SESI 7
Oleh: Junaidi Tarigan, SH.,MM
B. Perdamaian
Kalau pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua pihak hadir, maka hakim harus berusaha
mendamaikan mereka ( ps. 130 HIR, 154 Rbg ). Untuk keperluan perdamaian itu sidang lalu diundur
untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka
berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan hasil perdamaiannya,
yang lazimnya berupa surat perjanjian dibawah tangan yang ditulis diatas kertas bermaterai. Berdasarkan
adanya perdamaian diantara kedua belah pihak itu maka hakim menjatuhkan putusannya ( acte van
vergelijk ), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi perdamaian nya yang telah
mereka buat. Adapun kekuatan putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa dan dapat
dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dimungkinkan . usaha
perdamaian ini terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan.
Pada tanggal 11 september 2003 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No 2 tahun 2003 tentang
prosedur Mediasi di pengadilan, dengan mendabut SEMA No 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai ex pasal 130 HIR / 154 Rbg, karena dianggap
kurang efektif.
Lecturer Notes Program Studi Hukum
Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra
Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dulu diselesaikan
melalui proses perdamaian dengan bantuan mediator ( pasal 2 ).
Hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan kepada para pihak
untuk menempuh proses mediasi ( pasal 3 ayat 2 ).
Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi ( pasal 3
ayat 3 ).
Jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan hakim melanjutkan penyelesaian perkara ( pasal 12 ayat 2
).
Penyelenggaraan mediasi yang diselenggarakan di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak
dikenakan biaya ( pasal 15 ayat 4 ).
Jika penyelenggaraan mediasi dilakukan diluar pengadilan dan menggunakan mediator luar pengadilan
dipungut biaya ( pasal 15 ayat 3 dan 4 ).
Dapat disimpulkan dari SEMA no 2 tahun 2003 itu tugas mendamaikan di pengadilan diserahkan
kepada orang lain, bukan kepada hakim yang pada awalnya memeriksa perkara bahkan kepada orang
lain ( mediator ) diluar pengadilan. Prosedur ini akan memakan waktu lebih lama daripada kalua
ditangani oleh hakim yang pada awalnya menangani perkara bersangkutan, belum lagi tidak praktis
karena masih harus mencari mediator. Dan juga kalua menggunakan mediator dari luar pengadilan akan
menambah biaya, sehingga jelas sudah bertentangan dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan.
Kecuali itu sudah ada ketentuan dalam pasal 130 HIR/154 Rbg yang jauh lebih praktis dan meghemat
waktu karena ditangani oleh seorang hakim, disamping itu juga bersifat imperatif.
Apakah Mahkamah Agung dapat meniadakan ketentuan dalam pasal 130 HIR/ 154 Rbg? Tidak
mengherankan kalau banyak pengadilan yang tidak melaksanakan SEMA tersebut.
yaitu lampaunya waktu yang menghapus perikatan. Disamping itu lampaunya waktu menurut pasal 1967
BW dikenal juga lampaunya waktu yang acquisitief ( usucapion ) yang diatur dalam pasal 1963 BW,
yaitu lampaunya waktu yang menyebabkan seseorang memperoleh suatu hak.
Lampaunya waktu itu dihitung sejak hak itu lahir atau ada
Berikut ini beberapa putusan tentang pengaruh lampaunya waktu terhadap tuntutan hak/ gugatan:
1) Bunga uang sewa yang tidak ditagih selama lebih dari 2 tahun itu hapus, kecuali ada alasan yang layak.
2) Dengan selama 24 tahun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tentang barang warisan
ibunya, penggugat yang kemudian mengajukan gugatan dianggap melepaskan haknya ( P. T. Surabaya
24 november )
3) Seseorang pemberi gadai barang perhiasan emas yang tidak datang pada panggilan untuk menghadiri
pembagian harta warisan dari almarhum pemegang gadai dan kemudian berdiam diri selama 7 tahun
dianggap melepaskan haknya untuk menebus barang yang digadaikan ( M.A. 19 juli 1956)
4) Hutang uang selama 21 tahun tidak pernah dilunasi hapus karena lampaunya waktu ( M.A. 6 juli 1955 )
5) Menduduki tanah selama 20 tahun tanpa gangguan, sedang pihak lawan selama itu membiarkan keadaan
demikian, adalah persangkaan berat bahwa pendudukan ( bezit ) itu adalah berdasarkan hukum ( RvJ
Jakarta 13 januari 1939 )
6) Lewat waktu tidak merupakan alasan hilangnya hak para penggugat untuk menuntut haknya yang
berasal dari warisan orang tuanya M.A. 12 januari no 932 K/Sip/ 1971.
7) Menurut ketentuan yang berlaku dalam BW suatu gugatan menjadi kadaluwarsa dalam waktu 30 tahun (
psl. 835 BW / M. A. 19 April 1972 no 26 K/Sip/1972)
Tampak dari putusan-putusan diatas bahwa gugatan hapus kaena lampaunya waktu.
D. Jawaban
HIR tidak ada ketentuan yang mewajibkan tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Pasal
121 ayat 2 HIR/Psl. 145 ayat 2 Rbg hanya menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik secara
tertulis maupun lisan. Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan tetapi juga dapat berupa bantahan (
verweer ).
Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan penggugat, baik untuk Sebagian maupun
seluruhnya, sehingga kalau tergugat membantah, penggugat harus membuktikan. Walaupun pengakuan
diberikan oleh salah satu pihak yang berperkara, namun merupakan alat bukti .
Pengakuan harus dibedakan dari referte ( referte aan het oordel des rechters ). Kedua-duanya
merupakan jawaban yang tidak bersifat membantah. Kalau pengakuan itu merupakan jawaban yang
membenarkan isi gugatan, maka referte berarti menyerahkan segalanya kepada kebijaksanaan hakim (
pasrah ) dengan tidak membantah dan tidak pula membenarkan gugatan. Pada umumnya hal ini terjadi
apabila pemeriksaan perkara itu tidak secara langsung menyangkut kepentingannya, melainkan
kepentingan orang lain. Jadi setengahnya bersikap masa bodoh. Apabila tergugat menyerahkan
segalanya kepada kebijaksanaan hakim, ia dalam tingkat banding berhak mengajukan bantahan.
Lecturer Notes Program Studi Hukum
Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra
Bantahan ( verrwer ) pada hakekatnya bertujuan agar gugatan penggugat ditolak. Dan bantahan tergugat
ini dapat terdiri dari tangkisan atau eksepsi dan sangkalan.
Apa yang dimaksudkan dengan tangkisan ( exceptief verweer ) dan sangkalan ( verweer ten principale )
tidak dijelaskan undang-undang.
Pada umumnya yang diartikan eksepsi adalah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat
terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya
gugatan. Sedangkan yang dimaksud dengan sangkalan ( verweer ten principale ) adalah sanggahan yang
berhubungan dengan pokok perkara.
a. Eksepsi prosesuil, yaitu upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan.. pernyataan ini
diterima berarti suatu penolakan in limine litis, berdasarkan alasan-alasan diluar pokok perkara, hanya
dalam hal ketidakwenangan hakim atau batalnya gugatan, eksepsi bahwa perkara telah diputus serta
eksepsi bahwa pihak penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai penggugat ( eksepsi
disqualificatoir )
b. Eksepsi materiil, merupakan bantahan lainnya yang berdasarkan ketentuan hukum materil. Termasuk
eksepsi ini ialah bersifat menunda ( eksepsi dilatoir ) seperti eksepsi bahwa tuntutan penggugat belum
dapat dikabulkan berhubung penggugat memberi penundaan pembayaran, dan eksepsi peremptoir yang
sudah mengenai pokok perkara, seperti eksepsi karena lampaunya waktu ( daluwarsa ) atau tergugat
dibebaskan dari membayar.
HIR hanya mengatur tentang eksepsi tidak berkuasanya hakim untuk memeriksa gugatan ( psl. 125
ayat 2, 133-136 HIR, 149 ayat 2, 160-162 Rbg ). Tangkisan ini merupakan tangkisan terhadap
kompetensi pengadilan baik secara relative dan absolut. Tangkisan terhadap kompetensi relative harus
diajukan pada permulaan sidang, sedangkan tangkisan mengenai kompetensi absolut dapat diajukan
setiap saat, sepanjang pemeriksaan , bahkan disini hakim wajib secara ex officio memutuskan berkuasa
tidaknya ia memriksa perkara yang bersangkutan tanpa menunggu diajukannya tangkisan oleh pihak
tergugat.
dipersingkat atau disederhanakan, terutama apabila kedua gugatan, konvensi dan rekonvensi erat
hubungannya satu sama lain.
Terhadap asas bahwa tuntutan rekonvensi dapat meliputi segala hal ada pengecualiannya ( ps.
132 a ( 1) no 1,2,3, HIR, 157,158 Rbg );
1. Bila penggugat dalam konvensi bertindak karena suatu kualitas tertentu, sedang tuntutan rekonvensi
akan mengenai diri penggugat pribadi atau sebaliknya, misalnya pihak penggugat bertindak sebagai
pihak formil ( wali ), maka tuntutan rekonvensi tidak boleh ditujukan kepada penggugat secara pribadi;
jika penggugat bertindak sebagai pemberes ( vereffernaar ) suatu perseroan, maka tuntutan rekonvensi
tidak boleh mengenai penggugat secara pribadi.
2. Bila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugat konvensi tidak wenang memeriksa gugat rekonvensi.
3. Dalam perkara yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan.
Rv masih menambahkan lagi dengan satu pengecualian lagi, yaitu dalam hal tuntutan tentang
penguasaan ( bezit ), sedang tuntutan rekonvensi mengenai tentang eigendom ( ps. 244 no 3 Rv ). Juga
tidak lah tepat kalau salah satu gugatan tunduk pada acara biasa diajukan gugat balik yang tunduk/
diperiksa dalam acara khusus maupun sebaliknya.
Seorang pelawan ( opposant ) terhadap putusan verstek dapat mengajukan gugatan rekonvensi, karena
para pihak pada acara perlawanan ( verzet ) menduduki yang sama seperti semua. Sebaliknya kalau ada
beberapa tergugat, maka seorang tergugat tidak dapat mengajukan gugat rekonvensi terhadap kawan
tergugatnya.
Gugatan rekonvensi harus diajukan Bersama dengan jawaban tergugat, baik tertulis maupun lisan ps.
132b ( 1 ) HIR/ 158 ( 1 ) Rbg. Ini tidak berarti gugat rekonvensi itu harus diajukan pada hari sidang
pertama. Dalam duplikpun gugat rekonvensi dapat duajukan. Kalau sudah memasuki pembuktian maka
gugat rekonvensi tidak dapat lagi diajukan
Kalau pada tingkat pertama tidak diajukan gugat rekonvensi maka pada tingkat banding tidak
diperbolehkan mengajukan gugat rekonvensi ps.132a ayat 2 HIR/ 157 ayat 2 Rbg.
Kedua gugatan itu diselesaikan sekaligus dan diputus dalam satu putusan ( ps. 132b (3) HIR/ 158 (3)
Rbg. Akan tetapi hakim dapat memisahkan kedua gugatan itu kalau ia berpendapat bahwa perkara yang
satu dapat di selesaikan lebih dulu.
Pasal 132b ( 4 ) HIR / pasal 158 ( 4 ) Rbg mengatur tentang hal banding apabila kedua perkara konvensi
dan rekonvensi diselesaikan Bersama-sama dalam satu putusan
Bila kedua perkara dipisahkan maka yang berlaku ialah peraturan biasa mengenai banding.
F. Jalannya Persidangan
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang yang didampingi panitera, membuka
sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, ini berarti bahwa setiap orang boleh mendengarkan
jalannya persidangan yang secara formil dapat mengadakan control, dan dengan demikian hakim dapat
mempertanggung jawabkan pemeriksaan. Sifat sidang terbuka untuk umum merupakan syarat mutlak (
pasal 13 ayat 1 UU no 48 tahun 2009 ). Apabila tidak dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan itu
Lecturer Notes Program Studi Hukum
Hukum Acara Perdata Universitas Nusa Putra
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengakibatkan batalnya. Tetapi sifat sidang
terbuka untuk umum ada pembatasnya yaitu apabila Undang-Undang menentukan lain.
Setelah sidang dibuka untuk umum, maka kedua belah pihak dipanggil masuk. Pemeriksaan harus
berlangsung dengan hadirnya kedua belah pihak, kalau hanya satu pihak yang hadir maka tidak boleh
dimulai dengan pemeriksaan perkara, tetapi sidang harus ditunda. Kedua belah pihak harus di dengar
Bersama-sama sesuai dengan asas audit et alteram partem.
Apabila para pihak sebelumnya tidak menguasakan kepada seorang wakil, maka dimuka sidang
pertama tersebut mereka dapat menguasakan secara lisan kepada seorang wakil yang mana harus dicatat
dalam berita acara. HIR tidak mewajibkan kepada para pihak untuk beracara diwakili oleh seorang
kuasa.
Selanjutnya hakim harus mengusahakan mendamaikan kedua belah pihak ( ps 130 HIR/ 154 Rbg ).
Apabila mereka berhasil didamaikan maka dijatuhkan putusan perdamaian ( acte van vergelijk ), yang
menghukum kedua pihak untuk memenuhi isi perdamaian dan harus dimuat dalam berita acara.
Sedangkan kalau perdamaian tidak tercapai akan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan ( ps. 131
ayat 1 HIR/ 155 ayat 1 Rbg.
Atas gugatan penggugat, tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawabannya di muka
pengadilan baik secara lisan maupun tulisan. Maka terhadap jawaban tergugat, penggugat dapat
memberikan tangggapannya ( replik ). Replik dari penggugat ini tergugat juga dapat memberikan
tanggapannya ( duplik ). Jawab-menjawab secara tertulis ini sekurang kurangnya akan berlangsung
sampai tiga kali sidang. Lain hak kalau jawab-menjawab terjadi secara lisan maka akan lebih sederhana.
Tujuan dari jawab-menjawab ini tidak lain adalah untuk mengetahui dan menentukan pokok perkara.
Kalau jawab- menjawab antara penggugat dan tergugat telah diketahui apa yang menjadi pokok
sengketanya, maka jawab-menjawab dianggap cukup dan dinyatakan selesai oleh hakim dan dimulai
dengan acara pembuktian.