Anda di halaman 1dari 20

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sengketa adalah merupakan suatu fenomena yang selalu kita jumpai pada

setiap masyarakat di dunia, baik pada masyarakat yang masih bercorak

tradisional, masyarakat modern bahkan masyarakat pasca modern yang

mempunyai kaitan dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan atau lebih tepatnya dengan hukum sebagaimana banyak mendapat

perhatian dari para pengkaji “hukum dan masyarakat” (Law and Society),

Antrapologi Hukum (Legal Anthropology), dan Hukum Bisnis (Business Law).

Apabila hal-hal yang tidak diinginkan terjadi maka pihak-pihak yang

mengalami sengketa tersebut harus mencari jalan keluar untuk mengatasi

masalahmasalah yang mereka hadapi, yaitu dengan cara mencari penyelesaian

sengketa di luar sidang yang tidak perlu membutuhkan waktu yang lama dan

biaya yang terlalu mahal.1 Menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan bukan

sesuatu yang buruk. Pengadilan adalah pranata menyelesaikan damai (sebagai

jalan dari tindakan kekerasan). Menyerahkan sengketa ke Pengadilan, selaian

memilih jalan damai juga sebagai penolakan penyelesaian dengan menghakimi

sendiri (eigen richting).

Penyelesaian sengketa Pengadilan sebagai bentuk penyelesaian secara

hukum yang bersifat netral (tidak memihak). Penyelesaian damai terhadap

1
Kun Budianto, Modul Pendidikan dan Pelatihan Kemahiran Hukum, (Palembang: LAB
Hukum Fakultas Syariah IAIN RF, 2010), 394
2

sengketa atau konflik dengan melalui mediasi merupakan suatu hal yang

diharapkan. Cara ini dipandang lebih baik dari pada penyelesaian dengan cara

kekerasan atau bertanding (contentious) karena hal seperti itu tidak memberikan

nilai positif bagi mereka bahkan memberikan dampak buruk, maka dicarilah jalan

keluarnya melalui jalan damai terhadap sengketa ataupun konflik yang ada.

Makalah ini akan membahas tentang dasar hukum mediasi dan pembatalan

perkawinan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Makalah ini memfokuskan pembahasan untuk menguraikan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah dasar hukum mediasi di Indonesia?

2. Bagaimanakah dasar hukum pembatalan nikah di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk:

1. Memenuhi sebagian tugas pada Mata Kuliah Mediasi dan Advokasi dalam

Hukum Keluarga.

2. Memberi sumbangsih pemikiran dalam kajian hukum keluarga di Indonesia

khususnya tentang mediasi dan pembatalan nikah.


3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Mediasi di Indonesia

Kata mediasi berarti proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam

penyelesaian suatu perselisihan. Pihak ketiga disini utamanya bertugas sebagai

sebagai penasihat.2 Secara umum, mediasi biasa didefenisikan sebagai suatu

proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan

munfakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.

Pihak netral ini disebut mediator. Bertugas memberikan bantuan bersifat

prosedural sekaligus subsantansial.3

Pengertian mediasi secara legal diatur oleh Perma Nomor 1 Tahun 2008.

Pada Pasal 1 angka 7. Perma ini menyebutkan bahwa mediasi adalah cara

penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

Mediasi dengan demikian, dapat disimpulkan sebagai metode penyelesaian

sengketa di antara dua pihak meamnfaatkan bantuan pihak ketiga (mediator).

Bertujuan membantu para pihak. Terutama dalam penyelesaian sengketa

berdasarkan kesepakatan para pihak. Pelibatan mediator dalam penyelesaian

suatu sengketa juga berperan sebagai pemacu para pihak mencapai penyelesaian

2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 569

3
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Munfakat,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 12.
4

secara damai. Namun harus diingat, fungsi mediator tidak lebih kecuali sebagai

fasilitator. Terdapat prinsip yang harus dijaga oleh seorang seoramg mediator.

Yaitu prinsip bahwa substansi materi kesepakatan damai merupakan hak mutlak

para pihak. Penentuannya tak boleh ada intervensi dari mediator. Mediator hanya

boleh ikut campur, bila benar-benar dibutuhkan.4

Tujuan mediasi menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya penyelesaian

sengketa antara para pihak melalui bantuan pihak ketiga. Secara prinsip, pihak

ketiga ini berposisi netral dan imparsial. Mediasi diharapkan dapat mengantarkan

para pihak mencapai kesepakatan damai. Ini sangat dimungkinkan, mengingat

penyelesaian sengketa melalui mediasi mensyaratkan penempatan kedua belah

pihak pada posisi yang sama. Sebisa mungkin mencapai solusi menang-menang.

Tak ada yang dikalahkan. Lebih mengedepankan prinsip win-win solution.5

Praktek mediasi di Indonesia dalam proses peradilan memang

dimungkinkan. Dasr hukumnya dapat ditemukan dalam hukum acara perdata yang

berlaku diIndonesia. HIR dan Rbg. Pasal 130 HIR atau pasal 154 R.Bg atau Pasal

31 Rv menyebutkan ketentuan tersebut secara lengkap sebagai berikut:

1. Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang, maka
pengadilan dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan
mereka.
2. Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu
bersidang, diperbuat sebuah akta tentang itu, diman kedua belah pihak
dihukum akan menepati janjian yang diperbuat itu, dimana surat akan
berkekuatan akan dijadikan sebagai keputusan biasa
3. Keputusan yang demikian itu tidak dapat diizinkan banding.
4. Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu
dipakai juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti.

4
D. Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi, ( Bandung; Alfabeta, 2011), 18.

5
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Prespektif Hukum Syariah, Hukum Adat, & Hukum
Nasional,(Jakarta: Kencana, 2009)
5

Dalam prakteknya, biasanya para hakim hanya memerintahkan para pihak

untuk berdamai. Untuk keperluan itu hakim lalu menunda sidang selama beberapa

hari atau satu minggu. Tujuan penundaan itu jelas. Tidak lain kecuali untuk

memberi waktu kepada para pihak agar menempuh proses perdamaian. Posisi

hakim lebih bersifat pasif dalam pelaksanaan pasal 130 HIR dan 154 Rbg, Semata

hanya menyuruh dan menganjurkan para pihak untuk menempuh proses mediasi

menuju perdamaian. Hakim tidak aktif memimpin pertemuan-pertemuan dalam

proses mediasi tersebut. Perma nomor 1 Tahun 2008 menghidupkan kembali ruh

substansial Pasal 130 HIR dan 154 Rbg warisan Belanda ini. Melalui panduan dan

tata cara bagi para pihak untuk memilih mediator dan menyelenggarakan proses

mediasi untuk menghasilkan perdamaian.6

Regulasi yang mengatur tentang mediasi di Indonesia, ditemukan dalam

beberapa ketentuan berikut:

1. HIR/Rbg.

HIR/Rbg menggariskan suatu keharusan bagi hakim dalam memeriksa

perkara perdata. Keharusan tersebut berupa terlebih dahulu mengupayakan

langkah perdamaian di antara para pihak sebelum melanjut ke proses persidangan.

Keharusan ini merujuk pada ketentuan Pasal 130 HIR dan Rbg.7

Pasal 130 HIR/ 154 Rbg secara eksplisit mengatur tentang lembaga

perdamaian di Pengadilan. Ketentuan ini menegaskan bahwa Hakim Ketua

Majelis harus menganjurkan para pihak terlebih dahulu menempuh proses

6
Takdir Rahmadi, Mediasi; 68.

7
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 159.
6

perdamaian sebelum perkara pokok diperiksa lebih lanjut. Ketentuan dalam pasal

130 HIR/ 154 Rbg sekaligus juga mengindikasikan bahwa penyelesaian sengketa

melalui mediasi merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan proses

penyelesaian sengketa di Pengadilan.8

2. SEMA Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat

Pertama Menerapkan Lembaga Damai

SEMA ini terbit sebgai tindak lanjut dari hasil Rakernas MA di

Yogyakarta tanggal 24-27 September 2001. Hanya beberapa bulan paska

Rakernas MA itu, SEMA ini kemudian ditetapkan. Tepatnya pada tanggal 30

Januari 2002. Penetapan SEMA ini dimaksudkan untuk untuk membatasi perkara

kasasi secara substantif dan prosedural. Jalan pikirannya sederhana. Bila perkara

di tingkat pertama dapat diselesaikan melalui proses mediasi, tentu saja secara

signifikan akan berimplikasi pada turunnya jumlah perkara pada tingkat kasasi.9

3. PermaNomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

SEMA Nomor 1 Tahun 2002, tak berusia panjang. Masa berlakunya tak

lebih dari 9 bulan. Tak sampai satu tahun setelah penetapannya, MA

mengeluarkan penggantinya. Kali ini dalam bentuk Perma Nomor 2 tahun 2003

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma ini memang dimaksudkan untuk

mengganti SEMA Nomor 1 Tahun 2002. Pasal 17 Perma menyebutkan: :

8
Witanto, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet.IX, 2009), 242.

9
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet.IX, 2009), 242.
7

“Dengan berlakunyaPeraturan Mahkamah Agung (Perma) ini, Surat


EdaranMahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai
(Eks Pasal 130 HIR/ 154 Rbg) dinyatakan tidak berlaku.”

Tak berbeda jauh dengan SEMA, penerbitan Perma ini juga

dilatarbelakangi oleh alasan serupa. Yaitu untuk mengatasi penumpukan perkara.

Instrumen efektif memang dibutuhkan untuk mengatasi kemungkinan

penumpukan perkara terutama di tingkat kasasi. Instrumen efektif dimaksud oleh

Perma mewujud dalam bentuk sistem mediasi. Melalui Perma ini, mediasi yang

sebelumnya lebih bersifat informal, menjadi sistemik. Karena telah diintegrasikan

ke sistem peradilan.

SEMA nomor 1 tahun 2002, faktanya memang belum sepenuhnya efektif.

Ini disebabkan karena mediasi di dalam SEMA masih bersifat voluntary (suka

rela). Belum pula sepenuhnya terintegrasi secara sistemik dalam proses peradilan.

Sehingga mengandung sifat compulsory (memaksa). Selain itu, Pasal 130 HIR dan

pasal 154 Rbg dianggap tidak memadai. Metode penyelesaian perdamaian yang

digariskan pada 130 HIR dan pasal 154 Rbg, dianggap tidak memadai untuk

mengatur tata cara proses perdamaian yang pasti, tertib dan lancar.10

4. Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Ini merupakan Perma terbaru yang mengatur tentang prosedur mediasi di

Pengadilan. Perma ini nota bene menggantikan sekaligus menyempurnakan

Perma nomor 2 tahun 2003. Berlaku mulai tanggal 31 Juli 2008. 11Sebagai
10
Ibid., 243

11
I Made Sukadana, Mediasi Peradilan, (Jakarta: PT Prestasi Pustaka, 2012), 130.
8

penyempurnaan terhadap regulasi-regulasi sebelumnya, di Perma ini terdapat

beberapa ketentuan baru. Di antara nya12:

a. Terbukanya kemungkinan bagi para pihak untuk menempuh mediasi tidak saja

di tingkat pertama. Tetapi juga di tingkat banding, kasasi bahkan di tingkat PK;

b. Kesepakatan damai di luar pengadilan dapat dikuatkan menjadi akta

perdamaian;

c. Penambahan batas waktu mediasi menjadi 40 hari kerja;

d. Hakim pemeriksa perkara dapat menjadi mediator;

e. Pengaturan intensif atau tunjangan bagi mediator dari kalangan hakim yang

berhasil menjalankan fungsi mediasi;

f. Pembatasan jenis-jenis sengketa tertentu yang tidak tunduk pada Perma

Mediasi;

g. Sanksi tegas terhadap pelanggaran keharusan melaksanakan proses mediasi.

Hal ini terkait dengan beberapa ketentuan yang diatur oleh Pasal Perma 2008.

Ketentuan tersebut antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:

(1) kewajiban melakukan proses mediasi;

(2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur

penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Perma 2008;

(3) Akibat dari tidak menempuh proses mediasi berdasarkan ketentuan

pasal 130 HIR atau pasal 154 Rbg adalah putusan batal demi hukum;

12
Witanto, Hukum, 57.
9

(4) Hakim wajib menyebutkan adanya upaya perdamaian melaui mediasi

dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara bersangkutan,

dalam pertimbangan putusan;13

B. Dasar Hukum Pembatalan Nikah di Indonesia

Dalam fiqh, pembatalan perkawinan dikenal dengan istilah fasakh. Secara

etimologi kata fasakh berarti merusak. Dikaitkan dengan hubungan perkawinan,

istilah ini mengandung arti membatalkan perkawinan. Dapat pula berarti merusak

perkawinan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, pembatalan

perkawinan merupakan pembatalan ikatan perkawinan oleh Pengadilan Agama

berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama

atau karena perkawinan yang terlanjur menyalahi hukum perkawinan.14 Sebagai

salah satu sebab putusnya perkawinan, Fasakh terjadi dengan merusak atau

membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.15 Pernikahan dapat

dibatalkan oleh sebab rusak atau tidak sahnya perkawinan. Suatu perkawinan

tidak sah karena tidak terpenuhinya salah satu syarat atau rukunnya. Terdapat dua

istilah berbeda terkait pernikahan dalam fiqh. Nikah fasid dan nikah bathil.

Keduanya berstatus hukum serupa. Sama-sama tidak sah. Bila nikah fasid tidak

sah karena tidak memenuhi salah satu syarat nikah, maka Nikah bathil kerena

tidak memenuhi rukun-rukunnya.


13
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta Timur:
Sinar Grafika, 2012), 51-52.

14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009),
242.

15
Ahmad Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press,2010),
85.
10

Kedua jenis pernikahan ini, baik nikah fasid maupun bathil, oleh undang-

undang perkawinan masuk dalam ranah pembatalan nikah bukan sekedar

pencegahan nikah. Sebab keduanya merupakan pernikahan yang telah

dilaksanakan. Sementara pencegahan perkawinan lebih tepat diterapkan pada

perkawinan yang belum berlangsung.16

Fasakh dapat terjadi disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat atau

rukun perkawinan dalam proses akad nikah. Dapat pula hal-hal lain yang muncul

kemudian setelah perkawinan berlanhsung.17 Pembatalan perkawinan yang

disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat pada saat akad nikah, antara

lain18:

1. Terbukti setelah perkawinan berlangsung bahwa perempuan yang dinikahi

ternyata saudara perempuannya sendiri.

2. Kedua suami istri belum cukup umur. Dalam kasus seperti ini, perkawinan

dapat dibatalkan. Setelah cukup umur, keduanya berhak memilih antara

meneruskan perkawinan atau tidak.

Fasakh dapat pula terjadi oleh sebab yang muncul setelah berlakunya akad.

Untuk kasus ini dapat disebutkan contoh berupa:

1. Salah satu pihak murtad. Akad perkawinan dapat batal (fasakh) karena

kemurtadan yang terjadi setelah perkawinan berlangsung.

16

Amir Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakata: kencana, cet 1, 2004),
98
99.

17
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath,1995), 333.

18
Al hamdani, Risalah Nikah,(Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 272.
11

2. Salah satunya masuk Islam. Sementara yang lain tetap dalam keyakinan

sebelumnya. Kasus ini juga dapat menjadi sebab pembatalan perkawinan.

Namun bila istrinya masuk dalam kategori ahli kitab, perkawinan tersebut tetap

sah. Perkawinan dengan ahli kitab dipandang sah oleh al-Qur’an.19

3. Cacat. Ini juga dapat menjadi factor penyebab pembatalan perkawinan. Cacat

di sini dapat bersifat jasmani maupun rohani yang diderita suami atau isteri.

Bisa saja cacat tersebut telah ada sebelum perkawinan, namun baru diketahui

kemudian. Terlebih cacat yang terjadi setelah perkawinan berlangsung.20

4. Ketidak mampuan suami memberi nafkah. Kasus ini harus diawali oleh

pengaduan istri, untuk kemudian diselesaikan oleh pihak berwenang

sebagaimana mestinya. Sekurang-kurangnya setelah 3 hari dari pengaduan istri,

oleh hakim suai diberi kesempatan untuk memenuhikewajibannya. Bila suami

tetap tidak mampu, hakim dapat membatalkan perkawinan itu.21

5. Fasakh karena suami ghaib.

6. Fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan.22

Penjelasan diatas terkait ketentuan fasakh perkawinan yang umumnya

ditemukan dalam khazanah fiqh Islam. Sebab-Sebab Pembatalan perkawinan juga

diatur dalam ketentuan perkawinan di Indonesia. Sebab-sebab pembatalan

perkawinan misalnya diatur dalam beberapa pasal oleh Kompilasi Hukum Islam.

Terutama pada Pasal 70 huruf (a) sampai (e) berikut:


19
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),73.

20
Amir syarifuddin, Hukum, 246.

21
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., Fiqih Madzab Syafi’I Buku 2 (Edisi Lengkap),
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 394

22
Ibid.
12

Perkawinan batal apabila:


(a) Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan
akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun
salah satu dari keempat istrinya itu dalam masa iddahtalak raj’i.
(b) Seorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.
(c) Seorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan
pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria
tersebut dan telah habis masa iddahnya.
(d) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah semenda dan sesusuan sampai drajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut pasal 8 Undangundang No.1 tahun 1974, yaitu:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau
keatas. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara tua, dan antara
seorang dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu
mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri. 4. Berhubungan
sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan,
dan bibi atau paman sesusuan.
(e) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau pemenakan dari
istri atau istri-istrinya.

Terdapat pula sebab-sebab lain yang memungkinkan terjadinya

pembatalan perkawinan. Sebab-sebab itu disebutkan dalam Pasal 71 huruf (a)

sampai (f) KHI berikut:

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:


(a) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
(b) Perempuan yang dikawina ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri pria lain yang mafqud.
(c) Perkawinan yang dikawini ternyata masih dalam issah dari suami lain.
(d) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tsahun 1974.
(e) Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh
wali yang tidak berhak.
(f) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Sampai di sini kurang lebih jelas, bahwa suatu perkawinan yang telah

berlangsung dapat batal demi hukum dan dapat dibatalkan bila pelaksanaannya
13

cacat hukum. Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut. Namun

pembatalan tersebut tetap melalui suatu proswes peradilan yang diselenggarakan

atas permohonan pihak –pihak yang berkepentingan.23 Ketentuan mengenai hal ini

diatur dalam Pasal 72 ayat 1-3 KHI berikut:

1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan


perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah
itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan
haknya untuk mengajukan pembatalan perkawinan, maka haknya
gugur.

Selain oleh KHI, pembatalan nikah juga diatur oleh Undang-undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang perkawinann ini menjelaskan
hal tersebut dalam beberapa pasal berikut:

Pasal 24:

“Barangsiapa karena perkawinannya masih terikat dirinya dengan salah


satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini”.

Pasal 26 ayat (1):

Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan


yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan
tanpa dihadiri oleh dua saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa dan
suami atau istri.

Pasal 27 ayat (1) dan (2):

23
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006) 45.
14

(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan


perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman
yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Regulasi mengenai pembatalan perkawinan dalam hukum positif Indonesia

diatur secara eksplisit baik oleh UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun

oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-undang Perkawinan ini, mengatur

pembatalan perkawinan dalam beberapa pasal berikut:

Pasal 22:

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi

syarat untuk melangsungkan perkawinan baru”

Pasal 23 khusus mengatur tentang para pihak yang berhak mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan. Disebutkan dengan jelas sebagai berikut:

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:


a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dan
setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan tersebut diputus.

Pasal 25:

“ Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepaada Pengadilan

Agama daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal

kedua suami-istri”.

Pasal 28:
15

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan


mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang telah dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali
terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan
atas adanya perkawinan lain yang lebih dulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap.

Selain UU 1/1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, juga mengatur tentang

pembatalan perkawinan. PP ini mengaturnya dalam pasal 37-38 berikut:

Pasal 37:

“Batalnya suatu perkawinan hanya dapat dilakukan oleh pengadilan”.

Pasal 38:

(1) Pemohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihakpihak


yang berhak mengajukannya kepada pengadilan daerah hukumnya
meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau ditempat tinggal
suami-istri, suami atau istri.
(2) Tata cara permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai
dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.
(3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan pemeriksaan pembatalan
perkawinan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan,
dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam pasal 20- Pasal 36
Peraturan Pemerintah ini.

Demikian pula Kompilasi Hukum Islam, juga mengatur tentang

pembatalan perkawinan. Khususnya pada Bab IX. Pada prinsipnya pembatalan

perkawinan ditujukan pada kepentingan akan adanya kepastian hukum dan


16

ketertiban umum melalui campur tangan penguasa yang direpresentasikan oleh

Pengadilan Agama.24

Pembatalan suatu perkawinan tentu saja memiliki akibat hukum yang jelas.

Akibat hukum dari suatu pembatalan perkawinan adalah:

1. Putusnya perkawinan/ bubarnya perkawinan;

2. Adanya pisah karena fasakh tidak mengurangi bilangan talak;

3. Fasakh sebelum adanya kontak biologis, maka istri berhak atas maharnya;

4. Perihal anak yang dilahirkan, sesuai penjelasan yang ada dalam KHI pasal

75 poin (b) bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut

terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Selanjutnya

dalam pasal 76 menyebutkan bahwa batalnya perkawinan tidak akan

memutuskan hubungan antara anak dengan orang tuanya.

BAB III

PENUTUP

24
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009) 43.
17

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada Bab Pendahuluan dan Pembahasan, Penyusun

menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar hukum mediasi di Indonesia diatur dalam ketentuan-ketentuan

sebagai berikut:

a. HIR/Rbg.

b. SEMA Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan

Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.

c. PermaNomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

d. Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

2. Dasar hukum pembatalan perkawinan di Indoenesia diatur dalam:

a. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentag Perkawinan.

b. Kompilasi Hukum Islam.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.

B. Saran-Saran

Menutup makalah ini, penyusun menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Perlunya melakukan kajian mendalam efektifitas mediasi di Pengadilan

Agama;

2. Perlunya melakukan kajian mendalam


17
tentang pelaksanaan mediasi terkait

pembatalan nikah di Pengadilan Agama.


18

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. 2009. Mediasi Dalam Prespektif Hukum Syariah, Hukum Adat,
& Hukum Nasional, Jakarta: Kencana.
19

Abidin, Slamet dan Aminudin, 1999. Fiqih Munakahat 2, Bandung: Pustaka


Setia.

Basyir, Ahmad Azhar, MA. 2010., Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII
Press.

Budianto, Kun, 2010, Modul Pendidikan dan Pelatihan Kemahiran Hukum,


Palembang: LAB Hukum Fakultas Syariah IAIN RF.

Hamdani, Al, 2002. Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani.

Harahap, M. Yahya, 2009. Hukum Acara Perdata, Cet. IX. (Jakarta : Sinar
Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2009. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan


Agama, Jakarta: Sinar Grafika.

Manan, Abdul, 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,


Jakarta: Kencana.

Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin S.,2007. Fiqih Madzab Syafi’I Buku 2 (Edisi
Lengkap), Bandung: CV Pustaka Setia.

Nuruddin, Amir, 2004. dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta:
Kencana.

Rahmadi, Takdir, 2010. Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan


Munfakat, Jakarta: Rajawali Pers.

Sabiq, Sayyid, 1995. Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dar al-Fath.

Sarwono, 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.

Sukadana, I Made, 2012. Mediasi Peradilan, Jakarta: PT Prestasi Pustaka.

Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta:


Kencana.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1988. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988.

Usman, Rahmadi, 2012. Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, Jakarta
Timur: Sinar Grafika.

Witanto, 2009. Hukum Acara Perdata, Cet. IX, Jakarta: Sinar Grafika.
20

Witanto, D.Y, 2011. Hukum Acara Mediasi, Bandung; Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai