Anda di halaman 1dari 7

Lecturer Notes Program Studi Hukum

Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra

SESI 5
UPAYA-UPAYA UNTUK MENJAMIN HAK
Oleh: Junaidi Tarigan, SH.,MM
Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti perkuliahan sesi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami


bagaimana upaya-upaya untuk menjamin hak dalam Hukum Acara Perdata serta
mmemasukkan gugatan perdata ke pangadilan.

Untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan


nanti, maka undang-undang menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut. Yaitu dengan
penyitaan (arrest, beslag), dimana penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk
menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata.
M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 282), menerangkan bahwa penyitaan
berasal dari terminologi beslag (bahasa Belanda) dan istilah bahasa Indonesia, beslah, yang
istilah bakunya adalah sita atau penyitaan.

M. Yahya Harahap menguraikan lebih lanjut pengertian penyitaan yaitu sebagai (hal. 282):
 Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam
keadaan penjagaan;
 Tindakan paksa penjagaan yang dilakukan secara resmi berdasarkan perintah
pengadilan atau hakim;
 Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut berupa barang yang disengketakan
dan bisa juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan
utang debitur atau tergugat dengan cara menjual lelang barang yang disita tersebut;
 Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses pemeriksaan
sampai dikeluarkannya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.

Sedangkan tujuan dilakukannya penyitaan ada 2, yaitu (hal. 285 – 286):

 Agar gugatan tidak illusoir


Tujuan utama dari penyitaan adalah agar barang harta kekayaan tergugat tidak
dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli, penghibahan, dan sebagainya maupun
tidak dibebani dengan sewa menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga.
Sehingga keutuhan dan keberadaan harta kekayaan tergugat tetap utuh seperti semula
agar pada saat putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, barang yang disengketakan
dapat diserahkan dengan sempurna kepada penggugat. Oleh karenanya, gugatan
penggugat menjadi tidak illusoir atau tidak hampa.

 Objek eksekusi sudah pasti


Pada saat permohonan sita diajukan, penggugat harus menjelaskan dan menunjukkan
identitas barang yang hendak disita misalnya letak, jenis, ukuran, dan batas-batasnya.
Lecturer Notes Program Studi Hukum
Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra

Atas permohonan tersebut, pengadilan melalui juru sita memeriksa dan meneliti
kebenaran identitas barang pada saat penyitaan dilakukan. Hal ini secara langsung
memberi kepastian atas objek eksekusi apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap.

Barang-barang yang disita untuk kepentingan kreditur (Penggugat) dibekukan, ini


berarti bahwa barang-barang itu disimpan (Diconserveer) untuk dijamin, dan tidak boleh
dialihkan atau dijual diatur dalam Pasal 197 ayat 9, 199 HIR dan Pasal 212, 214 RBG.
Dengan adanya penyitaan ini maka debitur atau tergugat kehilangan wewenangnya untuk
menguasai barangnya, sehingga dengan demikian tindakan-tindakan debitur atau tergugat
untuk mengasingkan atau mengalihkan barang-barang yang disita adalah tidak sah dan
merupakan perbuatan pidana diatur dalm Pasal 231,232 KUHP.
Penyitaan dilakukan oleh juru sita/panitera pengadilan negeri, yang wajib membuat
berita acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita kalau ia
hadir. Dalam melakukan pekerjaannya itu panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut
menandatangani berita acara (Pasal 197 ayat 2, 5 dan 6 HIR dan Pasal 209 ayat 1,4 dan
Pasal 210 RBG.)

Kalau permohonan sita jaminan itu dikabulkan, maka lalu dinyatakan sah dan berharga
(van waarde verklaard) dalam putusan, maka penyitaan itu mempunyai title eksekutorial,
sehingga berubah menjadi sita eksekutorial, yang berarti tuntutan penggugat dapat
dilaksanakan.
Sita jaminan ini tidak meliputi seluruh harta kekayaan debitur atau tergugat, tetapi
hanya beberapa barang tertentu saja yang dilakukan oleh seorang kreditur.

Ada 2 (dua) macam sita:


1. Sita jaminan terhadap barang milik sendiri
Penyitaan ini dilakukan terhadap barang milik sendiri atau milik penggugat yang
dikuasai oleh orang lain, sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa
uang , melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau penggugat
dan berakhir dengan penyerahan barang sita jaminan.
Sita jaminan milik sendiri ini ada dua macam:
a. Sita Revindicatoir Pasal 226 HIR dan Pasal 260 RBG

“Pemilik barang bergerak yang barangnya ada ditangan orang lain dapat diminta,
baik secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN ditempat yang memegang barang
tersebut tinggal, agar barang tersebut disita penyita ini disebut revindicatoir.

Jadi yang dapat mengajukan sita revindicatoir ini adalah setiap pemilik barang
bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain ( Pasal 1977 ayat 2, Pasal 1751 BW).
Demikian pula setiap orang yang mempunyai hak reklame, yaitu hak penjual barang bergerak
untuk diminta Kembali barangnya apabila harga tidak dibayar, dapat mengajukan sita
revindicaoir (Pasal 1145 BW dan pasal 232 WVK).

Tuntutan revindicatoir ini dapat dilakukan langsung terhadap orang yang menguasai barang
sengketa tapa meminta pembatalan dahulu tentang jual beli dari barang yang dilakukan oleh
orang tersebut dengan pihak lain.

Yang dapat disita secara revindicatoir adalah barang bergerak milik pemohon, barang tetap
Lecturer Notes Program Studi Hukum
Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra

tidak dapat disita secara revindicatoir, oleh karena itu kemungkinan dialihkannya atau
diasingkannya barang tetap tersebut pada umumnya tidak ada atau kecil, disebabkan karena
pada umumnya peralihan atau pengasingan barang tetap itu tidak semudah peralihan barang
bergerak.

Oleh karena permohonan sita revindicatoir itu pada hakikatnya sudah menilai pokok
sengketa, maka permohonan sita revindikatoir itu diajukan kepada hakim yang
memeriksa perkara yang bersangkutan dan ia pula lah yang memberi perintah penyitaan
dengan surat penetapan.

Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatior tidak perlu ada dugaan yang
beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari
akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan ( psl 227 ayat 1
HIR, 261 ayat 1 Rbg).
Apabila gugatan penggugat dikabulkan maka dalam dictum putusan, sita
revindicatoir dinyatakan sah dan berharga dan diperintahkan agar barang bersangkutan
itu diserahkan kepada penggugat, sedangkan kalau gugatan ditolak maka sita
revindicatoir yang telah dijalankan itu dinyatakan dicabut.
b. Sita marital dasar hukum pasal 823, 823 j RV

Sita marital atau sita harta bersama, menurut M. Yahya Harahap dalam buku “Hukum
Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan
Pengadilan” (hlm. 369), memiliki tujuan utama untuk membekukan harta bersama
suami-istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses
perkara atau pembagian harta bersama berlangsung. Pembekuan harta bersama di bawah
penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan
harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab dari tergugat.

Sita marital ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan atau penyerahan suatu barang,
melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk
melindungi hak pemohon selama pemeriksaan.

Sita marital ini dapat dimohonkan kepada pengadilan negeri oleh seorang istri,
yang tunduk pada BW selama sengketa percerainnya diperiksa dipengadilan negeri,
terhadap barang-barang yang merupakan satuan harta kekayaan, untuk mencegah
agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut lihat pasal 190 BW
dan 823 RV.

“ Jadi yang dapat mengajukan sita marital adalah si istri, hal ini disebabkan karena
menurut BW seorang istri dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Untuk
melindungi si isteri terhadap kekuasaan marital suaminya, maka sita materil ini hanya di
sediakan bagi si istri”.

Yang dapat di sita secara marital ialah baik barang bergerak dari kesatuan harta
kekayaan atau milik istri maupun barang tetap dari satuan kekayaan Pasal 823 RV.
HIR tidak mengenal sita marital ini tetapi seperti yang dapat kita lihat diatas sita marital
ini diatur dalam RV.
Lecturer Notes Program Studi Hukum
Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra

Bagaimana sita marital dalam peradilan agama?


Sita marital bagi perceraian suami-istri yang beragama Islam/muslim diatur Pasal 78
huruf c UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”) Jo. Pasal 95
dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

Cara pelaksanaan sita marital diatur pada Pasal 78 huruf c UU Peradilan Agama Jo. Pasal
95 dan Pasal 136 ayat (2) KHI sebagai berikut:

Pasal 78 huruf c UU Peradilan Agama

“selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat, pengadilan


dapat: menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang
menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-
barang yang menjadi hak istri.”

Pasal 95 KHI

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2), huruf c Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 serta pasal 136 ayat (2),suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama
untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai,
apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.

(2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan
keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Pasal 136 ayat (2) KHI

“Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atau permohonan penggugat atau tergugat,


Pengadilan Agama dapat :

a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.

b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang


menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-
barang yang menjadi hak istri.”

Pasal 95 KHI memungkinkan untuk dilakukan sita marital oleh seorang suami/istri
dalam suatu perkawinan tanpa melakukan gugatan perceraian. Sedangkan, Pasal 136 ayat (2)
KHI mengatur sita marital yang dilakukan selama berlangsungnya sidang perceraian. Jadi,
berdasarkan Pasal 95 KHIdan Pasal 136 ayat (2) KHI, pelaksanaan sita marital hanya dapat
dilakukan oleh seorang suami/istri yang masih terikat dalam ikatan perkawinan dengan cara
mengajukan permohonan sita marital kepada Pengadilan Agama.

2. Sita Jaminan Terhadap Barang Milik Debitur


Penyitaan ini ialah yang biasanya disebut conservatoir, sita ini merupakan tindakan
persipan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua PN, untuk
menjamin dapat dilaksanakan putusan perdata dengan menjual barang debitur yang
disita guna memenuhi tuntutan penggugat.
Tidak jarang pula terjadi bahwa sita conservatoir itu kemudian tidak sampai berakhir
dengan penjualan barang yang disita karena debitur memilih prestasinya sebelum
putusan dilaksanakan, sehingga sifat sita jaminan tersebut lebih merupakan tekanan.
Yang dapat dilakukan sita conservatior antara lain:
a. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur diatur pasal 227, 197 HIR dan
pasal 26, 208 RBG. Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada
Lecturer Notes Program Studi Hukum
Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra

tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau
mengalihkannya dasar hukumnya pasal 191 ayat 9 HIR dan pasal 212 RBG.
b. Sita conservatoir atas barang tetap milik debitur pasal 227, 197, 198, 199 HIR dan
pasal 261, 208, 214 RBG.
Jika disita barang tetap, maka agar jangan sampai barang tersebut dijual, penyitaan
itu harus diumumkan dengan memberi perintah kepada kepala desa supaya peyitaan
barang tetap itu diumumkan ditempat agar diketahui oleh banyak orang dasar
hukumnya adalah pasal 30 PP no 10 tahun 1961 tentang pertahanan dan pasal 198
ayat 1 HIR dan pasal 213 ayat 1 RBG.

Penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh juru sita ditempat barang-barang itu
terletak dengan mencocokan batas-batasnya dan disaksikan oleh pamong desa, jadi
tidak hanya dirumah pemilik barang tetap itu atau hanya ditempat kediaman lurah
saja.
Terhitung mulai hari berita acara penyitaan, bahwa barang tetap itu dimaklumkan
kepada umum, maka pihak yang disita barangnya dilarang memindahkannya kepada
orang lain, membebani dan menyewakannya lihat Pasal 199 HIR dan Pasal 144
RBG.
c. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di tanah orang lain
pasal 728 RV dan pasal 197 ayat 8 HIR dan Pasal 211 RBG.
Apabila debitur memiliki piutang kepada pihak ketiga, maka kreditur untuk untuk
menjamin haknyaa dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik
debitur yang ada pada pihak ketiga itu inilah yang disebut Derdenbeslag Pasal 728
RV.

Memasukan Gugatan Ke pengadilan Negri


Setelah menandatangani surat gugatan, maka penggugat mendaftarkan surat
gugatannya, yang harus memenuhi peraturan bea atau materai (Pasal 121 ayat 4 HIR, dan
pasal 145 ayat 4 RBG dan UU no 13 tahun 1985) disertai dengan salinnya kepada
kepanitraan pengadilan negri yang bersangkutan. Surat gugatan atau permohonan pada
dasarnya tidak perlu diberi materai tetapi dalam praktek tetap saja diberi materai, yang
diwajibkan diberi materai adalah surat bukti yang diajukan dalam perkara perdata. lihat
pasal 2 ayat 1 UU No 73/1985 oleh sebab itu materai adalah salah satu syarat sahnya surat
sebagai alat bukti salah satu syarat sahnya perjanjian. Jika kwitansi yang diajukan sebagai
alat bukti , tetapi tidak bermaterai maka tidak sah sebagai alat bukti (MA 28 Ag. 1975 no,
983/sip/1972, R II hal 219).

Salinan gugatan dimaksudkan untuk disampaikan kepada tergugat bersamaan dengan


surat panggilan dari pengadilan Negeri (ps. 121 ayat 2 HIR, 145 ayat 2 Rbg). Pada waktu
memasukkan gugatan, penggugat harus pula membayar biaya perkara meliputi biaya kantor
kepaniteraan ( griffierechten ), biaya pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak.

Jika bagi mereka yang tidak mampu, dimungkinkan untuk beracara secara Cuma-
Cuma, dengan mengajukan permohonan izin kepada ketua Pengadilan Negeri, yang harus
disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari camat yang membawahkan pemohon.
Lecturer Notes Program Studi Hukum
Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra

Bagi penggugat yang tidak dapat menulis, gugatan diajukan secara lisan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan (psl. 120 HIR, 144 Rbg)

Dalam praktiknya ialah:

 Penggugat datang kepada panitera Pengadilan Negeri yang mencatat segala sesuatu
yang dikemukakan penggugat.

 Catatan tersebut diserahkan kepada salah seorang hakim yang meneliti serta
menanyakannya kepada penggugat dan selanjutnya menandatanganinya.
Lecturer Notes Program Studi Hukum
Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra

Anda mungkin juga menyukai