Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ni Luh Komang Ayu Andina Surya Wasundari

NIM : 2104551169
Kelas : E
Matkul : Hukum Islam

Soal :
1. Apa urgensi mempelajari hukum islam di fakultas hukum.
2. Cari contoh kasus poligami di Indonesia dan kritisi.
3. Apa dampak kawin siri perspektif hukum islam dan perspektif hukum nasional?

Jawaban :

1. Peranan Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum di Indonesia atau dapat dikatakan
dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Islam merupakan salah satu hukum yang
begitu kuat dan penegakannya sangat ketat. Dalam melihat dan mengetahui peranan
hukum Islam dalam pembangunan hukum di Indonesia ada beberapa fenomena yang
dapat ditemui.Yang pertama, Hukum Islam berperan dalam mengisi kekosongan
hukum dalam hukum positif, dalam hal ini hukum Islam diberlakukan oleh Negara
sebagai hukum positif bagi umat Islam. Hukum positif merupakan sederet asas dan
kaidah hukum yang berlaku saat ini, berbentuk ke dalam lisan maupun tulisan yang
keberlakuan hukum tersebut mengikat secara khusus dan umum yang ditegakkan oleh
lembaga peradilan atau pemerintahan yang hidup dalam suatu negara. Sehingga
Hukum Islam adalah hukum yang mengikat seluruh bangsa Indonesia yang
menganutnya.
Yang kedua, Hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan
kontribusi terhadap aturan yang dibuat, oleh karena aturan hukum itu bersifat umum
dan tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku
untuk seluruh warga Negara Indonesia. Hukum Islam disini menyesuaikan
keberlakuannya terhadap bangsa Indonesia sebagai salah satu agama yang memiliki
nilai-nilai hukum yang dapat diterapkan sesuai dengan ideology bangsa Indonesia
yaitu Pancasila. Pada paparan pertama bahwa kita dapat melihat adanya peraturan
perundang-undangan yang secara langsung ditunjukan pelaksanaan ajaran Islam bagi
pemeluknya. Diantara produk hukum yang dapat dimasukan dalam kategori ini adalah
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mahasiswa hukum harus bisa menganalisa dan dapat mencari solusi untuk setiap
permasalahan hukum yang timbul di masyarakat. Beberapa permasalahan hukum
tersebut dapat diselesaikan dengan mengerti kepercayaan atau kebiasaan masyarakat
tersebut. Maka dari itu diperlukan nya mempelajari hukum dalam agama yang
dominan dalam suatu Negara yang dapat memperjelas kebiasaan dan aturan yang
menganut agama tersebut.
Hukum islam tercipta dari aturan yang harus dipatuhi menurut kitab besar agama
Islam yaitu Al’quran. Masyarakat Indonesia yang mempunyai permasalahan hukum
yang secara keseluruhan membutuhkan referensi dari hukum islam, hal ini
menjadikan hukum islam mempunyai kepentingan hukum. Dari hal-hal diatas maka
sudah jelas kepentingan hukum islam untuk dipelajari,namun berikut beberapa tujuan
mahasiswa hukum mempelajari hukum islam, yaitu: 1.) Menjaga agama (hifdz ad-din)
2.) Menjaga jiwa (hifdz an-nafs).3.) Menjaga akal (hifdz al aql) 4.) Menjaga
keturunan (hifdzan nasb) 5.) Menjaga harta (hifdzalmaal).
Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia
dan mendatangkan maslahah bagi mereka, mengarahkan kepada kebenaran untuk
mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, dengan perantara segala yang
bermanfaat serta menolak yang medarat atau tidak berguna bagi kehidupan manusia.

2. Contoh kasus Poligami antara lain :


seorang Pria tinggal satu rumah dengan ketiga istrinya di Jember, Jawa Timur
(sumber berita)
: http://aceh.tribunnews.com/2017/12/13/poligami-3-istri-tinggal-serumah-pria-ini-tetap-
hidup-rukun-dan-harmonis-apa-rahasianya?page=3)
Pria tersebut menikahi istrinya yang pertama pada tahun 1997, istrinya yang kedua tahun
2007 dan yang ketiga pada tahun 2010 tanpa menceraikan istri sebelumnya. Namun rumah
tangga dapat dijalani dengan harmonis.
Berdasarkan temuan kasus tersebut berikut analisis mengenai kasus poligami terhadap hukum
islam dan hukum positif Indonesia, serta akibat hukum yang terjadi setelah melakukan
poligami, yaitu :
Pandangan Hukum Islam Terhadap Poligami
Salah satu sumber hukum Islam adalah Al-qura’an yang juga merupakan sumber
pertama dari hukum islam. Pada dasarnya asas pernikahan dalam Islam adalah monogami,
yang tercantum dalam Al-qur’an. Surat an-nisa ayat 3 menyebutkan :
“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Qs. An-nisa, 3)
Dari penjelasan ayat diatas dapat diartikan bahwa Allah memerintahkan laki-laki untuk
menikahi seorang wanita yang di senanginya, namun Allah jugamembolehkan seorang laki-
laki untuk menikahi sampai empat wanita tetapi dengan suatu ketentuan. Poligami dalam
penjelasan ayat ini boleh dilakukan oleh laki-laki namun terikat oleh kewajiban, yaitu laki-
laki wajibberlaku adil kepada pasangan yang dinikahinya, dan perkara poligami menjadi
tidak boleh apabila laki-laki tersebut tidak dapat berlaku adil kepada pasangan-pasanganya.
“dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang llain terkatung-katung.
dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. (Qs. An-nisa, 129)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa berlaku adil bukan lah syarat melakukan poligami
tetapi kewajiban suami ketika melakukan poligami. Adil dalam ayat ini merupakan syarat
agama bukan syarat hukum kebolehan berpoligami (Hosen, 1971 dalam Reza, 2015). Maka
pada dasarnya kebolehan berpoligami adalah mutlak dan adil merupakan kewajiban
suami, syarat-syarat dan alasan-alasan hukum kebolehan berpoligami yang ditemui sekarang
merupakan hasil dari Ijtihad para ulama dalam lingkup kajian fiqih, sehingga tidak tertutup
kemungkinan untuk di transformasikan kedalam hukum positif. Kompilasi hukum Islam
disusun dalam rangka pembentukan unifikasi hukum islam yang berlaku bagi muslim
Indonesia.
Pandangan Hukum Positif Terhadap Poligami
Poligami merupakan ranah dari pengadilan agama, pasal 49 Undang-undang nomor 7
tahun 1989 yang telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan perubahan
kedua dengan undang-undang nomor 50 tahun 2009 menyatakan bahwa pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama islam dibidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Pada penjelasan pasal 49 alenia kedua yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-
hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut syari’ah, yang antara lain adalah memberikan izin beristri lebih dari
satu. Izin tersebut merupakan kewenangan absolut yang diberikan kepada pengadilan agama
sepanjang subjek hukumnya adalah orang islam dan perkawinan yang dilakukan menurut
syariat islam.
Kemudian yang menjadi alasan dan syarat berpoligami yang ditentukan ooleh undang-
undang dapat ditemukan dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan :
1) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa untuk mengajukan permohonan kepada
pengadilansebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1) Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Izin berpoligami dapat diberikan apabila alasan suami telah memenuhi alasan-alasan
alternatif pada ketentuan pasal 4 ayat 2 Undang-undang perkawinan dan syarat komulatif
yang tercantum pada pasal 5 ayat 1 undang-undang perkawinan.
Akibat Hukum Dari Pelaksanaan Poligami
Setiap perbuatan hukum yang dilakukan pasti memiliki akibat hukum atas perbuatan
tersebut, termasuk juga poligami. Poligami yang dilakukan dengan cara sah dan sesuai
ketentuan hukum dan melalui prosedur dari pengadilan memiliki asas kepastian hukum.
Kepastian ini termasuk juga dalam pembagian waris, pencatatan akta kelahiran dan semua
hubungan perdata dari pihak suami ke istri-istrinya dan ke anak-anaknya.
Sementara poligami yang tidak berdasarkan ketentuan pasal 5 undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan dan tidak melalui proses di pengadilan agama, maka
memiliki akibat hukum juga. Akibat hukum dari pernikahan poligami yang dilangsungkan
tanpa izin dari pengadilan agama yaitu, pertama perkawinan yang dilakukan tidak sah
menurut negara, kedua terhadap pembagian harta bersama, istri yang tidak sah tidak
mendapat bagian terhadap harta bersama menurut hukum, dan ketiga terhadap anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah maka akan menjadikan anak berstatus menjadi
anak tidak sah.
Simpulan
Poligami merupakan suatu perkara yang sah dalam hukum islam dan hukum positif,
namun dalam praktiknya poligami merupakan sesuatu yang sensitf dan terkesan kontrofersial.
Perkawinan merupakan suatu perkara yang disunahkan oleh Allah kepada semua makhluk.
Bagi yang kontra terhadap poligami mereka berpendapat bahwa poligami adalah perusak bagi
keharmonisan rumah tangga.
Sudah seharusnya masalah poligami disosialisasikan kepada masyarakat melalui KUA
baik dari segi legalitas hukum maupun kepastian hukum sesudah melakukanya, banyak
masyarakat yang melakukan pernikahan poligami tanpa melalui izin dari pengadilan agama,
hal ini akan merugikan bagi pihak istri dan keturunanya, maka dari kasus ini disarankan agar
KUA melakukan pendataan ke rumah-rumah guna mengetahui keadaan rumah tangga
tersebut apakah melakukan praktik poigami atau tidak atau bahkan melakukan praktik nikah
sirih, dengan hal itu akan membantu masyarakat yang sudah terlanjur melakukan pernikahan
poligami tetapi tidak tahu akibat hukum yang terjadi.
3.
a. Perkawinan Siri Menurut Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan kata Islam. Kedua kata itu secara
terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam al-Qur’an,
juga berlaku dalam bahasa Indonesia. Hukum Islam sebagai suatu rangkaian kata telah
menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an secara definitif. Secara Terminologi ‘’Hukum Islam’’ dalam literatur
berbahasa Arab biasanya menggunakan istilah fiqh dan Syariat atau hukum syara’. Syariat
atau hukum syara’ secara sederhana diartikan dengan seperangkat aturan dasar tentang
tingkah laku manusia yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan secara langsung oleh
Allah dan Rasulnya. Fiqh secara sederhana diartikan sebagai hasil penalaran pakar hukum
(Mujtahid) atas hukum syara yang dirumuskan dalam bentuk aturan terperinci.
Bila padanan kata hukum menurut definisi ini dihubungkan dengan Islam atau syara’ maka
makna hukum Islam akan berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah
rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua
yang beragama Islam. Hasbi Asy-Shiddiqi memberikan definisi hukum Islam ‘’Koleksi daya
upaya para fuqaha dalam menerapkan Syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat’’.
Lanjutan, hukum Islam itu adalah hukum yang terus hidup, sesuai dengan Undang-undang
gerak dan subur. Dia mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus.
Karenanya hukum Islam senantiasa berkembang dan perkembangan itu merupakan tabiat
hukum Islam yang terus hidup. Lebih lanjut Hukum Nikah sirri dengan pemahaman yang
pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas Ulama. Karena
diantara syarat sahnya nikah diharuskan adanya wali dari pihak wanita. Nikah tanpa wali
maka dapat dikatakan tidak memenuhi syarat sahnya sebuah pernikahan, sebagaimana
disebutkan dalam beberapa hadis diantaranya: Hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya: “Tidak ada Nikah (batal), kecuali dengan Wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn
Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, Thabrani,).
Selain itu terdapat pula hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bَerَsabda: ْ َ َ ٌ
‫ِِِِ بَاِطلفنِ ُك َحها َ َمواِلَهاإذنبَ ْغيرنَكَحْ تاْ َمرٍأةُّأيَما‬
Artinya: “Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR yang
lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke
2649).
Jika yang dimaksud nikah sirri adalah nikah di bawah tangan, dalam arti tidak dilaporkan dan
dicatat di lembaga resmi yang mengatur pernikahan, yaitu KUA maka status hukumnya sah,
selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga nikah sirri dengan pemahaman ini tetap
mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul akad nikah. Hanya saja, pernikahan
semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan: Pertama, pemerintah telah
menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi yakni KUA.
Sementara kita sebagai kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah
ۡ
selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman: َ ُ َ ْ َ ْ َ ْ َّ َ
‫يأيها ٱ ِلين ءامنوا أ ِطيعوا ٱلل وأ ِطيعوا ٱلرسول وأو ِل ٱلم ِر ِمنكمۖ فِإن َتنزعتم ۡ ِف ش ٖء‬
‫ َو أ ۡح‬ٞ ‫ف َ ُر ُّد و ه ُ إ ِ َل ٱ َّلل ِ َو ٱ ل َّر ُس و ِل إ ِ ن ُك ن ُت ۡم ت ُ ۡؤ ِم ُن و َن ب ِ ٱ َّلل ِ َو ٱ ۡل َ ۡو ِم ٱ أۡل ٓ ِخ ِر ۚ َذ ٰ ل ِ َك َخ ۡير‬
٥٩ ‫َس ُن ت َ أ و ِ ي ًل‬
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa: 59).
Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak. Dalam
Al-Quran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat, sebagaimana yang Allah
tegaskan di surat An-Nisa. َ َ َ َۡ
ً ٰٗ
‫ 􏰀وكيف تأخذونه‬٢١ ‫وقد أفض بعضكم ِإل بع ٖض وأخذن ِمنكم ِميثقا غلِيظا‬
Artinya:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat (QS. An-Nisa: 21)
b. Kawin Siri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Selama ini, masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Keberadaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
dimaksudkan untuk menampung keanekaragaman peraturan perkawinan dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang dapat dijadikan pegangan dan berlaku bagi semua
golongan masyarakat yang berada di Indonesia. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah: “Ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Adapun untuk
melangsungkan perkawinan yang sah, harus dipenuhi syarat- syarat perkawinan sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Sedangkan perkawinan dalam pengertian hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghaliidzan, untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Dengan tidak diakuinya perkawinan sirri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka
perkawinan sirri dianggap tidak sah menurut Undang-Undang.
Kondisi demikian tentunya menimbulkan permasalahan-permasalahan, khususnya mengenai
kedudukan hukum anak yang dihasilkan dari perkawinan sirri. Mengenai anak yang lahir dari
perkawinan sirri ini masih menjadi perdebatan yang cukup panjang. Menurut Kompilasi
Hukum Islam (“KHI”) Pasal 4, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. (“Undang-Undang Perkawinan”) yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Namun,
perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan
Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak
yang lahir dari pernikahan sirri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau
keluarga ibunya”.
Maka, pernikahan harus tercatat secara jelas agar tidak terjadi berbagai konflik dan dampak
dalam masyarakat itu sendiri, terlebih pernikahan yang tidak tercatat dianggap cacat hukum
yang berakibat pernikahan tersebut tidak diakui sebagaimana pernikahan sirri yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai