Anda di halaman 1dari 18

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Maqashid as-syari’ah merupakan teori hukum Islam yang saat ini banyak

dilirik oleh pengkaji hukum Islam karena merupakan salah satu tema yang cukup

signifikan dalam kajian Metodologi hukum Islam (ushul alfiqh). Motivasi ahli

hukum untuk mewacakanakan maqashid as-syari’ah adalah untuk menengahi

kesenjangan antara hukum Islam dan tantangan global, serta respon atas stagnansi

ushul fikih. Ushul fikih dianggap “tak” berdaya ketika berhadapan dengan isu-isu

global dan modern.

Ketidakberdayaan tersebut disebabkan oleh masifnya pembahasan

kebahasan di dalamnya, sehingga melupakan tujuan dari syari’at itu sendiri. Ada

kesan ushul fikih hampir sama dengan ilmu tafsir, yang diperdalam justru

teori-teori kebahasan (semisal, amr, nahy, ‘am, khas, dan lain-lain). Sementara

teori maslahah belum banyak mendapat perhatian. Hashim Kamali menilai

beberapa teori dalam ushul fikih terlalu ketat, kaku dan formal. Semisal

persyaratan qiyas yang sangat ketat. Akibatnya, sangat sulit menegosiasikan kasus

modern dengan menggunakan qiyas.

Isu seputar kajian maqashid selalu menjadi bahan yang menarik untuk

didiskusikan. Makalah ini akan membahasa tentang pemikiran Yusuf Qardhawi,

salah seorang ulama kontemporer tengan Maqhasid as-Syari’ah.

1
2

B. Rumusan Masalah

Makalah ini memfokuskan pembahasan untuk menguraikan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsepsi Maqashid as-Syari’ah dalam khazanah intelektual

Islam?

2. Bagaimanakah pemikiran Yusuf al-Qardhawi tentang Maqashid as-Syari’ah?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk:

1. Memenuhi sebagian persyaratan Dupak untuk kepentingan kenaikan pangkat

sebagai penghulu.

2. Memberi sumbangsih pemikiran dalam kajian Maqashid as-Syari’ah,

khususnya tentang pemikiran Yusuf al-Qardhawi.


3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsepsi Maqashid al-Syari’ah dalam Khazanah Intelektual Islam

Terma maqashid berasal dari bahasa arab ‫( مقاصد‬maqashid) yang

merupakan bentuk jamak dari kata ‫( مقصد‬maqshad), yang bermakna maksud,

sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir.1 Maqashid hukum Islam adalah

sasaran-sasaran atau maksud-maksud dibalik hukum itu.2 Bagi sejumlah teoretikus

hukum Islam, Maqashid adalah pernyataan alternatif untuk ‫( مصالح‬mashalih) atau

kemaslahatan-kemaslahatan. Misalnya, ‘Abdul Malik al-Juwaini (w.478 H/1185

M), salah seorang kontributor paling awal terhadap teori maqashid menggunakan

istilah al-Maqhasid dan al-Mashalih al-‘Ammah (kemaslahatan-kemaslahatan

umum) secara bergantian.3

Abu Hamid al-Ghazaly (w. 505 H/1111 M) mengelaborasi klasifikasi

maqashid, yang ia masukan dalam kategori kemaslahatan mursal (al-Mashalih al-

Mursalah), yaitu kemaslahatan yang tidak disebut secara langsung dalam nas

(teks suci) Islam.4 Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H/1209 M) dan Al-Amidi (w. 631

H/1234 M) mengikuti terminologi al-Ghazaly.5


1
Mohammad al-Tahir Ibnu Ashur, Treatise on Maqashid al-Syariah, terj. Muhammad
el-Tahir el-MeSawi (London, Washington: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006),
h. 2.
2
Ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, h. 183.

3
Abdul Malik al-Juwaini, Ghiyas al-Umam fi Iltiyas al-Zulam, ed. ‘Abdul ‘Azim al-Dib
(Qatar: Wazarah al-Syuun al-Diniyyah, 1400 H), h. 253.

4
Al-Ghazaly, al-Mustasyfa, vol.1, h. 172. dalam Jasser Auda, 2015, Membumikan Hukum
Islam melalui Maqasid Syariah, Cet. I, Terjemahan, Rosidin dan ‘Ali ‘Abd el-Mun’im, (Bandung:
Mizan Media Utama, Bandung,tt.) h. 33.
5

Ibid.
3
4

Najm al-Din al-Tufi (w. 716 H/1216 M) mendefinisikan kemaslahatan

sebagai apa yang memenuhi tujuan sang Pembuat Syariah (al-Syari’), yaitu Allah

Swt. Kemudian al-Qarafi (w. 1285 H/1868 M) mengaitkan kemaslahatan dan

maqashid dengan kaidah ushul fiqh yang menyatakan: “Suatu maksud tidak sah

kecuali jika mengantarkan pada pemenuhan kemaslahatan atau menghindari

kemudaratan”.6

Maqâshid al-Syarî‘ah merupakan kata majmuk (idlafî) yang terdiri dari

dua kata yaitu Maqâshid dan al-Syarî‘ah. Secara etimologi, Maqâshid merupakan

bentuk jamak (plural) dari kata maqshid.7 yang terbentuk dari huruf qâf, shâd dan

dâl, yang berarti kesengajaan atau tujuan.8 Sedangkan kata al-syarî’ah secara

etimologi berasal dari kata syara’a-yasyra’u-syar’an yang berarti membuat

syari’at atau undang-undang, menerangkan serta menyatakan. Dikatakan syara’a

lahum syar’an berarti ia telah menunjukkan jalan kepada mereka atau bermakna

menunjukkan jalan atau peraturan.9 Sedangkan syarî’ah secara terminologi ada

beberapa pendapat. Menurut Asaf A.A. Fyzee menjelaskan bahwa syarî’ah adalah

canon law of Islam, yaitu keseluruhan perintah Allah yang berupa nas-nas. 10

Sedangkan Satria Effendi menjelaskan bahwa syarî’ah adalah al-nushûsh

6
Syihab al-Din al-Qarafi, al-Dzakirah (Beirut: Dar al-‘Arab, 1994), vol. 5, h. 478. Dalam
Jasser Auda, 2015, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, Cet. I, Terjemahan,
Rosidin dan ‘Ali ‘Abd el-Mun’im, (Bandung: Mizan Media Utama), h. 33.
7

Muhammad Idris al-Marbawiy, Kamus Idris al-Marbawi; Arab-Melayu, Juz 1 (Bandung:


al-Ma’arif, tt.), h. 136.

8
Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed),
(London: Mac Donald dan Evan Ltd, 1980), h. 767
9
Lihat Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007),
h. 36
10
Asaf A.A. Fyzee, The Outlines of Muhammadan Law, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I,,
1981), h. 19-20.
5

almuqaddasah yaitu nash yang suci yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits

al-Mutawâtirah, yang belum tercampuri oleh pemahaman manusia.11 sehingga

cakupan syarî’ah ini meliputi bidang i’tiqâdiyyah,‘amaliyah dan khuluqiyah.

Demikianlah makna syarî’ah, akan tetapi menurut ulama-ulama mutaakhirin telah

terjadi penyempitan makna syarî’ah. Mahmud Syalthûth memberikan uraian

tentang makna syarî’ah, bahwa syarî’ah adalah hukum-hukum dan tata aturan

yang dishari’atkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya agar dipedomani manusia

dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan sesama antar manusia, alam

dan seluruh kehidupan.12 Sedangkan Ali al-Sayis menjelaskan bahwa syarî’ah

adalah hukum-hukum yang diberikan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya agar

mereka percaya dan mengamalkanya demi kepentingan mereka di dunia dan

akhirat.13 Dengan mengetahui pengertian maqâshid dan al-syarî’ah secara

etimologi, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian Maqâshid al-

Syarî‘ah secara terminologi, yaitu maksud atau tujuan-tujuan dishari’atkanya

hukum dalam Islam, hal ini mengindikasikan bahwa Maqâshid al-Syarî‘ah erat

kaitanya dengan hikmah dan ‘illat.14 Sementara apabila kita berbicara Maqâshid

al-Syarî‘ah sebagai salah satu disiplin ilmu tertentu yang independen, maka tidak

akan kita jumpai definisi yang konkrit dan komprehensif yang diberikan oleh

ulama-ulama klasik,15 sehingga akan kita dapati beragam versi definisi yang
11
Satria Effendi, “Dinamika Hukum Islam” dalam Tujuh Puluh Tahun Ibrohim Hosen,,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), h. 312.

12
Mahmud Syalthûth, Islâm: ‘Aqîdah Wa Syarî’ah, (Kairo: Dâr al-Qalam, 1966),
h. 12.
13
Ali al-Sayis, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtihâdî wa al-Rûh, Majma’ al-Islâmiyyah, (Kairo:
tnp., tt., 1970), h. 8.
14
Ahmad al-Raisuni, Nazhariyyât al-Maqâshid ‘Inda al-Syathibi, (Rabat: Dâr al-Amân,
1991), h. 67
15
6

berbeda satu sama lain, meskipun kesemuanya berangkat dari titik tolak yang

hampir sama. Oleh karena itulah, kebanyakan definisi Maqâshid al-Syarî‘ah yang

kita dapati sekarang ini, lebih banyak dikemukakan oleh ulama-ulama

kontemporer, seperti Tahir bin Asyûr yang membagi Maqâshid al-Syarî‘ah

menjadi dua bagian. Yaitu Maqâshid al-Syarî‘ah al-‘âmmah dan Maqâshid al-

Syarî‘ah al-khashah. Bagian pertama ia maksudkan sebagai hikmah, dan rahasia

serta tujuan diturunkannya syarî’ah secara umum yang meliputi seluruh aspek

syarî’at dengan tanpa mengkhususkan diri pada satu bidang tertentu 16. Sementara

bagian kedua ia maksudkan sebagai seperangkat metode tertentu yang

dikehendaki oleh al-syâri’ dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia

dengan mengkhususkannya pada satu bidang dari bidang-bidang syari’at yang

ada,17 seperti pada bidang ekonomi, hukum keluarga. Sedangkan menurut

‘Allal al-Fâsi adalah metode untuk mengetahui tujuan pensyari’atan sebuah

hukum untuk menjamin kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan yang

mengandung kemaslahatan untuk manusia.18 Wahbah al-Zuhaili mengatakan

bahwa maqâsid al-syarî’ah adalah nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat

dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan

sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syarî’ah, yang ditetapkan

oleh al-Syâri' (pembuat syari’at yaitu Allah dan Nabi Muhammad) dalam setiap

Ahmad al-Raisuni, Imam al-Syathibi’s Teori Of The Higher Objectives and Intens Of
Islamic Law, (Washington, London, 2005), h. xxii
16

Thahir ibn Asyur, Maqâshid Al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Kairo: Dâr al-Salam, 2009), h.
50
17

Thahir bin Asyur, Maqâshid., h. 154.


18
Allal al-Fâsi, Maqâshid Al-Syarî’ah al-Islâmiyah wa Makârimihâ, (tk.: Dâr al-Garb
al-Islâmî, 1993), h. 193
7

ketentuan hukum.19 Sementara al-Syâthibi menyatakan bahwa beban-beban

syarî’ah kembali pada penjagaan tujuan-tujuanya pada makhluk. Tujuan-tujuan ini

tidak lepas dari tiga macam: dlarûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât. Al-Syâri’

memiliki tujuan yang terkandung dalam setiap penentuan hukum untuk

mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. 20 Terlepas dari

perbedaan pendapat dalam mendefinisikan maqâshid al-syarî’ah tersebut, para

ulama ushûl al-fiqh sepakat bahwa maqâshid al-syarî’ah adalah tujuan-tujuan

akhir yang harus terealisasi dengan diaplikasikanya syarî’at. 21 Pengaplikasian

syarî’at dalam kehidupan nyata (dunia), adalah untuk menciptakan kemaslahatan

atau kebaikan para makhluk di muka bumi, yang kemudian berimbas pada

kemaslahatan atau kebaikan di akhirat.

B. Maqashid al-Syari’ah Menurut Yusuf al-Qarhawi

1. Biografi Singkat Yusuf Qardhawi

Yusuf al-Qardhawi lahir padatanggal 9 September 1926. Di sebuah desa

bernama Shafat Thurab. Desa ini berada di wilayah Mesir bagian Barat. Di desa

19

Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, (Damaskus: Dâr al-Fikri, 1986), h. 225.

20
Al-Syâthibî, Al-Muawâfaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Juz II (Beirut: Dâr al-Kutub
al-Ilmiyah, 2003), h. 3.

21
Mohammad Darwis, “Maqâshid Al-Syarî’ah dan Pendekatan Sistem Dalam Hukum
Islam Perspektif Jasser Auda” dalam M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, et. Al. (Ed), Studi
Islam Perspektif Insider/Outsider, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 395.
8

terdapat makam salah seorang sahabat Nabi. Abdullah bin Harits r.a. 22 Beliau

beradsal dari lingkungan keluarga yang relijius. Telah yatim sejak masih berusia 2

tahun. Sebagai anak yatim ia hidup dan diasuh olehpamannya, yaitu saudara

ayahnya. Sepeninggal ayahnya, praktis ia memperoleh asuhan dari pamannya.

Adik sang ayah. Melalui didikan keluarga pamannya yang juga relijius, Yusuf

Qardhawi tumbuh menjadi seorang anak yang terdidik dengan bekal berbagai

ilmu pengetahuan agama dan Syariat Islam.23 Di usia 5 tahun ia sudah mulai serius

menghafal al-Qur’an. Ketika berusia 7 tahun, ia masuk ke sekolah dasar al-

Ilzamiyah. Sekolah ini berada di bawah Departemen Pendidikan Mesir. Di sini ia

mempelajari berbagai ilmu umum. Ilmu berhitung, sejarah, kesehatan dan ilmu-

ilmu lainnya di pelajarinya di sekolah ini.24

Sekolah menengah ditempuhnya pada sekolah menengah pertama dan

sekolah menengah umum di Thantha. Keunggulan intelektualnya mulai nampak,

ketika ia berhasil menyelesaikan kuliah di Fakultas Ushuluddin al-Azhar. Ia lulus

dengan predikat terbaik. Prestasi ini pada tahun 1952-1953. Berikutnya ia

melanjutkan studi Bahasa Arab. Studi ini di tempuhnya selama 2 tahun. Di

sinipun ia menjadi yang terbaik. Lulus dengan rangking pertama dari 500 ratus

mahasiswa. Dia kemudian memperoleh ijazah internasional dan sertifikat

mengajar.25
22
Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Qardhawi, terj: H. Abdurrahman Ali Bauzir, cet II,
(Surabaya:Risalah Gusti,1996), , h. 399

23
Yusuf al-Qardhawi, Pasang Surut Gerakan Islam, terj: Faruq Uqbah, (Jakarta:
MediaDakwah, 1987), cet 1, hal 153

24
Ibid, h.154
25
Muhammad al-Madjzub, ‘Ulama wa Mufakkirun ‘Araftuhum, (Beirut: Dar al-Nafais,
1977),h.442-443
9

Di tahun 1957, Yusuf al-Qardhawi melanjutkan studi di lembaga riset dan

penelitian masalah-masalah Arab. Studi yang ditempuhnya selama 3 tahun. Dari

studinya di lembaga ini, ia mendapatkan Diploma di bidang sastra dan bahasa.

Pendidikan pascasarjana di selesaikannya pada Fakultas Ushuluddin jurusan

Tafsir Hadis Universitasal-Azhar Kairo Mesir. Pilihannya pada studi tafsir hadis

ini berkat saran dari Dr. Muhammad Yusuf Musa. 26 Kembali lulus dengan

predikat terbaik, ketika mengikuti ujian pada tingkat magister di tahun 1960,ia

lalu memutuskan untuk melanjutkan studi ke tingkat doktor. Akibat krisis politik

di Mesir, pendidikan Doktor yang mestinya selesai dalam 2 tahun, terpaksa barus

bias diselesaikannya setelah 13 tahun. Ia menyelesaikan pendidikan doktor

dengan disertasi berjudul “al-Zakat fi al-Islam”.

Krisis politik di Mesir membuatnya harus pindah ke Qatar. Di Qatar ia

diangkat menjadi imam masjid. Juga mengajar dan berceramah. Di sini pula,

bersama ‘Abd al-Muis‘Abdal-Sattar, ia mendirikan sekolah Ma’had al-Diniy.

Sekolah yang kemudian menjadi cikal bakal kelahiran fakultas syari’ah Qatar.

Fakuktas ini didirikannya bersama Dr.Ibrahim Kadhim. Perkembangan

berikutnya, fakultas ini berkembang menjadi Universitas Qatar. Di universitas ini

pada tahun 1977 al-Qaradhawi menjabat sebagai dekan Fakultas Syari’ah. Selepas

dari jabatan Dekan, beliau lalu menjabat sebagai Direktur Pusat Kajian Sunnah

dan SejarahNabi di Universitas tersebut sampai sekarang.27

Disertasi doktornya baru diajukan setelah krisis Mesir mereda. Ia

kemudian lulus dan berhasil meraih gelar akademik tertinggi, Doktor di bidang
26
Ibid, h. 447
27
Ibid, h. 452
10

ilmu Tafsir Hadis, lagi-lagi dengan predikat amat baik. Gelar Doktor diraihnya

pada tahun 1973.28

Latar belakang pendidikan tafsir hjadisnya, tidak menghalanginya untuk

mendalami hukum Islam. Kegandrungannya pada masalah fiqh sudah muncul

sejak di masa muda. Kitab Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq kerap menjadi

rujuikannya di masa-masa pertumbuhan intelektual itu. Dia memberi komentar

mebarik tetang kitab karya Sayyid Sabiq ini. Menurutnya, ia memperoleh

keberuntungan dengan memulai belajar fiqh menurut metode Sayyid Sabiq,

Keberuntungan itu diperoleh karena kitab tersebut merujuklangsung kepada

al-Quran dan Sunnah. Sebalinya ia agak enggan memulai belajar fiqh denggan

metode ala Abu Syuja’. Terutama melalui kitabnya Matn al-Ghayah wa al-

Taqrib. Sebab lebih cenderung banyak mengarahkan kepada pendapat

imam-imam madzhab tertentu saja.

Menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengagum tokoh Ikwanul

Muslim, Imam Hasan al-Banna. Dengan jujur ia mengakui bahwa tokoh ulama,

pemimpin gerakan Ikhwanul Muslimin, banyak mempengaruhi sikap dan

pemikirannya. Bukan saja gandrung dengan ceramah-ceramahnya, perkenalan

Yusuf al-Qardhawi dengan Hasan al-Banna, telah membawanya ikut terlibat aktif

manejadi jama’ah Ikhwanul Muslimin. Ketikas aktifis Ikhwanul Muslimin terlibat

dalam perang melawan Israel pada tahun1948, ia ikut terlibat aktif. Bahkan ikut

pula tertangkap dan dipenjara ketika banyak aktifis Ikhwanul Muslimin ditangkap

tanpa sebab. Selain kepada Hasan al-Banna, Yusuf Qardhawi juag mengagumi

28
Ibid., h.43
11

dan hormat kepada Imam Mahmud Syaltout. Mantan Rektor al-Azhar. Demikian

pula terhadap Dr. Abdul Halim Mahmud. Dosen yang mengajarnya di Fakultas

Ushuluddin dalam bidang filsafat. Namun kekaguman kepada para tokoh itu, tidak

lantas menghalangi sikap kritisnya. Untuk hal ini, ia pernah berkata:

“termasuk karunia Allah SWT kepada saya, bahwa kecintaansaya terhadap


seorang tokoh tidak membuat saya bertaqlid kepadanya. Karena sayabukan
lembaran copyan dari orang-orang terdahulu. Tetapi saya mengikuti ide
danpola lakunya, hanya saja hal ini bukan merupakan penghalang bagi
saya untukmegambil manfaat dari pemikiran-pemikiran mereka”.

Hal menarik lain dari Yusuf al-Qardhawi adalah kenyataan bahwa dia

merupakan seorang ulama yang tidak terikat atau menganut suatu mazhab Sikap

ini dinyatakannya secara tegas dalam kitab al-Halal wa al-Haram. “saya tidak

rela rasio saya terikat dengan satu mazhab dalam seluruh persoalan. Salah besar

bila hanya mengikuti satu mazhab”, demikian katanya. Dalam hal ini aa

sependapat dengan pernyataan. Ibnu Juz’ie tentang muqallid. Menurut Ibnu

Juz’ie, seorang muqallid tidak dapat dipercaya tentang apa yang diikutinya itu.

Sementara taqlid itu sendiri telah menghilangkan rasio. Karena rasio diciptakan

untuk berfikir dan menganalisa. Bukan untuk bertaqlid. Sungguh sangat aneh bila

seseorang diberi lilin tetapi ia berjalan dalam kegelapan. Mengikuti pendapat ini,

Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa tidak pantas seorang muslim yang

berpengetahuan dan memiliki kemampuan untuk menimbang dan menguji, malah

terikat oleh satu mazhab atau tunduk kepada pendapat seorang ahli Fiqh.

Kutipannya pada pernyataan Ali bin AbiThalib semakin mempertegas sikap bebas
12

mazhabnya itu. “Jangan kamu kenali kebenaran itu karena manusianya, tetapi

kenalilah kebenaran itu, maka kamu akan kenal manusianya”, kata Imam Ali.

Menurut Yusuf al-Qardhawi para imam mazhab, terutama mazhab yang

empat, tidak pernah mengharuskan mengikuti salah satu mazhab. Semua mazhab

itu tidak lain hanyalah hasil ijtihad para imam. Sementara para imam itu tidak

pernah mendewakan dirinya sebagai orang yang bias terbebas dari kesalahan

(ishmah). Meski berbeda pendapat, taka da permusuhan sedikitpun di antara para

imam itu. Jangankan bermusuhan, mereka malah saling menghargai, hormat

mebghormati dengan keramahtamahan dan kasih sayang.29 Berdasarkan ini Yusuf

al-Qardhawi memilih tidak terikat pada suatu mazhab manapun. Baginya

kebenaran tidak mungkin dimiliki oleh satu mazhab saja.

Yusuf al-Qaradhawi selebihnya terkenal sebagai seorang tokoh penyeru

Aliran KeadilanIslam (al-Washatiyah al-Islamiyah). Aliran yang memadukan

antara nilai-nilai kemurnian dan pembaruan, mengikat pemikiran dan pergerakan,

mempertimbangkan semua aspek fiqh antara lain Fiqh al-Sunnah, fiqhul-Maqasid,

dan Fiqh al-Aulawiyat.

Kelebihan lain Yusuf Qardhawi berupa produktifitasnya menulis.

Produktifitas ini tentu saja beripmlikasi pada lahirnya berbagai karya berupa

buku-buku, artikel, dan hasil penelitian. Sebagiannya kini tersebar luas dan

mendunia. Beberapa di antaranya telah pula diterjemahkan ke dalam beberbagai

bahasa. Termasuk ke dalam bahasa Indonesia.

29
Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj: H.Mu’ammal Hamidy,
(Surabaya:PT Bina Ilmu,1976), hal. 4
13

2. Pemikiran Yusuf Qardhawi tentang Maqashid al-Syari’ah

Secara umum, pemikiran Yusuf Qaradhawi tentang maqashid al-Syari’ah

tergambar dalam pernyataannya berikut ini:

“Fiqh Maqashid Syari’ah adalah induk dari seluruh fikih-fikih, karena

fikih maksud-maksud syariah adalah meliputi ke dalam makna, rahasia dan

hikmah yang ada di dalam teks, bukan jumud di depan bentuk dan lafaz teks,

namun melupakan maksud yang ada di belakangnya.”30

Kata syari’ah, secara leksikal bermakna hukum yang ditetapkan Allah bagi

agama atau hukum agama Allah. Berbentuk ibadah dan muamalah 31. Firman

Allah, QS. Al-Jatsiyah (45) :18:

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan

(agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-

orang yang tidak mengetahui”.

Berangkat dari ayat ini, Yusuf Qaradhawi menjelaskan bahwa kata syariah

yang berakar dari kata Syaraa as-Syai dengan arti menjelaskan sesuatu atau

diambil dari asy-Syirah dan asy-Syariah dalam makna sebagai tempat sumber air

yang tidak pernah terputus. Tempat orang yang datang ke sana tanpa memerlukan

alat.32 Asy-Syar mengandung arti arah jalan yang jelas.33 Bila syari’ah secara

30
Yusuf Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Asy-Syariah: Baina Al-Maqashid Al-
Kulliyyah wa An-Nushush Al-Juziyyah (Mesir: Dar Asy-Syuruq, 2006), h. 15.

31
Yusuf Qardhawi, Fikih Maqashid Syariah, terj. Arif Munandar Riswanto, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 12.
32
Yusuf Qardhawi, Fikih Maqashid., h. 13

33
Ibid.
14

bahasa berarti jalan, maka Maqashid Syariah berorientasi pada seluruh maksud

dari Islam.

Mengikuti jejak Rasyid Ridha yang membagi Maqashid Syariah tanpa

membatasinya hanya pada al-Kuliyyat al-Khamsah, Yusuf Qaradhawi membagi

maqashid as-syari’ah menjadi 7. Terdiri atas:

a. Memperbaiki akidah tentang konsep Tuhan, agama, dan balasan;

b. Menegaskan kemuliaan dan hak-hak manusia, terutama orang-orang lemah;

c. Mengajak agar beribadah dan takwa kepada Allah;

d. Menyucikan hati manusia dan meluruskan akhlak;

e. Membangun keluarga shaleh dan memberikan keadilan kepada wanita;

f. Membangun umat yang bersaksi bagi kemanusiaan;

g. Mengajak kepada kemanusiaan yang penuh kerja sama.

Menurut Qaradhawi ketujuh hal yang berada di luar al-kuliyyat

al-khamsah itu, seharusnya juga direalisasikan oleh Islam semata untuk kehidupan

manusia. Seluruh orientasi pelaksanaan hukum semata kepada hal-hal tersebut.

Bahkan bergantung padanya.34 Dengan paradigma berpikir macam ini, tidak

mengherankan bila kemudian Qaradhawi juga menegaskan bahwa memuliakan

serta menunaikan hak-hak manusia, terlebih bagi orang lemah, termasuk

memberikan keadilan bagi kaum perempuan, merupakan bagian tak terpisahkan

dari Maqashid Syariah.

34
Ibid. h. 26.
15

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada Bab Pendahuluan dan Pembahasan, Penyusun

menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Maqashid as-Syari’ah adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud dibalik

hukum. Bagi sebagian ahli, maqashid dipandang sebagai pernyataan alternatif

untuk ‫( مصالح‬mashalih) atau kemaslahatan-kemaslahatan.


16

2. Dalam pemikiran Yusuf al-Qardhawi, fiqh Maqashid as-Syari’ah merupakan

induk dari seluruh fikih. Karena meliputi ke dalam makna, rahasia dan hikmah

yang ada di dalam teks. Bukan stagnan di depan bentuk dan lafaz teks, namun

melupakan maksud yang ada di belakangnya. Al-Qardhawi tidak membatasi

Maqashid Syariah tanpa hanya pada al-Kuliyyat al-Khamsah, melainkan

membaginya ke dalam 7 hal yang menurutnya tak bisa dilepaskan dari orientasi

penerapan hukum Islam.

B. Saran-Saran

Menutup makalah ini, penyusun menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Perlunya pengkajian mendalam tentang Maqashid as-Syari’ah diksaitkan

dengan vitalitas dan kontekstualitasnya terhadap perkembangan kontemporer.

2. Perlu pengkajian lebih lanjut terhadap pemikiran Yusuf al-Qardhawi tentang

Maqashid as-Syari’ah untuk dapat memberi jawaban aktual terhadap berbagai

problem kekinian umat.

DAFTAR PUSTAKA
16

Ashur, 2006. Mohammad al-Tahir Ibnu, Treatise on Maqashid al-Syariah, terj.


Muhammad el-Tahir el-MeSawi, London, Washington: International
Institute of Islamic Thought (IIIT).

Asyur, Thahir ibn. 2009. Maqâshid Al-Syarî’ah al-Islâmiyah, Kairo: Dâr al-
Salam

Auda,Jasser 2015, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, Cet. I,


Terjemahan, Rosidin dan ‘Ali ‘Abd el-Mun’im, Bandung: Mizan Media
Utama, tt.
17

Darwis, Mohammad. 2012. “Maqâshid Al-Syarî’ah dan Pendekatan Sistem Dalam


Hukum Islam Perspektif Jasser Auda” dalam M. Arfan Mu’ammar, Abdul
Wahid Hasan, et. Al. (Ed), Studi Islam Perspektif Insider/Outsider,
Yogyakarta: IRCiSoD

Effendi, Satria. 1990. “Dinamika Hukum Islam” dalam Tujuh Puluh Tahun
Ibrohim Hosen,, Bandung: Remaja Rosdakarya

Fasi, Allal al-. 1993. Maqâshid Al-Syarî’ah al-Islâmiyah wa Makârimihâ, tk.: Dâr
al-Garb al-Islâmî

Fyzee, Asaf A.A., 1981. The Outlines of Muhammadan Law, Delhi: Idarah-I
Adabiyat-i

Juwaini, Abdul Malik al. 1400 H. Ghiyas al-Umam fi Iltiyas al-Zulam, ed. ‘Abdul
‘Azim al-Dib Qatar: Wazarah al-Syuun al-Diniyyah

Madjzub, Muhammad al-. 1977. ‘Ulama wa Mufakkirun ‘Araftuhum, Beirut: Dar


al-Nafais

Marbawiy, Muhammad Idris al-Marbawiy. Tt. Kamus Idris al-Marbawi;


Arab-Melayu, Juz 1 Bandung: al-Ma’arif, tt.

Qarafi, Syihab al-Din al-. 1994. al-Dzakirah, Beirut: Dar al-‘Arab.

Qardhawi, Yusuf al-, 1976. Halal dan Haram dalam Islam, terj: H.Mu’ammal
Hamidy, Surabaya: PT Bina Ilmu

Qardhawi, Yusuf al-. 1996. Fatawa Qardhawi, terj: H. Abdurrahman Ali Bauzir,
cet II, Surabaya:Risalah Gusti,1996
Qardhawi, Yusuf. 2006. Dirasah fi Fiqh Maqashid Asy-Syariah: Baina
17 An-Nushush Al-Juziyyah, Mesir: Dar
Al-Maqashid Al-Kulliyyah wa
al-Syuruq

Qardhawi, Yusuf. 2007. Fikih Maqashid Syariah, terj. Arif Munandar Riswanto,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Qardhawi, Yusuf, 1987. Pasang Surut Gerakan Islam, terj: Faruq Uqbah, Jakarta:
Media Dakwah

Raisuni, Ahmad al-, 1991. Nazhariyyât al-Maqâshid ‘Inda al-Syathibi, Rabat: Dâr
al-Amân

Raisuni, Ahmad al-, 2005. Imam al-Syathibi’s Teori Of The Higher Objectives
and Intens Of Islamic Law, Washington, London
18

Sayis, Ali al-, 1970. Nash’ah al-Fiqh al-Ijtihâdî wa al-Rûh, Majma’


al-Islâmiyyah, Kairo: tnp.

Syalthuth, Mahmud. 1966., Islâm: ‘Aqîdah Wa Syarî’ah, Kairo: Dâr al-Qalam

Syatibi, Al-. 2003. Al-Muawâfaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Juz II Beirut: Dâr


al-Kutub al-Ilmiyah

Umar, Hasbi. 2007. Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press.

Wehr, Hans, 1980. A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed),
London: Mac Donald dan Evan Ltd

Zuhaili, Wahbah al-. 1986. Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikri

Anda mungkin juga menyukai