BAB I
PENDAHULUAN
Sengketa adalah merupakan suatu fenomena yang selalu kita jumpai pada
perhatian dari para pengkaji “hukum dan masyarakat” (Law and Society),
sengketa di luar sidang yang tidak perlu membutuhkan waktu yang lama dan
1
Kun Budianto, Modul Pendidikan dan Pelatihan Kemahiran Hukum, (Palembang: LAB
Hukum Fakultas Syariah IAIN RF, 2010), 394
2
sengketa atau konflik dengan melalui mediasi merupakan suatu hal yang
diharapkan. Cara ini dipandang lebih baik dari pada penyelesaian dengan cara
kekerasan atau bertanding (contentious) karena hal seperti itu tidak memberikan
nilai positif bagi mereka bahkan memberikan dampak buruk, maka dicarilah jalan
keluarnya melalui jalan damai terhadap sengketa ataupun konflik yang ada.
Makalah ini akan membahas tentang dasar hukum mediasi dan pembatalan
perkawinan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Memenuhi sebagian tugas pada Mata Kuliah Mediasi dan Advokasi dalam
Hukum Keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan
munfakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.
Pengertian mediasi secara legal diatur oleh Perma Nomor 1 Tahun 2008.
Pada Pasal 1 angka 7. Perma ini menyebutkan bahwa mediasi adalah cara
suatu sengketa juga berperan sebagai pemacu para pihak mencapai penyelesaian
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 569
3
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Munfakat,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 12.
4
secara damai. Namun harus diingat, fungsi mediator tidak lebih kecuali sebagai
fasilitator. Terdapat prinsip yang harus dijaga oleh seorang seoramg mediator.
Yaitu prinsip bahwa substansi materi kesepakatan damai merupakan hak mutlak
para pihak. Penentuannya tak boleh ada intervensi dari mediator. Mediator hanya
sengketa antara para pihak melalui bantuan pihak ketiga. Secara prinsip, pihak
ketiga ini berposisi netral dan imparsial. Mediasi diharapkan dapat mengantarkan
pihak pada posisi yang sama. Sebisa mungkin mencapai solusi menang-menang.
dimungkinkan. Dasr hukumnya dapat ditemukan dalam hukum acara perdata yang
berlaku diIndonesia. HIR dan Rbg. Pasal 130 HIR atau pasal 154 R.Bg atau Pasal
1. Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang, maka
pengadilan dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan
mereka.
2. Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu
bersidang, diperbuat sebuah akta tentang itu, diman kedua belah pihak
dihukum akan menepati janjian yang diperbuat itu, dimana surat akan
berkekuatan akan dijadikan sebagai keputusan biasa
3. Keputusan yang demikian itu tidak dapat diizinkan banding.
4. Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu
dipakai juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti.
4
D. Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi, ( Bandung; Alfabeta, 2011), 18.
5
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Prespektif Hukum Syariah, Hukum Adat, & Hukum
Nasional,(Jakarta: Kencana, 2009)
5
untuk berdamai. Untuk keperluan itu hakim lalu menunda sidang selama beberapa
hari atau satu minggu. Tujuan penundaan itu jelas. Tidak lain kecuali untuk
memberi waktu kepada para pihak agar menempuh proses perdamaian. Posisi
hakim lebih bersifat pasif dalam pelaksanaan pasal 130 HIR dan 154 Rbg, Semata
hanya menyuruh dan menganjurkan para pihak untuk menempuh proses mediasi
proses mediasi tersebut. Perma nomor 1 Tahun 2008 menghidupkan kembali ruh
substansial Pasal 130 HIR dan 154 Rbg warisan Belanda ini. Melalui panduan dan
tata cara bagi para pihak untuk memilih mediator dan menyelenggarakan proses
1. HIR/Rbg.
Keharusan ini merujuk pada ketentuan Pasal 130 HIR dan Rbg.7
Pasal 130 HIR/ 154 Rbg secara eksplisit mengatur tentang lembaga
6
Takdir Rahmadi, Mediasi; 68.
7
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 159.
6
perdamaian sebelum perkara pokok diperiksa lebih lanjut. Ketentuan dalam pasal
130 HIR/ 154 Rbg sekaligus juga mengindikasikan bahwa penyelesaian sengketa
Januari 2002. Penetapan SEMA ini dimaksudkan untuk untuk membatasi perkara
kasasi secara substantif dan prosedural. Jalan pikirannya sederhana. Bila perkara
di tingkat pertama dapat diselesaikan melalui proses mediasi, tentu saja secara
signifikan akan berimplikasi pada turunnya jumlah perkara pada tingkat kasasi.9
SEMA Nomor 1 Tahun 2002, tak berusia panjang. Masa berlakunya tak
mengeluarkan penggantinya. Kali ini dalam bentuk Perma Nomor 2 tahun 2003
8
Witanto, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet.IX, 2009), 242.
9
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet.IX, 2009), 242.
7
Perma mewujud dalam bentuk sistem mediasi. Melalui Perma ini, mediasi yang
ke sistem peradilan.
Ini disebabkan karena mediasi di dalam SEMA masih bersifat voluntary (suka
rela). Belum pula sepenuhnya terintegrasi secara sistemik dalam proses peradilan.
Sehingga mengandung sifat compulsory (memaksa). Selain itu, Pasal 130 HIR dan
pasal 154 Rbg dianggap tidak memadai. Metode penyelesaian perdamaian yang
digariskan pada 130 HIR dan pasal 154 Rbg, dianggap tidak memadai untuk
mengatur tata cara proses perdamaian yang pasti, tertib dan lancar.10
Perma nomor 2 tahun 2003. Berlaku mulai tanggal 31 Juli 2008. 11Sebagai
10
Ibid., 243
11
I Made Sukadana, Mediasi Peradilan, (Jakarta: PT Prestasi Pustaka, 2012), 130.
8
a. Terbukanya kemungkinan bagi para pihak untuk menempuh mediasi tidak saja
di tingkat pertama. Tetapi juga di tingkat banding, kasasi bahkan di tingkat PK;
perdamaian;
e. Pengaturan intensif atau tunjangan bagi mediator dari kalangan hakim yang
Mediasi;
Hal ini terkait dengan beberapa ketentuan yang diatur oleh Pasal Perma 2008.
(2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur
pasal 130 HIR atau pasal 154 Rbg adalah putusan batal demi hukum;
12
Witanto, Hukum, 57.
9
istilah ini mengandung arti membatalkan perkawinan. Dapat pula berarti merusak
berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama
salah satu sebab putusnya perkawinan, Fasakh terjadi dengan merusak atau
dibatalkan oleh sebab rusak atau tidak sahnya perkawinan. Suatu perkawinan
tidak sah karena tidak terpenuhinya salah satu syarat atau rukunnya. Terdapat dua
istilah berbeda terkait pernikahan dalam fiqh. Nikah fasid dan nikah bathil.
Keduanya berstatus hukum serupa. Sama-sama tidak sah. Bila nikah fasid tidak
sah karena tidak memenuhi salah satu syarat nikah, maka Nikah bathil kerena
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009),
242.
15
Ahmad Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press,2010),
85.
10
Kedua jenis pernikahan ini, baik nikah fasid maupun bathil, oleh undang-
rukun perkawinan dalam proses akad nikah. Dapat pula hal-hal lain yang muncul
disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat pada saat akad nikah, antara
lain18:
2. Kedua suami istri belum cukup umur. Dalam kasus seperti ini, perkawinan
Fasakh dapat pula terjadi oleh sebab yang muncul setelah berlakunya akad.
1. Salah satu pihak murtad. Akad perkawinan dapat batal (fasakh) karena
16
Amir Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakata: kencana, cet 1, 2004),
98
99.
17
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath,1995), 333.
18
Al hamdani, Risalah Nikah,(Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 272.
11
2. Salah satunya masuk Islam. Sementara yang lain tetap dalam keyakinan
Namun bila istrinya masuk dalam kategori ahli kitab, perkawinan tersebut tetap
3. Cacat. Ini juga dapat menjadi factor penyebab pembatalan perkawinan. Cacat
di sini dapat bersifat jasmani maupun rohani yang diderita suami atau isteri.
Bisa saja cacat tersebut telah ada sebelum perkawinan, namun baru diketahui
4. Ketidak mampuan suami memberi nafkah. Kasus ini harus diawali oleh
perkawinan misalnya diatur dalam beberapa pasal oleh Kompilasi Hukum Islam.
20
Amir syarifuddin, Hukum, 246.
21
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., Fiqih Madzab Syafi’I Buku 2 (Edisi Lengkap),
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 394
22
Ibid.
12
Sampai di sini kurang lebih jelas, bahwa suatu perkawinan yang telah
berlangsung dapat batal demi hukum dan dapat dibatalkan bila pelaksanaannya
13
atas permohonan pihak –pihak yang berkepentingan.23 Ketentuan mengenai hal ini
Selain oleh KHI, pembatalan nikah juga diatur oleh Undang-undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang perkawinann ini menjelaskan
hal tersebut dalam beberapa pasal berikut:
Pasal 24:
23
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006) 45.
14
diatur secara eksplisit baik oleh UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun
Pasal 22:
Pasal 25:
kedua suami-istri”.
Pasal 28:
15
Pasal 37:
Pasal 38:
Pengadilan Agama.24
Pembatalan suatu perkawinan tentu saja memiliki akibat hukum yang jelas.
3. Fasakh sebelum adanya kontak biologis, maka istri berhak atas maharnya;
4. Perihal anak yang dilahirkan, sesuai penjelasan yang ada dalam KHI pasal
BAB III
PENUTUP
24
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009) 43.
17
A. Kesimpulan
sebagai berikut:
a. HIR/Rbg.
B. Saran-Saran
Agama;
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. 2009. Mediasi Dalam Prespektif Hukum Syariah, Hukum Adat,
& Hukum Nasional, Jakarta: Kencana.
19
Basyir, Ahmad Azhar, MA. 2010., Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII
Press.
Harahap, M. Yahya, 2009. Hukum Acara Perdata, Cet. IX. (Jakarta : Sinar
Grafika.
Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin S.,2007. Fiqih Madzab Syafi’I Buku 2 (Edisi
Lengkap), Bandung: CV Pustaka Setia.
Nuruddin, Amir, 2004. dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta:
Kencana.
Sarwono, 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1988. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988.
Usman, Rahmadi, 2012. Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, Jakarta
Timur: Sinar Grafika.
Witanto, 2009. Hukum Acara Perdata, Cet. IX, Jakarta: Sinar Grafika.
20