Anda di halaman 1dari 10

Kelompok III

PENCABUTAN SURAT GUGATAN

A. Pencabutan Surat Gugatan Pengetian

Pencabutan surat Gugatan adalah tindakan untuk menarik kembali suatu gugatan yang telah di daftarkan di Pengadilan,
hal ini terjadi karena Penggugat tidak ingin melanjutkan gugatannya atau juga adanya kekeliruan dari Penggugat dalam
mengajukan gugatannya. Pencabutan Gugatan dapat dilakukan sebelum gugatan itu di periksa di Persidangan atau sebelum
tergugat memberikan jawabannya atau sesudah diberikan jawaban oleh tergugat. HIR dan RBG tidak mengatur tentang
pencabutan Gugatan ini, untuk merujuk masalah pencabutan gugatan ini maka ada diatur dalam Pasal 271 RV yang menentukan
bahwa gugatan dapat dicabut oleh Penggugat sebelum tergugat membe rikan jawaban. Bila mana tergugat telah memberikan
jawabannya, maka gugatan tidak dapa dicabut atau ditarik kembali kecuali di setujui oleh tergugat jika Pencabutan gugatan
dilakukan sebelum perkara di periksa di Persidangan maka tergugat dianggap secara resmi belum terkena dampak
kepentingannya, maka dalam hal ini tidak perlu ada Persetujuan dari Penggugat, akan tetapi jika pencabutan itu terjadi setelah
tergugat memberikan jawabannya atas gugatan Penggugat maka secara resmi dianggap tergugat telah terserang kepentingannya
untuk itu bila dilakukan pencabutan gugatan oleh Penggugat perlu dimintakan persetujuan dari Tergugat. Jika Gugatan di cabut
sebelum tergugat memberikan jawabannya maka penggugat boleh mengajukan lagi gugatannya yang telah di cabut. Akan tetapi
jikalau pencabutan gugatan dilakukan sesudah
tergugat memberikan jawabannya maka dianggap bahwa Penggugat telah melepaskan haknya sehingga tidak boleh
mengajukannya lagi gugatan tersebut dalam perkara yang sama1.

Adapun undang-undang yang terkait dengan pencabutan surat gugatan dalam hukum acara perdata adalah pasal 271
ayat (1) dan (2) dari kitab undang-undang perdata ( KUHPerdata) 2. Dalam alinea 1 pasal 271 Rv diatur bahwa penggugat dapat
mencabut perkaranya, selama tergugat belum menyampaikan jawaban atas gugatan tersebut. Sedangkan menurut alinea 2 pasal
271 Rv, jika tergugat sudah menyampaikan jawaban atas gugatan, maka pencabutan gugatan hanya boleh dilakukan dengan
persetujuan pihak tergugat3.

1. Pencabutan sebelum disidangkan

Pencabutan surat gugatan sebelum disidangkan adalah hak yang melekat pada diri

penggugat. Pencabutan gugatan dapat dilakukan sebelum memasuki tahap pemeriksaan

atau setelah memasuki tahap pemeriksaan. Pencabutan gugatan sebelum tergugat

menyampaikan jawaban dapat dilakukan tanpa persetujuan tergugat karena kepentingan

tergugat belum terserang. Namun, pencabutan gugatan setelah tergugat memberikan

jawaban memerlukan persetujuan tergugat. Pencabutan surat gugatan harus dilakukan di

hadapan ketua pengadilan atau panitera dan dibuat akta pencabutan yang ditandatangani

oleh penggugat, ketua pengadilan, atau panitera. Pencabutan surat gugatan dapat
dilakukan
dengan mengajukan surat permohonan pencabutan yang ditujukan dan disampaikan

kepada ketua pengadilan. Pencabutan secara lisan pada prinsipnya tidak sah dan harus
1
2
ditolak, kecuali dalam keadaan tertentu yang memenuhi syarat. Pencabutan surat gugatan

harus dilakukan sebelum tergugat menyampaikan jawaban atau sebelum perkara


diperiksa.

2. pencabutan setelah disidangnkan

Jika pencabutan surat gugatan dilakukan setelah persidangan, maka hal tersebut

dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan pencabutan gugatan kepada majelis

hakim. Namun, pencabutan gugatan setelah persidangan memerlukan persetujuan dari

tergugat dan harus dilakukan dengan alasan yang kuat dan jelas. Selain itu, jika tergugat

menyetujui pencabutan gugatan, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan atau

penetapan pencabutan. Putusan atau penetapan ini akan menyebabkan penyelesaian

gugatan (perkara) menjadi bersifat final, yang berarti sengketa antara penggugat dan

tergugat berakhir. Atas pencabutan itu, dibuat akta pencabutan yang ditandatangani

penggugat dan ketua pengadilan/panitera, dengan tujuan agar tercipta dan terbina
kepastian
hukum. Namun, jika tergugat menolak pencabutan gugatan, maka sidang akan
dilanjutkan

dan perkara akan diputuskan oleh majelis hakim4.

B. Penggabungan Gugatan

Penggabungan gugatan adalah penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam
satu
gugatan. Terdapat dua bentuk penggabungan gugatan, yaitu kumulasi subjektif dan kumulasi objektif5.

1. kumulasi subjektif

Kumulasi subjektif adalah bentuk penggabungan gugatan di mana yang digabung

adalah pihak dalam gugatan. Contohnya adalah ketika dalam satu surat gugatan terdapat

beberapa orang tergugat, sedangkan penggugat hanya satu orang. Dalam hal ini, kumulasi
3
subjektif terjadi pada pihak tergugat. Selain itu, kumulasi subjektif juga dapat terjadi pada

pihak penggugat, di mana beberapa orang penggugat mengajukan gugatan terhadap satu
orang tergugat atau beberapa orang tergugat6.

2. kumulasi objektif

Kumulasi objektif adalah bentuk penggabungan gugatan di mana yang digabung

adalah materi gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa gugatan dalam satu surat

gugatan, Contoh kumulasi objektif adalah penggabungan gugatan perceraian dan harta

bersama dalam satu surat gugatan. Dalam hal ini, penggugat mengajukan gugatan
terhadap

tergugat untuk perceraian dan pembagian harta bersama dalam satu surat gugatan7.

Dalam mengambil keputusan terkait penggabungan gugatan, hakim akan

mempertimbangkan berbagai faktor, bukti, dan argumen yang disampaikan oleh kedua belah pihak

sebelum mengambil keputusan. Hakim akan memastikan bahwa keputusan yang diambil

didasarkan pada hukum dan fakta yang ada dalam perkara tersebut. Selain itu, hakim juga akan mempertimbangkan putusan-
putusan sebelumnya yang berkaitan dengan kasus serupa8.

C. Pemberian Kuasa Perkara Perdata

Sesuai dengan perundang-undangan Pasal 1795 KUH Perdata menyebutkan bahwa isi pemberian kuasa sebagai
berikut :
1) Pasal 1795 KUH Perdata menyebutkan bahwa isi pemberian kuasa sebagai berikut:

a. Pemberian Kuasa secara Khusus yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih.
b. Pemberian Kuasa secara Umum yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.
2) Pasal 1797 KUH Perdata menyebutkan bahwa si Kuasa tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apapun yang
melampaui kuasanya: kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu urusan dengan jalan perdamaian,
sekali-kali tidak kekuasaan untuk mengandung menyerahkan perkaranya kepada putusan wasit.
Pada dasarnya pembubuhan materai adalah hanya berfungsi sebagai suatu cara untuk mengenakan pajak yang harus
dibayar kepada negara terhadap suatu surat-surat atau dokumen- dokumen yang dihasilkan atas perbuatan hukum tertentu dan
dimaksudkan akan dijadikan sebagai alat bukti. Sehingga surat kuasa yang tidak bermeterai, bukanlah berarti bahwa surat kuasa
tersebut menjadi tidak sah. Surat Kuasa yang tidak bermeterai tersebut tetap dapat dijadikan sebagai alat bukti, hanya saja sesuai
undang-undang tentang materai bahwa perjanjian termasuk juga surat kuasa termasuk dokumen yang wajib dikenakan bea
meterai, maka terhadap surat kuasa yang tidak ada meterainya tersebut harus dilunasi terlebih dahulu bea meterainya dengan cara
yang telah diatur dalam Undang-undang tentang meterai.

4
Cara untuk melunasi bea meterai atas surat kuasa yang tidak bermeterai adalah dibelikan meterai di Kantor Pos dan
Giro, kemudian ditempelkan dalam lembar kertas surat kuasa tersebut,

5
kemudian dimintakan cap pos atau istilah lainnya adalah Nazekling. Pemberi Kuasa dapat saja mencabut wewenang kuasa setiap
saat dan menuntut pengembalian kuasa untuk menghindari penyalahgunaan Surat Kuasa yang telah dicabut tersebut. Apabila
menjalankan seseorang suatu tidak urusan, dapat maka alternatifnya adalah menunda urusan tersebut sampai ia mampu
melakukannya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk melakukannya. Mewakilkan kepada orang lain untuk
menjalankan suatu urusan itulah yang dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan pemberian kuasa. Terdapat beberapa pengertian
tentang surat kuasa dan masalah-masalah yang perlu dibahas dalam surat kuasa yang ada hubungannya dengan kegiatan kita
sehari-hari baik secara yuridis maupun dalam kenyataan dilapangan. Berikut ini penulis sengaja menyajikan pembahasan tentang
pemberian kuasa (surat kuasa) dalam bentuk tanya jawab guna lebih mempermudah para pembaca untuk memahaminya.
Perlu dicermati dan digarisbawahi dalam pengertian diatas adalah definisi menurut KUH Perdata, dimana disitu
terdapat kata kata “menyelenggarakan suatu urusan” dan kata-kata “untuk atas namanya” ditinjau dari sisi yuridis kata-kata
“menyelenggarakan suatu urusan” berarti bahwa disitu terdapat suatu perbuatan hukum yang akan mengakibatkan akibat hukum
tertentu sedangkan kata-kata “untuk atas namanya” berarti adanya sesrorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu. Sehingga dapat diartikan bahwa orang yang menerima kuasa dalam melakukan urusan
tersebut adalah mewakili dan dalam hal ini berarti sipenerima kuasa berbuat untuk dan atas nama si pemberi kuasa, serta akan
menimbulkan hak dan kewajiban baik dari si pemberi kuasa maupun penerima kuasa tersebut.9

D. Gugurnya Suatu Gugatan, Putusan Verstek, dan Mediasi

1) Gugurnya Suatu Gugatan

Pengguguran suatu gugatan telah diatur dalam Pasal 124 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang berbunyi :
“Jika penggugat sudah dipanggil dengan patut, tidak menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu dan tidak juga
menyuruh seorang kuasa untuk hadir, maka gugatannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar biaya perkara,
akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi setelah membayar biaya perkara.”10
Hal ini terjadi karena penggugat dalam persidangan pertama yang telah ditentukan harinya

dan telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir atau tidak menyuruh kuasanya untuk datang

menghadiri persidangan tersebut. Untuk itu, apabila pada hari sidang yang telah ditentukan untuk

mengadili perkara tertentu salah satu pihak, baik pihak penggugat maupun pihak tergugat tidak

hadir atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadap, diberlakukan acara istimewa yang diatur

dalam Pasal 124 dan Pasal 125 HIR.11 Bersamaan dengan itu la dihukum untuk membayar
ongkos
perkaranya. Setelah itu, ia berwenang untuk mengajukan gugatannya lagi sesudah membayar
lebih

dahulu biaya yang diwajibkan, Pasal 125 menyebutkan:

a. Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, a tidak pula

menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipu ia dipanggil dengan


patut,
maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada
6
pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan. Atau
b. Akan tetapi jika tergugat, di dalam surat jawabannya yang tersebut pada Pasal
121,
mengemukakan perlawanan (exceptie) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa

memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir, ketua

pengadilan Negeri wajib memberi keputusan tentang perlawanan itu, sesudah

didengarnya penggugat dan hanya jika perlawanan itu tidak diterima, maka ketua

pengadilan negeri memutuskan tentang perkara itu.

c. Jika surat gugat diterima, maka atas perintah ketua diberitahukanlah keputusan

pengadilan negeri kepada orang yang dikalahkan itu serta menerangkan pula

kepadanya, bahwa ia berhak memajukan perlawanan (verzet) di dalam tempo dan

dengan cara yang ditentukan pada pasal 129 tentang keputusan itu di muka

pengadilan itu juga.

d. Panitera mencatat di bawah surat putusan itu kepada siapakah dulunya

diperintahkan menjalankan pekerjaan itu dan apakah yang diterangkan orang itu

tentang hal itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.

Untuk memutuskan gugur gugatan penggugat, isi gugatan tidak perlu diperiksa sehingga

putusan gugur itu tidak mengenai isi gugatan. Putusan gugur itu dijatuhkan demi kepentingan

tergugat yang hadir di persidangan Dengan dinyatakan gugur gugatan penggugat, perkaranya

dianggap selesai. Akan tetapi, penggugat diberi kesempatan untuk mengajukannya lagi dengan

membayar biaya perkara.

7
Digugurkannya gugatan penggugat tidak hanya apabila penggugat tidak datang saja, tetapi

juga kalau penggugat tidak mengajukan perkaranya di muka hakim perdamaian desa, meskipun

telah diperintahkan oleh hakim (ps. 135a HIR). Apabila penggugat pada hari sidang pertama

datang, tetapi pada hari sidang-sidang berikutnya tidak datang, perkaranya diperiksa secara

contradictoir.

Sebelum gugatan digugurkan, hakim harus memeriksa berita acara pemanggilan pihak-

pihak dengan teliti, apakah pihak penggugat telah dipanggil dengan patut dan saksama.
Seandainya
cara pemanggilan tidak dilakukan sebagaimana mestinya, hakim tidak boleh menggugurkan

gugatan, tetapi akan menyuruh juru sita untuk memanggil pihak penggugat sekali lagi. Biaya

pemanggilan yang tidak sah tersebut seharusnya menjadi tanggungan dari juru sita yang telah

melakukan pemanggilan secara tidak sah itu. Setidak-tidaknya juru sita yang tidak cakap harus

diberi teguran. Jika ia melakukan kesalahan seperti itu berkali-kali, terhadapnya hendaknya

diambil tindakan administratif, misalnya dengan melarangnya melakukan panggilan untuk

semetara waktu.

Apabila pihak penggugat telah dipanggil dengan patut dan telah mengirim orang atau surat

yang menyatakan bahwa pihak penggugat berhalangan secara sah (misalnya, karena ia sedang
sakit
payah) atau pihak penggugat telah mengutus wakilnya, tetapi surat kuasa yang telah ia berikan

kepada wakilnya itu tidak memenuhi persyaratan (di dalamnya terdapat kesalahan), hakim harus

bijaksana untuk mengundurkan sidang.12

2) Putusan Verstek

8
Mengenai bentuk putusan verstek yang dapat dijatukan, diatur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR, Pasal 149 RBg, dan Pasal
78 Rv.46 Pasal 125 ayat (1) HIR berbunyi: “Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula
menyuruhorang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan tidak hadir
(verstek), kecuali kalau nyata kepada PN bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan”.13 Putusan verstek
merupakan putusan yang dijatuhkan secara sepihak tanpa adanya bantahan atau perlawanan sehingga hakim hanya akan
memeriksa isi gugatan berdasarkan suatu proses pemeriksaan yang sangat sederhana, bahkan jika kita melihat rumusan Pasal 125
ayat (1) HIR, maka cenderung sangat singkat dan sederhana tanpa adanya proses penundaan sidang untuk sekedar merumuskan
putusan yang akan dijatuhkan.14
Berdasarkan Pasal 125 ayat (1) HIR jika gugatan tersebut tidak melawan hak dan memiliki alasan, maka gugatan
tersebut diterima, kalimat undang-undang tersebut seakan memberikan pesan kepada hakim untuk mengabulkan seluruh gugatan
penggugat seandainya gugatan tersebut tidak melawan hak dan memiliki alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum. Dalam hal
suatu gugatan ditolak, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh penggugat adalah banding ke pengadilan tinggi berdasarkan
ketentuan Pasal 6 UU No. 20 Tahun 1947.15
Putusan Verstek harus diberitahukan kepada orang yang dikalahkan dan kepadanya diterangkan, bahwa ia berhak untuk
mengajukan perlawanan terhadap putusan Verstek tersebut kepada pengadilan negeri yang sama, dalam tenggang waktu dan
dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 129 HIR. Di bawah surat putusan verstek ditulis siapa yang diperintahkan untuk
menjalankan pemberitahuan putusan tersebut secara lisan atau tertulis.
Sebagaimana halnya berita acara pemanggilan pihak-pihak untuk menghadap sidang pengadilan negeri, surat
pemberitahuan putusan perestek dibuat oleh juru sita atas sumpah jabatan dan merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu, surat pemberitahuan putusan verstek harus menggambarkan keadaan yang benar-
benar terjadi dan menyebutkan dengan siapa juru sita tersebut bertemu dan apa yang dikatakan oleh yang bersangkutan, dengan
maksud agar putusan tersebut benar-benar diketahui oleh pihak yang kalah dan apabila ia menghendakinya dapat mengajukan
perlawanan terhadap putusan verstek tersebut, dalam tenggang waktu yang menurut cara yang telah ditentukan dalam Pasal 129
HIR.
Karena pentingnya pekerjaan ini, juru sita yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik harus diberi teguran. Apabila
perlu, dengan memberikan newakilinya sanksi administratif demi menjaga nama baik dan kewibawaan pengadilan.16
3) Mediasi

Menurut Subekti, mediasi adalah suatu perjanjian di antara para pihak yang dibuat secara tertulis untuk menyelesaikan
atau menghentikan suatu perkara. Perdamaian dapat diupayakan oleh pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar persidangan. 17
Apabila terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan memenuhi musyawarah, pihak yang dirugikan haknya dapat
mengajukan gugatan. m, padaha Pihak ini disebut penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang memberikan
sengketa tersebut. Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang terlibat dalam sengketa perdata memilih jalan medias baik yang
diupayakan oleh hakim, pengacara, maupun kehendak dari p pihak yang beperkara. Hal ini merupakan suatu gejala positif yang
patut pare diperhatikan secara saksama.

Dilihat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menetapkan medias sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara
perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi (PERMA Pasal 2).
Mediasi dilakukan sebagai tahap awal proses persidangan (setelah sidang pertama), dimana Hakim mediator/mediator akan
memproses sebuah perkara setelah sebelumnya diberitahu oleh Ketua Majelis (Pasal 11). Pemeriksaan perkara selanjutnya berada
pada tangan mediator, baik proses pemanggilan maupun persidangannya. Hasil dari proses medias hanya ada dua kemungkinan,
yaitu berhasil (kemudian dibuatkan akta perdamaian) dan tidak berhasil. Dalam keadaan terakhir, seluruh proses mediasi maupun
materinya tidak dapat dipertimbangkan dalam persidangan perkara berikutnya (Pasal 19).
Pemberlakuan tahap mediasi dalam suatu persidangan dilakukan setelah sidang pertama atau sebelum pemeriksaan
perkara dilakukan. Pasal 130 HIR menyebutkan bahwa:
a. Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan
ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.
b. Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte)
tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana
akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
c. Keputusan yang sedemikian tidak diizinkan dibanding.

9
d. Jika pada waktu mencoba akan memperdamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka
peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.18

10

Anda mungkin juga menyukai