INDONESIA
“PENYITAAN DI PENGADILAN AGAMA”
Oleh kelompok V
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam persoalan sita antara lain adalah:
1. Sita jaminan (Conservatoir Beslag) diatur dalam Pasal 227 ayat (1)
Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR), yang berbunyi sebagai
berikut: “Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang
berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan
yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan
menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang
tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka
atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri
dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang
yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan
akan menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu
untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.”
2. Tujuan dari sita jaminan agar barang itu tidak digelapkan atau diasingkan
tergugat selama proses persidangan berlangsung, sehingga pada saat putusan
dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut penggugat dapat
terpenuhi, dengan jalan menjual barang sitaan itu. Dengan demikian,
tindakan penyitaan barang milik tergugat bukan untuk diserahkan dan
dimiliki penggugat (pemohon sita), tetapi untuk melunasi pembayaran utang
tergugat kepada penggugat.
3. Bila sita jaminan dikabulkan oleh hakim, haknya atas benda tersebut menjadi
hilang sementara dan memaksa pemilik benda untuk melakukan prestasi
tertentu. Terkadang ada pemilik barang yang sudah dibebankan sita jaminan
tetap mengalihkan barang tersebut kepada orang lain, termasuk dengan cara
dijual. Perbuatan pemilik barang yang menjual barang yang telah diletakan
sita jaminan, dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 227 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, yang berbunyi: “Barang siapa melaksanakan suatu
hak, padahal ia mengetahui bahwa dengan putusan hakim hak tadi telah
dicabut, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.”
Bila barang yang telah diletakkan sita jaminan tersebut sudah dijual, kewajiban si
tergugat untuk melunasi utang kepada pemohon sita tidak menjadi hilang, selain
karena utang tersebut belum dilunasi, tergugat juga harus bertanggung jawab sampai
seluruh harta pribadinya terhadap perikatan yang telah ia buat. (Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
B. Prinsip-PrinsipdalamPenyitaan
Penyitaan pada prinsipnya dapat diletakkan baik itu terhadap benda bergerak
maupun tidak bergerak guna menjamin pelaksanaan putusan.
Permohonan sita diajukan kepada pengadilan agama yang memeriksa perkara dengan
menyebuntukan:
1. Pihak –pihak dalam perkara.
2. Alasan-alasan permohonan sita.
3. Barang – barang yang dimihonkan sita.
4. Petitum sita.
C. Macam-Macam Sita
1. Sita Revindicatoir
Kata revindicatoir berasal dari kata revundiceer, yang berarti meminta kembali
miliknya. Sita revindicatoir ialah sita terhadap barang milik kreditur (penggugat) yang
dikuasai oleh orang lain (tergugat). Sita Revindicatoir bukanlah untuk menjamin suatu
tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon
atau kreditur dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita. Sita Revindicatoir
diatur dalam pasal 226 HIR, pasal 260 R.Bg.81 Syarat-syarat Sita Revindicatoir:
a. Diajukan oleh pemilik-pemilik barang bergerak yang barangnya ada ditangan
orang lain (dikuasai tergugat)
b. Barang yang dimintakan sita hanyalah barang yang bergerak. Terhadap benda
tetap tidak dapat dimohonkan sita revindicatoir.
c. Barang tersebut adalah milik penggugat/pemohon.
d. Barang tersebut dikuasai oleh tergugat secara tidak sah, atau dengan cara
melawan hukum, atau tergugat tidak berhak atasnya.
e. Sita revindicatoir hanya terbatas atas sengketa hak milik saja.
2. Sita Marital
Sita Marital ialah sita yang diletakkan atas harta perkawinan. Sita Marital diatur
dalam pasal 78 huruf c UU. No. 7/1989 jo pasal 24 PP. No.9/1975, pasal 95 Kompilasi
Hukum Islam. Syarat-syarat Sita Marital:
a. Sita Marital dapat dimohonkan oleh suami atau istri dalam sengketa perceraian,
pembagian harta perkawinan, pengamanan harta perkawinan.
b. Sita Marital dapat diletakkan atas semua harta perkawinan yang meliputi harta
suami, harta istri dan harta bersama suami istri yang disengketakan dalam
pembagian harta bersama.
c. Sita Marital merupakan sengketa kepemilikan dan jaminan pembagian harta
bersama dalam perkawinan.
d. Sita Marital dapat diajukan bersama-sama dalam pemeriksaan perceraian atau
setelah perceraian terjadi
e. Sita Marital untuk mengamankan harta bersama suami istri dapat pula diajukan
meskipun tanpa dibarengi perceraian.
f. Selama masa sita tidak dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk
kepentingan keluarga kecuali dengan izin dari Pengadilan Agama.
E. KewenanganJurusita
Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan. Tentang wewenang Juru Sita sebagaimana ditentukan dalam Pasal 65
(2) UU No. 2 Tahun 1986 dan Pasal 103 (2) UU No. 7 Tahun 1989. Sebagai aparat
hukum pendukung pengadilan, tanggung jawab Juru Sita/Juru Sita Pengganti dalam
konteks kelembagaan adalah kepada Ketua Pengadilan dimana secara administratif
bertanggung jawab kepada Panitera. Hal ini diatur dalam Pasal 8 Keputusan
Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/055/SK/X/1996.
a. Dalam hal ditunjuk melakukan eksekusi, Juru Sita atau Juru Sita Pengganti
bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan.
b. Dalam hal melaksanakan perintah pemanggilan/penyampaian pengumuman,
tegoran, protes-protes dan pemberitahuan, Juru Sita atau Juru Sita Pengganti
bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan/Ketua Sidang.
c. Dalam hal melakukan sita, Juru Sita atau Juru Sita Pengganti bertanggung
jawab pada Ketua Pengadilan/Ketua Sidang.
Apabila kita lihat dalam Pasal 198 R.O tugas dan wewenang Juru Sita ialah
melakukan pemberitahuan pengadilan, pengumuman, protes-protes dan exploit-
exploit lain yang bersangkutan ataupun tidak bersangkutan dengan perkara yang
sedang dalam proses, juga untuk mengadakan segala macam panggilan, teguran dan
pemberitahuan tentang kapan dimulainya perkara atau instruksi yang bersangkutan
dengan perkara perdata ataupun perkara pidana dan menjalankan semua exploit untuk
melaksanakan perintah-perintah hukum, keputusan hakim dan arest-arest baik dalam
perkara perdata maupun pidana.
Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Pasal 104 Undang-undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Pasal 66 Undang- undang No. 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum telah mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur oleh Mahkamah Agung. Juga bisa dilihat
dalam HIR pasal 388 sampai 39184.