Anda di halaman 1dari 9

TUGAS 5

Nama : Diana Marchella

“Resume Hukum Acara Perdata Mengenai Acara Istimewa, Jawaban, Eksepsi,


Rekonvensi, dan Replik-Duplik”

1. Acara Istimewa

Ada kalanya dimana para pihak telah dilakukan pemanggilan secara patut, salah satu
pihak baik penggugat/para penggugat secara keseluruhan atau tergugat/para tergugat/ secara
keseluruhan tidak hadir di persidangan atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadap pada
sidang yang telah ditentukan, maka terjadilah acara istimewa dimana hakim pimpinan sidang
dapat menjatuhkan putusan gugatan gugur atau verstek yang diatur dalam Pasal 124 dan 125
HIR.1 Jika terdapat banyak penggugat/ tergugat, maka harus kesemuanya penggugat/tergugat
yang tidak hadir untuk dapat dikatakan acara istimewa. Jika salah satu dari pihak
penggugat/tergugat ada yang hadir, maka acara istimewa ini tidak berlaku dan sidang akan
diundur juga perkara tersebut akan diputus menurut acara biasa.

a. Putusan Gugur
Menurut ketentuan Pasal 124 HIR/148 Rbg yang mengatur perihal gugur, "jikalau si
penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap pengadilan negeri pada
hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku
wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar biaya
perkara ; akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut,
memasukan gugatannya sekali lagi". Sehingga dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa,
putusan gugur terjadi apabila pihak penggugat atau wakilnya tidak hadir dalam persidangan
sedangkan pihak tergugat hadir, maka untuk kepentingan tergugat yang sudah
mengorbankan waktu atau mungkin juga uang, gugatan penggugat dinyatakan gugur dengan
ketentuan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Namun tidak serta merta

1
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Mandar Maju, Cetakan ke-1, 2019, Hlm. 21.

1
kemudian hakim menjatuhkan putusan gugur, karena Pasal 126 HIR hakim diberikan
wewenang untuk mengundurkan hari sidang dan memerintahkan kepada panitera untuk
memanggil pihak penggugat sekali lagi, namun apabila penggugat tidak hadir lagi maka
penggugat dianggap tidak serius dalam mengajukan gugatannya, sehingga barulah hakim
dapat menjatuhkan putusan gugur.
Kemudian apabila pihak penggugat telah mengirim orang atau surat yang menyatakan
bahwa dirinya berhalangan secara sah (sakit parah) atau pihak penggugat telah mengutus
wakilnya akan tetapi ternyata surat kuasa yang telah ia berikan kepada wakilnya itu tidak
memenuhi persyaratan maka hakim harus cukup bijaksana untuk mengundurkan sidang.2
Pihak penggugat yang perkaanya digugurkan, diperkenankan untuk mengajukan gugatannya
sekali lagi setelah ia membayar biaya perkara dan membayar persekot untuk perkara yang
baru.
b. Putusan Verstek

Istilah verstek dikenal dengan hukum acara tanpa hadir/ acara luar hadir/ verstek
procedure. Putusan verstek atau in absentia adalah putusan tidak hadirnya tergugat dalam
suatu perkara setelah dipanggil oleh pengadilan dengan patut tidak pernah hadir dalam
persidangan dan tidak menyuruh wakilnya atau kuasa hukumnya untuk menghadiri dalam
persidangan3 Ketentuan mengenai putusan verstek ini diatur dalam Pasal 125 HIR. Pasal 125
ayat (1) HIR menentukan mengenai syarat-syarat putusan verstek, antara lain:

1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah
ditentukan;
2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap;
3. Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut;
4. Petitum tidak melawan hak;
5. Petitum beralasan.

Verstek hanya dapat dinyatakan jika pihak tergugat kesemuanya tidak menghadap pada
disang pertama, dan apabila perkara diundurkan sesuai dengan Pasal 126 HIR (pengadilan
dapat memerintahkan untuk memanggil para pihak sekali lagi), juga pihak tergugat
kesemuanya tidak datang menghadap lagi. Namun jika para tergugat hadir pada sidang
2
Ibid, Hlm. 22.
3
Yulia, Hukum Acara Perdata, Aceh: Unimal Press, Cetakan 1, 2018, Hlm. 40.

2
pertama dan tidak hadir pada sidang-sidang berikutnya, atau jika para tergugat tidak hadir
pada siang pertama lalu hakim mengundurkan sidang dan pada siang berikutnya tergugat
hadir, maka perkara akan diperiksa menurut acar biasa dan putusan dijatuhkan secara
contradictoir.

Putusan verstek tidak selalu mengabulkan gugatan penggugat. Jika gugatan tidak
berdasarkan hukum, yaitu peristiwa-peristiwa sebagai dasar dari tuntutan tidak
membenarkan tuntutan maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvenklijk
verklkelaard). Sedangkan jika gugatan tidak beralasan, yaitu tidak diajukan alasan-alasan
yang membenarkan tuntutan, maka gugatan dinyatakan ditolak.4 Terhadap gugatan yang
tidak diterima, di kemudian hari penggugat masih bisa mengajukan lagi gugatannya, tetapi
untuk gugatan yang ditolak tidak ada kesempatan untuk mengajukan lagi gugatan kepada
hakim yang sama (ne bis in idem). Apabila gugatan dikabulkan di luar hadir, putusan
diberitahu kepada pihak tergugat serta dijelaskan bahwa tergugat berhak mengajukan
perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek itu kepada hakim yang memerika perkara itu
juga dalam tenggang waktu 14 hari sesudah pemeritahuan putusan verstek tersebut (Pasal
125 ayat 3 jo. 129 ayat 2 HIR).

2. Jawaban

Sesungguhnya tidak ada ketentuan yang mewajibkan tergugat untuk memberikan


jawaban penggugat. Di dalam HIR sendiri sebenarnya tidak ada ketentuan yang mewajibkan
tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Dalam Pasal 121 ayat 2 HIR (Pasal 145 ayat 2
Rbg) hanya menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik secara tertulis maupun lisan. 5
Namun sebenarnya jawaban dapat dianggap penting bagi tergugat karena dalam jawabanlah
tergugat dapat mengemukakan argumentasi yang bisa menguntungkan posisinya. Jawaban
tergugat diajukan setelah usaha perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil. Akibat
hukum dari adanya jawaban ialah penggugat tidak diperkenankan mencabut gugatannya kecuali
dengan persetujuan dari pihak tergugat. Jawaban tergugat dapat teridir dari dua macam, yaitu:6

4
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2013,
Hlm. 114.
5
Ibid, Hlm. 126.
6
Retnowulan, Loc.Cit, Hlm. 37.

3
1. Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut eksepsi atau
tangkisan
2. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale).
Jawaban tergugat yang langsung mengenai pokok perkara hendaknya dibuat secara jelas,
pendek dan berisi, serta langsung menjawab pokok persoalan dengan mengemukakan alasan-
alasan yang memiliki dasar. Jawaban yang mengenai pokok perkara dapat berupa pengakuan,
bantahan atau penyangkalan, dan referte. Pengakuan yaitu jawaban yang membenarkan isi
gugatan, baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya.7 Dengan kata lain artinya apa yang
digugat oleh penggugat terhadap tergugat diakui kebenarannya oleh tergugat. Jika tergugat
pada jawaban pertama mengakui, maka dalam jawaban berikutnya sampai ketingkat banding,
tergugat tetap terikat dengan pengakuan itu, artinya pengakuan itu tidak dapat ditarik kembali. 8
Sedangkan bantahan atau penyangkalan berarti tidak membenarkan atau tidak mengakui isi
gugatan penggugat. Pasal 113 Rv mensyaratkan bahwa bantahan tergugat harus disertai dengan
alasan-alasan. Bantahan ini juga dapat meliputi keseluruhan atau sebagain isi gugatan karena
ada kemungkinan bahwa tergugat mengakui sebagian dan membantah bagian lain dari isi
gugatan. Mengenai sangkalan yang langsung mengenai pokok perkara, Pasal 136 HIR tidak
mengharuskan untuk diajukan pada sidang awal, tetapi bisa diajukan selaam proses berjalan.
Kemudian ada referte yang perlu dibedakan dengan pengakuan. Meskipun keduanya
merupakan jawaban yang tidak bersifat membantah, referte sendiri berarti menyerahkan
segalanya kepada kebijaksanaan hakim dengan tidak membantah dan tidak pula membenarkan.

3. Eksepsi

Mengenai jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara atau lazimnya disebut
eksepsi. Eksepsi dapat dikelompokkan dalam dua macam, yaitu eksepsi prosesuil (procesueel)
dan eksepsi materiil.

a. Eksepsi Prosesuil (procesueel)


7
Sudikno, Op.Cit, Hlm.126
8
Yulia, Loc.Cit, Hlm. 44.

4
Eksepsi prosesuil adalah eksepsi yang mendasarkan atau menyangkut pada hukum acara
perdata. Eksepsi ini terdiri dari eksepsi yang menyangkut kompetensi absolut dan kompetensi
relatif. Eksepsi kompetensi atau kewenangan absolut adalah eksepsi yang menyatakan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tertentu, dikarenakan persoalan
yang menjadi dasar gugatan tidak termasuk kewenangan pengadilan negeri, tetapi merupakan
kewenangan badan peradilan lain.9 Mengenai eksepsi kompetensi absolut ini diatur dalam
Pasal 134 HIR. Contoh eksepsi kewenangan absolut adalah perkara perceraian, bagi orang
yang beragama Islam bukan wewenang pengadilan negeri melainkan wewenang pengadilan
agama. Sebaliknya perceraian antara seorang suami yang beragama Islam dengan istri yang
beragama Kristen merupakan wewenang pengadilan negeri bukan pengadilan agama.
Mengenai eksepsi kompetensi absolut, dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan
perkara berlangsung, bahkan hakim karena jabatannya untuk memecahkan soal berkuasa atau
tidaknya beliau dalam memeriksa persoalan tersebut tanpa menunggu diajukan keberatan dari
pihak yang berperkara.
Eksepsi kompetensi relatif adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri
tertentu adalah tidak berkuasa mengadili perkara tertentu. Contoh eksepsi kewenangan relatif,
Gugatan yang diajukan oleh pengugat salah alamat atau keliru karena yang berwenang untuk
mengadili perkara tersebut adalah Pengadilan Negeri Jakarta Timur, bukan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Eksepsi ini diatur dalam pasal-pasal 125 (2), 133, dan 136 HIR. Eksepsi
kompetensi relatif tidak diperbolehkan diajukan setiap waktu, melainkan harus diajukan pada
permulaan sidang yaitu sebelum tergugat menjawab pokok perkara secara lisan atau tertulis.10
Pernyataan eksepsi tersebut itu tidak akan diperhatikan lagi, kalau tergugat telah
mengemukakan jawaban atas pokok perkara.
Berbagai eksepsi prosesuil lain adalah eksepsi bahwa persoalan yang sama telah pernah
diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (ne bis in idem),
Eksepsi bahwa persoalan yang sama sedang diperiksa oleh pengadilan negeri yang lain atau
masih dalam taraf banding atau kasasi, dan eksepsi bahwa yang bersangkutan tidak
mempunyai kualifikasi/sifat untuk bertindak. 11

9
Retnowulan, Op.Cit, Hlm. 39.
10
Ibid, Hlm. 38
11
Loc.Cit.

5
b. Eksepsi Materiil
Eksepsi materiil adalah ekepsi yang didasarkan pada hukum perdata materiil. Eksepsi
materiil terbagi dalam dua macam, yaitu eksepsi dilatoir dan eksepsi peremptoir. 12 Eksepsi
dilatoir yaitu menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan karena
penggugat telah memberikan penundaan pembayaran. Sedangkan eksepsi peremptoir ialah
eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan, mislanya karena gugatan telah diajukan
lampau waktu atau kadaluarsa, atau utang yang menjadi dasar gugatan telah dihapus.
Jika eksepsi ditolak oleh pengadilan negeri karena tidak beralasan, maka dijatuhkan
putusan sela dan dalam putusan tersebut juga diperintahkan agar kedua belah pihak
melanjutkan perkara tersebut. Selanjutnya pokok perkara diperiksa dan pada akhirnya
dijatuhkan putusan akhir..

4. Rekonvensi
Rekonvensi adalah gugatan balasan atau gugatan balik yang diajukan oleh tergugat
terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka. Rekonvensi yang
diajukan tergugat ini sebenarnya adalah jawaban tergugat terhadap gugatajn penggugat atas
perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. 13 Dalam hal ini, penggugat dalam gugatan
rekonvensi adalah merupakan tergugat dalam konvensi. Begitu juga dengan tergugat dalam
rekonvensi adalah tak lain merupakan penggugat dalam konvensi. Istilah konvensi sebenarnya
merupakan istilah untuk menyebutkan gugatan awal atau gugatan asli. Istilah konvensi sendiri
baru akan dipakai apabila ada rekonvensi yang diajukan oleh pihak tergugat.
Gugatan Rekonvensi diatur dalam Pasal 132a dan 132b HIR, juga 157 dan 158 Rbg.
Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, ….oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan
untuk mengajukan gugatan melawan, artinya unutk menggugat kembali penggugat, maka
tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, tetapi cukup dengan mengajukan gugatan
pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya. Dari pasal
tersebut dapat dipahami bahwa dimungkinkan dua gugatan diperiksa secara bersamaan dalam
waktu yang sama, di tempat yang sama, oleh majelis hakim yang sama dan diputus dalam satu
putusan pengadilan. Dengan diselesaikannya sekaligus dalam satu putusan, maka pertimbangan
hukumnya dalam putusan tersebut memuat dua hal, yaitu pertimbangan hukum konvensi dan
12
Loc.Cit.
13
Yulia, Op.Cit, Hlm. 44.

6
pertimbangan hukum rekonvensi. Rekonvensi sendiri pada hakikatnya adalah kumulasi atau
gabungan dua tuntutan yang bertujuan untuk menghemat biaya, mempermudah prosedur, dan
menghindarkan putusan-putusan yang bertentangan satu sama lainnya. 14 Tuntutan rekonvensi
juga terdapat pengecualiannya yang diatur dalam (Pasal 132a (1) No. 1, 2, 3 HIR, 157, 158 Rbg)
antara lain:
a. Bila penggugat dalam konvensi bertindak karena suatu kualitas tertentu, sedangkan
tuntutan rekonvensi mengenai diri penggugat pribadi atau sebaliknya. Contohnya bila
penggugat bertindak sebagai wali, maka rekonvensi tidak boleh ditujukan kepada
penggugat secara pribadi;
b. Bila pengadilan negeri yang memeriksa gugat konvensi tidak berwenang memeriksa
gugat rekonvensi;
c. Dalam perkara yang berhubungan dalam perlaksanaan putusan.15
Dalam gugatan rekonvensi tidak berlaku ketentuan mengenai kompetensi relatif. Artinya,
diperkenankan untuk melanggar kekuasaan relatif tetapi tidak diperkenankan apabila melanggar
kompetensi atau kekuasaan absolut. Dalam hal ini berarti baik konvensi maupun rekonvensi
diperiksa oleh hakim yang sama. Ini merupakan pengecualian terhadap azas bahwa gugat harus
diajukan di tempat tinggal tergugat (actor sequitor forum rei).

5. Replik
Replik ialah jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik
berasal dari dua kata yakni “re” yang artinya kembali dan “pliek” yang berarti menjawab. Replik
merupakan tahap yang dilakukan setelah proses pengajuan jawaban tergugat di pengadilan.
Replik dilakukan untuk meneguhkan gugatannya (gugatan penggugat) tersebut dengan cara
mematahkan berbagai alasan dalam penolakan yang dikemukakan tergugat di dalam jawabannya.
Replik penggugat ini bisa juga berisi pembenaran terhadap suatu jawaban tergugat atau juga
boleh jadi penggugat menambahkan keterangan dengan maksud untuk memperjelas dalil yang
diajukan penggugat di dalam gugatannya tersebut.

6. Duplik

14
Sudikno, Op.Cit, Hlm. 130.
15
Ibid, Hlm.132.

7
Setelah penggugat mengajukan replik, maka terdapat duplik sebagai tahapan pemeriksaan
selanjutnya. Duplik adalah jawaban tergugat terhadap suatu replik yang diajukan oleh penggugat.
Sama juga halnya dengan replik, duplik ini juga bisa diajukan baik dalam bentuk tertulis maupun
dalam bentuk lisan.16 Duplik ini diajukan oleh tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang
pada lazimnya berisi suatu penolakan terhadap suatu gugatan pihak penggugat. Dalam membuat
duplik ini tergugat diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-dalilnya yang
dimuat dalam jawaban. Bila terdapat eksepsi dalam jawaban yang kemudian eksepsi tersebut
ditanggapi oleh penggugat dalam replik, maka tergugat dalam tahap ini harus memuat dalil-dalil
yang pada dasarnya semakin memperkuat dalilnya semula. Bila perlu dalil tersebut sekaligus
juga harus dapat mematahkan atau setidaknya melemahkan dalil yang dikemukakan penggugat
dalam repliknya.

DAFTAR PUSTAKA

Ery Agus. Duplik Sebagai Upaya Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi Dalam


Mempertahankan Argumentasi Dalam Jawaban Atas Gugatan Penggugat
Konvensi/Tergugat Rekovensi. Law Development & Justice Review. No.1. Vol. 1. 2018.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek. Bandung:Mandar Maju. Cetakan ke-1. 2019.

Sudikno Mertukusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka. 2013.

16
Ery Agus, Duplik Sebagai Upaya Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi Dalam Mempertahankan
Argumentasi Dalam Jawaban Atas Gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi, Law Development & Justice
Review, No.1, Vol. 1, 2018, Hlm. 105.

8
Yulia. Hukum Acara Perdata. Aceh: Unimal Press. Cetakan 1. 2018.

Anda mungkin juga menyukai