Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum acara perdata memiliki rangkaian-rangkaian peraturan yang
memuat tata cara bagaimana pihak-pihak yang berperkara bertindak dimuka
pengadilan, dana tata cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak sesuai
peraturan-peraturan dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata
merupakan hukum formil yang harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan
yang ada di dalamnya, setelah hukum acara perdata dijalankan sesuai dengan
peraturannya, barulah hukum materiil dapat dilaksanakan.
Di dalam lingkup peradilan terdapat beberapa proses yang akan
dilaksanakan, baik itu dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung.
Proses dalam lingkup peradilan dimulai dari mengajukan sebuah gugatan oleh
penggugat, pemeriksaan perkara, penyitaan, pembuktian, pemberian putusan
oleh pengadilan dan upaya banding untuk mempertahankan hak salah satu
pihak yang berperkara.
Salah satu proses dalam acara persidangan perdata adalah penyitaan.
Penyitaan dalam hukum acara perdata pada dasarnya adalah tindakan
persiapan untuk menjamindapat dilaksanakannya putusan pengadilan atas
suatu sengketa perdata. Penggugat dapat meminta agar diletakkan sita
terhadap kekayaan tergugat. Atas permintaan tersebut, Hakim diberi
wewenang mengabulkan pada tahap awal, sebelum dimulai proses
pemeriksaan pokok perkara. Sebagai pihak yang berada dalam lingkup
persengketaan, seorang penggugat memiliki suatu hak untuk mengajukan
permohoan untuk dilaksanakan penyitaan terhadap harta kekayaan tergugat.
Untuk barang yang telah dijatuhkan sita, pihak tergugat tidak
diperkenankan untuk melakukan tindakan hukum, seperti menghilangkan
barang sitaan, mengalihkannya atau memindahtangankan barang sitaan.
Apabila hal tersebut dilakukan maka tergugat dapat dijatuhi beban pidana
karena dianggap menghilangkan barang buki dalam proses persidangan.
Dalam Pasal 38 KUHAP telah tegas menyatakan bahwa proses
penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan mendapat persetujuan
dari Ketua Pengadilan setempat. Penegasan ini dimaksudkan adanya
kepastian hukum, bahwasanya selain penyidik yang telah mendapat
persetujuan tidak diperkenankan untuk melakukan penyitaan.
Penyitaan seringkali dilakukan atas barang-barang dalam lingkup
sengketa, baik barang yang bergerak maupun tidak bergerak. Penyidik dapat
melakukan penyitaan ini untuk mengantisipasi terjadinya pengalihan atau
penghilangan barang bukti dalam proses persidangan.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Apa pengertian Penyitaan ?
2. Apa tujuan dan macam-macam Penyitaan ?
3. Bagaimana proses penyitaan dalam hukum acara perdata ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penyitaan
Sita adalah saat tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional
atas permohonan satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek
sengketa atau menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan
dibebani sesuai sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang
atau pihak yang menguasai barang tersebut, untuk menjamin suatu putusan
perdata dapaat dilaksanakan.1
Menurut Wildan Suyuthi, sita (beslag) adalah tindakan hukum
Pengadilan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak milik Tergugat
atas permohonan Penggugat untuk diawasi atau diambil untuk menjamin agar
tuntutan Penggugat/ Kewenangan Penggugat tidak menjadi hampa. Dalam
pengertian lain dijelaskan, bahwa sita adalah mengambil atau menahan
barang-barang (harta kekayaan dari kekuasaan orang lain) dilakukan
berdasarkan atas penetapan dan perintah Ketua Pengadilan atau Ketua
Majelis.2
Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah
Indonesianya beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan.
Pengertian yang terkandung di dalamnya, antara lain:
a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada
dalam keadaan penjagaan (to take costody the property of a defendant).
b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.
c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang
disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat
pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan jalan
menjual lelang (ezecutorial verkoop) barang yang disita tersebut,

1
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hal. 124
2
Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta: PT Tatanusa, 2004),
hal. 20.
d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses
pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan tersebut.3

B. Tujuan dan Macam-Macam Sita


Tujuan dari sita adalah upaya untuk menjamin pelaksanaan suatu
putusan hakim di kemudian hari atas barang-barang milik tergugat baik benda
bergerak maupun benda tetap selama proses berlangsung. Dengan demikian
barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjual belikan, disewakan,
atau dipindah tangankan kepada pihak lain yang beri’tikad buruk. 4 Dengan
mengaitkan tujuan penyitaan dengan ketentuan pasal 199 HIR, 214 Rbg dan
Pasal 231 KUH Perdata, terjamin perlindungan yang kuat Penggugat atas
terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan.
Ada tujuan lain yang tidak kalah penting dalam penyitaan, selain dari
memberi kepastian kepada Penggugat bahwa gugatannya telah dijamin dan
mempunyai arti serta nilai apabila gugatannya dikabulkan oleh pengadilan,
yaitu adanya sita berarti sudah ada secara pasti objek eksekusi atas
kemenangan Penggugat, atau disebutkan objek eksekusi sudah pasti. Hal ini
menjaga agar kemenangan Penggugat tidak illusioner (hampa), sehingga
kemenangan Penggugat ada suatu materinya, yakni barang yang disita
tersebut.5
Penyitaan ini pada hakikatnya ialah tindakan persiapan untuk menjamin
dapat dilaksanakannya putusan hakim. Suatu putusan di mana pihak
penggugat telah dimenangkan, akan tetapi sewaktu diadakan pelaksanaan
putusan tersebut ternyata bahwa barang yang dipersengketakan sudah tidak
berada di tangan pihak yang dikalahkan, atau dalam hal menyangkut suatu
pembayaran sejumlah utang ternyata pihak yang dikalahakan sewaktu
pelaksanaan dilakukan sudah tidak mempunyai sesuaty barang lagi di
rumahnya, hal-hal seperti itu tidak berfaedah sama sekali bagi penggugat.

3
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 282
4
Muhammad Nashir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 59.
5
M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal, 285-287.
Sita jaminan mengandung arti bahwa untuk menjamin pelaksanaan
suatu putusan di kemudian hari, barang-barang milik tergugat baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses berlangsung, terlebih
dahulu disita atau dengan lain perkataan bahwa barang-barang tersebut lalu
tidak dapat dialihkan, diperjaulbelikan atau dengan jalan lain
dipindahtangankan kepada orang lain. Bukan hanya barang-barang tergugat
saja yang dapat disita, akan tetapi juga terhadap barang-barang bergerak milik
penggugat sendiri yang ada pada penguasaan tergugat dapat diletakkan sita
jaminan.
Penyitaan dilakukan oleh panitera pengadilan negeri, yang wajib
membuat berita acara penyitaan dan memberitahukan isinya kepada tersita
kalau ia hadir. Dalam melakukan pekerjaannya itu panitera dibantu oleh dua
orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara.6
Macam-macam sita jaminan:
1. Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag)
Sita ini dilakukan untuk menjamin hak-hak pihak yang dimenangkan
dalam suatu perkara sehingga gugatannya tidak sia-sia (Illusior). Dasar
hukumnya Pasal 227 HIR/ 261 RBg. Tujuannya untuk menjamin
terlaksananya putusan pengadilan. Sita ini dapat dilakukan jika ada
permintaan dari penggugat dengan mengemukakan alasan ada dugaan atau
sangkaan bahwa tergugat akan berusaha menghilangkan, merusak,
memindahtangankan benda-benda harta kekayaan miliknya. Benda-benda
yang menjadi objek sita ini adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak
milik tergugat.
Perihal sita conservatoir yang diatur dalam Pasal 227 jo. Pasal 197 HIR,
Pasal 261 jo. Pasal 208 RBg., yang inti sari pengaturannya yaitu:
a. Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan
dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau
melarikan barang-barangnya itu.
b. Barang yang disita itu adalah kepunyaan orang yang terkena sita, artinya
bukan milik penggugat.

6
Bambang Sugeng & Sujiyadi, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2012), hal. 76
c. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa
perkara yang bersangkutan.
d. Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis.
e. Sita conservatoir dapat dilakukan atau diletakkan terhadap barang-barang
yang bergerak dan barang-barang yang tidak bergerak.
Menurut ketentuan yang termuat dalam pasal 227 ayat (1) HIR, sita
conservatoir dapat dimohonkan “sebelum dijatuhkan putusan” atau “sudah
ada putusan tetapi putusan tersebut belum bisa dijalankan”.7

2. Sita Revindiksi (Revindicatoir Beslaag)


Adapun yang dimaksud dengan sita revindiksi, yaitu penyitaan terhadap
barang milik penggugat yang berada ditangan tergugat. Dasar hukumnya
Pasal 226 HIR / 260 RBg. Tujuannya untuk menjamin suatu hak kebendaan
dari pemohon dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita. Objeknya
hanya terdapat pada benda yang bergerak dan sita ini hanya terbatas atas
sengketa hak milik.
Perkataan revindicatoir berasal dari perkataan revindiceer, yang artinya
mendapatkan. Perkataan revindicatoir beslaag menandung pengertian:
penyitaan untuk mendapatkan hak kembali. Maksud penyitaan ini ialah agar
barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses
berlangsung.
Berdasarkan ketentuan Pasal 226 HIR, dapat diketahui bahwa
revindicatoir beslaag itu antara lain:
a. Harus berupa barang bergerak.
b. Barang bergerak tersebut merupakan barang milik penggugat yang berada
di tangan tergugat.
c. Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
memeriksa perkara.
d. Permintaan mana dapat diajukan secara lisan atau tertulis
e. Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama, terperinci.
Perlu dikemukakan di sini, oleh karena sita revindicatoir hanyalah
mengenai barang-barang bergerak, lagi pula barang-barang tersebut dalam

7
Bambang Sugeng & Sujiyadi, Op Cit., hal. 76-77
permohonan harus disebut dengan seksama (terperinci), maka yang
menyangkut barang tidak bergerak dan barang-barang bergerak yang tidak
dapat disebut dengan seksama (terperinci), harus dimohonkan sita
conservatoir, dan bukan sita revindicatoir.8
3. Sita Harta Bersama (Maritale Beslaag)
Adapun yang dimaksud dengan sita harta bersama, yaitu sita yang
diletakkan atas harta gono gini yang berada pada suami ataupun istri dalam
perkara permohonan cerai, gugat cerai, atau gugatan harta bersama.
Sita marital dikenal dalam Hukum Acara Perdata Barat, dan diatur
dalam Pasal 823j Rv. Sita marital dimohonkan oleh pihak istri terhadap barang-
barang suami, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, sebagai jaminan
untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian, agar
supaya selama proses berlangsung barang-barang tersebut jangan dihilangkan
oleh suami.
Dalam perkembangannya sita marital ini saat ini disebut dengan sita
matrimonial, hal ini karena apabila dalam ketentuan perkawinan B.W.
seorang istri tidak cakap dalam mengurus harta kekayaan sehingga sita
marital merupakan senjata bagi istri untuk melindungi haknya atas harta
benda dalam perkawinan, maka sita matrimonial ini dapat diajukan baik oleh
suami maupun istri, karena berdasarkan ketentuan dalam UU Perkawinan,
suami dan istri memiliki kedudukan hukum yang sama.9
4. Sita Eksekusi (Executorial Beslaag)
Adapun yang dimaksud dengan sita eksekusi, yaitu sita yang dilakukan
sebagai bagian dari pelaksanaan putusan, yakni sita yang dilakukan setelah
ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

8
Ibid, hal. 77
9
Ibid, hal 78
C. Prosedur Penyitaan

1. Prosedur Penyitaan dalam KUH Perdata


Prosedur penyitaan dalam hukum acara perdata adalah sebagai
berikut:
a) Ketua PN di wilayah barang yang disita berada, berwenang
memberikan izin/persetujuan penyitaan atas permohonan penyidik.
b) Apabila perkara tersebut dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri di
tempat terjadinya tindak pidana, maka yang berwenangan memberi izin
penyitaan adalah Ketua Pengadilan Negeri tersebut, sedangkan Ketua
Pengadilan Negeri di wilayah barang yang akan disita itu berada hanya
“mengetahui”.
c) Apabila dalam persidangan Hakim memandang perlu dilakukan
penyitaan atas suatu barang, maka perintah Hakim untuk melakukan
penyitaan ditujukan kepada Penyidik melalui Penuntut Umum.
d) Ketentuan mengenai penyitaan yang terdapat dalam KUHAP berlaku
pula untuk tindak pidana khusus (misalnya tipikor).10
2. Prinsip-prinsip Pokok Sita
Menurut M. Yahya Harahap ada beberapa prinsip pokok penyitaan
dalam perdata yang bersifat umum, antara lain:
a) Sita berdasarkan permohonan
b) Permohonan berdasarkan alasan
c) Penggugat wajib menunjukkan objek sita
d) Permintaan dapat diajukan sepanjang pemeriksaan siding
e) Pengabulan berdasarkan pertimbangan objektif
f) Larangan menyita milik pihak ketiga
g) Penyitaan berdasarkan perkiraan nilai objektif dan proporsional dengan
jumlah tuntutan
h) Mendahulukan penyitaan barang bergerak
i) Dilarang menyita barang tertentu
j) Penjagaan sita tidak boleh diberikan kepada penggugat
k) Kekuatan mengikat sita sejak diumumkan

10
Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan
Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, hal. 53-54.
l) Kekuatan mengikat sita sejak diumumkan
m) Dilarang memindahkan atau membebani atau menyewakan barang
sitaan
n) Sita penyesuaian
o) Larangan menyita barang milik Negara
p) Barang yang disita dalam perkara perdata, dapat disita dalam perkara
pidana.11
3. Alur Penyitaan
a) Menurut Prof. Moh. Taufik Makarao
Alur penyitaan menurut Prof. Moh. Taufik Makarao dalam
bukunya “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata” ialah sebagai berikut:
1. Perizinan Ketua Pengadilan
Mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan untuk pelaksanaan
penyitaan.
2. Pengabulan Izin
Jika permintaan dikabulkan, maka penyitaan dilakukan
menurut surat perintah ketua.
3. Pemberitahuan dan Pemanggilan
Panitera memberitahukan penyitaan itu dengan segera kepada
orang yang mengajukan permintaan (penggugat), serta meminta
kepadanya dan orang yang memegang barang sitaan untuk
menghadap di persidangan.
4. Penyitaan
Penyitaan dilakukan atas surat izin ketua pengadilan oleh
Jurusita Pengadilan Negeri atau Panitera Pengadilan Negeri dengan
dua orang pegawai Pengadilan sebagai saksi.
5. Persidangan dan Putusan
Persidangan dilakukan sebagaimana sidang pada umumnya
sesuai dengan hukum acara persidangan

11
M. Yahya Harahap, Op. Cit. 287-325.
6. Pengesahan dan Penyerahan Barang Sitaan
Jika gugatan telah diterima, maka penyitaan akan disahkan
dan diserahkan kepada Penggugat. Jika gugatan ditolak, maka
penyitaan akan dicabut.12
b) Menurut KUHAP
Alur penyitaan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana adalah sebagai berikut:
1. Perizinan dari Ketua Pengadilan
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat
izin ketua pengadilan negeri setempat.
2. Penyitaan
Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil
dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan
tindak pidana yang dilakukan.
Benda yang berada dalam sitaan perkara perdata atau karena
pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyelidikan, penuntutan
dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan
diatas.
3. Penyimpanan, Pelelangan, Perampasan/Pemusnahan Benda Sitaan
a. Penyimpanan
Benda yang telah disita oleh penyidik disimpan dalam
penyimpanan benda sitaan negara.

12
Prof. Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Cet. 2 (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2009),hal. 46-47.
b. Pelelangan
Apabila benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas
rusak atau membahayakan sehingga tidak mungkin untuk
disimpan sampai putusan pengadilan, dengan persetujuan
tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai
berikut:
1) Apabila perkara masih dalam wewenang penyidik atau
penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau
diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan
disaksikan oleh tersangka atau kuasanya.
2) Apabila perkara sudah dalam wewenang pengadilan, benda
tersebut dapat diamankan atau dijual oleh penuntut umum
atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan
disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya
Hasil pelelangan benda berupa uang dipakai sebagai
barang bukti.
c. Perampasan atau Pemusnahan
Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk
diedarkan, dapat dirampas untuk dipergunakan bagi
kepentingan Negara atau dimusnahkan.
4. Pengembalian
Benda yang dikenakan penyitaan dapat dikembalikan kepada
mereka yang berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan
lagi
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti
atau ternyata tidak merupakan tindak pidana
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum
atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila
benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang
dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Apabila perkara sudah diputus, benda sitaan dapat
dikembalikan kepada mereka yang disebut dalam putusan, kecuali
jika putusan hakim menetapkan benda itu akan dirampas untuk
negara atau dimusnahkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, dapat kita ambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pengertian penyitaan terbagi menjadi dua, menurut hukum acara perdata
dan hukum acara pidana. Menurut hukum acara perdata, sita adalah saat
tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional atas permohonan
satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek sengketa atau
menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan, dirusak atau
dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang tersebut,
untuk menjamin suatu putusan perdata dapat dilaksanakan. Sedangkan
menurut KUHAP, penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
2. Macam-macam sita terbagi menjadi empat: a) Sita Jaminan (Conservatoir
Beslaag), b) Sita Revindiksi (Revindicatoir Beslaag), c) Sita Harta
Bersama (Maritale Beslaag), d) Sita Eksekusi (Executorial Beslaag).
3. Prosedur penyitaan terdiri dari beberapa tahap. Pertama, perizinan dari
ketua Pengadilan Negeri setempat. Kedua, penyitaan benda yang berkaitan
dengan tindakan pidana. Ketiga, penyimpanan, pelelangan, dan
perampasan/pemusnahan benda sitaan. Keempat, Pengembalian benda
sitaan.
B. Saran
Penyajian makalah yang kami rangkai masih jauh dari kata sempurna, oleh
karenanya perlu adanya saran dan koreksi lebih lanjut mengenai isi maupun
sistematika yang ada dalam makalah ini. Semoga Allah memberikan manfaat
kepada kita, Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sugeng & Sujiyadi, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2012).
Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007.
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Muhammad Nashir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2005)
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).
Prof. Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2009)
Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta:
PT Tatanusa, 2004)

Anda mungkin juga menyukai