Anda di halaman 1dari 25

NAMA :ARIL IHZA JAMALUDIN

NIM :2211211028

FAK/PRODI :AGAMA ISLAM/AHWAL AL-SYAKHSYIYAH

MATA KULIAH :HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA(UTS)

DOSEN MATKUL :RAHMA PRAMUDYA NAWANG SARI M.H

SEMESTER :III(TIGA)

Soal:

Reviuwlah makalah yang sudah dipresentasikan!

Jawab:

Reviuw Makalah kelompok 1: Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Islam Di Indone


sia

1.Pengertian hukum perdata islam

Hukum Perdata Islam / fiqh muamalah dalam pengertian umum adalah norma hukum yang m
emuat tentang :

(1) munakahat(hukum perkawinan,mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawina


n, perceraian, serta akibat-akibat hukumnya);

(2) wirasah atau faraid (hukum kewarisan, mengatur segala persoalan yang berhubungan den
gan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, harta warisan, serta pembagian harta warisan).

Selain fiqh muamalah dalam pengertian umum, juga ada fiqh muamalah dalam pengertian kh
usus yaitu norma hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, aturan
mengenai jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, persyarikatan (kerja sama bagi hasil),
pengalihan hak, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi. Dari sini dapat ditarik ke
simpulan dari pernyataan diatas bahwa pengertian Hukum Perdata Islam adalah segala sesuat
u yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan, pengaturan masalah kebendaan dan
hak-hak atas benda, aturan jual beli, sewa-menyewa. Pinjam-meminjam, persyarikatan, penga
lihan hak dan segala yang berkaitan dengan transaksi.

2.Sejarah Hukum Islam di Indonesia

a.Hukum Islam Pada Masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara

Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa di
katakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawin
an, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.

Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam
nusantara. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, h
ukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.

b.Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda

Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat diklasifikasi k
edalam dua bentuk:

Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak luas bag
i perkembangan hukum Islam.

Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada
hukum adat.

c.Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang

Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau mempertahankan beberap
a peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang
untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan. Jepang hanya beru
saha menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia, dan pengaruh kebijakan
pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak begitu signifikan.

d.Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan

Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh
hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan, walaupun aturan peralihan U
UD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan d
engan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori receptie (Haz
airin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan
UUD 1945.

e.Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru

Pada awal orde baru berkuasa ada harapan baru bagi dinamika perkembangan hukum Islam, h
arapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat Islam d
alam menumbangkan rezim orde lama. Namun pada realitasnya keinginan ini menurut DR. A
miiur Nurudin bertabrakan dengan strategi pembangunan orde baru, yaitu menabukan pembic
araan masalah-masalah ideologis selain Pancasila terutama yang bersifat keagamaan. Namun
dalam era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya Hukum Perdata Islam) yang m
enjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal, walaupun di dapat dengan perjuanga
n keras umat Islam.

f.Hukum Islam Pada Masa Reformasi

Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi kekuasaa
n repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik umat Isla
m pada pemilu 1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya tokoh-toko
politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat Islam bertamba
h di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Reviuw makalah kelompok 2: Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Islam Di Indone


sia

A.Pengertian Hukum Perdata Islam

Hukum perdata Islam dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah fiqih mu’amalah, yaitu ketentu
an (hukum Islam) yang mengatur hubungan antar orang-perorangan. Dalam pengertian umum,
hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan hukum kelu
arga Islam, seperti hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat dan perwakafan. Sedang
kan dalam pengertian khusus, hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang me
ngatur hal-hal yang berkaitan dengan hukum bisnis Islam, seperti hukum jual beli, utang piut
ang, sewa menyewa, upah mengupah, syirkah/serikat, mudharabah, muzara’ah, mukhabarah,
dan lain sebagainya.

B.Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Islam Di Indonesia

sejarah perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan sejara
h penyebaran agama Islam ke Indonesia. Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad k
e-7 Masehi melalui pedagang Muslim dari Gujarat, India. Pada saat itu, hukum perdata Islam
masih belum terorganisir dengan baik di Indonesia. Hukum yang berlaku saat itu masih didas
arkan pada adat istiadat lokal dan hukum Hindu-Budha yang telah ada sebelum kedatangan Is
lam.

Perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia semakin pesat pada masa penjajahan Belan
da. Belanda mengenalkan sistem hukum kolonial yang berdasarkan pada hukum Romawi dan
Eropa Continental, yang kemudian diterapkan secara umum di wilayah Indonesia. Meskipun
demikian, pengaruh hukum Islam tidak dapat diabaikan. Belanda melalui Institut Agama Isla
m (IAI) mencoba mengatur hukum Islam secara resmi dengan menerbitkan Regeringsregleme
nt voor het inlandsche Islamitisch Schoolonderwijs pada tahun 1887. Regeringsreglement ini
mengatur hukum pernikahan, warisan, dan wakaf berdasarkan pada hukum Islam. Pada masa
kemerdekaan Indonesia, hukum perdata Islam semakin diakui dan diatur dalam hukum nasion
al melalui berbagai perundang-undangan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 1 Ta
hun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang perkawinan menurut syariat Islam.

Dalam perkembangannya, hukum perdata Islam di Indonesia juga mendapat pengaruh dari be
rbagai negara Muslim lainnya, terutama dari Timur Tengah dan negara-negara lain di Asia Te
nggara. Hal ini tercermin dalam peraturan-peraturan hukum Islam yang diberlakukan di Indo
nesia, seperti pengaturan tentang poligami, wakaf, wasiat, dan harta bersama suami istri. sejar
ah perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan sejarah pen
yebaran agama Islam ke Indonesia. Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M
asehi melalui pedagang Muslim dari Gujarat, India. Pada saat itu, hukum perdata Islam masih
belum terorganisir dengan baik di Indonesia. Hukum yang berlaku saat itu masih didasarkan
pada adat istiadat lokal dan hukum Hindu-Budha yang telah ada sebelum kedatangan Islam.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, hukum perdata Islam semakin diakui dan diatur dalam h
ukum nasional melalui berbagai perundang-undangan. Salah satunya adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang perkawinan menurut syariat
Islam. Selain itu, diterbitkan juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang
juga memuat ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam bidang perdata. Perkembangan hukum
perdata Islam di Indonesia terus berlanjut hingga saat ini. Meskipun Indonesia menerapkan si
stem hukum nasional yang bersifat sekuler, pengaturan hukum perdata Islam terus diakui dan
berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim di Indonesia. Dalam perkembanga
nnya, hukum perdata Islam di Indonesia juga mendapat pengaruh dari berbagai negara Musli
m lainnya, terutama dari Timur Tengah dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Hal ini terce
rmin dalam peraturan-peraturan hukum Islam yang diberlakukan di Indonesia, seperti pengat
uran tentang poligami, wakaf, wasiat, dan harta bersama suami istri.

Hukum Islam di Indonesia sebenarnya telah lama hidup di antara masyarakat Islam itu sendiri,
hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Jika dilihat
sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudaya kepercayaan animisme dan di
namisme. Kemudian lahirlah kerajaan- kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar aga
ma yang dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan Islam yang didu
kung para wali pembawa dan penyiar agama Islam.

Reviuw makalah kelompok 3: Rukun Dan Syarat Perkawinan

A. Pengertian Rukun dan Syarat

Menurut bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. sedangkan
syarat adalah ketentuan "peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dandilakukan.secara istil
ah rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkandari suatu perbuata
n atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatantersebut dan ada atau tida
knya sesuatu itu. sedangkan syarat adalah sesuatu yangtergantung padanya keberadaan huku
m syar'I dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaanya menyebabkan hukum itupun
tidak ada.

B. Rukun Nikah

Juumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:

1).Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan


2).Adanya wali dari pihak wanita

3).Adanya dua orang saksi

4).sighat akad nikah

Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat :

a).imam malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam:

* wali dari pihak perempuan

* mahar (mas kawin)

* calon pengantin laki-laki

* calon pengantin perempuan

*sighat akad nikah

b).imam syafi'i (mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :

* calon pengantin laki-laki

* calon pengantin perempuan

* wali

* dua orang saksi

c). menurut ulama Hanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan kabul.

d).menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat:

Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat tersebut karena calon

pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung dalam satu rukun

* dua orang yang saling melakukan akad perkawinan

* Adanya wali

* Adanya dua orang saksi

* dilakukan dengan sighat tertentu


C. Syarat Sahnya Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, apabila syarat-syarat ter
penuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami
istri.

Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua, yaitu:

1).Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri (U
U RI NO 1 Tahun 1974 pasal 8 )

2).Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.

D. Syarat – syarat Rukun Nikah

Secara rinci rukun-rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut:

1).Syarat-syarat kedua mempelaia

a).Calon mempelai laki-laki

Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami berdasark
an ijtihad para ulama yaitu:

* Calon suami beragama islam

* Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki

* Orangnya diketahui dan tertentu

* Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri

* Calon laki-laki tahu;kenal pada calon istri serta tahu betul calon istri halal baginya

* Calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat
1)

* Tidak sedang melakukan ihram

* Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri

* Tidak sedang mempunyai istri empat. ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1 )

b). Calon mempelai perempuan


Syarat bagi mempelai perempuan yaitu :

* Beragama Islam.

* Terang bahwa ia wanita

* Wanita itu tentu orangnya

* Halal bagi calon suami ( UU RI No.1 Tahun 1994 Pasal 8 )

* Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah

* Tidak dipaksa/ikhtiyar ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1 )

* Tidak dalam ihram haji atau umrah.

2). Syarat-syarat ijab Kabul

Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya sedangkan kabul dilakukan
oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.Menurut pendapat khanafi boleh juga dilakukan oleh p
ihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh pihak perempuan "wali atau wakilny
a) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh sebaliknya.

Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan ka
bul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan kabul d
apat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.

3). Syarat-syarat Wali

Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan tanpa wali ti
daklah sah.

Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :

a).Bapak

b).kakek dan seterusnya ke atas

c).Saudara laki-laki sekandung/seayah

d).Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah

e).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah

f).Paman sekandung/seayah
g).Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah

h).Saudara kakek

i).Anak laki-laki saudara kakak

Reviuw Makalah Kelompok 4: Pendahuluan Pernikahan Atau Peminangan

A.Pengertian Peminangan

Menurut wahbah Zuhaili,khitbah(peminangan) adalah mengungkapkan keinginan untuk meni


kah dengan seorang Perempuan tertentu dan memberitahukan keinginan tersebut kepada Pere
mpuan dan waalinya.khitbah atau peminangan adalah sebuah Upaya yang dilakukan oleh seor
ang laki-laki atau Perempuan kearah terjadinya hubungan perkawinandengan cara yang baik.

B.Tujuan dari Peminangan

Menurut Sayid Sabiq,peminangan adalah pendahuluan dalam pernikahan.dan tujuan disyariat


kanya peminangan sebelum terjadinya akad nikah adalah agar antara calon suami istri saling
kenal mengenal, sehingga perkawinan yang akan mereka tempuh betul-betul didasarkan pada
saling pengertian dan keterusterangan.

Yang terpenting dari tujuan peminangan bila ditinjau secara umum adalah:

Pertama:lebih mempermudah dan memperlancar jalannya masa perkenalan antara pihak pemi
nang dan yang dipinang beserta dengan keluarga masing-masing.

Kedua:supaya diantara keduanya rasa cinta dan kasih lebih cepat tumbuh.

Ketiga:menimbulkan efek ketentraman jiwa dan kemantapan hati bagi pihak yang akan meni
kahi atau yang akan dinikahi, dan tanpa adanya pihak-pihak yang mendahului.

C.Pengertian Pernikahan

Secara etimologis kata nikah (kawin) mempunyai beberapa arti,yaitu berkumpul,Bersatu,bers


etubuh,dan akad.Pada hakikatnya,makna nkah adalah persetubuhan.kemudian secara
majazdiartikan akad,karena termasuk pemikatan sebab akibat.Semua lafaz nikah yang
disebutkan dalam al-qur’an bearti akad,kecuali firman allah dalam QS.al-Baqarah[2]:230:2
“kemudian jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua),maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga dia kawin dengan suami lain.Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikanya,maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk
kawin kembali jika kedunya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum allah,itulah
hukum-hukum allah,diterangka-nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”

Secara terminologis,menurut imam syafi’I,nikah(kawin),yaitu akad yang denganya menjadi


halal hubungan seksual antara pria dan wanita.Menurut imam Hanafi nikah(kawin) yaitu
akad(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antar seorang
pria dan wanita.menurut imam malik nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum
semata-mata untuk membolehkan wath’(bersetubuh),bersenang-senang,dan menikmati apa
yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah denganya.Menurut imam Hanafi,nikah
adalah akad dengan menggunakan lafaz nikah atau tajwiz untuk membolehkan
manfaat,bersenang-senang dengan Wanita.

Menurut ulama muraakhirin,nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum


kebolehan mengadakan hukum keluarga (suami-istri) antara pria dan Wanita mengadakan
tolong menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewjiban masing-
masing.

Reviuw Makalah Kelompok 5: Pencatatan Dan Perjanjian Perkawinan

A.Pencatatan perkawinan

Pada mulanya syariat Islam -baik dalam Al-Qur'an atau as-sunnah- tidak mengatur secara ko
nkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan Muamalat (mudayanah) yan
g dilakukan tidak secara tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntut
an perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di Ind
onesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum didalam masyarakat.

Meskipun tidak ada satupun kelompok ulama menegaskan tentang pentingnya pencatatan, tet
api apa yang dikemukakan Maliki terkait dengan hukum adanya saksi, dimana ia menyebutka
n bahwa saksi tidak perlu dihadirkan pada waktu akad diucapkan dan bisa dihadirkan setelah
nya, serta tentang fungsinya memberikan pengumuman tentang pernikahan yang ia saksikan,
dapat dijadikan pijakan pentingnyapencatatan untuk zaman sekarang. Menurut kelompok ini,
saksi idak harus dihadirkan pada saat pernikahan terjadi. Skasi dapat dihadirkan setelah itu, d
an fungsinya untuk menegaskan adanya pernikahan."

B.Perjanjian perkawinan

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur masalah perjan
jian perkawinan yang bunyi selengkapnya sebagai berikut:

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersam
a dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, sete
lah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama da
n kesusilaan.

c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari k
edua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Kompilasi mengatur perjanjian harta bersama dan perjanjian yang berkaitan dengan masalah
poligami.

Pasal 47

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membua
t perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan.

2. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisaha
n harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
3. Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapk
an kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta
bersama atau harta syarikat.

Pasal 48

1. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat,
maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebut
uhan rumah tangga.

2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dia
nggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami men
anggung biaya kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49

1. Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masin
g-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing- masing selama perkawinan.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa
percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga perca
mpuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50

1. Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhit
ung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

2. Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri
dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsun
gkan.

3. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap
pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri
dalam suatu surat kabar setempat.

4. Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pe
ndaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga

5. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang t
elah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberi hak kepada isteri untuk meminta pembatal
an nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanj
ikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan
dinikahinya itu.

Akan halnya mengenai perjanjian perkawinan, apabila telah disepakati oleh kedua mempelai,
maka masing-masing wajib memenuhinya. Sepanjang dalam perjanjian tersebut tidak ada pih
ak-pihak lain yang memaksa. Ini sejalan dengan hadis riwayat Bukhori:

"Barangsiapa mensyaratkan pada dirinya sendiri untuk maksud taat (kepada Allah dan Rasu
l-Nya), dalam keadaan tidak terpaksa, maka ia wajib memenuhinya." (H.R. al-Bukhari)

Kata Umar ibn al-Khaththab

‫ِإَّن َم ْقِط َع اْلَح ُقوِق الَّش ُروُط َو َلَك َم ا َش َر ْطَت‬

"Sesungguhnya keputusan hak terletak pada syarat-syarat yang ditetapkan, dan pada kamu a
pa yang kamu syaratkan." (H.R. al-Bukhori)

Pada hadis yang lain, Rasulullah SAW menegaskan:

‫ِإَّن َأَح َّق الَّش ُروِط َم ا اْسَتْح َلْلُتْم ِبِه الُفُرْو َج‬

"Syarat-syarat yang lebih utama dipenuhi ialah syarat-syarat untuk menghalalkan hubungan
suami istri." (H.R. al-Bukhori)

Keharusan memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama juga ditegaskan dalam firman
Allah:

‫َيتَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا َأْو ُفوا ِباْلُع ُقوِد‬

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu." (QS Al- Maidah [5]:1)

‫) َو َأْو ُفوا ِباْلَع ْهِد ِإَّن اْلَع ْهَد َك اَن َم ُس واًل‬


Dan penuhilah janji, Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-
Isra' [17]:3

Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an, karena perjanjian yang bertenta
ngan dengan ketentuan hukum Al-Qur'an, meskipun seratur syarat dibuat, hukumnya batal. D
emikian juga, perjanjian tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.

‫اْلُم ْس ِلُم وَن َع َلى ُش ُروِط ِه ْم ِإاَّل َشْر ًطا َأَح َّل َح َر اًم ا َو َح َّر َم َح اَل اًل‬

"Orang-orang Islam itu (terikat) kepada syarat-syarat (yang dibuat) mereka, kecuali syarat unt
uk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal." (H.R al-Bukhori)

‫ُك ل َشْر ٍط َلْيَس ِفي ِكَتاِب ِهللا َباِط ٌل َو َلْو ِم اَئَة َشْر ٍط‬

"Setiap syarat yang tidak (sejalan dengan hukum yang) ada dalam kitab Allah adalah batal me
skipun 100 syarat."

Memerhatikan ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut di atas, dapat diambil pengertian bahwa perj
anjian perkawinan yang disepakati bersama antar suami-istri. sepanjang tidak bertentangan de
ngan ketentuan hukum dalam Al-Qur'an dan al- Sunnah, wajib ditepati.Lebih jauh tentang per
janjian ini, Kholil Rahman mengintrodusasi macam- macam sifat perjanjian:

a. Syarat-syarat yang menguntungkan istri, seperti syarat untuk tidak dimadu. Para ulama ber
beda pendapat dalam masalah ini, ada yang mengatakan sah, dan ada yang mengatakan tidak
sah. Sayid Sabiq misalnya, membolehkan si istri menuntut fasakh apabila suami melanggar p
erjanjian tersebut.

b. Syarat-syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendir
i. Seperti, tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris-mewaris di antara
suami istri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua, dan lain-lain. Syarat-syarat sema
cam ini tidak sah, dan tidak mengikat.

c. Syarat-syarat yang bertentangan dengan ketentuan syara', seperti jika akad nikah sudah dila
ngsungkan, agar masing-masing pindah agama, harus mau makan daging babi, dan sebagainy
a. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan akad nikahnya juga tidak sah.

Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antar suami dan istri, tidak dipenuhi ole
h salah satu pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Ag
ama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri berhak
meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya. Demikian juga
sebaliknya, jika si istri yang melanggar perjanjiandi luar taklik talak, suami berhak mengajuk
an perkaranya ke Pengadilan Agama.

Reviuw Makalah Kelompok 6: Prsedur Poligami Dan Kawin Hamil

A.Dasar Hukum Poligami Di Indonesia Dan Prosedurnya

Apa itu poligami? Menurut KBBI, arti poligami adalah sistem perkawinan yang membolehka
n seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang.Menjawab dasar hukum poliga
mi di Indonesia, ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan mengatur secara jelas bahwa:

Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabil
a dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Khusus bagi yang beragama Islam dasar hukum poligami diatur pula dalam Pasal 56 ayat (1)
KHI yang menerangkan:

Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

Merujuk pada dasar hukum poligami tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarny
a hukum poligami di Indonesia dapat dilakukan, sepanjang poligami tersebut dilakukan sesua
i dengan hukum poligami yang berlaku di Indonesia dan memenuhi sejumlah syarat-syarat po
ligami.

Syarat Poligami

1.Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dengan s


yarat:

a. Ada persetujuan dari istri/istri-istri, dengan catatan persetujuan ini tidak diperlukan jik
a:
1. istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi piha
k dalam perjanjian’
2. tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun; atau
3. karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b. Adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka;
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.
2.Pengadilan hanya memberikan izin poligami jika:

a. .istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;


b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Izin tersebut diberikan pengadilan jika berpendapat adanya cukup alasan bagi pemohon (sua
mi) untuk beristri lebih dari seorang.

B.Kawin Hamil Menurut KHI

Kawin hamil adalah istilah yang umumnya digunakan untuk menggambarkan sebuah pernika
han di mana salah satu pasangannya sedang atau telah hamil sebelum pernikahan tersebut terj
adi. Hal ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti hubungan yang tidak direncanakan ata
u kehamilan di luar pernikahan.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hukum materiil dari salah satu di antara hukum p
ositif yang berlaku di Indonesia. Berlakunya Kompilasi Hukum Islam tersebut

berdasarkan: Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Disebutkan

bahwa kompilasi ini dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian masalahmasal
ah di bidang yang diatur oleh kompilasi, yaitu hukum perkawinan, kewarisan,

perwakafan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.

Kebutuhan akan adanya KHI di Indonesia sebagai upaya memperoleh kesatuan

hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara bagi para hakim di lingkungan

peradilan agama, sudah lama dirasakan oleh Departemen Agama. Bahkan sejak adanya

peradilan agama di Indonesia, keperluan ini tidak pernah hilang, bahkan berkembang

terus sejalan dengan perkembangan badan. Latar belakang penyusunan KHI yang tidak

mudah untuk dijawab secara singkat. Pembentukan KHI ini mempunyai kaitan yang erat

sekali dengan kondisi hukum Islam di Indonesia ketika itu. Hal ini penting untuk

ditegaskan mengingat sampai saat ini belum ada suatu pengertian yang disepakati

tentang hukum Islam, yang masing-masing dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Kekuatan KHI dijadikan sebagai sumber hukum materiil dilandasi oleh Inpres No.

1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam itu dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) UUD

1945, yaitu “Kekuasaan Presiden untuk memegang Pemerintahan Negara”.

Mengenai pengaturan perkawinan wanita hamil di KHI diatur dalam BAB

tersendiri yaitu BAB VIII khususnya Pasal 53 ayat (1), (2), dan (3).

Pasal (1)

“Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya.”Pasal (2)

“Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.”

Pasal (3)

“Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan

perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir”

Dengan demikian mengenai perkawinan wanita hamil di luar nikah ditetapkan

oleh KHI, bahwa wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya dan dapat ditafsirkan pula kata “dapat” bahwa wanita hamil di luar nikah

dapat dikawinkan dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya. Berarti perkawinan

wanita hamil di luar nikah boleh dilakukan baik dengan laki-laki yang menghamilinya

ataupun laki-laki lain yang tidak menghamilinya yang ingin bertanggungjawab terhadap

wanita tersebut, karena bisa jadi kehamilan itu bukan atas dasar perbuatan zina

melainkan pemerkosaan terhadapnya yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak jelas

keberadaannya dengan tujuan untuk menjaga aib wanita hamil tersebut.

Reviuw Makalah Kelompok 7: Relasi Hubungan Suwami Istri Dan Harta BERSAMA
A. Pengertian relasi hubungan suwami istri
pemaknaan ungkapan relasi suami istri ialah hubungan. Artinya di dalam rumah tang
ga antara suami dan istri memerankan hubungan tertentu, seperti atasan dan bawahan,
sebagai partner atau yang lainnya. Hubungan yang demikian diperoleh dengan meliha
t bagaimana peran dan kedudukan keduanya di dalam rumah tangga. Hubungan terseb
ut juga menggambarkan pola relasi suami istri yang diterapkan dalam sebuah keluarga.
Setidaknya pola yang berlaku di dalam rumah tangga suami dan istri tidaklah satu, ter
dapat beberapa pola yang diberlakukan yang memiliki orientasi antara kesetaraan dan/
atau ketidak-setaraan. Di antara beberapa pola tersebut ialah:
Pertama, pola kesetaraan dan pola pembagian peran kerja (Complementary role).
Di dalam pola kesetaraan tidak diberikan pembagian peran kepada suami dan istri. Ke
duanya melakukan peran yang sama, beban rumah tangga merupakan tanggung jawab
bersama baik yang berkaitan dengan domestik maupun publik. Perempuan atau istri m
emperoleh kesetaraan dengan suami. Kalangan feminis belakangan ini berpandangan
bahwa kedudukan istri setara dengan suami, selama ini kepemimpinan suami atas istri
merupakan bentuk hegemoni.

Kedua, pola hubungan institusional dan pola hubungan companionship, istilah lainnya ialah p
ola hubungan yang kaku dan yang lentur. Hubungan institusional ditandai dengan masih mele
katnya aspek-aspek di luar keluarga dalam pengambilan keputusan, seperti adat istiadat, kebia
saan umum, dan hukum. Sedangkan hubungan companionship ditandai dengan aspek-aspek d
alam pengambilan keputusan, seperti sikap saling pengertian, sikap saling kasih sayang, dan
kesepakatan bersama dalam hubungan suami istri.

Ketiga, relasi suami istri juga terbentuk melalui pola perkawinan yang bersifat owner
property, head-complement, senior-junior partner dan equal partner. dalam pola owner
property suami merupakan pemilik barang sedangkan istri dianggap sebagai barang se
hingga berhak sepenuhnya dikuasai oleh suami. Istri tunduk kepada suami dalam sega
la hal. Dalam pola head-complement suami merupakan kepala rumah tangga namun d
ilengkapi dengan istri. Istri mulai mendapatkan hak-hak untuk bersuara seperti bertan
ya dan berdiskusi dengan suami atas keputusan yang diambil. Dalam pola senior-junio
r partner suami dan istri berhak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun jenis da
n pendapatan ekonomi istri tidak boleh melebihi suami. Suami merupakan senior sehi
ngga ia tetap harus diutamakan. Sedangkan dalam pola equal partner telah terbentuk k
esetaraan antara suami dan istri. Kedudukan istri tidak lagi dipengaruhi oleh suami sel
ayaknya dalam pola-pola yang sebelumnya. Istri memperoleh pengakuan atas usahany
a sendiri. Kedudukan suami dan istri di dalam rumah tangga adalah sama-sama pentin
g.

1.Pengeritian hak dan kewajiban suwami istri

Dalam bahasa latin, hak disebut dengan ius, sementara dalam bahasa Belanda disebut denga
n recht. Bahasa Prancis menggunakan istilah droit untuk menunjukkan hak. Dalam bahasa In
ggris digunakan istilah law untuk menyebut hak. Adapun secara istilah, pengertian hak adalah
kekuasaan atau wewenang seseorang untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu. Namun, dala
m mengatur dan melaksanakan kehidupan suami istri untuk mencapai tujuan perkawinan, aga
ma mengatur hak-hak dan kewajiban mereka sebagai suami istri. Jadi, yang dimaksud dengan
hak di sini adalah sesuatu yang merupakan hak milik atau dapat dimiliki oleh suami istri yang
diperoleh dari hasil perkawinannya. Hak ini hanya dapat dipenuhi dengan memenuhinya, me
mbayar atau dapat juga hilang seandainya yang berhak rela apabila haknya tidak dipenuhi ol
eh pihak lain.
Sedangkan kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti keharusan untuk berbuat sesuatu. D
alam kamus bahasa Indonesia, kewajiban dapat diartikan dengan sesuatu yang diwajibkan, se
suatu yang harus dilakukan. Jadi yang dimaksud dengan kewajiban dalam hubungan suami-is
tri adalah hal-hal yang dilakukan atau diadakan oleh salah seorang suami istri untuk memenu
hi hak dari pihak lain. Kewajiban muncul karena adanya hak yang melekat pada subyek huku
m. Yang dimaksud dengan hak disini adalah apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain,
sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terh
adap orang lain.
B.Pengertian harta bersamah

Sebagaimana telah dijelaskan, harta bersama dalam perkawinan adalah “harta benda yan
g diperoleh selama perkawinan”. Suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas h
arta bersama tersebut, secara etimologis atau bahasa mengenai arti dari harta bersama sesuai
dengan apa yang terdapat dalam kamus besar Bahasa Indonesia. Harta : barang-barang (uang)
dan sebagainya yang menjadi kekayaan. Harta bersama : harta yang diperoleh secara bersama
didalam perkawinan. Jadi harta bersama adalah barang-barang yang menjadi kekayaan yang d
iperoleh suami istri dalam perkawinan.
Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum kekeluargaan di Indonesia mengatakan bahwa : “har
ta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau wari
san”. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau atas usaha sendiri-sendiri
selama masa perkawinan.Dalam yurisprudensi` Peradilan Agama juga dijelaskan bahwa harta
bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan dengan hukum perk
awinan, baik penerimaan itu lewat perantara istri maupun lewat perantara suami. Harta ini dip
eroleh sebagai hasil karya-karya dari suami istri dalam kaitannya dengan perkawinan.

Di atas telah di kemukakan bahwa harta bersama adalah harta hasil usaha bersama (suami-
istri) di dalam perkawinan mereka. Hak atas harta bersama antara seorang suami-istri di dala
m perkawinan mereka. Hak atas harta bersama seorang suami lebih besar dari istrinya. Allah
berfirman:

Dan jangan lah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu
lebih banyak dari sebagian yang lain. (QS. AnNisa’[4]:32)

Reviuw Makalah Kelompok 8: Asal Usul Anak Dan Hadlonah

1. Pengertian Asal Usul Anak

Asal usul anak menurut berasal dari dua kata yaitu asal usul dan anak, Asal usul yang berarti
silsilah atau sejarah dan anak yang berarti keturunan. Asal usul anak berarti silsilah anak dala
m keluarga yang terjadi karena hubungan seorang pria dan wanita yang secara biologis telah
melahirkan anak tersebut berdasarkan ketentuan- ketentuan hukum. Asal usul anak merupaka
n dasar untuk menentukan adanya kemahraman dengan ayahnya.

2. Pengertian Anak

Anak merupakan insan pribadi (persoon) yang memiliki dimensi khusus dalam kehidupannya
dimana selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan orang tua, faktor lingkungan juga s
angat memiliki peranan yang penting dalam mempengaruhi kepribadian si anak ketika menyo
ngsong fase kedewasaannya kelak. Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung jawab di
masa yang akan datang sehingga negara memberikan suatu perlindungan bagi anak-anak dari
perlakuan-perlakuan yang dapat menghancurkan masa depan.

3. Pengertian Hadhanah
Hadhanah secara etimologi berasal dari Bahasa Arab yang berarti mengasuh, merawat, meme
luk. Menurut Sayyid Sabiq dasar dari kata hadhanah dapat di sandarkan dari kata Al-hidn yan
g berarti rusuk, lambung sebagaimana dinyatakan dalam sebuah uraian. ‫وحضن الطائر بيضه إذا‬
‫ضمه الى نفسه تحت جناحه وآذالك المراة إذا ضمنتولدها‬

Artinya: “Burung itu mengempit telur dibawah sayapnya begitu pula dengan perempuan (ib
u) yang mengempit anaknya.

Sedangkan secara terminologi, para tokoh Islam memberikan berbagai definisi berkenaan den
gan arti hadhanah. Salah satu pengertian hadhanah tersebut diberikan oleh Sayyid Sabiq yang
mengartikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki at
au perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, atau yang kurang akalnya, belum d
apat membedakan antara yang baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri se
ndiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikannya dan memelihara dari sesuatu ya
ng menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik fisik ataupun menta
l atau akalnya agar mampu menempuh tantangan hidup serta memikul tanggung jawab.

4. Dasar Hukum Hadhanah

1.) Al Qur’an

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua
orang tuanya (suami istri). Untuk masalah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak merupaka
n tanggung jawab ayahnya (suami), sedangkan hak memelihara terletak di tangan istri seperti
halnya firman Allah SWT Al-Baqarah ayat 233.

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anakanaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian k
epada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesa
nggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang a
yah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapi
h (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada do
sa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada do
sa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu ke
pada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Ayat di atas menganjurkan kedua orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya. Jika istri ber
tugas menyusui, merawat dan mendidik anak- anaknya, maka kewajiban suami, selain menja
di kepala keluarga/imam dalam rumah tangganya, juga berkewajiban memenuhi kebutuhan is
tri dan anak-anaknya.

2.) Hadist

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti men
ghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Dalam hal pemeliharaan a
nak (hadhanah), nabi menunjuk ibulah yang paling berhak memelihara anak sesuai dengan sa
bdanya.

Artinya : Dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa seorang perempuan bertanya, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang mengandungnya dan susuku yang menjadi mi
numannya, dan pangkuanku yang memeluknya, sedang bapaknya telah menceraikan aku dan
ia mau mengambilnya dariku”, lalu rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Engkau yang lebi
h banyak berhak dengan anak itu, selama engkau belum menikah”. (HR. Ahmad, Abu Daud,
Baihaqi, Hakim dan dia mensahihkannya).

Kandungan dari hadist di atas adalah apabila terjadi perceraian antara suami istri dan mening
galkan anak, selama ibunya belum menikah lagi, maka ibu diutamakan untuk mengasuhnya, s
ebab ibu lebih mengetahui dan lebih mampu mendidik anak-anaknya.

5.Syarat Hadhanah

Imam Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’ menyebutkan kalangan ahli fiqih telah menyebutkan sej
umlah syarat hadhanah. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang. Syarat ha
dhanah menurut ulama adalah :

1. Berakal sehat.

2. Tidak fasik dan seorang yang amanah terhadap syariat Allah.

3. Bertanggungjawab dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang diasuh.

4. Tidak mempunyai penyakit atau tidak punya riwayat penyakit berat yang dapat memudhara
tkan anak dalam pengasuhannya.

5. Tinggal menetap di rumah/daerah anak yang diasuh.

6. Ibnul Mundzi menulis : wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yan
g bukan kerabat dari sang anak. Apabila pengasuh tersebut menikah dengan kerabat sang ana
k maka tidak hak hadhânah (kepengasuhan)nya tidak gugur. Seorang ibu akan gugur hak kepe
ngasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki lainnya.

Tujuan disyariatkannya hadhanah ialah untuk melindungi kehidupan anak kecil, membina ba
dannya, membina akalnya, dan membina spiritualnya. Oleh karena itu, hak hadhanah juga ak
an otomatis gugur dari siapa saja yang tidak dapat mewujudkan tujuan itu. Hak hadhanah gug
ur jika terjadi hal-hal:

1. Jika hadhinah (pemegang hak hadhanah) gila atau tidak berakal.

2. Jika hadhinah menderita penyakit menular.

3. Jika hadhinah dinilai tidak bertanggungjawab terhadap pribadi dan agama terhadap si anak,
bertempat tinggal jauh atau saling berjauhan dengan si anak.

4. Jika hadhinah tersebut beragam di luar Islam (tidak mengikuti syariat Allah dan Rasul-Ny
a), karena dikhawatirkan bisa merusak aqidah si anak.

Anda mungkin juga menyukai