Anda di halaman 1dari 13

A.

Pengertian Hukum Perdata Islam


Hukum Islam merupakan terminologi khas Indonesia, jikalau di
terjemahkan langsung ke dalam bahasa Arab maka akan diterjemahkan
menjadi al-hukm al Islami, suatu terminologi yang tidak dikenal dalam al-
Quran maupun hadis maka padanan yang tepat dari istilah hukum Islam
adalah al-fiqih al-Islamy atau syariah al Islami sedangkan dalam wacana ahli
hukum barat digunakan istilah Islamic law.1 Sedangkan terminologi hukum
perdata Islam adalah bagian dari hukum Islam yang terlah berlaku secara
yuridis formal atau hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya
hanya sebagian dari lingkup muamalah, bagian hukum Islam ini menjadi
hukum positif berdasarkan atau di tunjuk oleh peraturan perundang-
undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat hibah,
zakat dan perwakafan serta ekonomi syariah. 2 Perkataan hukum perdata
dalam artian yang luas meliputi semua hukum atau privat materil, yaitu
seluruh hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan. Perkataan “perdata” juga lazim dipakai sebagai lawan dari
pidana.
Subekti mengatakan bahwa istilah “hukum perdata” adakalanya dipakai
dalam artian yang sempit sebagai lawan “hukum dagang” seperti disebutkan
dalam Pasal 102 Undang-Undang Dasar Sementara yang menitahkan
pembukuan (kodifikasi) hukum di Indonesia terhadap hukum perdata dan
hukum dagang, hukum pidana sipil ataupun hukum pidana militer, hukum
acara perdata dan hukum acara pidana dan susunan serta kekuasaan
pengadilan.3
Hukum perdata menurut ilmu hukum dibagi menjadi empat bagian,
yaitu:
1 ?
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) hal.
57. Lihat juga Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dan Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya)
hal.17-19. Lihat Juga Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Edisi Refisi) ( Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), hal. 1
2 ?
Lihat Pasal 49 UU No.7/`89 jo UU no 3/2006
3 ?
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1987), hal. 9
1. Hukum tentang diri seseorang;
2. Hukum kekeluargaan,
3. Hukum kekayaan, dan
4. Hukum kewarisan.

Hukum perdata diatur perihal hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan


beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami isteri,
hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele. Hukum perdata
juga disebut juga dengan hukum sipil untuk hukum privat materiil, tetapi
karena perkataan sipil lebih lazim digunakan sebagai lawan dari kata militer,
untuk semua hukum privat materiil lebih umum dan bahkan lebih baik dipakai
istilah hukum perdata.4
Lahirnya hukum perdata tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai
makhluk sosial yang selalu mengadakan hubungan antara satu dan lainnya.
Hubungan antar manusia sudah terjadi sejak manusia dilahirkan hingga
meninggal dunia. Abdoel Djamal berpendapat bahwa timbulnya hubungan
antara manusia adalah kodrat dirinya karena manusia ditakdirkan untuk
hidup bersama, dan melaksanakan kodrat hidup sebagai proses kehidupan
manusia yang alamiah sejak dilahirkan sampai dengan wafatnya. 5 Proses
interaksi terjadi semejak manusia hidup, yaitu antara kaum laki-laki dengan
wanita. Dengan adanya hubungan tersebut, terjadilah perkawinan. Karena
manusia bukan binatang, perkawinan harus diatur oleh berbagai tuntunan,
baik yang datang dari agama yang dianut maupun dari undang-undang yang
berlaku atau adat yang dijadikan standar moralitas sosial dalam suatu
masyarakat.

Hukum perdata Islam dapat dipahami semua hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban perseorangan di kalangan warga negara Indonesia yang menganut agama

4 ?
Ibid, hal. 9
5 ?
Abdoel Djamal,Pengantar Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hal.133
Islam. Dengan kata lain, hukum perdata Islam adalah privat materiil sebagai pokok yang
mengatur berbagai kepentingan perseorangan yang khusus diberlakukan untuk umat
Islam di Indonesia. Dalam mata kuliah hukum perdata Islam di Indonesia merupakan
hukum yang sudah di taqnim atau di tetapkan merupakan Undang- Undang dan
peraturan pelaksnaannha bererta Kompilasi Hukum Islam dan Kompilali Hukum
Ekonomi Islam . mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia 1 merupakan hukum
kelurga Islam di Indonesia , mengambil ruang lingkup dalam bidang perkawinan,
putusnya perkawinan, hadanah, harta bersama dan lain lain .

. PEMBENTUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM


A. Sejarah pembentukan Kompilasi Hukum Islam
Membicarakan tentang masalah kompilasi Hukum Islam pada dasarnya adalah
membicarakan salah satu aspek dari hukum Islam di Indonesia. Membicarakan Hukum
Islam di Indonesia, selalu merupakan masalah yang kompleks sekalipun hukum Islam
menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada
masa sekarang
Masalah yang dikatakan kompleks dapat di lihat dari indikator sebagai berikut :
1. Pengamalan hukum Islam di Indonesia sebahagian besar sangat tergantung dari
pada pengetahuan dan kemauan umat Islam yang menjadi faktor penentu
utamanya
2. Dilihat dari tinjauan sejarah hukum Islam berkembang di Indonesia sudah
berabad- abad lamanya, namun pelaksanaan hukum Islam di Indonesia belum
terlaksana secara utuh sebagaimana sesuai dengan konsep dasarnya berdasarkan
Alquran dan hadis. Hal ini menuntut proses Islamisasi umat Islam di Indonesia
menuju kesempurnaan selalu dilakukan. Dalam pengamalan hukum Islam di
Indonesia masih dipengaruhi dari antropologi dan sosiologi masyarakat terutama
dari segi adat istiadat masyarakat yang dalam banyak hal kurang selaras dengan
hukum Islam
3. Hukum Islam dengan daya lenturnya ( adabtability ) nya yang tinggi senantiasa
berpacu dengan perkembangan kemajuan zaman. Akan tetapi usaha untuk selalu
mengaktualkan hukum Islam untuk menjawab perkembangan dan kemajuan
zaman masih belum dikembangkan sebagaimana mestinya, bahkan cendrung
hanyut dalam pertentangan yang tak kunjung selesai sehingga untuk beberapa hal
masih menimbulkan masalah.
Masyarakat mempunyai kepentinagan yang berbeda, bahkan ada yang
bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk mewujudkan perdamaian dan
mengatasi timbulnya perselisihan dalam masyarakat perlu adanya hukum yang mengatur
masyarakat, sehingga timbul rasa saling menghormati hak-haknya, dan tidak tejadi
perampasan serta perebutan hak seseorang oleh yang lainnya
Hukum yang bersifat mengikat merupakan peraturan-peraturan yang dalam
pelaksanaannya bersifat paksaan. Dan apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang
telah ditetapkan akibatnya sipelanggar mendapat sanksi hukum. Berdasarkan paparan di
atas dapat dipahami bahwa hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang diakui oleh sekelompok masyarakat , disusun oleh orang- orang yang diberi
wewenang \badan –badan resmi ,berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.6
Hukum dapat dibagi kepada empat macam yakni :
a. Hukum objektif, yaitu segala macam hukum yang ada di suatu negara yang berlaku
umum, tidak mengenai orang atau golongan tertentu.hukum ini hanya menyebut bunyi
peraturan seperti hukum Allah.
b. Hukum subyektif, adalah hukum objektif yang berlaku dan mengenai seseorang atau
lebih seperti hukum pidana, perdata dan sebagainya
c. Hukum positif, adalah hukum yang berlaku pada waktu sekarang, untuk golongan
tertentu dan daerah tertentu, seperti UU.No.I/1974 tentang perkawinan
d. Hukum azazi, yaitu hukum yang berlaku sepanjang masa, berlaku untuk semua orang,
dimana saja, kapan saja untuk siapa saja. Tidak terikat dengan waktu, ruang dan
golongan seperti hak hidup bagi seseorang,.seperti Undang- undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia 7
Hukum perdata termasuk hukum subjektif yang mengatur dan melipuiti
hubungan hukum antara seseorang dengan orang lain. Bila hukum perdata dikaitkan
dengan hukum perdata Islam maka hukum ini akan berarti seperangkat peraturan tentang

Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, hal.4, 1997, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta
6

Simorangkir dan Woejono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, hal.. 16, 1957,
7

Gunung Agung, Jakarta


hubungan manusia dengan sesamanya ( tingkah laku ) yang besumberkan nash, pendapat
para ulama dan pendapat yang berkembang disuatu masa dalam kehidupan umat Islam.
Sepanjang sejarah kata hukum Islam ( Islamic Law ) diasosiasikan sebagai
fikih, pada perkembangan selanjutnya produk pemikiran hukum Islam tidak lagi di
dominasi oleh fikih saja tapi telah dipengaruhi oleh adat kebiasaan yang berlaku di
masyarakat. Pada akhirnya produk permikiran Islam dapat dikelompokkan kepada fatwa,
ke[putusan pengadilan dan Undang undang serta kompilasi Hukum Islam (KHI )
Eksistensi ukum perdata Islam di Indonesia sangat penting menentukan
pandangan hidup dan mempengaruhi tingkah laku mereka. Syari’ah dan fikih memiliki
hubungan yang sangat erat. Syari’ah merupakan sumber dari formulasi fikih. Syari’ah
bersifat baku sedangkan fikih dinamis yang dapat dipengaruhi oleh perkembangan
zaman, perubahan tempat, dan situasi daerah dimana fikih itu diberlakukan sebagaimana
dinyataka dalam kaedah fikih yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyib al-Jauziyah sebagai
berikut :
‫تغير الفتوى واختالفها بحسب تغير ا ألزمنة وا ألمكنة واألحوال والنيات والعوائد‬
(Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, 1975: 4)
Berubah dan berbedanya fatwa sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi sosial,
niat, dan adat kebiasaan.

, teori ini dimunculkan oleh Vanden Berg, berdasarkan kenyataan hukum


Islam diterima ( di resepsi ) secara menyeluruh oleh umat Islam, hal ini terlihat dalam
statuta Batavia 1642 menyebutkan senghketa waris antara orang pribumi yang beragama
Islam diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam. Salamon Kizer ( 1823-1968 )
dan Christian Vander Berg ( 1845 – 1927 ) menyatakan hukum mengikuti agama yang
dianut seseorang. Kedua teori reseptie, mengatakan bahwa hukum, berlaku bagi orang
Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat di berlakukan
apabila diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya
hukum Islam, hukum ini dikemukan oleh Snouk Hugronje. Ketiga teori receptie exit atau
receptie a contario teori ini mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak
bertentangan hukum Islam
Terjadinya perdebatan perumusan dasar negara oleh BPUPKI para pemimpin
Islam telah dapat melahirkan piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 disepakati bahwa
negara berdasarkan kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluknya
Menurut analisis Daud Ali Hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat
dipilah menjadi dua pertama hukum Islam yang berlaku secara formal Yuridis yaitu
hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan hukum benda
yang disebut dengan hukum muamalah ( perdata ) bagian ini menjadi hukum positif
berdasarkan peratutran perundang undangan seperti perkawinan, warisan dan wakaf.
Kedua hukum Islam yang bersifat normatif, yang mempunyai sanksi atau padanan
kemasyarakatan berupa ibadah murni atau hukum pidana. Sejak tahun 1974 dengan
lahirnya UU.No.I/1974 tentang perkawinan Daud Ali menyimpulkan secara for,mal
yuridis hukum Islam dapat berlaku langsung tanpa melalui hukum adat. Hukum Isl;am
sama kedudukannya dengan hukum adat dan hukum barat. Republik Indonesia dapat
mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu untuk
memenuhi kebutuhan hukum khusus umat Islam dan berlaku hanya bagi umat Islam
seperti PP.No.28/1977 tentang perwakafan tanah milik dan UU No.38/1999 tentang
Pengelolaan zakat
Sesungguhnya sejak tahun 1970 dengan ditetapkanya undang- undang nomor
14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, usaha menempatkan
hukum Islam sebagai sub sestim hukum nasional telah dilakukan. Tahun 1974 melalui
undang-undang nomor I \1974 sebahagian upaya tersebut mulai kenyataan, kendati
keputusan pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh pengadilan negeri. Dengan lahirnya
undang undang nomor 7\1989 tentang Peradilan Agama, mengisyaratkan hukum Islam
telah diterima dan diberlakukan bagi umat Islam. Sebagai mana yang tertulis dalam UU
NO 7 pasal 2 “ Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perdata tertntu yang diatur
dalam undang- undang ini.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi membawa pengaruh terhadap
atifitas kehidupan masyarakat, juga mempunyai implikasi terhadap pengadilan Agama.
Dalam rangka meningkatkan pengamalan kearah kaffah ( sempurna / utuh ) maka
pengadilan agama yang diatur dalam UU NO. 7/ 1989 Tentang PA sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketata negaraan
menurut UUD 1945, memotifasi lahirnya UU NO. 3 tahun 2006 Tentang perubahan UU
NO. 7 tahun 1989 yang berawal dari rancangan undang-undang ( RUU) usul inisiatif
DPR. Yang disyahkan pada tanggal 21 maret 2006.
Ada empat hal baru minimal yang menjadi perluasan kewenangan pengadilan agama
yakni :
- pasal 2 mengubah kewenangan dari perkara perdata tertentu menjadi perkara tertentu
- ketentuan pasal 49 diubah sehingga berbunyi “ pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelasaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawian, waris, wasiat, hibah, wakaf
zakat, infaq ,shadaqah dan ekonomi syariah “.
- pasal 50 ayat (1) dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ayat (2)
apabil terjadi senketa hak milik sebagaimanan dimaksud pada ayat (1) yang subjek
hukumnya antara orang-orang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh
pengadilan agama bersama –sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49
- pasal 52 ditambah dengan pasal 52 A “ Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian
rukyat nilai dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah
Hukum materil atau hukum terapan di Pengadilan Agama selain yang telah
diatur dalam UU NO:1\1974 dan PP NO: 9\ 1975 , juga dipedomani kitab fikih yang
umumnya bermazhab Syafi’i.. Dalam menetapkan keputusan di antara para hakim dalam
kasus yang sama sering terjadi perbedaan keputusan.Berdasarkan masalah di atas , timbul
inisiatif untuk menghimpun ketentuan- ketentuan Hukum Islam di bidang perkawinan,
kewarisan ,hibah, wasiat dan wakaf yang dianggap sesuai dengan keyakinan dan
kesadaran hukum masyarakat Islam di Indonesia. Berdasarkan gagasan Bustanul Arifin,
disusunlah Kompilasi Hukum Islam ( KHI) yang secara formal disahkan melalui
Instruksi Presiden nomor I tahun 1991. Menurut Amir Syaripuddin ,guru besar IAIN
Imam bonjol Padang bahwa KHI setidaknya hingga sekarang ini merupakan puncak
pemikiran fikih Indonesia .Pernyataan tersebut berdasarkan adanya lokakarya nasional
yang dihadiri oleh tokoh ulama fikih dari organisasi Islam, perguruan tinggi, masyarakat
umum, yang diperkirakan dari semua lapisan ulama fikih ikut dalam pembahasan
sehingga dapat dinilai sebagai Ijma’ ulama Indonesia.
Pembentukan KHI mempunyai kaitan erat dengan kondisi hukum Islam di
Indonesia. Usaha penyusunan KHI merupakan bahagian upaya umat Islam di Indonesia
mencari pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat kontekstual. Ide
untuk mengadakan KHI muncul sekitar tahun 1985 dan kemunculannya merupakan hasil
kompromi antara pihak mahkamah agung dengan Departemen Agama. Menurut Ismail
Suni pada bulan maret 1985 presiden Suharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKB
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama membentuk proyek KHI. Kegiatan proyek
ini menurut mukhtar Zarkasi dilakukan sebagai usaha merumuskan pedoman bagi hakim
pengadilan agama dengan menyusun KHI yang selama ini telah menjadi hukum materil di
Pengadilan Agama. Tujuannya adalah merumuskan hukum materil bagi pengadilan
agamaa. usaha yang ditempuh dalam penyususnan KHI adalah :
1. pengkajian kitab-kitab fikih
2. wawancara dengan para ulama
3. yurisprudensi
4. studi perbandingan hukum dengan negara lain, seperti Pakistan, Mesir dan Turky
Sebagai puncak kegiatan proses dan perumusan KHI, setelah pengumpulan
data, pengolahan dan penyusunan draf oleh tim yang ditunjuk diadakan Lokakarya
Nasional dalam rangka menyempurnakan kerja tim. Lokakarya ini dimaksudkan untuk
menggalang Ijma’ ( konsensus ) ahli hukum Islam dan ahli hulum umum di Indonesia.
Lokakarya berlangsung selama 5 hari tanggal 2-6 februari 1988 bertempat di Hotel
kartika Chandra jakarta, diikuti 124 peserta dari seluruh Indonesia, terbagi kepada 3
komisi. Tangagal 10 Juni 1991 berdasarkan Inpres No I/1991. KHI disebarluaskan .Sejak
saat itu secara formal KHI di Indonesia di berlakukan sebagai hukum materil di
lingkungan peradilan agama di seluruh Indonesia
Pembentukan dan penyusunan KHI telah dimulai pada tahun 1983, yakni
setelah penandatanganan SKB Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, guna
keseragaman dan rujukan hakim-hakim di pengadilan agama. Panitia bekerja selama lebih
kurang lima tahun dan pada Tahun 1988 rumusan KHI siap untuk diajuka kepada
pemerintah dalam rangka proses menuju legalitas sebuah aturan hukum perundang-
undangan. Selama tiga tahun lebih dalam masa penatian menunggu tindak lanjut
rancangan KHI, akhirnya pada tanggal 10 juni 1991 Presiden Soeharto menandatangani
INPRES No : 1 Tahun 1991.
Konsideran menimbang dalam INPRES tersebut, disebutkan bebebrapa
klausul materi hukum antara lain bahwa alim ulama Indonesia dalam lokakarya yang
diadakan di Jakarta tanggal 2 hingga 5 Fepruari 1988 telah menerima baik tiga rancangan
buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan , Buku II tentang
Hukum Kewarisn, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Atas dasar itu pula, kalangan
masyanrakat merespon KHI tersebut dengan penuh suka cita dan bangga karena
merupakan buah karya alim ulama di Indonesia.8
Setelah INPRES tersebut disosialisasikan ke berbagai provinsin di Indonesia,
terutama dikalangan ulama , tokoh agama, dan tokoh masyarakat, timbul sanggahan –
sanggahan tentang berbagai hal dalam KHI, misalnya di bidang hukum perkawinan
terdapat aturan tentang kebolehan menikahkan wanita hamil, bidang hukum kewarisan
tentang ahli waris penganti dan anak angkat yang mendapat wasiat wajibah. Tetapi
pejabat dari lingkungan Mahkamah Agung RI yang menjadi nara sumber menjelaskan
sanggahan tersebut dengan argumen bahwa meskipun KHI masih lemah dan banyak
kekurangan, namun hendaklah dapat diterima dulu apa adanya,sambil berjalan
diusahakan, dan dipikirkan kosep-konsep perbaikan untuk masa yang akan datang.9
Moch. Koesnoe10 menyetakan bahwa “ meskipun KHI berdasarkan Instruksi
Presiden kepada Menteri Agama, kedudukan KHI menurut sisitem Hukum Nasional, tetap
sebagai suatu karya dari perorangan, dan bukan merupakan peraturan resmi yang keluar
dari instansi . lebih-lebih bukan suatu undang-undang atau dengan kata lain KHI tidak
mempunyai kedudukan sebagai suatu aturan hukum tertulis di dalam sistem hukum
nasional
Koesnoe juga menjelaskan bahwa KHI dilihat secara formil yuridis tidak
mempunyai kedudukan sebagai suatu aturan hokum tertulis di dalam system hokum
nasional. KHI adalah hasil pikiran dari kalangan yang tidak resmi, terutama bukan hasil

8
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia , hal. 53, 2011, Kencana,
Jakarta
Ibid, hal. 54
9

Moch. Koesnoe, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Ssistem Hukum Nasional, dikutip
10

oleh Habiburrahman, hal 54, 2011, Kencana, Jakarta


dari kalangan badan yang berwenang membentuk suatu aturan tertulis.KHI merupakan
hasil dari suatu hikmat kebijaksanaan permusyawaratan, yakni dalam bentuk mulanya
sebagai hasil kerja tim, dan kemudian diseminarkan atau di lokakaryakan antara pra
ulama dan para pakar hukum yang berpendapat bahwa isi KHI tersebut adalah apa yang
menurut mereka itu semua sebagai hukum Islam yang diikuti oleh masyarakat muslim
Indonesia. Dengan kata lain KHI tersebut telah diakui oleh para ulama dan pakar yang
hadir dalam seminar atau lokakarya tersebut sesuai pengetahuan mereka tentang hukum
Islam yang diterima di Indonesia. Dengan demikian telah ada ijma’dari sebahagian
kalangan umat Islam, yakini sejumlah ulama dan para pakar hukum yang muslim.
Kedudukan KHI kondisi sekarang masih banyak diperbincangkan dan diakui
masih banyak hal yang perlu dikaji ulang untuk kesempurnaan, tetapi dalam rangka
pembaharuan hukum Islam di Indonesia penulis mendukung pendapat atau komentar
Mahkamah Agung di Atas sembari selalu menganalisa dan menyempurnakan
kekuranggan dan kelemahannya dan untuk semetara waktu dapat dipedomani.
Sumber rujukan KHI adalah :kitab-kitab fikih standar yang dibakukan melalui
SE Biro Peradilan Agama No.B/1/735.tanggal 18 februari 1958 sebagai tindak lanjut PP
No.45/1957, ditambah kitab-kitab fikih moderen yang semuanya berjumlah 38 buah.
Selain dari kitab-kitab fikih penyususn KHI juga merujuk kepada fatwa yang berkembang
di Indonesia seperti MUI,NU,dan Majlis Tarjih Muhammadiyah
Wawancara dengan para ulama di Indonesia.pelaksanaannya diambil sepuluh
lokasi, yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Jawa Barat,Jawa Tengah,Jawa
Timur , Ujung Pandang, Mataram dan Banjarmasin.
Yurisprudensi dan kumpulan fatwa peradilan agama terdiri dari 15 buku ?
Hukum Islam yang di praktekkan di negara-negara muslim

B. Landasan Hukum dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam


Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 juni 1991.
Menurut Ismail Suny, oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan,
kewarisan dan rwakaf bagi pemeluk Islam di Indonesia telah ditetapkan oleh undang-
undang yang berlaku adalah adalah hukum Islam, maka Kompilasi Hukum Islam itu yang
memuat hukum materilnya dapat ditetapkan oleh Keputusan Presiden / Instruksi.
Pendapat tersebut antara lain didasarkannya pada disertasi dari A.Hamid S. Attamimi .
Dan selanjutnya ia mengatakan bahwa Instruksi Presiden tersebut dasar hukumnya adalah
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. yaitu kekuasaan presiden untuk mmegang
kekuasaan Pemerintahan Negara. Apakah dinamakan Keputusan Presiden atau Instruksi
Presiden, kedudukan hukumnya adalah sama. Karena itu pembicaraan mengenai
kedudukan Kompilasi Hukum Islam tidak mungkin dilepaskan dari Instruksi Presiden .11
Membicarakan hukum atau hukum perdata Islam di Indonesia perlu dipahami
dari macam produk pemikiran hukum perdata Islam di Indonesia, seiring pertumbuhan
dan perkembangannya ada empat pemikiran produk hukum Islam Islam di Indonesia,
yaitu fikih, fatwa ulama , hakim , keputusan pengadilan dan perundang undangan. Yang
menjadi pertanyaan adalah dimana posisi kompilasi hukum Islam di Indonesia dalam
konteks produk pemikiran hukum Isliam. Bila dilihat dari proses perumusannya KHI
berupa fikih produk dari ulama Indonesia ( Ijama’ ulama Indonesia ) dengan harapan
dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dan masyarakat Indobesia yang disahkan
melalui Inpres RI No.1/1991, kemudian ditindaklanjuti dengan KEP.MENEG.RI No
154/1991 dan disebar luaskan melalui SE.DIRJEN BIMBAGA Dep Agama
No.3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepda Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan
Ketua Pengadilan Agama diseluruh Indonesia tentang penyebarluasan INPRES N0: 1
Tahun 1991.
Berdasarkan pasal 4 (1) UUD 1945 Peresiden RI memegang kekuasaan
pemerintahan, maka presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk
menyebarluaskan KHI dipergunakan oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya. Dalam konsideran Inpres KHI dapat dipergunakan sebagai pedoman
yang oleh Abdurrahman dipahami sebagai tuntunan atau petunjuk dan dalam Kep.Menag
RI KHI dapat diterapkan disamping perundang-undangan lainnya. Kata di samping
menunjukkan adanya kesederajatan KHI dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku mengenai perkawinan, kewarisan dan perwakafan.dan peraturan pelaksanaannya
digunakan sebagai ketentuan hukum positif berkenaan dengan masalah tersebut.
Ketentuan yang demikian harus dipandang sebagai ketentuan yang bersifat umum dan

11
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hal. 53, 1992, Akademika Pressindo, Jakarta
lebih banyak bersifat administratif procedural, sedangkan KHI adalah merupakan
ketentuan khusus yang lebih berfungsi sebagai ketentuan hukum substansial.12( materi
hukum )
Abdurrahman menyimpulkan tiga fungsi KHI di Indonesia, pertama suatu
langkah awal/ sasaran untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang
berlaku untuk masyarakat. Hal ini penting mengingat mayoritas penduduk Indonesia
adalah beragama Islam, dimana ketentuan-ketentuan hokum yang sudah dirumuskan
dalam kompilasi ini akan diangkat sebagai bahan materi hokum nasional yang akan
diberlakukan nanti. Kedua sebagai pegangan para hakim pengadilan agama dalam
memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya. Ketiga sebagai
pegangan bagi masyarakat mengenai hukum Islam yang berlakuku baginya sudah
merupakan hasil rumusan diambil dari berbagai kitab kuning. Yang semula tidak dapat
mereka baca secara langsung.13
Kompilasi Hukum Islam yang disebarluaskan berdasarkan INPRES No :
1Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama mempunyai kedudukan sebagai pedoman
dalam artian sebagai sesuatu petunjuk bagi hakim Peradilan Agama dalam memutus dan
menyelesaikan perkara, maka kedudukannya adalah tergantung sepenuhnya dari pada
hakim untuk menuangkannya dalam keputusan-keputusan mereka masing-masing
sehingga KHI ini akan terwujud dan mempunyai makna serta landasan yang kokoh dalam
Yurisprudensi Peradilan Agama. Dengan cara demikian, maka Peradilan Agama tidak
hanya sekarang berkewajiban menerapkan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan
dalam KHI, akan tetapi mempunyai peranan yang lebih besar untuk mengembangkan dan
sekaligus melengkapinya melalui yurisprudensi yang dibuatnya.
Guna mendapat gambaran lebih jauh mengenai masalah KHI ini kiranya patut
diperhatikan bagaimanan pemikiran dan keinginan para pakar hukum tentang bagaimana
seharusnya KHI didudukan dalam sistem hukum Islam. M.Yahya Harahap14,
menyebutkan dalam tulisannya tujuan dari KHI adalah :
1. Untuk merumuskan secra sistematis hukum Islam di Indonesia secara kongkrit

12
I bid, hal. 57
13
Ibid, hal. 60
14
M.Yahya Harahap, Tujuan Kompilasi Hukum Islam dalam kajian Islam tentang berbagai
Masalah Kontemporer, hal.91, 1988, Hikmat Syahid Indah, Jakarta
2. guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan peradilan
agama
3. dan sifat kompilasi, berwawasan nasional ( bersifat supra sub kultural, aliran atau
mazhab ) yang akan diperlakukan bagi seluruh masyarakat Islam di Indonesia,
apabila timbul sengketa di depan siding peradilan agama
4. sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hokum yang lebih seragam
dalam pergaulan lalu lintas masyarakat Islam.
Berdasarkan uraian di atas keterikatan masyarakat dan instansi peradilan
agama, kiranya dapat dilihat dari perspektif metodologis KHI. Yang dapat dikatakan
sebagai Ijma’ ulama Indonesia, setidaknya kesepakatan mayoritas umat Islam di Indonesia
yang mengikat umat Islam untuk mempedomani dan menerimanya sebagai refleksi
kesadaran hukum mereka. Kewajiban mematuhi ketentuan hukum yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang akan mendatangkan kemaslahatan memiliki dalil yang kuat, misalnya
surat an-Nisa’ ayat 59,
         
            
      

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya

Anda mungkin juga menyukai