Anda di halaman 1dari 14

3.

Syarat dan Alasan Penyitaan

Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak setiap gugatan perkara perdata

selalu diikuti dengan tidnakan sita jaminan. Karenanya tindakan penyitaan

merupakan upaya hukum dan tindakan hukum “pengecualian”.

Menyikapi hal tersebut, maka dalam praktek hukum acara perdata

biasanya di butuhkan suatu syarat dan alasan mengapa penyitaan perlu dilakukan.

Adapun syarat dan alasan penyitaan yakni sebagai berikut:

A. Syarat Pengajuan Penyitaan.

Penyitaan tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-

syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Dalam praktek kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan

sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan.

Syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita pada hakim.

Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan

tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan

berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim

tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari penggugat

yang mengajukan permohonan sita.

a. Sita Berdasarkan Permohonan.

Biasanya dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama di

dalam surat gugatan. Bentuk dan tata cara pengguna permohonan sita

jaminan yang seperti ini lazim dijumpai. Penggugat mengajukan


permohonan sita secara tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus

bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. Pengajuan permohonan

sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan pokok.

Apabila permohonan sita diajukan bersama didalam gugatan,

perumusan permohonan sita di dalam surat gugatan biasanya

mengikuti pedoman yang secara sistematis, sebagai berikut: Pertama,

Gugatan sita dirumuskan setelah uraian posita atau dalil gugat. Kedua,

Permintaan pernyataan sah biasanya diajukan pada petitum kedua.

Ada kalanya permohonan sita diajukan terpisah dari pokok

perkara, pada bentuk permohonan ini penggugat membuatnya atau

menyiapkannya dalam bentuk tersendiri yang terpisah dari gugatan

pokok perkara. Dalam praktek di samping gugatan perkara, penggugat

dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan

dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri

secara lisan. Bemtuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang

terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti

dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita

secara lisan.

Dalam ketentuan pasal 51 RUU Hukum Acara Perdata dinyatakan

bahwa permohonan sita jaminan hanya dikabulkan, jika penggugat

dapat mengajukan adanya dugaan bahwa tergugat berusaha untuk

memindahtangankan atau menyembunyikan benda miliknya dengan

maksud merugikan pihak penggugat.


b. Memenuhi tenggang waktu pengajuan sita.

Menurut Yahya Harahap (1991: 25), tenggang waktu pengajuan sita

adalah sampai batas waktu kapan permohonan sitadapat diajukan dan

kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan yang

dibenarkan oleh hukum.

Penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam

pasal 261 ayat (1) RBg. Memperhatikan kekuasaan tersebut selain

menentukan tenggang waktu pengajuan sita, namun sekaligus juga

mengandung permasalahan tentang instansi tempat pengajuan sita.

Menurut ketentuan undang-undang, pengajuan permohonan sita dapat

dilakukan dengan cara sebagai berikut: Pertama, Selama putusan

belum dijatuhkan atau selama berkekuatan hukum tetap. Kedua, Sejak

mulai berlangsung pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri

sampai putusan dijatuhkan. Ketiga, selama putusan belum dieksekusi.

Dalam ketentuan pasal 56 RUU Hukum Acara Perdata hal ini

dijelaskan pula yakni sebagai berikut:

(1) Sita jaminan setiap waktu dapat diangkat atas permohonan

penggugat.

(2) Sita jaminan setiap waktu dapat diangkat atas permohonan tergugat

yang berutang setelah menyerahkan sejumlah uang sesuai dengan

nilai gugatan kepada kepaniteraan pengadilan untuk disimpan

sebagai jaminan dengan terlebih dahulu mendengar pihak

penggugat.
Berdasarkan hal tersebut kiranya permohonan untuk mengajukan

penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri harus berdasarkan ketentuan

waktu menurut undang-undang yang berlaku. Memang dalam ketentuan

RUU Hukum Acara Perdata tidak ada menjelaskan sampai kapan waktu

permohonan penyitaan tersebut, namun dengan bertitik tolak pada

pemahaman pasal 56 RUU Hukum Acara Perdata tersebut jelaslah

tenggang waktu pengajuan sita harus mendapat perhatian juga.

c. Permohonan sita harus berdasarkan alasan.

Permohonan sita yang telah dimohonkan tadiselayaknya

disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali

hakim mau mengabulkan sita apabila tidak dibarengi dengan suatu

alasan sita yang kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat sita atau

penyitaan, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan,

serta menimbang alasan sita tersebut dengan teliti. Jangan sampai

permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan tersebut

dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.

Sebelum permohonan sita dikabulkan, hakim berhak dan

berwewenang memeriksa fakta-fakta tentang adanya dugaan atau

persangkaan berupa petunjuk-petunjuk penggelapan yang hendak

dilakukan tergugat atas barang-barang yang menjadi objek sengketa

tersebut. Apabila alasan sita memang telah sesuai dengan aturan-aturan

yang berlaku dan telah memenuhi unsur persangkaan hakim bahwa

perlu dilakukan sita, maka permohonan sita dapat dikabulkan.


Sebaliknya apabila alasan permohonan sita tidak sesuai dengan fakta-

fakta, aturan-aturan, dan unsur-unsur penilaian pengangkatan hakim,

maka sewajarnya permohonan sita ditolak. Hal ini ditujukan untuk

melindungi hak dari tergugat juga. Walalupun esensi atau alasan utama

sita terletak pada “tergugat akan menggelapkan barang yang menjadi

objek perkara”, namun perlu diperhatikan pula unsur sita jaminan

jangan sampai terlalu merugikan pihak tergugat.

d. Permohonan sita diajukan pada instansi yang berwenang

Pasal 261 ayat (1) RBg dapat kita lihat tentang batas pengajuan

tenggang waktu sita. Menurut pendapat sebagian ahli hukum acara,

hanyalah Pengadilan Negeri yang mempunyai kewenangan atas sita.

Dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang diberikan kepada

Pengadilan Tinggi (PT). Menurut pendapat ini aturan penerapan

penyitaan sebagai berikut: Pertama, Apabila Pengadilan Negeri (PN)

menolak sita, maka Pengadilan Tinggi (PT) tidak berwewenang

memerintahkan PN untuk melakukan sita. Kecuali apabila PN

mencabut permohonan sita, maka PT berwewenang penuh untuk

mengabulkan sita dengan cara membatalkan putusan PN. Kedua,

apabila penggugat menganggap perlu dilakukan penyitaan, sedangkan

perkara sudah pada tingkat banding, maka permohonan tetap diajukan

kepada PN, karena PN berwewenang penuh mengutus pengabulan atau

permohonan sita.
Pendapat lain yang berkembang yakni Pengadilan Tinggi (PT)

berwewenang memerintah sita. Permohonan penyitaan dapat diajukan

kepada Pengadilan Tinggi (PT) selama pokok perkaranya belum belum

diputus oleh pengadilan tingkat banding. Alasannya sesuai dengan

pasal 261 RBg yang di dalamnya terdapat kalimat “Sebelum putusan

memeperoleh kekuatan hukum tetap”. Kalimat tersebut menunjukkan

bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan kepada PT selama pokok

perkaranya belum diputus dalam tingkat banding.

Dalam pasal 57 RUU Hukum Acara Perdata hal demikian pun

sudah diatur, dimana dikatakan bahwa:

(1) Sita jaminan dilakukan oleh juru sita yang telah ditunjuk untuk

itu.

(2) Penyitaan dilakukan dengan dihadirioleh 2 (dua) orang saksi

dari Pengadilan dan lurah, kepala desa, atau nama lain yang

sejenis atau seorang pegawai kelurahan atau pemerintahan desa

dari tempat penyitaan dilakukan serta dapat dihadiri oleh pihak

tergugat sendiri atau seorang anggota keluarganya.

(3) Juru sita wajib membuat berita acara penyitaan yang

ditandatangani oleh juru sita, para saksi, dan tersita apabila

hadir.

Dasar hukum sebagai patokan untuk mengajukan

permohonan penyitaan kepada pejabat atau instansi yang

berwenang sangat penting, mengingat untuk menjaga jangan


sampai terjadi kekeliruan dalam mengajukan permohonan

penyitaan kepada pejabat yang kurang berwenang.

e. Penggugat wajib menunjuk barang yang hendak disita.

Permohonan sita hanya boleh dikabulkan dan diletakkan terhadap

barang-barang yang ditunjuk penggugat. Penunjukkan ini diwajibkan

terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan oasti, baik mengenai

sifat letak, ukuran yang berkaitan dengan identitas barang.

Dalam ketentuan pasal 54 RUU Hukum Acara Perdata disebutkan

sebagai berikut:

(1) Penyitaan atas tanah harus dilakukan ditempat tanah tersebut

terletak dengan mencocokkan batas-batasnya.

(2) Penyitaan atas tanah yang telah terdaftar, maka petugas yang

melakukan penyitaan harus mendaftarkan dengan disertai sehelai

salinan berita acara penyitaan, pada hari penyitaan dilakukan,

kepada: pejabat yang berwenang melakukan pendaftaran tanah

yang daerah hukumnya meliputi daerat tempat tanah yang telah

terdaftar terletak; lurah, kepala desa, atau nama lain yang

sejenisyang daerah hukumnya meliputi tempat tanah yang belum

terdaftar; dan Pengadilan yang melakukan penyitaan tersebut.

B. Alasan penyitaan

Ketentuan pasal 261 RBg maupun pasal 720 rv, menyatakan

alasan-alasan pokok permintaan sita adalah, sebagai berikut:


a) Adanya kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha mencari

akal guna menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, di mana

dilakukan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.

b) Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat yang

objektif, dimana: Pertama, penggugat harus mampu menunjukkan fakta-

fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau

mengasingkan harta kekayaannya, selama proses pemeriksaan perkara

berlangsung. Kedua, penggugat dapat menunjukkan adanya indikasi

objektif tentang adanya upaya menghilangkan atau mengasingkan barang-

barangnya guna menghindari isi gugatan penggugat. Ketiga, hakim harus

mampumelihat bahwa seandainya sita tidak diajukan akan menimbulkan

kerugian dari pihak penggugat.

4. Macam-Macam Sita Jaminan

Penyitaan (beslag) dalam praktek hukum acara perdata terdiri dari beberapa

macam penyitaan, yaitu penyitaan berdasarkan jenisnya, kemudian bentuk-bentuk

penyitaan lainnya berdasarkan prinsip serta, dan bentuk penyitaan berdasarkan

pelaksanaannya.

1. Penyitaan berdasarkan jenisnya.

Pembagian ini berdasarkan posisi hak milik atau di mana benda tersebut

berada sebagai barang objek sengketa. Penyitaan berdasarkan jenisnya,

ada dua macam, yaitu: Pertama, sita jaminan terhadap barang miliknya

sendiri (pemohon). Kedua, sita jaminan terhadap barang milik debitur.


a. Sita Jaminan terhadap Barang Miliknya Sendiri.

Penyitaan ini dilakukan terhadap barang milik kreditur(penggugat)

yang dikuasai oleh orang lain. Sita jaminan ini bukanlah untuk

menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu

hak kebendaan dari pemohon atau kreditur dan berakhir dengan

penyerahan barang yang disita. Sita jaminan terhadap miliknya sendiri

ini ada dua macam: Pertama, Sita Revindicatioir dan; Kedua, Sita

Maritaal.

Sita Revindicatioir diatur dalam pasal 226 HIR, jo Pasal 260 RBg.

Pemilik barang bergerak yang barangnya ada ditangan orang lain dapat

diminta, baik secara lisan maupun tertulis kepada ketua Pengadilan

Negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal, agar

barang tersebut disita. Penyitaan ini disebut Sita Revindicator.

b. Sita Jaminan terhadap Barang Milik Debitur.

Penyitaan inilah yang biasanya disebut Sita Conservatoir. Sita

conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat

dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk

menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan

menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi

tuntutan penggugat.

Sifat dari sita conservatoir ini dapat juga berupa tekanan

apabila,barang sitaan tidak sempat dijual. Hal ini terjadi karena

tergugat telah memenuhi prestasinya sebelum putusan dilaksanakan.


Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permintaan kreditur atau penggugat sesuai

dengan pasal 227 ayat 1 RBg. Ketentuan pasal 227 HIR tersebut secara

garis besar memuat sebagai berikut:

a. Harus ada sangka yang beralasan ,bahwa tergugat sebelum

putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan

menggelapkan atau melarikan barang-barangnya;

b. Barang yang disita ini itu merupakan barang kepunyaan orang

yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat;

c. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang

memeriksa perkara yang bersangkutan;

d. Permohonan harus diajukan dengan surat terulis;

e. Sita Conservatoir dapat dilakukan atau diletakkan baik

terhadap barang yang bergerak dan tidak bergerak.

Dalam ketentuan Pasal 261 RBg, sita jaminan mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut:

(1) Sita jaminan diletakkan atas harta yang disengketakan

status kepemilikannya.

(2) Sita jaminan juga bisa diletakkan terhadap harta

kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau

tuntutan ganti rugi.

2. Penyitaan berdasarkan keadaan hukum terhadap barang yang menjadi

objek sengketa (Prinsip sita)


Terdapat beberapa prinsip sita berdasarkan keadaan hukum mengenai

barang yang menjadi objek sengketa, yakni sebagai berikut:

a. Rijdende Beslag

Adalah sita jaminan yang diletakkan atas harta kekayaan tergugat atas

permintaan penggugat. Dalam rijdende beslag yang disita adalah

sarana perusahaan.

b. Sita Niet Bevinding.

Merupakan sita dimana barang yang ditunjuk penggugat dalam

permohonan sita tidak diketemukan lapangan pada saat pelaksanaan

penyitaan, sehingga mengakibatkan pelaksanaan sita jaminan menjadi

gagal.

c. Sita penyesuaian (Vergelijkende Beslag).

Merupakan permohonan sita yang kedua, yang bertujuan untuk

menyesuaikan diri pada sita pertama (yang terdahulu), dimana barang

secara nyata telah dipertanggungkan kepada pihak lain.

Tata cara penyesuaian dapat kita lihat pada putusan pada Putusan MA

pada tanggal 19 Agustus 1982 No.1326 k/Sip/1981, dimana tata

caranya adalah sebagai berikut: Pertama, Membuat catatan dalam

berita acara. Kedua, isi catatan berisikan tentang penjelasan status

barang yang hendak disita sedang dalam sita jaminan atau sedang

dalam keadaan dianggunkan.

3. Penyitaan berdasarkan pelaksanaannya.

Model penyitaan seperti dapat dibedakan sebagai berikut:


a. Sita persiapan (permulaan)

Merupakan penyitaan yang dipergunakan sebagai persiapan agar

putusan dapat dilakasakan apabila telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap. Sita persiapan bertujuan untuk menjaga harta yang menjadi

sengketa (harta terperkara) agar tidak dijual atau pindahkan haknya

kepada orang lain. Sita ini juga bertujuan untuk memastikan agar

gugatan tidak hampa (illusioner), dan menjaga kepastian objek

eksekusi.

Contoh sita persiapan antara lain, yaitu: Pertama, sita jaminan

(consevatior beslag), kedua, Sita revindikasi (Revindikatoir beslag).

Ketiga, Sita marital (Maritale beslag).

b. Sita eksekusi.

Merupakan sita yang bertujuan untuk melaksanakan lelang eksekusi

harta tergugat guna memenuhi putusan ,apabila keputusan telah

berkuatan hukum yang tetap.sita eksekusi yang merupakan sita yang

sesungguhnya dalam artian sita yang dapat melaksanakan sebuah isi

dari keputusan pengadilan, namun sita eksekusi hanya terbatas

padasengketa utang-piutang dan tuntutan ganti-kerugian saja.

c. Sita lanjutan (Voorgezette beslag).

Sita lanjutan terjadi karena harta kekayaan tereksekusi yang disita

hanya cukup untuk melunasi tagihan pemohon sita pertama ,sedangkan

pemohon selanjutnya (pemohon lain) tidak apa-apa dari pelaksanaan

sita eksekusi tadi (sita pertama). Untuk itu perlu diajukan sita lanjutan
untuk memenuhi tagihan dari pemohon lainya. Selama masih ada harta

kekayaan tergugat,selama itulajh pengadilan dapat memerintah sita

selanjutnya terpenuhi semua utang yang harus dibayar kepada semua

eksekusi. Namun apabila harta kekayaan tereksekusi tidak ada lagi,

tentunya sita lanjutan tidak dapat dilaksakan. Agar sita eksekusi

menjadi adil, maka semua pemohon dimasukan bergabung kedalam

sita eksekusi yang pernah ada, yakni sita eksekusi pertama sekali.

Berarti harta hsl penjualan yang telah dinikmati pemohon eksekusi

harus dibagi rata dengan pemohon eksekusi lainya.

4. Sita berdasarkan jangka waktunya.

Pada pembagian bentuk sita, dalam praktek biasanya dibedakan menjadi

dua macam, yaitu:

a. Sita yang bersifat permanen.

Sita yang bersifat permanen biasanya dikaitkan dengan adanya putusan

yang telah berkuatan hukum tetap. Dengan putusan yang berkuatan

tetap, penyitaan kelak dapat dilanjutkan dengan perintah penyerahan

benda atau barang penggugat. Sita yang bersifat permanen itu bisa

juga dilanjutkan dengan melaksanakan penjualan lelang harta

kekayaan terrgugat guna melunasi hutang tergugat kepada penggugat

dan juga memenuhi peleksanaan putusan.

b. Sita yang bersifat temporer.

Penyitaan yang terletak atas harta sengketa atau harta kekayaan

tergugat dimana sifatnya masih berupa sita persiapan (permulaan)


dapat dikatakan bersifat temporer. Seperti sita jaminan, sita

revindikasi, dan sita marital.

Anda mungkin juga menyukai