Anda di halaman 1dari 39

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum keluarga dalam studi Islam biasa disebut dengan istilah al-ahwal

al-syakhsyiah. Dalam studi Hukum Perdata Umum, hukum keluarga biasa

diartikan sebagai hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang

timbul dari hubungan kekeluargaan.1

Khazanah intelektual Islam, khususnya di bidang studi Fiqh Islam,

memberi pengertian beragam tentang hukum keluarga. Ini terkait dengan

sumber-sumber yang sangat kaya. Berasal dari warisan intelektual masa klasik

hingga era kontemporer. Terdapat ragam pengertian, bersumber dari banyak ahli.

Sebut saja misalnya ’Abd. Al-Wahhab Khallaf dan Wahbah al-Zuhaili.

Menurut Khallaf, Hukum Keluarga adalah hukum yang mengatur

kehidupan keluarga mulai dari awal pembentukan keluarga. Tujuan utamanya

untuk mengatur hubungan suami, isteri, dan anggota keluarga. 2 Wahbah al-Zuhaili

juga memberi formulasi tentang pengertian hukum keluarga ini. Al-Zuhaili

mendefenisikan Hukum Keluarga sebagai hukum yang mengatur hubungan

manusia dengan keluarganya. Meliputi perkawinan hingga pembagian warisan

ketika terdapat anggota keluarga yang meninggal.3

1
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987),
h. 16.

‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh,cet ke-8, (ttp.: Maktabah


2

al-Da’wah al-Islamiyah, t.t.), h. 32.


3
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh,Jilid VII (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989), h. 6.
1
2

Intinya, hukum keluarga mengatur hubungan antar anggota keluarga.

Cakupan keluarga di sini, terbatas pada keluarga pokok (nuclear family). Meliputi

Bapak, ibu, dan anak-anak. Baik ketika masih terikat dalam perkawinan maupun

setelah terjadi perceraian. Entah cerai hidup atau cerai mati.4

Secara umum, Hukum Islam adalah representasi pemikiran Islam.

Manifestasi paling khas dari pandangan hidup Islam. Sekaligus intisari dari Islam

itu sendiri. Istilah fiqh yang berarti pengetahuan menunjukkan bahwa sejak awal,

Islam menganggap pengetahuan tentang hukum suci sebagai pengetahuan par

excellence.5 Demikian juga halnya dengan hukum keluarga Islam.

Sepanjang sejarah pembentukan hukum nasional di Indonesia, hukum

Islam, utamanya hukum keluarga Islam, telah memberi pengaruh dan peranan

sangat besar. Pengaruh dan peranan yang tak bisa dipungkiri. Pada prakteknya,

pengaruh dan peranan ini, memiliki dua fenomena unik berikut:

1. Hukum Islam berperan dalam mengisi kekosongan hukum dalam hukum

positif. Dalam hal ini hukum Islam diberlakukan oleh negara sebagai hukum

positif bagi umat Islam.

2. Hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi

terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena aturan hukum tersebut

Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, MA., Pengantar dan Pemikiran Hukum


4

Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2007)


h. 8
5
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Terj. (Bandung: NUANSA,
2010), h. 21.
3

bersifat umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum

Islam dapat berlaku pula bagi seluruh warga Negara.6

Dalam Sejarah hukum di Indonesia, perkembangan hukum Islam

mengalami pasang surut. Di masa penjajahan Belanda, misalnya, terdapat upaya

sistematis untuk menghilangkan pengaruh hukum Islam. Terutama melalui teori

receptie Snouchk Hurgronye. Teori ini terang-terangan berusaha mendistorsi

pengaruh hukum Islam melalui modus membenturkannya dengan hukum adat.7

Makalah ini akan membahas tentang Hukum Keluarga Islam di Indonesia

dengan memfokuskan pembahasan pada latar belakang historis pengaruh dan

peranannya serta profil hukum keluarga yang saat ini berlaku di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Makalah ini memfokuskan pembahasan untuk menguraikan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sejarah perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia?

2. Bagaimanakah profil hukum Keluarga Islam di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk:

Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:


6

Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), h. 167.

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja


7

Grafindo, 2006), h. 2.
4

1. Memenuhi sebagian persyaratan Dupak untuk kepentingan kenaikan pangkat

sebagai penghulu.

2. Memberi sumbangsih pemikiran dalam kajian Perbandingan Hukum Keluarga

Islam di Dunia Islam.


5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Indonesia memang bukan Negara Islam. Itu jelas dan pasti. Namun

Indonesia Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Itu juga fakta yang tak

bisa dipungkiri. Fakta itu, suka tidak suka, mau tidak mau pasti berpengaruh

signifikan bagi pembangunan hukum di Indonesia. Tak terkecuali di bidang

hukum keluarga. Pengaruh yang sudah berlangsung dalam jangka waktu tak

singkat. Hingga mulai dilakukannya upaya kongkrit pembaruan hukum keluarga

Islam di Indonesia. Sejak era 1960-an. Bermuara pada lahirnya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.8 Selanjutnya disingkat UUP.

Indonesia memang negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Sekali lagi itu fakta tak terpungkiri. Namun dalam hal kepemilikan

Undang-Undang khusus yang mengatur perkawinan, Indonesia bukanlah pioner

terdepan. Negara-negara Islam seperti Sudan, Maroko, dan Libya, telah

memilikinya lebih awal ketimbang Indoensia. Kecuali Malaysia (1987), Aljazair

(1984) dan Bangladesh (1984). Ketiga negara ini jelas masih di belakang

Indonesia dalam hal ini.9

8
Ratna Bantara Munti, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. xv-xvi
9
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 157.

5
6

Hari Ibu, 22 Desember 1973. Ini hari bersejarah bagi pembaharuan hukum

keluarga di Indonesia. Tepat di hari ibu, 46 tahun lalu itu, rancangan UUP

diterima secara bulat dalam sidang paripurna DPR.10 Rancangan UUP ini telah

diajukan pemerintah sejak tanggal 16 Agustus 1973. Segera setelah kesepakatan

di paripurna itu, tepatnya tanggal 2 Januari 1974 UUP disahkan secara resmi oleh

Presiden. Diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 1 tahun 1974. Berlaku

efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9

tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan.11

UUP tidak sekedar dimaksudkan untuk menciptakan suatu hukum

perkawinan yang berlaku nasional serta bersifat menyeluruh. Lebih dari itu, UUP

juga ditujukan untuk mempertahankan, menyempurnakan, memperbaiki dan

menemukan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan baru yang kontekstual dan

mampu merespon secara kreatif dan efektif tuntutan zaman. Berikut kondisi

sosiologis Indonesia yang majemuk.12

Proses penetapan rancangan UUP menjadi Undang-Undang bukanlah

proses yang mudah dan sederhana. Jauh sebelum diundangkannya, usaha untuk

memperjuangkan positivisasi hukum perkawinan Islam telah mulai dilakukan

10
Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, Jilid II, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), h. 266.
11
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,UU No.
1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 25.
12
Rachmadi Usman,Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 231.
7

sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Usaha tersebut dilakukan antara lain oleh

Kowani (Kongres Wanita Indonesia). Tercatat organisasi perempuan ini

mengajukan konsep perubahan hukum perkawinan pada tahun 1973. Meskipun

gagal diundangkan.13

UUP lahir dalam suasana kehidupan politik yang antagonistik. Perlu

diingat bahwa saat itu merupakan dekade pertama pemerintahan Orde Baru. Orde

yang eranya dimulai sejak keluarnya Supersemar yang terkenal itu. Peralihan

tampuk pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, sebenarnya memberi

harapan besar dan angin segar bagi perkembangan kehidupan beragama di

Indonesia. Terutama bagi umat Islam. Mengingat kontribusi besar mereka dalam

ikut meruntuhkan rezim Orde Lama. Harapan ini pada akhirnya bergesekan

dengan politik pembangunan rezim Orde Baru. Politik pembangunan yang lebih

mengedepankan stabilitas demi keberhasilan program pembangunan.

Peminggiran pengaruh partai politik dan penabuan wacana-wacana ideologis

selain ideologi pancasila pun dilakukan. Termasuk ideologi yang berkaitan

dengan komunisme dan keagamaan.14

Di masa ini, untuk mendukung pilihannya terhadap modernisasi

(pembangunan), Orde Baru melakukan rekayasa politik melalui restrukturisasi

partai-partai politik. Juga penerapan kebijakan massa mengambang (floating

mass). Dipadu dengan upaya pemantapan stabilitas nasional melalui restriksi yang

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text.


13

And Comparative Analysis), (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987),
h. 205

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda,


14

(Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2002), h. 198.


8

memadukan kontrol dan konsesi. Stabilitas nasional yang mutlak dibutuhkan bagi

keberlangsungan program pembangunan, diwujudkan Orde Baru melalui

penerapan apa yang disebut sebagai “masyarakat politik birokratik” (bureaucratic

polity). Berupa suatu sistem politik yang membatasi kekuasaan dan partisipasi

dalam proses pengambilan kebijakan. Aktifitas pengambilan kebijakan dibatasi

hanya dalam ruang lingkup birokrasi, terutama pada perwira-perwira militer dan

pejabat-pejabat tinggi birokrasi, termasuk para teknokrat. Kebijakan-kebijakan ini

menimbulkan kekecewaan sebagian umat Islam. Utamanya kalangan Islam politik

yang di masa sebelumnya terbiasa menjadikan politik sebagai panglima. Bagi

mereka, politik pembangunan Orde Baru telah memangkas kekuatan politik serta

menutup ruang artikulasi dan peluang umat Islam untuk tampil di pentas politik

nasional.15 Dalam suasana antagonistik seperti inilah UUP lahir.

Di samping itu, kontroversi tajam tak urung mengiringi kelahiran UUP.

Reaksi keras awalnya malah muncul dari umat Islam sendiri. Justru tepat sebulan

sebelum rancangan UUP diajukan. Reaksi keras ini timbul karena umat Islam

berpendapat bahwa banyak pasal-pasalnya yang bertentangan dengan ajaran

Islam.16 Begitu kerasnya reaksi ini, digambarkan oleh Kamal Hassan17 sebagai

melibatkan hampir semua kelompok ulama. Baik kalangan modernis maupun

tradisional. Mulai dari Aceh hingga Jawa Timur.

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, (Jakarta:


15

Paramadina, 1995), h. 8.
16
Nuruddin, Hukum..., h. 23.
17

Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New


Order” Medernization in Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pelajaran Malaysia Hassan, 1982), h. 146.
9

Jauh sebelum itu, sejak tahun 1968 bahkan telah terjadi perdebatan sengit

mengenai draft yang oleh Boland disebut sebagai “bill of the fundamental

principles of marriage”. Draft ini memuat aturan tentang usia perkawinan,

poligami, hak dan kewajiban suami isteri, hak dan kewajiban orang tua dan anak,

dan lain-lain. Masalah poligami menjadi salah satu pemicu utama perdebatan

ketika itu. Perdebatan yang terbilang sengit. Menguras banyak pikiran dan

energi.18

Bila merunut lebih jauh mengenai latar historisnya, kelahiran UUP di

Indonesia dapat ditelusuri dalam 4 fase sejarah. Fase kerajaan Islam, fase kolonial,

fase awal kemerdekaan, dan fase pemberlakuan UUP. Berdasarkan catatan

sejarah, sejak abad ke-13, hukum Islam dalam mazhab fiqh tertentu telah menjadi

anutan di beberapa kerajaan Islam Nusantara. Kerajaan Samudera Pasai di Aceh

Utara, misalnya, menjadikan mazhab Syafi’i sebagai anutan resmi kerajaan. 19

Demikian pula kerajaan-kerajaan Islam di Jawa pada abad ke-15 dan 16 M.

Seperti kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan lain-lain. Di

kerajaan-kerajaan ini hukum Islam juga telah diterapkan dan menjadi fenomena

biasa sehari-hari. Kerajaan bahkan menetapkan petugas khusus sebagai pelaksana

yang melayani kebutuhan hukum masyarakat Islam. Maka dikenallah jabatan

penghulu. Pejabat di bidang hukum Islam yang menangani dan melayani

kebutuhan hukum masyarakat Islam ketika itu. Terutama di bidang ibadah, dan

B.J. Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (Leiden:


18

The Hague-Martinus Nijhoff, 1971), h. 167.


19
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid II (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
h. 53.
10

hukum keluarga, termasuk perkawinan.20 Pada saat yang sama, di belahan Timur

Nusantara, kerajaan-kerajaan Islam, semisal Gowa, Ternate, Bima, dan lain-lain,

mengikuti jejak Kerajaan Samudera Pasai. Menjadikan fiqh Syafi’i sebagai

mazhab resmi kerajaan.21

Selain itu, pada era ini juga berlaku berbagai ragam hukum adat. Termasuk

pula yang mengatur tentang perkawinan. Hukum adat yang umunya tercakup

dalam aneka sistem sosial politik besar. Untuk ini, pulau Jawa dapat menjadi

contoh representatif. Di Jawa yang setidaknya terdiri dari tujuh suku, ketika itu

juga berlaku hukum adat yang berbeda-beda. Menyesuaikan dengan adat

masing-masing suku. Namun di saat sama, berbagai ragam hukum adat itu, tetap

dipengaruhi oleh satu sistem sosial politik yang berlaku umum di Jawa. Semisal

sistem sosial bercorak Hindu yang mengenal hirarki tertentu dalam masyarakat.22

Warisan fase kerajaan ini terus berlangsung hingga ke fase berikutnya.

Fase kolonial. Ketika pemerintahan kolonial Belanda mulai menancapkan

kekuasaannya di Indonesia melalui Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC),

hukum Islam benar-benar telah berurat berakar dalam masyarakat Muslim

Indonesia. Hukum Islam menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat. Sehingga tak ada pilihan lain bagi Belanda kecuali

20
Amrullah Ahmad SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 70.
21
Mawarti Djoned Poeponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia, Jilid
III, (Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984),
h. 197.
22
Nursyahbani, Katjasungkana, dkk., A Study of Gender and Acces to
Justice in Indonesia, (Jakarta: LBH, 1991), h. 3.
11

mengakuinya. Pengakuan ini ditunjukkan misalnya, dengan membuat suatu

himpunan hukum Islam yang dikenal dengan sebutan Compendium Freiyer.

Penamaan ini mengikuti nama penyusunnya.23 Tidak berhenti di situ, kebijakan

ini juga diikuti dengan penyusunan himpunan hukum perkawinan dan kewarisan

Islam untuk wilayah Semarang, Cirebon, dan Makassar.24

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda ini mulai mengemuka tuntutan

untuk menetapkan suatu Undang-Undang Perkawinan. Uniknya tuntutan itu justru

disuarakan oleh kaum perempuan. Mereka menyuarakannya melalui momen

Kongres Perempuan Indonesia. Kongres yang dilaksanakan pada tanggal

22-25 Desember 1928.25 Kongres yang tanggal pelaksanaannya, 22 Desember,

kemudian ditetapkan sebagai hari Ibu oleh pemerintah Orde Baru.

Tepat satu windu setelah pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia itu,

di tahun 1937, pemerintah Kolonial Belanda merancang suatu rencana Ordonansi

Perkawinan tercatat. Ordonansi yang memang direncanakan untuk berlaku

beberapa golongan beragama. Bukan saja untuk golongan Islam, tapi juga untuk

komunitas agama lain, Hindu, Bunda, dan kaum Animis. Ordonansi ini pada

intinya mengatur tentang asas perkawinan. Oleh rencana ordonansi ini perkawinan

dikatakan sebagai berasas monogami. Diatur juga sebab bubarnya suatu

perkawinan. Bahwa suatu perkawinan dapat berakhir karena beberapa sebab. Bisa
23
Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.
24
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Indonesia, Majalah Pembangunan No. 2, Tahun ke-12, Maret 1982, h. 101.

Maria Ulfa Subadyo, Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang


25

Perkawinan, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1991), h. 9


12

karena kematian, bisa pula karena salah satu pihak menghilang selama dua tahun,

atau karena sebab perceraian. Rancangan ordonansi ini pada akhirnya tak bisa

berlaku efektif. Karena mendapat penolakan keras dari umat Islam. Penolakan ini

dipicu terutama oleh anggapan bahwa rancangan tersebut mengandung substansi

yang bertentangan dengan hukum Islam.26

Memasuki masa kemerdekaan, upaya untuk menciptakan unifikasi sistem

hukum mulai dilakukan. Namun upaya ini sulit diwujudkan. Keragaman entitas

budaya dan kepentingan, serta heterogenitas kerangka hukum menjadi penyebab.

Semua sistem hukum yang ada, ketika itu, mulai dari hukum Adat, BW, hingga

hukum Islam, tidak menyediakan dasar hukum yang konsisten. Konsistensi dasar

hukum yang sangat dibutuhkan bagi terwujudnya suatu kesatuan dari seperangkat

nilai yang ada.27

Namun demikian, masa kemerdekaan tetap saja menjadi tonggak baru bagi

perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia. Terutama berkenaan dengan

undang-undang perkawinan di Indonesia. Hanya beberapa bulan paska

Proklamasi kemerdekaan, upaya perbaikan undang-undang perkawinan segera

dilakukan oleh pemerintah Orde Lama. Perbaikan ini dilakukan melalui penetapan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan

Rujuk Bagi Masyarakat Beragama Islam.

Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan


26

Mayarakat, Jakarta: Ghia Indonesia, 1992), h. 77.

Apong Herlina, dkk., Laporan Hasil Penelitian “The Study of Gender


27

and Access to Justice in Indonesia”, 1991, h. 5-6.


13

Empat tahun kemudian undang-undang ini mendapat sorotan tajam dari

Front Wanita di Parlemen. Di bulan Agustus tahun 1950, Front Wanita ini

menuntut pemerintah untuk merevisi undang-undang perkawinan tersebut. Seraya

mendesak pengajuan rancangan undang-undang perkawinan yang baru.

Memenuhi desakan ini, pemerintah Orde Lama, melalui Menteri Agama

membentuk panitia khusus yang diberi nama Panitia Penyelidikan Peraturan

Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk. Panitia ini berhasil menelorkan Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1952.28

Pada tahun 1963, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bersama

Persatuan Sarjana Hukum Indonesia menyelenggarakan seminar terkait

Rancangan Undang-Undang Perkawinan. Khususnya terkait asas-asas perkawinan

yang semestinya berlaku di Indonesia. Seminar ini merupakan kelanjutan dari

perkembangan sebelumnya. Perkembangan dimaksud berupa pembentukan

Lembaga Pembinaan Hukum Nasional oleh Menteri Kehakiman pada tanggal

6 Mei 1961. Lembaga ini sengaja dibentuk untuk melakukan pengkajian

mendalam hingga mengajukan RUU Perkawinan. Lembaga ini kemudian

mengajukan rekomendasi tentang asas-asas perkawinan seperti telah disebutkan.

Rekomendasi ini pula yang diseminarkan pada tahun 1963 itu. Hasil seminar

tersebut menegaskan bahwa pada prinsipnya perkawinan di Indonesia berasas

monogami. Namun terdapat catatan penting. Asas monogami di sini tidak bersifat

mutlak. Bukan asas monogami tertutup. Karenanya seminar ini juga

28
Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender dalam Perspektif Perempuan,
(Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan, 2000),
h. 53.
14

menggariskan dan membuka peluang terjadinya praktik poligami. Meskipun

dengan syarat-syarat tertentu. Seminar ini juga merekomendasikan tentang

batas minimum usia calon pengantin.29

Setelah melalui proses sejarah panjang, akhirnya UUP memasuki fase

terakhir perkembangannya. Fase pemberlakuan UUP. Fase ini diawali polemik

cukup panjang. Termasuk polemik di parlemen. Polemik yang antara lain dipicu

oleh aksi penolakan dari Fraksi Katolik. Penolakan ini ditujukan pada Rancangan

Undang-Undang Perkawinan khusus umat Islam yang diajukan sejak tahun 1967.

Juga terhadap Rancangan Undang-Undang Pokok Perkawinan tahun 1968.

Penolakan ini disikapi pemerintah dengan menarik kembali kedua RUU tersebut.

Penarikan ini kemudian diikuti dengan pengajuan RUU baru pada tahun 1973. 30

RUU 1973 inilah kemudian yang ditetapkan sebagai UUP.

Walau diwarnai berbagai kritik, UUP akhirnya disahkan. Pengesahan UUP

menjadi tonggak baru perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia.

Sekaligus menjadi satu-satunya hukum yang mengatur tentang perkawinan bagi

bangsa Indonesia. Selain itu, UUP juga menandai unifikasi berbagai ragam hukum

perkawinan yang eksis di Indonesia sebelumnya.

Namun demikian, pada prakteknya masalah terkait pelaksanaan hukum

keluarga tidak serta merta selesai. Unifikasi hukum tentang perkawinan melalui

UUP, tidak lantas serta merta menghentikan keragaman putusan dalam

R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan


29

Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988), h. 98.


30

Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Bandung: Rajawali, 1983),


h. 98.
15

penyelesaian perkara. Utamanya di Pengadilan Agama (PA). Proses penyelesaian

perkara didominasi oleh pendapat masing-masing hakim. Itupun sangat tergantung

dari kitab fiqh rujukan masing-masing hakim. Tidak ada standar baku dalam

penetapan keputusan. Akibatnya keputusan yang ditetapkan kerapkali berbeda.

Bahkan untuk kasus yang sama. Subyektifitas hakim nampak sangat besar.

Bahkan tak jarang, keputusan hakim tak lepas dari tendensi politik. Menjadi alat

politik untuk menyerang pihak lain.31

Ditinjau dari sudut pandang teori hukum, produk-produk Pengadilan

Agama semacam ini, bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.32 Belum lagi

kitab-kitab fiqh rujukan para hakim, merupakan produk pemikiran dari abad

pertengahan (sejak abad ke-2 H). Tentu saja disusun dalam konteks sosio-politik

kultural yang berbeda dengan konteks Indonesia. Untuk merespon problem

krusial ini, pada tahun 1985 Mahkamah Agung (MA) mengusulkan perumusan

suatu Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi yang dimaksudkan untuk

menjadi buku standar bagi para hakim di Pengadilan Agama (PA). Awalnya

usulan ini tak seketika populer. Namun mulai mendapat banyak perhatian ketika

Menteri Agama, Munawir Syadzali, ikut mengusulkan hal yang sama. Usulan ini

akhirnya mendapat respon konkrit dengan dikeluarkannya Surat Keputusan

31
Hasan Basri, “Perlunya Kompilasi Hukum Islam”, dalam
H. Abdurrahman, SH., MH., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1992), h. 21.
32

Munawir Syadzali, “Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam”,


dalam Dadan Muttaqien, dkk. (ed.), Peradilan Agama dan KHI dalam Tata
Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1999), h. 2.
16

Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. SKB yang

menariknya, terwujud atas prakarsa Presiden Soeharto.33

Latar belakang lahirnya KHI, memang terkesan bersifat top down.

Mengingat pemrakarsa awalnya terdiri dari pemegang kebijakan. Mahkamah

Agung dan Menteri Agama. Belum lagi peran langsung yang ditunjukkan

Presiden Soeharto. Sifat top down ini, tak urung merefleksikan nuansa politis

yang melatari lahirnya KHI. Nuansa politis tentu tak terlepas dari kondisi politik

saat itu. Era antara pertengahan 1980-an hingga akhir 1990-an merupakan masa

dimulainya politik akomodasi Orde Baru terhadap Islam. Setelah pada masa-masa

sebelumnya, Orde Baru sengaja meminggirkan peran umat Islam dalam pentas

politik nasional. Di era 1980-an ini pemerintah Orde Baru mulai merasa

berkepentingan meraih dukungan dari kelompok Islam. Menurut Bakhtiar Effendi,

fenomena politik akomodasi negara terhadap Islam, berspektrum luas. Meliputi

beberapa kebijakan. Pertama, struktural. Ditandai dengan semakin terbukanya

kesempatan bagi para aktivis Islam untuk mengintegrasikan diri ke dalam Negara.

Entah melalui saluran legeslatif, eksekutif maupun yudikatif. Kedua, legislatif. Ini

berkaitan dengan disahkannya sejumlah Undang-Undang (UU) yang dinilai

akomodatif terhadap kepentingan Islam. Seperti, Undang-Undang Pengadilan

Agama di tahun 1989. Kompilasi Hukum Islam (KHI) di tahun 1991. SKB

tentang BAZIS (Badan Amal, Zakat, Infaq, dan Shadaqah) di tahun 1991.

Kebijakan baru tentang pemakaian jilbab pada tahun 1991. Adapula kebijakan

penghapusan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) yang sejak lama telah

Ismail Suni, “Kompilasi Hukum Islam Ditinjau dari Sudut Pertumbuhan


33

Teori Hukum Indonesia”, dalam Abdurrahman, Kompilasi..., h. 33.


17

menjadi kontroversi, di tahun 1993. Ketiga, infrastruktural. Melalui penyediaan

infrastruktur bagi umat Islam. Seperti pembangunan sarana ibadah, pengiriman

da’i-da’i ke daerah transmigrasi, dan tak ketinggalan pendirian Bank Muamalat

Indonesia (BMI). Keempat, kultural. Ini berkaitan dengan akomodasi kultural

Orde Baru terhadap budaya Islam. Mewujud dalam penggunaan idiom-idiom

Islam dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan.34

Sikap akomodatif pemerintah ini, juga terlihat dengan jelas dalam proses

penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sikap ini ditunjukkan mulai dari

dikeluarkannya SKB Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Menteri Agama pada

Tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang

Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui

Yurisprudensi. Tak cukup dengan SKB, proyek yang berjangka waktu dua tahun

ini, juga didukung oleh Keputusan Presiden Nomor 191 Tahun 1985. Diterbitkan

tanggal 10 Desember 1985. Disediakan pula dukungan dana sebesar

Rp. 230.000.000,-. Dukungan dana langsung bersumber dari pribadi presiden.35

Pada lampiran SKB itu, ditegaskan tentang tugas pokok proyek tersebut.

Yaitu melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi

dengan jalan kompilasi hukum. Untuk kelancaramn pelaksanaan tugas, dibentuk

bidang-bidang khusus. Bidang-bidang tersebut terbagi dalam empat jalur utama:

34
Bakhtiar Effendi, “Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia”, dalam Prisma, No. 5 Th. XXIV Mei 1995, h.
24-25.
35

Panji Masyarakat No. 503 TH. XXVII, 1 Mei 1986, dikutip dalam
Abdurrahman, Kompilasi.. h. 34.
18

1. Jalur Kitab. Bertugas mengumpulkan dan mengkaji 13 kitab yang selama ini

digunakan sebagai pedoman dan bahan rujukan para Hakim di Pengadilan

Agama (PA). Selain 13 kitab tersebut, digunakan juga kitab-kitab tambahan

lainnya. Total mencapai jumlah 38 kitab. Kitab sebanyak itu lalu dibagikan

kepada 7 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk ditelaah dan dikaji.

2. Jalur Wawancara. Dilakukan dengan mewawancarai para ulama di seluruh

Indonesia. Tercatat seluruhnya sebanyak 86 ulama telah menjadi responden.

3. Jalur Yurisprudensi. Dilakukan dengan menghimpun putusan-putusan

Pengadilan Agama (PA) yang telah ada.

4. Jalur Studi Perbandingan. Ditetap tiga Negara sebagai tujuan studi

perbandingan. Mesir, Maroko, dan Turki. Pemilihan ketiga negara ini

terbilang pragmatis saja sifatnya. Maroko dipilih karena dikenal menganut

madzhab Maliki. Turki dipilih karena dikenal sebagai negara sekuler. Akan

halnya Mesir, dipilih semata-mata karena negara ini secara geografis berada

di antara Maroko dan Turki.36

B. Profil Hukum: Sketsa Normatif UUP dan KHI

Secara keseluruhan, UUP terdiri dari 67 Pasal. Terbagi dalam 14 bab.

Mengatur tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan

perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban

suami isteri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya,

kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan

ketentuan-ketentuan lainnya. Terhitung sejak disahkan dan ditandatangani oleh


36
Munawir Syadzali, Peradilan..., h. 2-3.
19

Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974 dan dimuat dalam lembaran negara

No. 1 tahun 1974, kini UUP telah eksis selama empat dekade lebih. Tepatnya 45

tahun. Selama rentang waktu hampir setengah abad itu, UUP menjadi norma

hukum legal menjadi dasar bagi pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Tahun

berikutnya aturan pelaksanaan UUP ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah

Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

PP ini meliputi 10 bab dan 49 Pasal. Berisi tentang Ketentuan Umum, Pencatatan

Perkawinan, Tata Cara Perkawinan, Akta Perkawinan, Tata Cara Perceraian,

Pembatalan Perkawinan, Waktu Tunggu, Beristri Lebih dari Seorang, Ketentuan

Pidana, dan Penutup.37

Dasar perkawinan merupakan bab paling awal yang diatur oleh UUP. Bab

ini terdiri dari 5 Pasal. Hal pertama yang diatur oleh bab ini adalah tentang

pengertian perkawinan. Pada Pasal 1 Ayat (1) UUP mendefinisikan perkawinan

sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa38. Definisi perkawinan juga

ditemukan dalam KHI. Pasal 2 KHI menyatakan bahwa perkawinan menurut

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan

gholizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

37
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum Perkawinan Indonesia
menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Penerbit Mandar
Maju, 2007), h. 4
38
Hadikusuma, Hukum..., h. 7.
20

Bandingkan misalnya dengan pengertian perkawinan menurut

KUHPerdata. Hukum warisan Belanda ini menyebutkan perkawinan ialah

persetujuan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang secara hukum untuk

hidup bersama dalam jangka waktu yang cukup lama 39. Selain itu, perkawinan

biasa juga disebut “nikah”. Yaitu melakukan suatu akad atau perjanjian untuk

mengikat diri seorang laki-laki dan seorang wanita. Ikatan ini menghalalkan

hubungan kelamin antara kedua belah pihak, secara sadar, dan sukarela, bertujuan

mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang

dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah SWT40.

Terdapat setidaknya delapan asas atau prinsip pokok perkawinan dalam

UUP. Meliputi:

1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.

2. Perkawinan sah bila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan.

3. Perkawinan harus dicatat menurut aturan perundangan.

4. Asas monogami terbuka.

5. Calon suami istri harus sudah masak secara jiwa raga.

6. Pembatasan usia minimal dibolehkan kawin. Pria minimal 19 tahun.

Perempuan 16 tahun.

7. Perceraian dipersulit dan harus dilaksanakan di muka pengadilan.

8. Hak dan kedudukan suami istri seimbang.41


39
Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),
h. 6.

Soemiati, Hukum Perkawinan dan Undang-undang Perkawinan,


40

(Yogyakarta: Liberty, 1982), h.


41
Ibid. h. 6
21

Hal penting yang patut dicatat dari penetapan UUP bahwa secara normatif

UUP banyak sekali mengadopsi ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Adanya fakta ini

menjadikan UUP sebagai penanda era baru bagi perkembangan hukum Islam di

Indonesia. Era baru yang disebut sebagi fase taqnin. (Fase Pengundangan).

Disebut demikian karena melalui UUP, hukum Islam khususnya yang berkaitan

dengan hukum perkawinan, benar-benar memberi kontribusi besar bagi

pembentukan hukum nasional. Melalui UUP hukum perkawinan Islam

benar-benar dapat ditransformasikan menjadi hukum positif. Meskipun tentu saja

telah terlebih dahulu dilakukan modifikasi untuk menyesuaikan dengan konteks

keindonesiaan.42

Pengertian perkawinan diatur dalam Pasal 1 UUP. Pasal ini

mendefinisikan perkawinan sebagai: “...ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Konstruksi definitif perkawinan ini, secara ekplisit menunjukkan

keterkaitan erat antara UUP dengan Pancasila. Terutama sila pertama, Ketuhanan

yang Maha Esa. Ini sekaligus juga menegaskan, perkawinan di Indonesia

berkaitan erat dengan agama. Tidak semata aktifitas lahir dan duniawi. Tetapi

merupakan suatu hal yang sakral. Mengandung sekaligus aktifitas jasmani dan

rohani.43 Dengan demikian, dalam kontruksi normatif UUP, perkawinan tidak saja

42
Dr. H. Amiur Nuruddin dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag., Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,
UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 26
43
Moh. Idris Romulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
1995), h. 38
22

dipandang sebagai hubungan fisik semata. Tetapi juga relasi yang bersifat batin.

Pada titik ini, UUP memandang sama pentingnya antara aspek lahir dan batin,

aspek jasmani dan rohani dalam perkawinan. Keduanya harus berjalan seiring dan

seimbang. Saling melengkapi. Aspek lahir atau jasmani memiliki dampak yang

temporer. Berdampak hanya pada suatu masa yang pendek. Aspek batin dalam

perkawinan memberi dampak yang lebih substansial dan berjangka panjang.44

Definisi UUP yang menempatkan perkawinan tidak saja sebagai

hubungan bersifat biologis semata melainkan ikatan yang bersifat lahir dan batin

sekaligus, sebenarnya termasuk defenisi yang terbilang baru. Terutama jika

dibandingkan dengan pengertian dan defenisi perkawinan di dalam kita-kitab fiqh

Islam. Terlebih lagi bila dibandingkan dengan pengertian perkawinan menurut

BW. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tinggalan Belanda yang nyata-nyata

sekuler. Pada Pasal 26, BW menegaskan pandangannya tentang perkawinan. Bagi

BW, perkawinan hanyalah suatu hubungan keperdataan. Ini berarti perkawinan

hanya dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai ketentuan Hukum Perdata saja. 45

Di sinilah salah satu letak perbedaan perkawinan menurut UUP dengan

perkawinan menurut BW. UUP memandang perkawinan hanya sah bila

dilaksanakan menurut ketentuan suatu agama. Sebaliknya BW justru

mengesampingkan legalitas perkawinan menurut agama itu.46


44
Bismar Siregar, Islam dan Hukum, (Jakarta: Grafikatama, 1992), h. 224.
45
Prof. Ali Afandi, SH, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum
Pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta:
Bina Aksara, 1986), h. 98.

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum


46

Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), h. 4.
23

Lebih dari itu, BW juga memandang perkawinan sebagai persetujuan

antara seorang laki-laki dan perempuan dalam bidang hukum keluarga. Hal ini di

atur dalam Pasal 28. Bahwa pada asasnya perkawinan menghendaki kebebasan

bersepakat antara kedua pihak. Calon suami dan istri. Kebebasan bersepakat

berarti pula kesamaan kehendak. Persetujuan tak akan terselenggara tanpa adanya

kesamaan kehendak. Sebagai bentuk persetujuan, faktor kesamaan kehendak ini

menyamakan perkawinan dengan bentuk persetujuan lain-lainnya. Ini menjadi

satu-satunya faktor yang menyamakan perkawinan dengan bentuk persetujuan

pada umumnya. 47

UUP dan BW memang berbeda dalam menetapkan sah tidaknya

perkawinan. Perbedaan itu bahkan terkesan berbanding terbalik. Bagi UUP

perkawinan hanya sah bila dilaksanakan menurut ketentuan suatu agama. Berbeda

secara diametral dengan ketentuan UUP ini, BW malah mengesampingkan

legalitas perkawinan menurut agama. Bagi BW, sahnya perkawinan bukan karena

dilaksanakan menurut ketentuan agama. Melainkan oleh pelaksanaannya yang

didasarkan sesuai ketentuan perundang-undangan. Dalam hal ini Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Meskipun demikian, UUP dan BW bersepakat

dalam satu hal. Keduanya sama-sama memandang perkawinan sebagai suatu

perikatan atau perjanjian. Sesuatu yang dipandang sangat penting. Oleh UUP dan

BW. Suatu perjanjian tentu saja sejak awal diharapkan agar berlaku selamanya.

Tidak mudah putus di tengah jalan. Bilapun terpaksa harus terputus, tentu mesti

oleh sebab-sebab yang diterima oleh akal sehat. Demikian pula hanya perkawinan.

47
Prof. Ali Afandi, SH, Hukum Waris, h. 99.
24

Sebagai sebuah perjanjian, perkawinan sejak mula dirancang dan diniatkan untuk

berlangsung seumur hidup. Karenanya perkawinan tidak boleh diputuskan begitu

saja. Bilapun harus putus, mesti atas alasan yang masuk akal. Dengan pengertian,

alasan yang dibolehkan oleh ketentuan undang-undang.48

Hanya saja, perkawinan berbeda dengan perjanjian biasa. Isi dan bentuk

perjanjian biasa dapat ditentukan secara bebas oleh para pihak. Sepanjang tidak

bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Tidak pula dengan norma

kesusilaan dan hal terkait ketertiban umum. Perjanjian yang telah disepakati dan

ditetapkan, tak ubahnya berlaku laksana undang-undang bagi para pihak terkait.

Hal ini tidak berlaku terhadap perjanjian berupa perkawinan. Hakikatnya

perkawinan memang perjanjian yang dilangsungkan atas kesepakatan bersama.

Sampai di sini perkawinan memang tak berbeda dengan perjanjian biasa. Namun

bila perjanjian biasa hanya berlaku bagi pembuatnya, perkawinan berlaku lebih

luas. Perkawinan sebagi sebuah perjanjian, secara hukum berlaku bagi umum.

Tidak hanya berlaku bagi suami dan istri. Persetujuan pada perjanjian biasa, hanya

ditetapkan oleh para pihak pembuatnya. Persetujuan suami istri dalam perkawinan

harus disahkan oleh pemerintah. Persetujuan dapat hentikan atas kesepakatan para

pihak. Perkawinan hanya dapat berhenti karena perceraian. Entah perceraian

karena kematian atau perceraian karena alasan-alasan tertentu yang dibolehkan

undang-undang. Perjanjian biasa, bentuknya tidak penting. Pada perkawinan,

48
K. Wantjik Saleh, SH, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia,
1976), h. 15.
25

justru bentuk menjadi penentu ada tidaknya perkawinan. Perkawinan hanya

dianggap ada bila benar-benar dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang.49

Pemberian atribusi perkawinan sebagai relasi yang semata biologis

ternyata bukian dominasi BW semata. Selain BW, hampir semua kitab fiqh, juga

mengatribusi perkawinan dengan pengertian yang sama. Semata sebagai

hubungan bersifat biologis. Sebut saja misalnya Kifayat al-Akhyar. Karya Imam

Taqiyuddin. Kitab yang sangat populer. Perkawinan menurut kitab ini adalah

pernyataan tentang akad yang meliputi rukun dan syarat tertentu, dengan

pemahaman bahwa akad di sini bermakna persetubuhan.50

Abdurrahman Al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah

menyitir beberapa pendapat beberapa Mazhab fiqh terkait defenisi perkawinan.

Disebutkan misalnya, mazhab Hanafi mendefenisikan perkawinan sebagai akad

yang memungkinkan mengambil manfaat berupa hubungan biologis secara

sengaja. Dengan perkawinan, menurut Hanafi, seorang laki-laki dapat secara legal

(halal) untuk bersenang-senang dengan seorang wanita sepanjang tidak ada faktor

keagamaan (syar’i) menjadi penghalang sahnya perkawinan tersebut. Tidak

berbeda dengan Hanafi, Mazhab Hambali meski dalam bahasa yang sedikit

berbeda, namun tetap tak bergeser dalam mengasosiakan pernikahan dengan

hubungan biologis atau seksual semata. Mazhab Hambali mengartikan

perkawinan sebagai suatu akad yang secara eksplisit dinyatakan dengan

Dr. Wirjono Projodikoro, SH, Hukum Perkawinan di Indonesia,


49

(Bandung: Sumur, 1967), h. 8.


50

Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar fi al-Ghayat al-Ikhtiyar, (Bandung:


al-Ma’arif, t.t.), h. 36.
26

menggunakan kata kawin atau nikah itu sendiri. Dimaksudkan agar dapat

mengambil manfaat untuk bersenang-senang.51

Tidak bergeser dari pengertian klasik tentang perkawinan, Imam Abu

Zahrah juga mengungkapkan pengertian senada. Masih menekankan makna

perkawinan sebagai akad yang menjadi dasar kebolehan melakukan hubungan

seksual. Abu Zahrah memang menambahkan implikasi lain selain makna yang

semata berorientasi pada relasi biologis itu. Di dalam kitab al-Ahwal

al-Syakhsiyyah, Zahrah menambahkan implikasi makna lain dari perkawinan.

Berupa keharusan saling tolong menolong serta timbulnya hak dan kewajiban di

antara suami istri.52 Namun kesan aksentuasi pada makna yang pertama ketimbang

dua yang terakhir, tetap saja terasa lebih kental.

Pengertian yang tidak kalah eksplisitnya memaknai perkawinan sebagai

akad yang membolehkan persetubuhan, dikemukakan oleh Al-Malibari.

Pendapatnya ditemukan dalam kitab I’anat al-Thalibin. Kitab yang sangat populer

di dunia pesantren. Menurut Al-Malibari, kata nikah atau tazwij (perkawinan) itu

sendiri telah berarti persetubuhan. Olehnya perkawinan berarti suatu akad yang

membolehkan (ibahat) persetubuhan.53

Pengatribusian makna perkawinan yang hanya berorientasi pada sahnya

hubungan badani ini, nyatanya tidak saja terdapat dalam kitab-kitab fiqk klasik
51
Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV,
(t.tp.,: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1986), h. 3.
52
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1957), h. 19.
53
Muhammad Syata’ Al-Dimyati, I’anat at-Thalibin, Juz III (t.tp.: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tt.), h. 256.
27

saja. Bahkan kitab fiqh kontemporer semacam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh

masih belum bergeser dari pemaknaan semacam ini. Kitab karya Wahbah

al-Zuhaily itu mendefenisikan perkawinan hampir identik dengan kitab-kitab

pendahulunya. Yaitu akad yang membolehkan terjadinya persetubuhan

(al-istimta’) dengan seorang wanita. Tentu saja wanita yang dimaksud di sini

bukan yang termasuk dalam kategori haram dinikahi. Baik oleh sebab keturunan

atau sepersusuan.54

Kata “ikatan” dalam definisi perkawinan UUP juga menarik untuk dikaji.

Pilihan terhadap kata ikatan ini tentu mempunyai makna aksentuatif dengan

implikasi hukum tertentu. Penggunaan kata ikatan ini menunjukkan UUP melihat

perkawinan pertama-tama sebagai sebuah akad. Sebuah perikatan. Di ranah

hukum, eksistensi akad menandai terjadimya suatu peristiwa hukum. Akad atau

perikatan itu sendiri hanya mungkin terjadi melalui kesepakatan dan keinginan

dua pihak. Kesepakatan itu dinyatakan dengan kata-kata. Dapat pula dalam bentuk

lain yang dipahami sebagai wujud suatu kesepakatan. Pendefinisian perkawinan

sebagai sebuah akad oleh UUP, merefleksikan pandangan tentang keseimbangan

dan posisi sejajar para pihak penyelenggara akad itu an sich. Perkawinan sebagai

sebuah akad menghendaki adanya kesamaan dan kesejajaran posisi dari kedua

pihak. Suami dan istri. Tidak saling mengatasi. Mempunyai kedudukan yang

sama. Tak ada yang merasa lebih berkuasa dan berhak dari yang lainnya.

Perkawinan takkan terselenggara tanpa akad. Akad terwujud oleh adanya

kesepakatan. Kesepakatan hanya akan terjadi atas kemauan dan keinginan bebas

54
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, (Damaskus:
Dar al-Fiqr, 1989), h. 29.
28

para pihak. Di sinilah arti penting kata “ikatan” dalam defenisi perkawinan UUP

itu. Kata ini mengandung implikasi hukum penting. Menjadi penentu legal

tidaknya suatu perkawinan. Tanpa ikatan (akad), tak akan ada peristiwa hukum

yang disebut perkawinan. Ikatan (akad) inilah yang menjadi penentu pertama

legalnya hubungan suami isteri. 55

Sebenarnya, dengan mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan,

menunjukkan UUP menghendaki keseimbangan kedudukan suami istri dalam

perkawinan. Perkawinan sebagai sebuah ikatan artinya kedua pihak yang terikat di

dalamnya, suami istri, memiliki pola hubungan yang sederajat. Berada pada posisi

yang seimbang. Pola hubungan yang menyikapi segala sesuatu sebagai problem

bersama yang karenanya mesti dirundingkan bersama pula. Setiap pihak mesti

diberi akses yang sama untuk meraih kedudukan sosial di luar ruang domestik

rumah tangga.56

Mengenai kedudukan seimbang suami istri dalam perkawinan, tidak saja

dapat disimpulkan sebagai implikasi makna dari kata “ikatan” dalam defenisi

perkawinan. Melainkan juga telah disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan

Pasal 30 dan Pasal 30 Ayat (1) dan (2) UUP. Suami isteri sama-sama memiliki

kewajiban untuk menegakkan rumah tangga. Masing-masing mempunyai

kedudukan yang seimbang. Entah itu di dalam kehidupan domestik rumah tangga,

55
Ahmad Kuzari, Perkawinan sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1995), h. 1.
56
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading,
1975), h. 10.
29

maupun di ranah publik. Di hadapan hukumpun keduanya mempunyai

kedudukan yang sama. Equal before the law.57

Hal menarik lain pada bagian dasar perkawinan adalah tentang asas

monogami dalam perkawinan. Bagian ini juga mengatur tentang kebolehan

poligami pada kondisi-kondisi tertentu. Melalui Pasal 3, 4, dan 5 UUP, dapat

dipahami bahwa UUP menganut asas monogami terbuka. Artinya, pada

prinsipnya seorang suami hanya boleh mempunyai satu orang isteri. Itu prinsip

pertama. Namun, terdapat kemungkinan untuk dapat berpoligami. Kondisi

tertentu dalam perkawinan membolehkan terjadinya poligami. Prinsip ini berbeda

dengan KUHPerdata (BW) yang menganut asas monogami mutlak atau tertutup.

KUHPerdata peninggalan Belanda itu menutup kemungkinan terjadinya poligami.

Oleh KUHPerdata ketentuan ini diatur dalam Pasal 27. Pasal tersebut

menyatakan: “Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya dibolehkan

mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya

satu orang lelaki sebagai suaminya”. Pasal ini senada dengan Pasal 3 Ayat (1)

UUP yang menggariskan: “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria

hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai

seorang suami”.

Perbedaan signifikan antara UUP dan KUHPerdata terletak pada Pasal 3

Ayat (2) UUP. Pasal ini menegaskan: “Pengadilan dapat memberi izin kepada

seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh

pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal ini juga menandai perbedaan penting

57
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar,
Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 120.
30

antara UUP dan KUHPerdata. Perbedaan penting terkait asas perkawinan. Bila

KUHPerdata menganut asas monogami mutlak/tertutup, maka dengan ketentuan

ini UUP menganut asas monogami terbuka. 58 Ini artinya, UUP memberi peluang

bagi seorang suami untuk melakukan poligami.

Ketentuan UUP tentang poligami ini setidaknya telah menjadi titik temu

dari tarik ulur berkepanjangan antara hukum Islam, hukum adat dan hukum

perdata warisan kolonial Belanda. Tarik ulur tersebut telah dapat diakomodir oleh

UUP dan KHI sekaligus. Melalui ketentuan tersebut, poligami benar-benar

didudukkan dalam posisi antara diperbolehkan dan dipersulit. Ini suatu kebijakan

akomodasi yang tepat. Mengingat dinamika pro kontra yang berkembang di

tengah masyarakat. Tanpa akomodasi hukum semacam ini, kemungkinan terjadi

chaos akan terbuka lebar dalam kehidupan masyarakat. Ini jelas bertentangan

dengan tujuan maupun fungsi dari penetapan hukum itu sendiri. Baik sebagai

social control, maupun social engineering.59

UUP juga mengatur soal usia perkawinan. Ini hal penting terkait dengan

persiapan sebelum perkawinan dilaksanakan. Mengenai ini UUP mengaturnya

dalam Pasal 7 Ayat (1): “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai

umur 16 (enam belas) tahun.”

Mengenai hal ini, Pasal 15 ayat (1) KHI selanjutnya mengatur:

“ Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya untuk


dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
58
Hadikusuma, Hukum...,h. 32.
59
Roscoe Pound, Interpretation of Legal History (USA: Holmer Beach,
Florida, 1986), h. 164.
31

pada pasal 7 UU No 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya


berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.

Usia perkawinan khususnya untuk perempuan, secara tegas tidak

disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi. Namun para ulama modern

memandang perlu memberikan batasan minimal usia perkawinan. Terutama untuk

kemaslahatan bagi pasangan suami isteri.60 Inilah agaknya yang menjadi dasar

pemikiran pembatasan usia perkawinan dalam UUP.

Hal penting lain yang perlu dipaparkan dalam sketsa normatif hukum

keluarga di Indonesia adalah tentang ketentuan pencatatan perkawinan.

Ketentuan tentang ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Pasal tersebut mengatur

bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pada ayat sebelumnya UUP juga telah menyebutkan, bahwa perkawinan

hanya sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya

masing-masing.

Menyikapi ketentuan ini, para ahli hukum berbeda pendapat. Terdapat dua

kelompok pendapat.

1. Pendapat yang menekankan aspek legisme (kebahasaan). Kelompok ini

memandang pencatatan perkawinan bukan syarat sah perkawinan. Melainkan

sekedar syarat bersifat komplementer terkait administrasi perkawinan. Sahnya

perkawinan bukan ditentukan oleh pencatatan. Melainkan oleh

pelaksanaannya. Bila telah dilaksanakan menurut kepercayaan dan agama,

maka perkawinan tersebut secara hukum sah.

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang:


60

UIN Press, 2008), h. 109.


32

2. Pendapat yang menekankan perspektif penafsiran hukum sistematis atau

struktural. Pendapat dengan penafsiran hukum sistematis ini didasarkan pada

asumsi bahwa terdapat keterkaitan integral antara satu pasal dengan pasal yang

lain dalam Undang-undang. Masing-masing pasal saling menjelaskan.

Merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Kelompok ini memandang

pencatatan nikah sebagai syarat sah perkawinan. Perkawinan tidak tercatat,

karenanya tidak mempunyai kekutan hukum.61

Menurut Prof. Jaih Mubarok, jika menyigi dari penjelasan atas UUP,

penafsiran kelompok kedua lebih mendekati etos yang diinginkan oleh negara.62

KHI selanjutnya mempertegas ketentuan pencatatan nikah ini. KHI

mengatur:

1. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai ketentuan

Pasal 2 Ayat (1) UUP63.

2. Setiap perkawinan harus dicatat oleh PPN.64

3. Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan

PPN.65 Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN tidak mempunyai

kekuatan hukum.66

61
Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks
Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik,
dan Lembaga Negara, (Bandung: Mizan, 1997), h. 91-96.
62
Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, SE, MH., M.Ag., Pembaruan Hukum
Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), h. 68
63
Pasal 4 KHI.
64
Pasal 5 Ayat (1) dan (2) KHI.
65
Pasal 6 KHI.
66
Pasal 6 Ayat (2) KHI.
33

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada Bab Pendahuluan dan Pembahasan, Penyusun

menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perkembangan Hukum Keluarga Islam di Indonesia memiliki sejarah panjang.

Sejarahnya dapat ditelusuri sejak masa pra kolonial, hingga era milenial saat

ini. Keseluruhan latar historis tersebut bermuara pada lahirnya Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lahirnya Undang-undang ini tak bisa

dilepaskan dari sejarah panjang itu. Sejarah yang dengan sendirinya melatari
34

upaya kongkrit pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia. Upaya yang

semakin konkrit dan sistemik dilakukan sejak era 1960-an. Hingga akhirnya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diberlakukan. Lalu kemudian disusul

oleh penetapan Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.

2. Profil Hukum Keluarga Islam di Indonesia terepresentasi dengan jelas melalui

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Kedua

norma hukum ini merupakan perwujudan dari politik hukum pemerintah Orde

Baru sekaligus bagian dari akomodasi politik terhadap kepentingan hukum

umat Islam. Selain pengaruh hukum Islam yang kental, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga merupakan unifikasi terhadap

berbagai peraturan perkawinan yang telah ada sebelumnya. Secara normatif

kedua norma hukum ini juga merupakan pembaharuan terhadap Hukum

Keluarga di Indonesia. Khususnya hukum perkawinan.


34
Ketentuan-ketentuan mengenai pengertian perkawinan, asas monogami

terbuka, pembatasan usia perkawinan, serta pencatatan perkawinan dapat

merupakan sebagian dari wujud pembaharuan hukum keluarga tersebut.

B. Saran-Saran

Menutup makalah ini, penyusun menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Perlunya dilakukan kajian lebih lanjut tentang sejarah perkembangan hukum

keluarga Islam di Indonesia dalam masa-masa sebelum lahirnya

kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kajian sebaiknya dilakukan tidak saja


35

dengan metode deskriptif, tapi juga dengan metode komparatif. Terutama

membandingkannya dengan perkembangan hukum keluarga Islam pada masa

yang sama di Anak Benua India dan Benua Asia pada umumnya.

2. Perlunya kajian mendalam terhadap berbagai norma hukum keluarga Islam

yang berlaku positif di Indonesia saat ini. Baik terhadap Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun terhadap KHI. Pengkajian

tersebut penting dilakukan untuk menjaga kontekstualitas dan vitalitas kedua

norma hukum positif tersebut. Perkembangan zaman yang terus berubah dan

boleh jadi berbeda konteks dengan masa ketika kedua norma hukum tersebut

ditetapkan juga patut menjadi pertimbangan. Kajian perlu dilakukan dengan

memanfatkan metode-metode kontemporer dalam ranah ilmu sosial, seperti

teori kritis atau teori jender, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, H., SH., MH., 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Akademika Pressindo.

Afandi, Prof., SH, 1986. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: Bina
Aksara.

Ahmad, Amrullah , dkk., 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, Jakarta: Gema Insani Press.

Ahmad, Amrullah, 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: Gema
Insani Press.

Ali, Muhammad Daud, 1982. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Indonesia, Majalah Pembangunan No. 2, Tahun ke-12, Maret 1982.
36

Anwar, M. Syafi’i, 1995. Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Jakarta:


Paramadina.

Arifin, Busthanul, 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar, Sejarah,


Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta: Rajawali Pers.

Basri, Hasan, 1992. Perlunya Kompilasi Hukum Islam, dalam Abdurrahman,


Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo.

Boland, B.J., 1971. The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Leiden: The
Hague-Martinus Nijhoff.

Dimyati, Muhammad Syata’ Al-, t.t. I’anat at-Thalibin, Juz III, t.tp.: Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyyah.

Effendi, Bakhtiar, 1995, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, dalam Prisma, No. 5 Th. XXIV Mei 1995.

Hadikusuma, H. Hilman Hadikusuma, Prof. Dr. SH, 2007. Hukum Perkawinan


Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
Bandung: Penerbit Mandar Maju.

Hamka, 1976. Sejarah Umat Islam, Jilid II Jakarta: Bulan Bintang.

Harahap, Yahya, 1975. Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir Trading.

Hassan, Muhammad Kamal, 1982. Muslim Intellectual Responses to “New


36
Order” Medernization in Indonesia,(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia Hassan.
Herlina, Apong, dkk., 1991. “Laporan Hasil Penelitian “The Study of Gender and
Access to Justice in Indonesia”.

Jaziri, Abdurrahman Al-, 1986. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, t.tp.,:
Dar Ihya al-Turas al-Arabi.

Katjasungkana, Nursyahbani, dkk., 1991. A Study of Gender and Acces to Justice


in Indonesia, Jakarta: LBH.

Khallaf, t.t. ‘Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh,cet ke-8, ttp.: Maktabah
al-Da’wah al-Islamiyah.

Kuzari, Ahmad, 1995. Perkawinan sebagai Sebuah Perikatan, Jakarta: Rajawali


Pers.

Mahmood, Tahir, 1987. Personal Law in Islamic Countries (History, Text. And
Comparative Analysis), New Delhi: Academy of Law and Religion.
37

Manan, Abdul, 2006. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo.

Mardjono. Hartono, 1997. Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks


Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam Aspek
Hukum, Politik, dan Lembaga Negara, Bandung: Mizan.

Mubarok. H. Jaih, Prof. Dr. SE, MH., M.Ag., 2015. Pembaruan Hukum
Perkawinan di Indonesia, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Mufidah Ch, 2008, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN
Press.

Munti Ratna Bantara, 2005. Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia,
Yogyakarta: LKiS.

Muttaqien, Dadan, dkk. 1999. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum
Indonesia, ed. Yogyakarta: UII Press.

Nasution, Khoiruddin Nasution, Prof. Dr. MA., 2007. Pengantar dan Pemikiran
Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Yogyakarta: Academia &
Tazzafa.

Noer, Deliar, 1983. Administrasi Islam di Indonesia, Bandung: Rajawali.

Nuruddin, H. Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,UU No.
1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana.
Prisma, No. 5 Th. XXIV Mei 1995.

Poesponegoro, Mawarti Djoned,dkk., 1984. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III,


Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Prawirohamidjojo, R. Soetedjo, 1988. Pluralisme dalam Perundang-undangan


Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Universitas Airlangga Press.

Projodikoro, Wirjono, Dr., SH, 1967. Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung:


Sumur

Roem, Mohamad, 1997. Bunga Rampai dari Sejarah. Jilid II, Jakarta: Bulan
Bintang.
Romulyo, Moh. Idris, 1995. Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
38

Roscoe Pound, Interpretation of Legal History. 1986. USA: Holmer Beach,


Florida.

Saleh, K. Wantjik SH, 1976. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia

Saptaningrum, Indriaswari Dyah, 2000, Sejarah UU No. 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender dalam Perspektif
Perempuan, Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan
untuk Keadilan.

Schacht, Joseph, 2010. Pengantar Hukum Islam, Bandung: NUANSA.

Siregar, Bismar, 1992. Islam dan Hukum, Jakarta: Grafikatama.

Soemiati, 1982. Hukum Perkawinan dan Undang-undang Perkawinan


Yogyakarta: Liberty.

Soimin, Soedharyo, 2004. Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum


Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Jakarta: Sinar
Grafika.

Sosroatmodjo, Arso dan A. Wait Aulawi, 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia,


Jakarta: Bulan Bintang.

Subadyo, Maria Ulfa, 1991. Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang


Perkawinan, Jakarta: Yayasan Idayu.

Subekti, 1987. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa.

Sudarsono, 1991. Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.

Suma, Muhammad Amin, 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Supriadi, Wila Chandrawila, 2002. Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda,


Bandung: Penerbit Mandar Maju.

Suwondo, Nani, 1992. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan


Mayarakat, Jakarta: Ghia Indonesia.

Taqiyuddin, Imam, t.t. Kifayat al-Akhyar fi al-Ghayat al-Ikhtiyar, Bandung:


al-Ma’arif, t.t.

Usman, Rachmadi, 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di


Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
39

Zahrah, Muhammad Abu, 1957. al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr


al-‘Arabi.

Zuhaili, Wahbah al-, 1989. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh,Jilid VII Beirut: Dar
al-Fikr.

Anda mungkin juga menyukai