari 9

TUGAS 4

Nama : Diana Marchella

“Gugatan, Sita Jaminan, Perubahan dan Pencabutan Gugatan”

1. Gugatan

Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat ke Pengadilan
yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan
landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.1 Dari pengertian
tersebut dapat digaris bawahi bahwa gugatan merupakan suatu tuntutan hak. Tuntutan hak dalam
Pasal 118 HIR atau Pasal 142 ayat (1) Rbg disebut sebagai tuntutan atau gugatan perdata
(burgerlijke vordering), merupakan tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”atau main hakim sendiri.2 Terdapat
dua macam tuntutan hak, yaitu gugatan dan permohonan. Perbedaan antara gugatan dengan
permohonan bertolak pada ada atau tidak adanya sengketa. Dalam perkara gugatan ada suatu
sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan, dimana ada sekurang-kurangnya
dua pihak yaitu penggugat dan tergugat. Sementara dalam perkara permohonan tidak ada
sengketa di dalamnya dan hanya ada satu pihak saja yaitu pemohon.3

Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang kemudian disebut sebagai penggugat
yang merasa bahwa haknya telah dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar haknya atau
disebut pihak tergugat tersebut tidak mau secara sukarela memenuhi hak dan kewajiban yang
diminta oleh pihak penggugat. Apabila sengketa yang dialami para pihak tersebut tidak bisa
diselesaikan secara damai di luar persidangan, maka untuk menentukan siapa yang benar dan
berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat
harus mempunyai alasan-alasan yang kuat mengenai adanya pelanggaran hak yang telah
merugikan penguggat agar dapat diterima oleh pengadilan. Gugatan dapat diajukan secara

1
Yulia, Hukum Acara Perdata, Aceh: Unimal Press, Cetakan 1, 2018, Hlm. 19.
2
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2013,
Hlm. 54.
3
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Mandar Maju, Cetakan ke-1, 2019, Hlm. 9.

1
tertulis (Pasal 118 ayat (1) HIR, Pasal 142 ayat (1) Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120 HIR,
Pasal 144 ayat (1) Rbg).4 Tetapi pada saat ini gugatan lisan suda tidak lazim diajukan.

A. Isi Gugatan
Agar suatu gugatan yang diajukan penggugat dapat diterima pengadilan maka
haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut antara lain:
a. Syarat Formal
Oleh karena bentuk gugatan adalah surat, maka harus memenuhi syarat sebagai
surat antara lain seperti, tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan, kepada
siapa atau kemana gugatan itu diajukan, isi gugatan, materai, ditutup dengan
mencantumkan siapa yang membuat/mengirim gugatan tersebut, dan tandatangan
penggugat atau kuasanya.
b. Syarat Substansial
Ditinjau dari isi gugatan, Pasal 8 No.3 Rv menentukan bahwa gugatan harus
memuat:5
1. Identitas para pihak
Identitas disini ialah ciri-ciri dari penggugat dan tergugat, berupa
nama lengkap, umur/tempat, dan tanggal lahir, pekerjaan dan alamat atau
domisili. Di samping itu untuk menambah biasanya perlu dicantumkan
pula pekerjaan, status perkawinan. Untuk perkara tertentu seperti
perceraian, perlu pula dicantumkan agama.
2. Posita atau fundamentum petendi
Posita (fundamentum patendi) adalah dalil-dalil konkret yang
digunakan dalam surat gugatan yang menjadi dasar atau alasan-alasan
dari adanya suatu tuntutan dari pihak penggugat. Posita terdiri dari dua
bagian yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau
peristiwa berupa penjelasan duduknya perkara. Lalu yang kedua bagian
yang menguraikan tentang hukum, yaitu memuat uraian tentang adanya
hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis tuntutan.

4
Ibid, Hlm.55
5
Ibid, Hlm. 56

2
Dalam penyusunan posita dikenal adanya a 2 teori terkait dengan
luasnya uraian dalam posita, yaitu:
- Substantieringstheorie, menurut teori ini penyusunan posita tidaklah
cukup hanya menguraikan mengenai peristiwa dan hubungan hukum
yang menjadi dasar gugatan, melainkan harus diuraikan pula
bagaimana sejarahnya sampai terjadi peristiwa dan hubungan hukum
itu.
- Individualiseringtheorie, menurut teori ini kejadian-kejadian yang
disebutkan dalam gugatan cukup menunjukkan adanya hubungan
hukum yang menjadi dasar tuntutan, tanpa menguraikan secara detail
sejarah dari peristiwa dan hubungan hukum tersebut.
3. Petitum atau tuntutan
Petitum adalah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan
agar diputuskan oleh hakim. Dalam putusan pengadilan, petitum akan
mendapatkan jawabannya dalam diktum atau amar putusan. Oleh karena
itu, penggugat hatus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas. Selain
itu juga Setiap tuntutan dalam petitum haruslah dapat ditemukan dasarnya
dalam posita. Dengan kata lain tidak ada bagian dari tuntutan dalam
petitum yang tidak ada uraiannya dalam posita.
Tuntutan dapat dibedakan menjadi tuntutan primer dan tuntutan
subsider. Tuntutan primer atau tuntutan pokok adalah tuntutan yang
langsung berhubungan dengan pokok perkara. Lebih lanjut terkait dengan
tuntutan primer tuntutan tambahan, yang bukan tuntutan pokok tetapi
masih ada hubungannya dengan pokok perkara. Tuntutan tambahan
berwujud tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara,
tuntutan uivoerbaar bij voorraad yaitu tuntutan agar putusan dapat
dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi,
tuntutan agar tergugat dihukum membayar bunga, atau tuntutan agar
tergugat dihukum untuk membayar uang paksa. Tuntutan subsider
merupakan tuntutan cadangan. Fungsi dari tuntutan subsider ini
menggantikan tuntutan primer jika tuntutan primer ditolak. Agar lebih

3
besar kemungkinan suatu gugatan dikabulkan oleh pengadilan, sering
dijumpai tuntutan pokok disertai dengan tuntutan subsider atau tuntutan
pengganti.

B. Penggabungan Tuntutan
Dalam perkara perdata sekurang-kurangnya ada dua pihak, yaitu penggugat dan
tergugat. Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu orang atau lebih dari satu orang.
Demikian juga dengan tuntutannya, dapat terjadi hanya satu tuntutan, dan dapat pula
terjadi ada beberapa tuntutan dalam satu gugatan. Jika penggugat terdiri lebih dari
seorang melawan tergugat yang hanya seorang, atau seorang penggugat melawan
tergugat yang lebih dari seorang disebut dengan kumulasi subyektif.6 Syarat untuk
kumulasi subyektif adalah bahwa terhadap tuntutan yang diajukan tersebut haruslah ada
hubungan yang erat antara satu subyek dengan subyek lainnya. Selain itu apabila
penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus, ini
merupakan penggabungan tuntutan atau yang disebut dengan kumulasi objektif.
Kumulasi obyektif pada umumnya tidak disyaratkan bahwa tuntutan tuntutan itu harus
berhubungan erat satu sama lain, tetapi dalam tiga hal komulasi obyektif itu tidak
dibolehkan:7
1. Jika untuk suatu tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan suatu acara khusus,
sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa, maka
kedua untutan itu tidak boleh digabung dalam satu gugatan.
2. Apabila hakim tidak berwenang (secara relatif) untuk memeriksa salah atu
tuntutan yang diajukan bersama sama dalam satu gugatan dengan tuntutan
lain, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama sama dalam
satu gugatan.\
3. Tuntutan tentang “bezit” tidak boleh diajukan bersama sama dengan
tuntutan tentang “eigendom” dalam satu gugatan (Pasal 103 Rv).

2. Sita Jaminan
6
Ibid, Hlm.81
7
Loc.cit

4
Untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya apabila gugatannya kemudian
dikabulkan, undnag-undang menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut yaitu dengan
penyitaan (arrest; beslag).8 Penyitaan merupakan tindakan menempatkan harta kekayaan
tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan yang dilakukan secara resmi
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.9 Dalam hal ini harta kekayaan tergugat tersebut
dibekukan, yang berarti bahwa harta tersebut disimpan untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan
atau dijual. Penyitaan ini disebut juga sita jaminan atau conservatoir. Tujuan sita jaminan ini
adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan
utang tergugat.10 Terdapat dua macam sita jaminan yaitu:

1. Sita Jaminan terhadap Barang Miliknya Sendiri (Revindicatoir Beslag)


Penyitaan dilakukan terhadpa barang milik kreditur yang dikuasai oleh orang lain.
Sita jaminan ini bertujuan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari kreditur dan
berakhir dengan penyerahan barang yang disita tersebut. Sita ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu:
a. Sita revindicatoir (Pasal 226 HIR, 260 Rbg) yaitu dimana pemilik barang
bergerak yang barangnya berada di tangan orang lain dapat dimintakan kepada
Ketua Pengadilan Negeri tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal
agar barang dapat disita. kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita
untuk mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya). 11 Sehingga yang
dapat mengajukan sita revindicatoir adalah pemilik benda bergerak yang dikuasai
oleh orang lain tersebut (Pasal 1977 ayat (1), 175 BW).
b. Sita Maritaal (Pasal 823-824 Rv), yaitu sita ini bukan untuk menjamin suatu
tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan untuk menjamin agar barang
yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon
selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung.12
2. Sita Jaminan Terhadap Barang Milik Debitur Atau Tergugat (Conservatoir Beslag)

8
Ibid, Hlm.95
9
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, Hlm.282.
10
Yolan Dorneka, “Kajian Hukum Tentang Sita Jaminan Terhadap Barang Milik Tergugat Dengan Memperhatikan
Sema No. 2 Tahun 1962 Tertanggal 25 April 1962”, Lex Privatum, Vol. VI, No.1, 2018, Hlm. 69.
11
Ibid, Hlm.71
12
Sudikno, Op.Cit., Hlm. 97

5
Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitur dan merupakan tindakan
persiapan dari pihak penggugat untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata
dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita, guna memenuhi tuntutan
penggugat. Yang dapat disita secara conservatoir adalah:
a. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur (Pasal 227 jo. 197 HIR, 261
jo. 208 Rbg)
Dengan adanya sita conservatoir, tergugat sebagai pemilik barang yang
disita kehilangan wewenangnya atas barang miliknya. Barang bergerak yang
disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat untuk disimpannya dan dijganaya
serta dilarang menjual atau mengalihkannya (Pasal 197 ayat 9 HIR, 212 Rbg).
b. Sita conservatoir atas barang tetap milik debitur (Pasal 227, 197, 198, 199 HIR,
261, 208, 214 Rbg)
Dalam hal ini penyitaan harus diumumkan dengan memberi perintah
kepada kepala desa agar penyitaan tetap itu diumumkan di tempat agar diketahui
orang banyak. Penyitaan harus dilakukan oleh juru sita di tempat barang tersebut
berada. Pihak tersita dilarang memindahkan, membebani, atau menyewakannya
kepada orang lain. Penyitaan termasuk juga tanaman di atasnya serta hasil panen
dan jika barang tetap itu disewakan oleh pemiliknya, maka panen menjadi milik
penyewa.13
c. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di tangan pihak
ketiga (Pasal 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg)
Sita conservatoir ini disebut dengan derdenbeslag, dimana apabila debitur
mempunyai piutang kepada pihak ketiga, kreditur untuk menjamin haknya dapat
melakukan sita atas barang yang ada di pihak ketiga tersebut. Kreditur dapat
menyita atas dasar akta otentik atau akta bawah tangan pihak ketiga.

3. Pencabutan dan Perubahan Gugatan


Di satu sisi, hukum memberikan hak kepadanya untuk mengajukan gugatan apabila hak
dan kepentingannya dirugikan. Di sisi lain, hukum juga memberikan hak kepadanya untuk

13
Ibid, Hlm. 103

6
mencabut gugatan apabila dianggapnya hak dan kepentingannya tidak dirugikan. Gugatan
dapat dicabut selama putusan pengadilan belum dijatuhkan apabila:14
- Gugatan belum sampai dijawab oleh tergugat, maka penggugat dapat langsung
mengajukan pencabutan gugatan.
- Pihak tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan gugatan dapat
dilaksanakan apabila ada persetujuan dari tergugat.

Jika pencabutan gugatan dilakukan sebelum perkara diperiksa atau sebeelum tergugat
memberi jawaban, atau tergugat secara resmi belum tahu gugatan tersebut, maka tidak perlu
ada persetujuan dari pihak tergugat (Pasal 271 Rv). Setelah proses pemeriksaan berlangsung,
pencabutan masih boleh dilakukan, dengan syarat harus ada persetujuan pihak tergugat.
Pencabutan dapat juga dilakukan oleh kuasa yang ditunjuk oleh penggugat berdasarkan surat
kuasa khusus yang tetapkan dalam Pasal 123 HIR.

Pencabutan mutlak harus dilakukan dan disampaikan penggugat pada sidang pengadilan.
Penyampaian pencabutan dilakukan pada sidang yang dihadiri tergugat. Kalau begitu
pencabutan hanya dapat dilakukan dan dibenarkan pada sidang pengadilan yang memenuhi
syarat contradictoir, yaitu harus dihadiri para pihak. Tidak dibenarkan pencabutan dalam
persidangan secara ex parte (tanpa dihadiri tergugat).15 Putusan pencabutan gugatan mengikat
(binding) sebagaimana putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pengajuan kembali
gugatan yang telah dicabut di dalam Pasal 124 HIR masih tetap memberi hak kepada
penggugat untuk mengajukan kembali gugatan yang digugurkan sebagai perkara baru, dengan
syarat dibebani membayar biaya perkara. Gugatan yang dicabut tanpa persetujuan tergugat
dapat diajukan kembali. Gugatan yang dicabut atas persetujuan tergugat tidak dapat diajukan
kembali.

Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung perubahan gugatan atau penambahan gugatan


diperkenakan asal tidak mengubah dasar gugatan dan tidak merugikan kepentingan tergugat
dalam pembelaan. Menurut pasal 127 Rv perubahan dari gugatan dibolehkan sepanjang
pemeriksaan perkara, asal saja tidak mengubah atau menambah “ onderwerp van den eis “
(patitum, pokok, tuntutan). Perubahan juga dapat diizinkan asal tidak tidak mengubah dan

14
Yulia, Op.Cit., Hlm. 31
15
Ibid, Hlm.33

7
menyimpang dari kejadian materiil yaitu posita yang menjadi dasar penuntutan. Perubahan
gugatan tidak diperbolehkan pada tingkat dimana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai
pada saat dalil-dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan dan kedua belah
pihak sebelum itu sudah mohon putusan.

8
DAFTAR PUSTAKA

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Bandung: Mandar Maju, Cetakan ke-1, 2019

Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi, Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2013, Hlm. 54.

Yulia, Hukum Acara Perdata, Aceh: Unimal Press, Cetakan 1, 2018

Yolan Dorneka, “Kajian Hukum Tentang Sita Jaminan Terhadap Barang Milik Tergugat
Dengan Memperhatikan Sema No. 2 Tahun 1962 Tertanggal 25 April 1962”, Lex
Privatum, Vol. VI, No.1, 2018.

Anda mungkin juga menyukai