BAB I
PENDAHULUAN
Hukum keluarga dalam studi Islam biasa disebut dengan istilah al-ahwal
sumber-sumber yang sangat kaya. Berasal dari warisan intelektual masa klasik
hingga era kontemporer. Terdapat ragam pengertian, bersumber dari banyak ahli.
untuk mengatur hubungan suami, isteri, dan anggota keluarga. 2 Wahbah al-Zuhaili
1
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987),
h. 16.
Cakupan keluarga di sini, terbatas pada keluarga pokok (nuclear family). Meliputi
Bapak, ibu, dan anak-anak. Baik ketika masih terikat dalam perkawinan maupun
Manifestasi paling khas dari pandangan hidup Islam. Sekaligus intisari dari Islam
itu sendiri. Istilah fiqh yang berarti pengetahuan menunjukkan bahwa sejak awal,
Islam, utamanya hukum keluarga Islam, telah memberi pengaruh dan peranan
sangat besar. Pengaruh dan peranan yang tak bisa dipungkiri. Pada prakteknya,
positif. Dalam hal ini hukum Islam diberlakukan oleh negara sebagai hukum
terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena aturan hukum tersebut
peranannya serta profil hukum keluarga yang saat ini berlaku di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), h. 167.
Grafindo, 2006), h. 2.
4
sebagai penghulu.
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia memang bukan Negara Islam. Itu jelas dan pasti. Namun
Indonesia Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Itu juga fakta yang tak
bisa dipungkiri. Fakta itu, suka tidak suka, mau tidak mau pasti berpengaruh
hukum keluarga. Pengaruh yang sudah berlangsung dalam jangka waktu tak
Sekali lagi itu fakta tak terpungkiri. Namun dalam hal kepemilikan
(1984) dan Bangladesh (1984). Ketiga negara ini jelas masih di belakang
8
Ratna Bantara Munti, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. xv-xvi
9
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 157.
5
6
Hari Ibu, 22 Desember 1973. Ini hari bersejarah bagi pembaharuan hukum
keluarga di Indonesia. Tepat di hari ibu, 46 tahun lalu itu, rancangan UUP
diterima secara bulat dalam sidang paripurna DPR.10 Rancangan UUP ini telah
di paripurna itu, tepatnya tanggal 2 Januari 1974 UUP disahkan secara resmi oleh
Perkawinan.11
perkawinan yang berlaku nasional serta bersifat menyeluruh. Lebih dari itu, UUP
mampu merespon secara kreatif dan efektif tuntutan zaman. Berikut kondisi
proses yang mudah dan sederhana. Jauh sebelum diundangkannya, usaha untuk
10
Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, Jilid II, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), h. 266.
11
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,UU No.
1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 25.
12
Rachmadi Usman,Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 231.
7
sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Usaha tersebut dilakukan antara lain oleh
gagal diundangkan.13
diingat bahwa saat itu merupakan dekade pertama pemerintahan Orde Baru. Orde
yang eranya dimulai sejak keluarnya Supersemar yang terkenal itu. Peralihan
Indonesia. Terutama bagi umat Islam. Mengingat kontribusi besar mereka dalam
ikut meruntuhkan rezim Orde Lama. Harapan ini pada akhirnya bergesekan
dengan politik pembangunan rezim Orde Baru. Politik pembangunan yang lebih
mass). Dipadu dengan upaya pemantapan stabilitas nasional melalui restriksi yang
And Comparative Analysis), (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987),
h. 205
memadukan kontrol dan konsesi. Stabilitas nasional yang mutlak dibutuhkan bagi
polity). Berupa suatu sistem politik yang membatasi kekuasaan dan partisipasi
hanya dalam ruang lingkup birokrasi, terutama pada perwira-perwira militer dan
mereka, politik pembangunan Orde Baru telah memangkas kekuatan politik serta
menutup ruang artikulasi dan peluang umat Islam untuk tampil di pentas politik
Reaksi keras awalnya malah muncul dari umat Islam sendiri. Justru tepat sebulan
sebelum rancangan UUP diajukan. Reaksi keras ini timbul karena umat Islam
Islam.16 Begitu kerasnya reaksi ini, digambarkan oleh Kamal Hassan17 sebagai
Paramadina, 1995), h. 8.
16
Nuruddin, Hukum..., h. 23.
17
Jauh sebelum itu, sejak tahun 1968 bahkan telah terjadi perdebatan sengit
mengenai draft yang oleh Boland disebut sebagai “bill of the fundamental
poligami, hak dan kewajiban suami isteri, hak dan kewajiban orang tua dan anak,
dan lain-lain. Masalah poligami menjadi salah satu pemicu utama perdebatan
ketika itu. Perdebatan yang terbilang sengit. Menguras banyak pikiran dan
energi.18
Indonesia dapat ditelusuri dalam 4 fase sejarah. Fase kerajaan Islam, fase kolonial,
sejarah, sejak abad ke-13, hukum Islam dalam mazhab fiqh tertentu telah menjadi
kerajaan-kerajaan ini hukum Islam juga telah diterapkan dan menjadi fenomena
kebutuhan hukum masyarakat Islam ketika itu. Terutama di bidang ibadah, dan
hukum keluarga, termasuk perkawinan.20 Pada saat yang sama, di belahan Timur
Selain itu, pada era ini juga berlaku berbagai ragam hukum adat. Termasuk
pula yang mengatur tentang perkawinan. Hukum adat yang umunya tercakup
dalam aneka sistem sosial politik besar. Untuk ini, pulau Jawa dapat menjadi
contoh representatif. Di Jawa yang setidaknya terdiri dari tujuh suku, ketika itu
masing-masing suku. Namun di saat sama, berbagai ragam hukum adat itu, tetap
dipengaruhi oleh satu sistem sosial politik yang berlaku umum di Jawa. Semisal
sistem sosial bercorak Hindu yang mengenal hirarki tertentu dalam masyarakat.22
sehari-hari masyarakat. Sehingga tak ada pilihan lain bagi Belanda kecuali
20
Amrullah Ahmad SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 70.
21
Mawarti Djoned Poeponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia, Jilid
III, (Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984),
h. 197.
22
Nursyahbani, Katjasungkana, dkk., A Study of Gender and Acces to
Justice in Indonesia, (Jakarta: LBH, 1991), h. 3.
11
ini juga diikuti dengan penyusunan himpunan hukum perkawinan dan kewarisan
beberapa golongan beragama. Bukan saja untuk golongan Islam, tapi juga untuk
komunitas agama lain, Hindu, Bunda, dan kaum Animis. Ordonansi ini pada
intinya mengatur tentang asas perkawinan. Oleh rencana ordonansi ini perkawinan
perkawinan. Bahwa suatu perkawinan dapat berakhir karena beberapa sebab. Bisa
23
Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.
24
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Indonesia, Majalah Pembangunan No. 2, Tahun ke-12, Maret 1982, h. 101.
karena kematian, bisa pula karena salah satu pihak menghilang selama dua tahun,
atau karena sebab perceraian. Rancangan ordonansi ini pada akhirnya tak bisa
berlaku efektif. Karena mendapat penolakan keras dari umat Islam. Penolakan ini
hukum mulai dilakukan. Namun upaya ini sulit diwujudkan. Keragaman entitas
Semua sistem hukum yang ada, ketika itu, mulai dari hukum Adat, BW, hingga
hukum Islam, tidak menyediakan dasar hukum yang konsisten. Konsistensi dasar
hukum yang sangat dibutuhkan bagi terwujudnya suatu kesatuan dari seperangkat
Namun demikian, masa kemerdekaan tetap saja menjadi tonggak baru bagi
dilakukan oleh pemerintah Orde Lama. Perbaikan ini dilakukan melalui penetapan
Front Wanita di Parlemen. Di bulan Agustus tahun 1950, Front Wanita ini
Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk. Panitia ini berhasil menelorkan Peraturan
Rekomendasi ini pula yang diseminarkan pada tahun 1963 itu. Hasil seminar
monogami. Namun terdapat catatan penting. Asas monogami di sini tidak bersifat
28
Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender dalam Perspektif Perempuan,
(Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan, 2000),
h. 53.
14
cukup panjang. Termasuk polemik di parlemen. Polemik yang antara lain dipicu
oleh aksi penolakan dari Fraksi Katolik. Penolakan ini ditujukan pada Rancangan
Undang-Undang Perkawinan khusus umat Islam yang diajukan sejak tahun 1967.
Penolakan ini disikapi pemerintah dengan menarik kembali kedua RUU tersebut.
Penarikan ini kemudian diikuti dengan pengajuan RUU baru pada tahun 1973. 30
bangsa Indonesia. Selain itu, UUP juga menandai unifikasi berbagai ragam hukum
keluarga tidak serta merta selesai. Unifikasi hukum tentang perkawinan melalui
dari kitab fiqh rujukan masing-masing hakim. Tidak ada standar baku dalam
Bahkan untuk kasus yang sama. Subyektifitas hakim nampak sangat besar.
Bahkan tak jarang, keputusan hakim tak lepas dari tendensi politik. Menjadi alat
Agama semacam ini, bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.32 Belum lagi
kitab-kitab fiqh rujukan para hakim, merupakan produk pemikiran dari abad
pertengahan (sejak abad ke-2 H). Tentu saja disusun dalam konteks sosio-politik
krusial ini, pada tahun 1985 Mahkamah Agung (MA) mengusulkan perumusan
menjadi buku standar bagi para hakim di Pengadilan Agama (PA). Awalnya
usulan ini tak seketika populer. Namun mulai mendapat banyak perhatian ketika
Menteri Agama, Munawir Syadzali, ikut mengusulkan hal yang sama. Usulan ini
31
Hasan Basri, “Perlunya Kompilasi Hukum Islam”, dalam
H. Abdurrahman, SH., MH., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1992), h. 21.
32
Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. SKB yang
Agung dan Menteri Agama. Belum lagi peran langsung yang ditunjukkan
Presiden Soeharto. Sifat top down ini, tak urung merefleksikan nuansa politis
yang melatari lahirnya KHI. Nuansa politis tentu tak terlepas dari kondisi politik
saat itu. Era antara pertengahan 1980-an hingga akhir 1990-an merupakan masa
dimulainya politik akomodasi Orde Baru terhadap Islam. Setelah pada masa-masa
sebelumnya, Orde Baru sengaja meminggirkan peran umat Islam dalam pentas
politik nasional. Di era 1980-an ini pemerintah Orde Baru mulai merasa
kesempatan bagi para aktivis Islam untuk mengintegrasikan diri ke dalam Negara.
Entah melalui saluran legeslatif, eksekutif maupun yudikatif. Kedua, legislatif. Ini
Agama di tahun 1989. Kompilasi Hukum Islam (KHI) di tahun 1991. SKB
tentang BAZIS (Badan Amal, Zakat, Infaq, dan Shadaqah) di tahun 1991.
Kebijakan baru tentang pemakaian jilbab pada tahun 1991. Adapula kebijakan
penghapusan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) yang sejak lama telah
Sikap akomodatif pemerintah ini, juga terlihat dengan jelas dalam proses
penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sikap ini ditunjukkan mulai dari
dikeluarkannya SKB Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Menteri Agama pada
Tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang
Yurisprudensi. Tak cukup dengan SKB, proyek yang berjangka waktu dua tahun
ini, juga didukung oleh Keputusan Presiden Nomor 191 Tahun 1985. Diterbitkan
Pada lampiran SKB itu, ditegaskan tentang tugas pokok proyek tersebut.
34
Bakhtiar Effendi, “Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia”, dalam Prisma, No. 5 Th. XXIV Mei 1995, h.
24-25.
35
Panji Masyarakat No. 503 TH. XXVII, 1 Mei 1986, dikutip dalam
Abdurrahman, Kompilasi.. h. 34.
18
1. Jalur Kitab. Bertugas mengumpulkan dan mengkaji 13 kitab yang selama ini
lainnya. Total mencapai jumlah 38 kitab. Kitab sebanyak itu lalu dibagikan
kepada 7 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk ditelaah dan dikaji.
madzhab Maliki. Turki dipilih karena dikenal sebagai negara sekuler. Akan
halnya Mesir, dipilih semata-mata karena negara ini secara geografis berada
suami isteri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya,
kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan
Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974 dan dimuat dalam lembaran negara
No. 1 tahun 1974, kini UUP telah eksis selama empat dekade lebih. Tepatnya 45
tahun. Selama rentang waktu hampir setengah abad itu, UUP menjadi norma
PP ini meliputi 10 bab dan 49 Pasal. Berisi tentang Ketentuan Umum, Pencatatan
Dasar perkawinan merupakan bab paling awal yang diatur oleh UUP. Bab
ini terdiri dari 5 Pasal. Hal pertama yang diatur oleh bab ini adalah tentang
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
37
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum Perkawinan Indonesia
menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Penerbit Mandar
Maju, 2007), h. 4
38
Hadikusuma, Hukum..., h. 7.
20
persetujuan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang secara hukum untuk
hidup bersama dalam jangka waktu yang cukup lama 39. Selain itu, perkawinan
biasa juga disebut “nikah”. Yaitu melakukan suatu akad atau perjanjian untuk
mengikat diri seorang laki-laki dan seorang wanita. Ikatan ini menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak, secara sadar, dan sukarela, bertujuan
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
UUP. Meliputi:
Perempuan 16 tahun.
Hal penting yang patut dicatat dari penetapan UUP bahwa secara normatif
UUP banyak sekali mengadopsi ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Adanya fakta ini
menjadikan UUP sebagai penanda era baru bagi perkembangan hukum Islam di
Indonesia. Era baru yang disebut sebagi fase taqnin. (Fase Pengundangan).
Disebut demikian karena melalui UUP, hukum Islam khususnya yang berkaitan
keindonesiaan.42
mendefinisikan perkawinan sebagai: “...ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
keterkaitan erat antara UUP dengan Pancasila. Terutama sila pertama, Ketuhanan
berkaitan erat dengan agama. Tidak semata aktifitas lahir dan duniawi. Tetapi
merupakan suatu hal yang sakral. Mengandung sekaligus aktifitas jasmani dan
rohani.43 Dengan demikian, dalam kontruksi normatif UUP, perkawinan tidak saja
42
Dr. H. Amiur Nuruddin dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag., Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,
UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 26
43
Moh. Idris Romulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
1995), h. 38
22
dipandang sebagai hubungan fisik semata. Tetapi juga relasi yang bersifat batin.
Pada titik ini, UUP memandang sama pentingnya antara aspek lahir dan batin,
aspek jasmani dan rohani dalam perkawinan. Keduanya harus berjalan seiring dan
seimbang. Saling melengkapi. Aspek lahir atau jasmani memiliki dampak yang
temporer. Berdampak hanya pada suatu masa yang pendek. Aspek batin dalam
hubungan bersifat biologis semata melainkan ikatan yang bersifat lahir dan batin
hanya dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai ketentuan Hukum Perdata saja. 45
Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), h. 4.
23
antara seorang laki-laki dan perempuan dalam bidang hukum keluarga. Hal ini di
atur dalam Pasal 28. Bahwa pada asasnya perkawinan menghendaki kebebasan
bersepakat antara kedua pihak. Calon suami dan istri. Kebebasan bersepakat
berarti pula kesamaan kehendak. Persetujuan tak akan terselenggara tanpa adanya
pada umumnya. 47
perkawinan hanya sah bila dilaksanakan menurut ketentuan suatu agama. Berbeda
legalitas perkawinan menurut agama. Bagi BW, sahnya perkawinan bukan karena
perikatan atau perjanjian. Sesuatu yang dipandang sangat penting. Oleh UUP dan
BW. Suatu perjanjian tentu saja sejak awal diharapkan agar berlaku selamanya.
Tidak mudah putus di tengah jalan. Bilapun terpaksa harus terputus, tentu mesti
oleh sebab-sebab yang diterima oleh akal sehat. Demikian pula hanya perkawinan.
47
Prof. Ali Afandi, SH, Hukum Waris, h. 99.
24
Sebagai sebuah perjanjian, perkawinan sejak mula dirancang dan diniatkan untuk
saja. Bilapun harus putus, mesti atas alasan yang masuk akal. Dengan pengertian,
Hanya saja, perkawinan berbeda dengan perjanjian biasa. Isi dan bentuk
perjanjian biasa dapat ditentukan secara bebas oleh para pihak. Sepanjang tidak
kesusilaan dan hal terkait ketertiban umum. Perjanjian yang telah disepakati dan
ditetapkan, tak ubahnya berlaku laksana undang-undang bagi para pihak terkait.
Sampai di sini perkawinan memang tak berbeda dengan perjanjian biasa. Namun
bila perjanjian biasa hanya berlaku bagi pembuatnya, perkawinan berlaku lebih
luas. Perkawinan sebagi sebuah perjanjian, secara hukum berlaku bagi umum.
Tidak hanya berlaku bagi suami dan istri. Persetujuan pada perjanjian biasa, hanya
ditetapkan oleh para pihak pembuatnya. Persetujuan suami istri dalam perkawinan
harus disahkan oleh pemerintah. Persetujuan dapat hentikan atas kesepakatan para
48
K. Wantjik Saleh, SH, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia,
1976), h. 15.
25
ternyata bukian dominasi BW semata. Selain BW, hampir semua kitab fiqh, juga
hubungan bersifat biologis. Sebut saja misalnya Kifayat al-Akhyar. Karya Imam
Taqiyuddin. Kitab yang sangat populer. Perkawinan menurut kitab ini adalah
pernyataan tentang akad yang meliputi rukun dan syarat tertentu, dengan
sengaja. Dengan perkawinan, menurut Hanafi, seorang laki-laki dapat secara legal
(halal) untuk bersenang-senang dengan seorang wanita sepanjang tidak ada faktor
berbeda dengan Hanafi, Mazhab Hambali meski dalam bahasa yang sedikit
menggunakan kata kawin atau nikah itu sendiri. Dimaksudkan agar dapat
seksual. Abu Zahrah memang menambahkan implikasi lain selain makna yang
Berupa keharusan saling tolong menolong serta timbulnya hak dan kewajiban di
antara suami istri.52 Namun kesan aksentuasi pada makna yang pertama ketimbang
Pendapatnya ditemukan dalam kitab I’anat al-Thalibin. Kitab yang sangat populer
di dunia pesantren. Menurut Al-Malibari, kata nikah atau tazwij (perkawinan) itu
sendiri telah berarti persetubuhan. Olehnya perkawinan berarti suatu akad yang
hubungan badani ini, nyatanya tidak saja terdapat dalam kitab-kitab fiqk klasik
51
Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV,
(t.tp.,: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1986), h. 3.
52
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1957), h. 19.
53
Muhammad Syata’ Al-Dimyati, I’anat at-Thalibin, Juz III (t.tp.: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tt.), h. 256.
27
masih belum bergeser dari pemaknaan semacam ini. Kitab karya Wahbah
(al-istimta’) dengan seorang wanita. Tentu saja wanita yang dimaksud di sini
bukan yang termasuk dalam kategori haram dinikahi. Baik oleh sebab keturunan
atau sepersusuan.54
Kata “ikatan” dalam definisi perkawinan UUP juga menarik untuk dikaji.
Pilihan terhadap kata ikatan ini tentu mempunyai makna aksentuatif dengan
implikasi hukum tertentu. Penggunaan kata ikatan ini menunjukkan UUP melihat
hukum, eksistensi akad menandai terjadimya suatu peristiwa hukum. Akad atau
perikatan itu sendiri hanya mungkin terjadi melalui kesepakatan dan keinginan
dua pihak. Kesepakatan itu dinyatakan dengan kata-kata. Dapat pula dalam bentuk
dan posisi sejajar para pihak penyelenggara akad itu an sich. Perkawinan sebagai
sebuah akad menghendaki adanya kesamaan dan kesejajaran posisi dari kedua
pihak. Suami dan istri. Tidak saling mengatasi. Mempunyai kedudukan yang
sama. Tak ada yang merasa lebih berkuasa dan berhak dari yang lainnya.
kesepakatan. Kesepakatan hanya akan terjadi atas kemauan dan keinginan bebas
54
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, (Damaskus:
Dar al-Fiqr, 1989), h. 29.
28
para pihak. Di sinilah arti penting kata “ikatan” dalam defenisi perkawinan UUP
itu. Kata ini mengandung implikasi hukum penting. Menjadi penentu legal
tidaknya suatu perkawinan. Tanpa ikatan (akad), tak akan ada peristiwa hukum
yang disebut perkawinan. Ikatan (akad) inilah yang menjadi penentu pertama
perkawinan. Perkawinan sebagai sebuah ikatan artinya kedua pihak yang terikat di
dalamnya, suami istri, memiliki pola hubungan yang sederajat. Berada pada posisi
yang seimbang. Pola hubungan yang menyikapi segala sesuatu sebagai problem
bersama yang karenanya mesti dirundingkan bersama pula. Setiap pihak mesti
diberi akses yang sama untuk meraih kedudukan sosial di luar ruang domestik
rumah tangga.56
dapat disimpulkan sebagai implikasi makna dari kata “ikatan” dalam defenisi
Pasal 30 dan Pasal 30 Ayat (1) dan (2) UUP. Suami isteri sama-sama memiliki
kedudukan yang seimbang. Entah itu di dalam kehidupan domestik rumah tangga,
55
Ahmad Kuzari, Perkawinan sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1995), h. 1.
56
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading,
1975), h. 10.
29
Hal menarik lain pada bagian dasar perkawinan adalah tentang asas
prinsipnya seorang suami hanya boleh mempunyai satu orang isteri. Itu prinsip
dengan KUHPerdata (BW) yang menganut asas monogami mutlak atau tertutup.
Oleh KUHPerdata ketentuan ini diatur dalam Pasal 27. Pasal tersebut
satu orang lelaki sebagai suaminya”. Pasal ini senada dengan Pasal 3 Ayat (1)
UUP yang menggariskan: “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami”.
Ayat (2) UUP. Pasal ini menegaskan: “Pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
57
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar,
Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 120.
30
antara UUP dan KUHPerdata. Perbedaan penting terkait asas perkawinan. Bila
ini UUP menganut asas monogami terbuka. 58 Ini artinya, UUP memberi peluang
Ketentuan UUP tentang poligami ini setidaknya telah menjadi titik temu
dari tarik ulur berkepanjangan antara hukum Islam, hukum adat dan hukum
perdata warisan kolonial Belanda. Tarik ulur tersebut telah dapat diakomodir oleh
didudukkan dalam posisi antara diperbolehkan dan dipersulit. Ini suatu kebijakan
chaos akan terbuka lebar dalam kehidupan masyarakat. Ini jelas bertentangan
dengan tujuan maupun fungsi dari penetapan hukum itu sendiri. Baik sebagai
UUP juga mengatur soal usia perkawinan. Ini hal penting terkait dengan
dalam Pasal 7 Ayat (1): “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi. Namun para ulama modern
kemaslahatan bagi pasangan suami isteri.60 Inilah agaknya yang menjadi dasar
Hal penting lain yang perlu dipaparkan dalam sketsa normatif hukum
Ketentuan tentang ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Pasal tersebut mengatur
berlaku. Pada ayat sebelumnya UUP juga telah menyebutkan, bahwa perkawinan
masing-masing.
Menyikapi ketentuan ini, para ahli hukum berbeda pendapat. Terdapat dua
kelompok pendapat.
asumsi bahwa terdapat keterkaitan integral antara satu pasal dengan pasal yang
Menurut Prof. Jaih Mubarok, jika menyigi dari penjelasan atas UUP,
penafsiran kelompok kedua lebih mendekati etos yang diinginkan oleh negara.62
mengatur:
kekuatan hukum.66
61
Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks
Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik,
dan Lembaga Negara, (Bandung: Mizan, 1997), h. 91-96.
62
Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, SE, MH., M.Ag., Pembaruan Hukum
Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), h. 68
63
Pasal 4 KHI.
64
Pasal 5 Ayat (1) dan (2) KHI.
65
Pasal 6 KHI.
66
Pasal 6 Ayat (2) KHI.
33
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarahnya dapat ditelusuri sejak masa pra kolonial, hingga era milenial saat
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lahirnya Undang-undang ini tak bisa
dilepaskan dari sejarah panjang itu. Sejarah yang dengan sendirinya melatari
34
semakin konkrit dan sistemik dilakukan sejak era 1960-an. Hingga akhirnya
norma hukum ini merupakan perwujudan dari politik hukum pemerintah Orde
B. Saran-Saran
yang sama di Anak Benua India dan Benua Asia pada umumnya.
norma hukum positif tersebut. Perkembangan zaman yang terus berubah dan
boleh jadi berbeda konteks dengan masa ketika kedua norma hukum tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, H., SH., MH., 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Akademika Pressindo.
Afandi, Prof., SH, 1986. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: Bina
Aksara.
Ahmad, Amrullah , dkk., 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, Jakarta: Gema Insani Press.
Ahmad, Amrullah, 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: Gema
Insani Press.
Ali, Muhammad Daud, 1982. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Indonesia, Majalah Pembangunan No. 2, Tahun ke-12, Maret 1982.
36
Boland, B.J., 1971. The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Leiden: The
Hague-Martinus Nijhoff.
Dimyati, Muhammad Syata’ Al-, t.t. I’anat at-Thalibin, Juz III, t.tp.: Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyyah.
Effendi, Bakhtiar, 1995, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, dalam Prisma, No. 5 Th. XXIV Mei 1995.
Jaziri, Abdurrahman Al-, 1986. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, t.tp.,:
Dar Ihya al-Turas al-Arabi.
Khallaf, t.t. ‘Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh,cet ke-8, ttp.: Maktabah
al-Da’wah al-Islamiyah.
Mahmood, Tahir, 1987. Personal Law in Islamic Countries (History, Text. And
Comparative Analysis), New Delhi: Academy of Law and Religion.
37
Manan, Abdul, 2006. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Mubarok. H. Jaih, Prof. Dr. SE, MH., M.Ag., 2015. Pembaruan Hukum
Perkawinan di Indonesia, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Mufidah Ch, 2008, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN
Press.
Munti Ratna Bantara, 2005. Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia,
Yogyakarta: LKiS.
Muttaqien, Dadan, dkk. 1999. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum
Indonesia, ed. Yogyakarta: UII Press.
Nasution, Khoiruddin Nasution, Prof. Dr. MA., 2007. Pengantar dan Pemikiran
Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Yogyakarta: Academia &
Tazzafa.
Nuruddin, H. Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,UU No.
1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana.
Prisma, No. 5 Th. XXIV Mei 1995.
Roem, Mohamad, 1997. Bunga Rampai dari Sejarah. Jilid II, Jakarta: Bulan
Bintang.
Romulyo, Moh. Idris, 1995. Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
38
Suma, Muhammad Amin, 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Zuhaili, Wahbah al-, 1989. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh,Jilid VII Beirut: Dar
al-Fikr.