Anda di halaman 1dari 17

Modul 2: Konteks dan Pemahaman Umum Tentang

Kedudukan dan Peran Mediasi Dalam Penyelesaian


Perkara di Pengadilan

Hasil Belajar

Setelah pembelajaran selesai peserta diharapkan mampu menjelaskan bentuk-


bentuk (jenis) penyelesaian sengketa di dalam dan di luar pengadilan,
menjelaskan kedudukan, dasar hukum dan sifat mediasi di pengadilan dan
menjelaskan tugas dan fungsi hakim, pegawai pengadilan dalam pelaksanaan
mediasi yang efektif dan efisien.

Kompetensi Dasar

Pada akhir sesi, peserta mampu:


1. Menjelaskan bentuk-bentuk (jenis) penyelesaian sengketa di dalam dan di luar
pengadilan.
2. Menjelaskan kedudukan, dasar hukum dan sifat mediasi di pengadilan.
3. Menjelaskan tugas dan fungsi hakim, pegawai pengadilan dalam
pelaksanaan mediasi yang efisien dan efektif.

Kondisi Objektif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan

Setiap manusia mempunyai naluri untuk beraktivitas dan hidup dengan orang
lain (gregariousness),1 dalam aktivitasnya manusia melakukan interaksi antar
sesamanya. Interaksi sosial tersebut dapat berupa kerjasama (cooperation),
persaingan (competition), dan bahkan berbentuk pertentangan atau pertikaian
(conflict)2 yang dapat menimbulkan sengketa yang berujung di pengadilan. Karenanya
Pengadilan semakin banyak menerima sengketa yang diajukan para pihak untuk
mencari kepastian hukum yang berkeadilan. Perkara yang menumpuk di pengadilan,
membuat para pihak yang mengajukan sengketa di pengadilan harus menunggu
dalam jangka waktu yang relatif lama untuk mendapatkan suatu putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Lambatnya penyelesaikan perkara dan adanya penumpukan perkara
menimbulkan rasa tidak percaya dari para pencari keadilan, karena dianggap tidak
memenuhi harapan ideal (das solen). Sebagaimana adagium hukum yang
berkembang, bahwa “Justice delayed, justice denied”, proses peradilan yang lambat
sama dengan tidak memberikan keadilan kepada pihak-pihak yang berperkara.

1
Soerjono Soekanto, Pokok- Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 73.
2
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982, hlm. 64.
1
Peradilan sebagai pelaksanaan kekuasan kehakiman memiliki peran yang
penting. M. Yahya Harahap menyebutkan ada 2 (dua) peran penting badan peradilan
dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi yaitu:3
1. Peradilan berperan sebagai katup penekan (pressure valve) atas segala
pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan pelanggaran ketertiban
umum.
2. Peradilan sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan (to
enforce the truth and enforce justice).
Berdasarkan kedudukan pengadilan sebagai katup penekan dan tempat
terakhir mencari keadilan, peradilan memiliki fungsi dan peran sebagai penjaga
kemerdekaan masyarakat (in guarding the freedom society) dan wali masyarakat
(regarding as custodian society) dan sebagai pelaksanaan penegakan hukum
(judiciary as the upholder of the rule of thelaw).4
Penumpukan perkara dan penyelesaian sengketa yang relatif lama di
pengadilan tidak sesuai dengan penyelenggaraan peradilan Indonesia yang
berasaskan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di mata pelaku usaha misalnya,
waktu sangatlah penting. Berlambat-lambat dalam usaha berarti kerugian secara
finansial, terutama apabila mereka memiliki kewajiban finansial kepada pihak kreditur
(bank atau lembaga keuangan lainnya).5
Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana Pasal 2 ayat (4) menyatakan bahwa
peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penyelesaian
sengketa di pengadilan, melalui prosedur beracara yang tidak menentukan jangka
waktu untuk dapat menyelesaikan suatu perkara, mengakibatkan proses pemeriksaan
suatu perkara dari tahap pendaftaran perkara, tahap pemeriksaan serta sampai tahap
putusan membutuhkan waktu yang relatif lama.6 Belum lagi kalau ada kongesti
(tunggakan perkara yang telah ada harus diselesaikan).7
Sejalan dengan itu, kondisi objektif secara faktual menunjukkan beberapa
kelemahan penyelesaian sengketa di pengadilan dengan cara diputus oleh hakim yaitu
bahwa mayoritas putusan perkara perdata diajukan upaya hukum karena
ketidakpuasan para pihak atas putusan. Seadil apapun putusan menurut hakim tetap
dapat dianggap tidak adil oleh salah satu, terutama oleh pihak yang “kalah”. Belum lagi

3
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, CitraAditya
Bakti, Bandung, 1997, hlm. 237.
4
Ibid, hlm. 238.
5
Huala Adolf, Dasar-dasar, Prinsip dan Flosofi Arbitrase, Keni Media, Bandung, 2013, hlm.32.
6
Melalui SEMA Nomor 2 Tahun 2014, penyelesaian perkara sudah dibatasi waktunya, untuk pengadilan
tingkat pertama paling lambat 5 bulan, dan untuk peradilan tingkat banding paling lama 3 bulan. Untuk lamanya
penanganan perkara di MA, telah pula diatur berdasarkan SK KMA Nomor 119/SK/KMA/VII/2013 dan SK KMA
No. 214/KMA/SK/XII/2014.
7
R. Soebekti, Arbitrase, Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1981, hlm.4.

2
adanya fakta bahwa ketidakpuasan para pihak atas putusan hakim kadangkala
diwujudkan dalam bentuk yang menyalahi hukum.
Dalam praktiknya, ditemukan berbagai perilaku masyarakat pencari keadilan
yang mengekspresikan ketidakpuasan atas proses persidangan dan putusan hakim
yang dilakukan dengan cara-cara yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan
terhadap pengadilan (contempt of court), di antaranya bahkan dilakukan dengan
menyerang secara fisik diri hakim dan aparatur pengadilan dan/atau merusak fasilitas
pengadilan.
Untuk mengatasi hal tersebut, Mahkamah Agung secara serius dan sistematis
telah melembagakan mediasi sebagai bagian proses beracara yang wajib ditempuh
dalam penyelesaian sengketa perdata, sehingga diharapkan para pihak yang
bersengketa dalam menyelesaikan perkaranya secara cepat dan win win sollution
dengan bantuan mediator.
Berbagai Bentuk Penyelesaian Sengketa
Selain melalui pengadilan, para pihak yang terlibat konflik memiliki beberapa
alternatif dalam menyelesaikan konflik mereka, tergantung bagaimana mereka ingin
mendapatkan hasil atau jalan keluar dari konflik tersebut. Satu hal yang pasti adalah
dihindarinya penyelesaian sengketa dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting)
yang justru akan berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Beberapa alternatif
penyelesaian sengketa yang dibenarkan menurut hukum adalah sebagai berikut:8
a. Penilaian Ahli
Penyelesaian yang dilakukan oleh kedua pihak bersengketa dengan
bantuan Ahli, untuk menilai suatu kerugian (biasanya dalam perkara
tuntutan ganti rugi) atau untuk menilai suatu keadaan.

b. Negosiasi:
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, negosiasi adalah proses tawar
menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna
mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Negosiasi karena merupakan perundingan bipartite tidak memerlukan
fasilitasi dari pihak ketiga.

c. Mediasi:
Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu
oleh Mediator. Mediasi merupakan perpanjangan atau elaborasidari proses
negosiasi yang melibatkan peran pihak ketiga yang diterima bersama,

8
Lihat Pasl 1 angka 10, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative
Penyelesaian Sngketa.

3
pihak ketiga tersebut memilki kewenangan terbatas yaitu tidak sama sekali
untuk membuat keputusan. Pihak ketiga membantu para pihak utama
u n t u k mencapai kesepakatan atas suatu masalah yang disengketakan.
Dalam beberapa kepustkaan lain, terkadang mediasi dipersamakan dengan
konsiliasi, akan tetapi pada literatur yang lain terdapat pembedaan antara
mediasi dan konsiliasi. Mahkamah Agung secara konsisten menggunakan
istilah mediasi dan bukan konsiliasi.

d. Arbitrase:
Arbitrase merupakan istilah umum bagi proses sukarela di mana pihak-pihak
yang berkonflik meminta bantuan pihak ketiga yang tidak memihak dan
netral untuk membuat keputusan bagi mereka terkait masalah yang
dipertentangkan. Hasil dari keputusan bisa berupa nasihat ataupun mengikat
dan keputusan arbitrase merupakan hal yang pribadi dan tidak terbuka untuk
umum.
Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Sengke Alternatif, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Putusan
Arbitrase bersifat mengikat dan tidak dapat diajukan upaya hukum, kecuali
atas keadaan tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. Proses
persidangan arbitrase bersifat formal dan rigid layaknya persidangan di
pengadilan, karena itu banyak pihak menganggap penyelesaian sengketa
melalui arbitrase yang bersifat ajudikatif ini tidak dapat disebut sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS/ADR), akan tetapi merupakan bentuk
tersendiri dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Kehendak untuk
melakukan arbitrase dan penujukan arbiter harus disetujui bersama antara
para pihak berperkara.

e. Pengadilan
Pendekatan ini melibatkan pihak ketiga yang secaran institusional diakui
memiliki kekuasaan dalam penyelesaian sengketa. Proses ini menggerakkan
proses dari yang bersifat pribadi menjadi publik. Dalam proses ini biasanya
para pihak menggunakan jasa Advokat untuk bertindak sebagai
kuasa/wakilnya dan masalah diperdebatkan di hadapan pihak ketiga, yaitu
hakim, yang akan memberikan penilaian melalui putusannya.

4
Karakteristik Beberapa Alternatif Penyelesaian Sengketa
Berikut ini adalah karakteristik beberapa alternatif penyelesaian sengketa dilihat
dari sifatnya (sukarela atau tidak), siapa pemutusnya, bagaimana keputusan
penyelesaian sengketa memiliki kekuatan mengikat, keterlibatan pihak ketiga,
bagaimana aturan pembuktiannya, proses, hasil dan pelaksanaannya.9

Karakteristik Beberapa Alternatif Penyelesaian Sengketa

Karakteristik Litigasi/ Arbitrase Mediasi Negosiasi


Pengadilan
Sifat Tidak Sukarela Sukarela Sukarela Sukarela

Pemutus Hakim Arbiter Para Pihak Para Pihak

Mengikat Mengikat dan Mengikat dan Mengikat Mengikat


ada dapat diuji apabila terjadi apabila terjadi
kemungkinan untuk hal kesepakatan kesepakatan
banding yang sangat sebagai kontrak sebagai kontrak
terbatas

Pihak Ketiga Ditetapkan Dipilih oleh Dipilih sebagai Tidak ada


para pihak & mediator &
memiliki biasanya memiliki
keahlian pada keahlian pada
objek objek
persengketaa persengketaan
n

Aturan Pembuktian Formal/Teknis Informal Tidak ada Tidak ada

9
Dikutip dari presentasi IBR Supancana berjudul ‘Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa’ yang
disampaikan pada pelatihan mediasi untuk hakim Pusdiklat Mahkamah Agung, 9 Agustus 2011. Tabel ini diolah
dari S. Goldberg, E. Green and F. Sander, Dispute Resolution, Boston: Little Brown and Co., 1985 dengan
mempertimbangkan kondisi faktual.

5
Karakteristik Litigasi Arbitrase Mediasi Negosiasi

Proses Masing – Masing – Presentasi Presentasi


masing masing permasalahan permasalahan
menyampaikan menyampaikan dan dan
bukti argumen bukti argumen kepentingan kepentingan

Hasil Menang–Kalah Menang–Kalah Menang–Menang Menang–Menang

Pelaksanaan Terbuka Tertutup Tertutup Tertutup

Dari berbagai bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan di atas, dapat


disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melaui negosiasi atau perundingan tanpa
melibatkan pihak ketiga, apabila tidak berhasil dapat ditingkatkan menjadi
penyelesaian sengketa melalui mediasi. Mediasi melibatkan pihak ketiga netral
sebagai fasilitator, dimana pihak ketiga tersebut tidak mengambil keputusan melainkan
hanya memberikan opsi atau pilihan penyelesaian sengketa. Hasil akhir penyelesain
sengketa tetap di tangan para pihak. Penyelesaikan sengketa melaui mediasi
dianggap sebagai bentuk penyelesaian sengketa paling baik. Oleh karena itu
Mahkamah Agung mengambil kebijakan untuk menerapkan proses mediasi yang
semula merupakan bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan kemudian
diberlakukan untuk penyelesaian sengketa bagi perkara perdata yang telah terdaftar
di pengadilan negeri dan pengadilan agama.

Terhitung sejak tahun 2003 melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2


Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang kemudian diganti dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dan terakhir diganti dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, Mahkamah Agung mewajibkan
agar setiap perkara yang telah terdaftar di pengadilan dan pada saat para pihak hadir
di persidangan pada hari yang telah ditentukan untuk terlebih dahulu menempuh
perdamaian melalui mediasi sebelum pembacaan gugatan atau pemeriksaan perkara.

Untuk maksud tersebut, Hakim Pemeriksa Perkara wajib menunda sidang


paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang dapat diperpanjang 30 (tiga puluh) hari kerja
lagi untuk memberi kesempatan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian
melalui mediasi dengan mediator adalah hakim atau profesi lain selain hakim yang
telah mengikuti dan lulus sertifikasi mediator. Apabila upaya perdamaian melalui
mediasi berhasil mencapai kesepakatan, para pihak dapat meminta kesepakatan
perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian oleh hakim pemeriksa
perkara. Akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga tidak terdapat upaya hukum

6
apapun atas akta perdamaian bahkan terhadap perkara tersebut tidak lagi dilakukan
pemeriksaan. Inilah yang menyebabkan perdamaian melalui mediasi yang dikuatkan
dengan Akta Perdamaian selaras dengan penyelenggaraan peradilan yang
sederhana, cepat dan berbiaya ringan.

Manfaat Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi


Dalam konteks mediasi di luar pengadilan, menggunakan mediasi sebagai
sarana dan strategi penyelesaian sengketa, didapatkan keuntungan yaitu keputusan
yang hemat, penyelesaian secara cepat, hasil-hasil yang memuaskan bagi semua
pihak, kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “customized”, praktek dan belajar
prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif, tingkat pengendalian lebih
besar danhasil yang bisa diduga, pemberdayaan individu. Melestarikan hubungan
yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri
hubungan dengan cara yang lebih ramah, keputusan-keputusan yang bisa
dilaksanakan, kesepakatan yang lebih baik daripada hanyamenerima hasil kompromi
atau prosedur menang kalah, keputusan berlakutanpa mengenal waktu.10
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan memiliki
keuntungan sebagai berikut:
• Mempercepat proses penyelesaian sengketa
• Biaya rendah (ringan)
• Memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian yang menghasilkan
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak, sehingga para pihak tidak
menempuh upaya banding dan kasasi
• Mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan
• Memberdayakan para pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian
sengketa
• Memperlancar jalur keadilan (access to justice) bagi masyarakat
• Bersifat tertutup/rahasia
• Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga
hubungan para pihak yang bersengketa di masa depan masih dimungkinkan
terjalin dengan baik
Selain itu, secara faktual terdapat manfaat bagi Lembaga Peradilan, jika
pemberlakuan mediasi di pengadilan berhasil dilakukan, yaitu:
• Sumber daya pengadilan yang terkuras untuk menangani perkara, dapat
diberdayakan untuk pembaruan peradilan dan peningkatan pelayanan
masyarakat.

10
Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Citra Aditya Bakti, Bandung,2003,
hlm. 83-85.

7
• Kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan akan meningkat, jika banyak
sengketa yang dibawa ke pengadilan berhasil damai.
• Efisiensi dan penghematan anggaran negara, karena dengan banyaknya
mediasi yang berhasil di pengadilan tingkat pertama, pengadilan banding dan
Mahkamah Agung akan lebih sedikit menangani perkara, anggaran
Mahkamah Agung dapat dialokasikan secara lebih efisien.
• Mengurangi penumpukan perkara terutama di Mahkamah Agung, sebagai
akibat banyaknya perkara perdata yang diajukan upaya hukum.

Dasar Hukum dan Sifat Wajib Mediasi di Pengadilan

Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan
bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya
Pasal 2 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengamanatkan penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat dan
berbiaya ringan.

Upaya mendorong setiap penyelesaian sengketa melalui mediasi disamping


merupakan implementasi dari asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, juga
dimaksudkan untuk mengembalikan setiap penyelesaian sengketa kepada Jatidiri
Bangsa, yaitu “Musyawarah Mufakat” sebagaimana diamanatkan dalam Sila keempat
Pancasila. Negara hukum yang dicita-citakan Indonesia bukan negara hukum
individualis juga bukan sosialis, tetapi negara hukum Pancasila yang menghendaki
keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Mediasi yang dimulai dari negosiasi
sebagai bentuk lain musyawarah untuk mufakat, ditujukan untuk menciptakan suasana
harmoni dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat bangsa Indonesia secara umum
juga selalu mengedepankan aturan musyawarah mufakat untuk mencapai perdamaian
dalam setiap penyelesaian sengketa.

Dalam kaitannya dengan upaya memperluas akses terhadap keadilan (access


to justice) dapat dikatakan bahwa keadilan bukan hanya dapat dihasilkan dari proses
persidangan dan putusan hakim, tetapi juga melalui perdamaian. Proses mediasi yang
bersifat informal dan dialogis akan memungkinkan para pihak mengungkapkan segala
kepentingan, harapan dan keinginan secara lebih luas, sehingga ruang lingkup
penyelesaian sengketa menjadi lebih luas dan tuntas.

Putusan pengadilan karena dihasilkan dari proses bersengketa yang formal


dan rigid sering tidak dapat menampung segala aspek dalam hubungan para pihak,
sehingga tidak dapat menyelesaikan sengketa secara tuntas. Dari aspek formal, akses
keadilan dalam mediasi akan lebih mudah tercapai karena dalam proses mediasi,

8
aturan perundingan disepakati para pihak dan tidak formal. Tempat duduk mediator
juga sejajar dengan para pihak, sehingga lebih tercipta suasana nyaman untuk
berbicara yang memungkinkan para pihak menyampaikan segala keinginan dan
harapan para pihak secara tertulis maupun melalui dialog interaktif secara langsung.
Dalam konteks pelaksanaan tugas dan wewenang pengadilan, mendamaikan
para pihak sama pentingnya dengan memutus perkara secara adil. Pasal 50 UU No.
2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. UU No. 8 Tahun 2004 jo. UU No. 49 Tahun
2009 menyebutkan bahwa “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat
pertama.”11 Apabila mediasi berhasil, maka pengadilan juga telah berhasil
menyelesaikan perkara, dimana produk pengadilan dalam hal ini bisa berwujud Akta
Perdamaian ataupun Penetapan Pencabutan Perkara.
Sebelum adanya pengaturan tentang mediasi di Pengadilan, Lembaga
perdamaian dalam penyelesaian perkara di pengadilan sesungguhnya bukan hal yang
baru. Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg yang merupakan hukum acara perdata
peninggalan kolonial Belanda telah mengatur bahwa pada hari sidang yang ditentukan
yang dihadiri oleh para pihak Hakim terlebih dahulu wajib mengupayakan perdamaian.
Apabila upaya perdamaian berhasil dan para pihak menghendaki, perdamaian para
pihak dapat dikuatkan dengan Akta Perdamaan. Akan tetapi pada masa sebelum
berlakunya pengaturan tentang mediasi, pelaksanaan Pasal 130 HIR/154 RBg di atas
hanya bersifat formalitas, akibatnya tidak banyak perdamaian yang terjadi yang
dihasilkan hanya mendasarkan pada pasal-pasal dalam HIR/RBg tersebut.
Selama ini, terdapat pemahaman yang salah yang terlanjur menjadi pegangan
bagi masyarakat pada umumnya bahkan banyak di kalangan pengadilan sendiri
berpandangan bahwa tugas hakim hanyalah memeriksa dan memutus perkara.
Padahal sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai kewenangan
peradilan umum dan peradilan agama, nomenklatur tugas hakim adalah
menyelesaikan perkara yang dalam menyelesaikan perkara tersebut dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu mendamaikan atau memutus. Pasal 130 HIR/154 RBg telah
menentukan bahwa tugas mendamaikan wajib dilakukan terlebih dahulu sebelum
tugas memutus. Apabila tugas mendamaikan tidak berhasil mencapai kesepakatan,
barulah hakim dapat melaksanakan tugas memutus dengan terlebih dahulu
melakukan pemeriksaan perkara tersebut.
Dengan memperhatikan manfaat penyelesaian sengketa melalui mediasi, maka
kemudian Mahkamah Agung memberlakukan mediasi untuk perkara yang telah

11
Untuk lingkungan peradilan agama, pengaturan yang sama bisa dilihat dalam Pasal 49 ayat (1) UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009.

9
terdaftar ke pengadilan. Mahkamah Agung memilih mediasi sebagai nomenklatur
istilah bentuk penyelesaian sengketa, sebagai wujud penjabaran Pasal 130 HIR/154
RBg dan bukan bentuk lain seperti negosiasi dengan landasan pemikiran bahwa
Pasal 130 HIR/154 RBg mengamanatkan Hakim untuk mengupayakan perdamaian di
antara para pihak. Dengan demikian dalam perdamaian para pihak pada saat
perkaranya diajukan ke pengadilan wajib terdapat peranan pihak ketiga sebagai
pendamai, yaitu hakim yang bertindak bukan sebagai pemutus akan tetapi sebagai
pendamai. Karena itulah amanat perdamaian Pasal 130 HIR/154 RBg mempunyai
karakteristik yang sama dengan bentuk penyelesaian sengketa mediasi yang
memerlukan adanya fasilitasi dari pihak ketiga yang netral.
Mediasi di dalam Pengadilan (court annexed mediation) mulai berlaku di
Indonesia sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun
2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. PERMA ini bertujuan menyempurnakan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama dalam Menerapkan Lembaga Damai sebagaimana diatur
dalam pasal 130 Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) dan Pasal 154 Rechtsreglement
voor de Buitengewesten (RBg). Pasal 130 HIR dan 154 RBg sebagaimana diketahui
mengatur tentang lembaga perdamaian dan mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu
mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa.
Dengan berlakunya PERMA No. 2 Tahun 2003, mediasi bersifat wajib bagi
seluruh perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama. Untuk
mendukung pelaksanaan PERMA No. 2 Tahun 2003, pada tahun 2003-2004
Mahkamah Agung melakukan pemantauan pelaksanaan mediasi di empat Pengadilan
Negeri (PN) yang menjadi pilot court, yaitu PN Bengkalis, PN Batu Sangkar, PN
Surabaya, dan PN Jakarta Pusat. Tujuan pemantauan tersebut adalah untuk
mendapatkan gambaran tentang penerapan hasil Pelatihan Sertifikasi Mediator bagi
Hakim di empat pengadilan tersebut. Selain pelatihan bagi hakim, juga dilakukan
pelatihan bagi panitera di empat pengadilan yang menjadi pilot court tersebut tentang
pendokumentasian proses mediasi bagi para Panitera. Dari dari pelatihan itu,
dihasilkan formulir-formulir yang diharapkan menjadi acuan bagi pengadilan-
pengadilan lainnya sehingga pendokumentasian dan pengarsipan berkas proses
mediasi menjadi seragam.12 Selain empat pengadilan yang menjadi pilot court,
Pelatihan Sertifikasi Mediator juga dilakukan di Semarang, ditujukan bagi Hakim di
lingkungan Provinsi Jawa Tengah, diikuti dengan pemantauan ke berbagai Pengadilan
Negeri Provinsi tersebut.13

12
Laporan Desk Review on Alternative Dispute Resolution (ADR), Indonesian Institute for Conflict
Transformation (IICT), November 2013, hal 3.
13
Ibid.

10
Pada tahun 2008, PERMA No. 2 Tahun 2003 diganti dengan PERMA No. 1
Tahun 2008. Dalam bagian menimbang PERMA ini disebutkan “bahwa setelah
dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur mediasi di Pengadilan
berdasarkan PERMA No. 2 Tahun 2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan
yang bersumber dari PERMA tersebut sehingga PERMA No. 2 Tahun 2003 perlu
direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan
proses berperkara di Pengadilan”.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, sifat wajib mediasi dalam proses berperkara
di Pengadilan lebih ditekankan lagi. Ini dapat dilihat dengan adanya pasal yang
menyatakan bahwa tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan PERMA itu
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR/154 Rbg yang
menyatakan putusan batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008).
Sementara Pasal 2 ayat (4) PERMA No. 2 Tahun 2003 menyatakan bahwa Hakim
dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang
bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan
nama mediator untuk perkara tersebut.
Untuk implementasi dari PERMA No. 1 Tahun 2008, Mahkamah Agung (MA)
menunjuk empat Pengadilan Negeri sebagai pilot court, yaitu PN Jakarta Selatan,
Bandung, PN Bogor, dan PN Depok. MA juga menerbitkan buku Komentar PERMA
No. 1 Tahun 2008 dan buku Tanya Jawab PERMA No. 1 Tahun 2008 serta video
tutorial pelaksanaan mediasi di Pengadilan yang seluruhnya dapat diakses melalui
website Mahkamah Agung.
Setelah delapan tahun berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2008, Mahkamah
Agung kemudian mencabut PERMA tersebut dan kemudian memberlakukan PERMA
No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai penggantinya.
Dalam salah satu diktum menimbang PERMA tersebut, disebutkan bahwa Prosedur
Mediasi di Pengadilan yang menjadi bagian hukum acara perdata dapat memperkuat
dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa dan
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinilai belum
optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang lebih berdayaguna dan
mampu meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan;
Pasal 3 PERMA No. 1 Tahun 2016 menyebutkan:
(1) Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti
prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi.
(2) Hakim Pemeriksa Perkara dalam pertimbangan putusan wajib menyebutkan
bahwa perkara telah diupayakan perdamaian melalui Mediasi dengan
menyebutkan nama Mediator.

11
(3) Hakim Pemeriksa Perkara yang tidak memerintahkan Para Pihak untuk
menempuh Mediasi sehingga Para Pihak tidak melakukan Mediasi telah
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
Mediasi di Pengadilan.
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), apabila diajukan upaya hukum maka Pengadilan Tingkat Banding atau
Mahkamah Agung dengan putusan sela memerintahkan Pengadilan Tingkat
Pertama untuk melakukan proses Mediasi;
Selanjutnya untuk mengakomodir mediasi secara elektronik di pengadilan
(mediasi elektronik), Mahkamah Agung memberlakukan PERMA No. 3 Tahun 2022
tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik. Melalui Perma ini dimungkinkan
mediasi dilakukan secara elektronik, bertempat di Ruang Virtual Penyelenggaraan
Mediasi Elektronik. PERMA No. 1 Tahun 2016 tetap berlaku dalam mediasi elektronik
sepanjang tidak ditentukan lain oleh PERMA ini (Pasal 25 PERMA No. 3 Tahun 2022).

Faktor-Faktor yang mempengaruhi keberhasilan Mediasi di Pengadilan


Keberhasilan Mediasi di Pengadilan saat ini dinilai masih relatif rendah. Hal ini
disebabkan antara lain oleh faktor-faktor berikut:
a. Para Pihak/Kuasa Hukum
b. Hakim/Lembaga Pengadilan
c. Tata Kelola/Administrasi Kelembagaan Mediasi di Pengadilan
d. Kurangnya sosialisasi mengenai kemanfaatan dan prosedur Mediasi
e. Peran Mediator Hakim/Non Hakim Bersertifikat
f. Peraturan
g. Para Pihak/Kuasa Hukum.

Upaya Mengatasi Rendahnya Tingkat Keberhasilan Mediasi di Pengadilan

1. Faktor Para Pihak/Kuasa Hukum


a. Mengenalkan lembaga iktikad baik dan iktikad buruk, dengan ancaman
sanksi penghukuman biaya mediasi atas pelanggarannya.
b. Revitalisasi peran kuasa hukum untuk mendukung proses dan hasil mediasi.

2. Faktor Hakim/Pengadilan
a. Kewajiban Ketua Pengadilan untuk mendukung mediasi.
b. Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara untuk menjelaskan manfaat dan
prosedur Mediasi. Penting bagi para pihak untuk mendapatkan pemahaman
dan informasi mengenai peran dan fungsi mediasi dari Hakim Pemeriksa
Perkara. Pemahaman itu berperan penting untuk memberi motivasi kepada

12
para pihak untuk terlibat proses mediasi. Untuk tercapainya pemahaman
tersebut maka Hakim Pemeriksa Perkara perlu menampilkan sikap positif
dan antusias dalam menjelaskan mengenai mediasi.
c. Peningkatan tata kelola administrasi pencatatan dan pelaporan proses dan
hasil Mediasi serta peningkatan Sapra Mediasi di Pengadilan.
d. Memperjelas tata hubungan antara Mahkamah Agung dengan Lembaga
Sertifikasi Mediator Terakreditasi dan dengan Mediator/Asosiasi Mediator
Bersertifikat.

3. Faktor Mediator Hakim/Non Hakim


a. Pemberdayaan peran Mediator Hakim melalui pengaturan perincian tugas
Mediator, penjaminan kualitas mediasi dan insentif.
b. Pemberdayaan peran pegawai pengadilan bersertifikat dan Mediator Non
Hakim Bersertifikat.

4. Pengaturan tentang Mediasi yang lebih jelas


a. Kesepakatan Sebagian = Subyek/pihak berperkara maupun
Obyek/Permasalahan Hukum.
b. Kesepakatan Perdamaian di Luar Pengadilan untuk memperoleh Akta
Perdamaian dapat dilakukan Para Pihak dengan atau tanpa bantuan
Mediator bersertifikat.
c. Perkara Verzet/Perlawanan Atas Verstek tetap wajib menempuh Mediasi,
sedangkan Rekonvensi dan Intervensi tidak wajib.
d. Dimungkinkan mediasi secara elektronik

Success Factors Seorang Mediator


Salah satu perangkat mediasi adalah adanya mediator. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kesuksesan seorang mediator adalah:
• Mediator harus memiliki persiapan dan penilaian (assessment) yang cukup
terhadap perkara/sengketa. Faktor keberhasilan mediasi dari aspek mediator,
90 % ditentukan dari tahap persiapan mediator.
• Mediator memastikan kehadiran para pihak.
• Mediator memastikan komitmen para pihak untuk berpartisipasi dan aktif
mengikuti proses mediasi.
• Para pihak dan mediator memiliki waktu, keahlian, dan informasi yang cukup
(didukung pada tahap assessment).
• Pengalaman dan profesionalisme Mediator.

13
Tips Memotivasi Diri Sendiri Untuk Menjadi Mediator Efektif
Tips Memotivasi Diri Sendiri Untuk Menjadi Mediator Yang Efektif

1. Kenali kelebihan Mengenali dan memahami kelebihan dan manfaat mediasi


dan manfaat membantu kita menumbuhkan sikap positif terhadap mediasi
mediasi dan mediator. Sikap positif terhadap mediasi dan mediator
memudahkan kita untuk dapat menjalani proses mediasi dan
menjalankan tugas sebagai mediator.
2. Identifikasi peran Mediator memegang pernanan penting dalam menentukan
mediator dalam keberhasilan proses mediasi. Oleh karena itu, mediator perlu
keberhasilan mengidentifikasi dan memahami perannya secara jelas.
mediasi. Pemahaman akan peran mediator dapat membantu
mendorong kita untuk menjalankan tugas mediator sebaik
mungkin sehingga mediasi memberikan hasil baik yang
diharapkan.
3. Berpikir Positif Gunakan mindset positif sebagai titik berangkat dalam
menjalankan tugas sebagai mediator. Mediasi akan
memberikan pengaruh positif bagi tugas hakim sebagai
penyelesai perkara melalui proses perdamaian. Hal-hal yang
baik akan lebih jelas dan lebih mudah ditampilkan jika kita
berpikir positif.
4. Bangga Sebagian kegiatan dalam proses mediasi mungkin terlihat sia-
menjalankan sia atau dirasa tidak tepat untuk kita lakukan. Namun
tugas sebagai kenyataannya kegiatan yang Anda lakukan sebagai mediator
mediator. membuat perbedaan. Ditugaskannya Anda sebagai mediator
punya alasan kuat dan yakinlah bahwa Anda akan memberi
pengaruh baik yang signifikan jika Anda menjalankan tugas itu
sebaik mungkin.
Anda perlu bangga dengan peran Anda sebagai mediator.
Lebih mudah untuk memotivasi diri sendiri saat kita
bangga dengan apa yang kita kerjakan dan Anda
melakukannya dengan kemampuan terbaik Anda.
5. Pikirkan hal Ingat dan pikirkan kembali hal-hal menyenangkan yang Anda
menyenangkan peroleh selama menekuni pekerjaan mediator. Jadikanlah hal
dari pekerjaan itu sebagai motivasi untuk kembali bersemangat dalam
mediasi dan bekerja.
menjadi
mediator.

14
6. Tiru teman Selama hal tersebut positif, contohlah perilaku rekan kerja
yang sangat Anda yang sudah bertugas sebagai mediator di pengadilan.
mencintai Perhatikan atau berbagi mengenai caranya mengatasi beban
pekerjaannya pekerjaan yang berat. Jadikan cara jitunya sebagai inspirasi
sebagai bagi Anda untuk menambah motivasi Anda bekerja sebagai
mediator. mediator.

7. Nikmati Dengan menikmati pekerjaan sebagai mediator, pekerjaan


pekerjaan seberat apapun akan terasa ringan. Namun, jika bekerja
sebagai secara terpaksa, maka pekerjaan yang ringan akan menjadi
mediator. berat dan pekerjaan yang berat akan semakin berat.

8. Beri Beri waktu bagi diri anda sendiri untuk sekedar relaks.
penghargaan Yakinkan bahwa Anda telah berbuat semaksimal mungkin
kepada diri memberikan keadilan sesuai dengan kepentingan para pihak.
sendiri atas Membuat para pihak merasa puas dengan hasil kesepakatan
setiap tahapan mereka membuat diri Anda merasa lebih termotivasi untuk
tugas mediasi
terus menjalankan tugas mediator.
yang telah
selesai
dikerjakan agar
memberikan
energi yang
positif dalam
diri, yang akan
sangat
membantu
menjaga
semangat kerja.
9. Menjalankan Jika beban sebagai mediator dirasa berat atau menjenuhkan,
hobi atau lakukan kegiatan lain di luar rutinitas pada waktu senggang.
kegiatan- Kegiatan itu misalnya menonton film, berwisata kuliner
kegiatan lain di bersama keluarga atau pergi bersama teman lama. Yang
luar rutinitas. penting itu adalah kegiatan yang Anda senangi dan
bermanfaat. Akan tetapi, pastikan jangan sampai aktivitas itu
malah menguras tenaga dan membuat Anda lebih malas untuk
kembali bekerja.

Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal penting
sebagai berikut:
a. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di pengadilan dan di luar pengadilan
telah menyediakan beberapa pilihan. Di pengadilan sendiri tersedia
penyelesaian perkara secara mediasi, sedangkan diluar pengadilan terdapat
beberapa alternatif dalam menyelesaikan konflik yang tergantung keinginan

15
para pihak, seperti negosiasi, mediasi, musyawarah, arbitrase, dan sebagainya.
b. Karakteristik penyelesaian sengketa dalam sistem alternatif penyelesaian
sengketa dapat dilihat dari sifatnya, pemutusnya, kekuatan mengikat,
keterlibatan pihak ketiga, aturan pembuktiannya, proses, serta hasil dan
pelaksanaannya.
c. Manfaat penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan sebagai
alternatif penyelesaian sengketa sangat banyak. Beberapa Manfaat mediasi,
diantaranya: Mempercepat proses penyelesaian sengketa, biaya murah (rendah),
memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian yang menghasilkan
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihaksehingga para pihak tidak
menempuh upaya banding dan kasasi, mengurangi kemacetan dan
penumpukan perkara di pengadilan, dan memberdayakan para pihak yang
bersengketa dalam prosespenyelesaian sengketa.

d. Harus disadari bahwa seadil apapun putusan hakim tetap berpotensi


menimbulkan ketidakpuasan salah satu atau kedua pihak karena bukan
dihasilkan oleh kehendak/keinginan para pihak. Oleh karena itu semboyan
penyelesaian perkara khususnya perkara perdata ke depan adalah
“mendamaikan sama mulianya dengan memutus secara adil”.
e. Diharapkan Hakim Mediator dapat terus meningkatkan kemampuan dan
memotivasi diri untuk mendukung suksesnya pelaksanakan mediasi, sehingga
tingkat keberhasilan mediasi di mediasi bisa terus meningkat.

Daftar Pustaka
Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Perma Nomor 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik

SK KMA Nomor 108/KMA/SK/VI/2016 tentang tata Kelola Mediasi di Pengadilan

Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana
Islam Serta Ekonomi Syariah, Prenada Kencana Media Group, Jakakarta, 2016.

Christopher W. Moore. (2003). The Mediation Process. 3rd edition. San Fransisco:
Jossey-Bass.

Huala Adolf, Dasar-dasar, Prinsip dan Flosofi Arbitrase, Keni Media, Bandung, 2013.

IBR Supancana ‘Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa’ yang disampaikan pada


pelatihan mediasi untuk hakim Pusdiklat Mahkamah Agung, 9 Agustus 2011.

Laporan Desk Review on Alternative Dispute Resolution (ADR), Indonesian Institute


for Conflict Transformation (IICT), November 2013.

16
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2003.

Ramdani Wahyu S., M.Ag., M.SI (2012), Mediasi dalam Sistem Peradilan Agama,
Batic Press – Bandung, 2012.

R. Soebekti, Arbitrase, Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1981.

S. Goldberg, E. Green and F. Sander, Dispute Resolution, Boston: Little Brown and
Co., 1985.

Soerjono Soekanto, Pokok- Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982

Takdir Rahmadi, SH, LLM. (2010). Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui


Pendekatan Mufakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

19 -11- 2023

17

Anda mungkin juga menyukai