Anda di halaman 1dari 15

Dampak Poligami Terhadap Hak-Hak Istri Yang Sah Pada

Perkawinan Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang


Berlaku Di Indonesia

Tugas: Politik Hukum


(Dosen Pengampu: Dr. H. Umar Ma’ruf , SH., Sp. N., M.Hum.)

Disusun oleh :

NAMA : MARGO LELONO , SH


NIM : 20302100056
KELAS :B

Magister Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

Januari 2022
ABSTRAK

Margo Lelono
Prodi Magister Ilmu Hukum Unissula

Poligami atau suami beristeri lebih dari satu orang merupakan salah satu dari
model perkawinan yang dipraktikkan. Dalam konteks Indonesia jauh sebelum adanya
peraturan perundang-undangan, poligami telah banyak dipraktikkan oleh masyarakat.
Praktik poligami banyak berpedoman pada hukum Islam yang bersumber pada al-
Qur’an dan Hadits serta pada kitab-kitab fiqih klasik. Namun, karena tidak adanya
payung hukum yang mengatur praktik model perkawinan tersebut, poligami menjadi
penyebab prahara dalam hubungan keluarga. Sehingga banyak tuntutan dari
masyarakat kepada pemerintah untuk segera membentuk undang-undang yang
memuat aturan poligami.
Makalah atau penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan
(library research) yang menekankan pada pustaka sebagai subjek penelitian. Metode
pendekatan yang digunakan yaitu metode yuridis normatif. Adapun sumber data
dalam penulisan ini terdiri dari data primer (Peraturan Perundang-Undangan) dan
data sekunder (buku, artikel, jurnal atau rujukan lain yang berlaku)
Adapun hasil penelitian ini yaitu, meskipun asas yang dianut dalam
perundang-undangan Indonesia adalah monogami, namun tidak menutup adanya
kemungkinan poligami dengan syarat dan ketentuan yang ketat, serta mempunyai
dampak-dampak yang tejadi akibat adanya poligami.

Kata kunci : Politik Hukum, UU No. 1 Tahun 1974, KHI, Poligami


A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan salah satu asas pokok hidup, terutama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Tidak hanya itu, pernikahan juga
suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, bahkan perkawinan dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu
perkenalan antara satu kaum dengan yang lain. Serta perkenalan itu akan
menjadi jalan untuk menyampaikan kepada saling tolong-menolong antara satu
dengan yang lain.
Sebenarnya, pertalian dalam perkawinan adalah pertalian yang seteguh-
teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri
dan keturunan bahkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari sebab baik
pergaulan antara si isteri dengan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindahlah
kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihak, sehingga mereka
menjadi satu dalam segala urusan saling tolongmenolong sesamanya dalam
menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain daripada itu,
dengan pernikahan seseorang akan terpelihara daripada kebinasaan hawa
nafsunya.1
dalam sejarah peradaban manusia, tercatat sedikitnya terdapat dua
bentuk macam perkawinan. Kedua bentuk perkawinan ini ialah: pertama,
perkawinan monogami, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki (suami)
dengan seorang wanita (isteri). Kedua, perkawinan poligami, yaitu perkawinan
antara seorang laki-laki (suami) dengan lebih dari satu orang wanita (banyak
isteri) dalam wakttu yang sama, atau perkawinan seorang wanita (isteri) dengan
lebih dari satu laki-laki (banyak suami) dalam waktu yang sama. Dari bentuk
perkawinan yang kedua (poligami), terbagi lagi ke dalam bentuk perkawinan
yang lain, yaitu, poliandri dan poligini. Poliandri merupakan bentuk
perkawinan antara seorang wanita (isteri) dengan banyak laki-laki (suami)
dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan, poligini merupakan bentuk
1
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam (Jakarta: ATTAHIRIYAH, 1976), cet. 17. hlm. 355
perkawinan antara seorang laki-laki (suami) dengan banyak wanita (isteri)
dalam waktu yang bersamaan. Jadi, ringkasnya poligami merupakan bentuk
perkawinan yang memiliki banyak pasangan secara umum, sedangkan poliandri
dan poligini merupakan arti secara khusus dari bentuk perkawinan poligami.
poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling
banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan
berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan
selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Bahkan para penulis Barat sering
mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang
pernikahan sangat diskriminatif terhadap wanita. Pada sisi lain, poligami
dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan
dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena
selingkuh dan prostitusi.2
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan
tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak dengan
pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristeri seorang wanita dalam
keadaan dan situasi apapun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya
atau miskin, hiposeks atau hiperseks, adil atau tidak adil secara lahiriyah.
Meskipun pada dasarnya Islam menganut asas monogami, namun tidak
menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligni, tetapi tidak
semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semuanya mempunyai
kemampuan untuk berpoligami3. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu
aturan atau hukum untuk mencegah adanya praktik poligami yang semena-
mena.

2
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/74 sampai KHI), (Jakarta: Kencana
PrenadaMedia, 2012), hlm. 156
3
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahroni. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013) ed.1, cet.3. hlm. 357-356
Sejarah poligami di Indonesia pada masa penjajahan belanda yang
sangat memprihatinkan kaum wanita terjadi karena mudahnya orang melakukan
poligami tanpa mengindahkan syarat-syarat yang dituntunkan oleh agama4,
seorang suami memaksa istrinya supaya diijinkan untuk berpoligami, membuat
surat-surat palsu sehingga pada akhirnya berdampak pada perpecahan dan
kebencian dalam rumah tangga.
Dasar peraturan poligami di Indonesia adalah Undang Undang No. 1
Tahun 1974 pada pasal 3 ayat 2 yang berbunyi: Pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabia dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.5
Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 merupakan upaya kaum
perempuan untuk mampu mendapatkan payung hukum sebagai langkah untuk
mengatur perkawinan poligami yang sebelumnya begitu longgar menjadi
dipersulit6 dengan syarat kumulatif meliputi: kewajiban suami untuk meminta
ijin ke pengadilan, mampu menjamin kebutuhan istri-istri, adanya jaminan
suami dapat berlaku adil, serta syarat-syarat tambahan yang lainnya dengan
maksud memperkecil terjadinya poligami.
. untuk mengetahui lebih jelas seperti apa dan bagaimana peraturan
poligami di indonisai, maka penulis tetarik untuk membahas “Dampak
Poligami Terhadap Hak-Hak Istri Yang Sah Pada Perkawinan Berdasarkan
peraturan Perundang-Undagan Yang Berlaku Di Indonesia”.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pendahuluan tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan
yang menarik untuk dikaji, sebagai berikut :

4
Ali Trigiyanto, “Perempuan dan Poligami di Indonesia”, Jurnal Muwazah, Vol. 3. No. 1 Juli
2011, hlm, 339.
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
www.hukumonline.com hlm. 1.
6
Lihat Ali Trigiyanto, Perempuan dan Poligami, hlm. 339.
1. Bagaimana pengaturan poligami di dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana dampak yang timbul dari tidak terpenuhinya hak istri yang sah
dalam perkawinan yang dipoligami?

C. PEMBAHASAN

1. Pengaturan Poligami Di Dalam Peraturan Perundang-Undangan Yang


Berlaku Di Indonesia
a. Kompilasi Hukum Islam ( KHI )
Indonesia dapat disebut juga sebagai Negara yang termasuk
menganut paham poligami berdasarkan adanya Kompilasi Hukum
Islam yang sudah sah diakui oleh pemerintah. Selain Indonesia salah
satu Negara di dunia yang menganut paham poligami iyalah Iran.
Sedangkan di Indonesia pemahaman mengenai hukum islam di
buktikan dengan adanya Kompilasi Hukum Islam yang diantaranya
membahas mengenai masalah pernikahan dan juga poligami.
Kompilasi Hukum Islam membahas mengenai poligami yang di atur
pada BAB IX Tentang Beristri Lebih Satu Orang, dalam Pasal 56 Ayat
1-3 dimana Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus
mendapat izin dari Pengadilan Agama.
Bahwa setiap orang yang akan melakukan Poligami harus
membuat pengajuan permohonan poligami ke pengadilan agama.
Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan
Pemeritah No.9 Tahun 1975. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri
kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak
mempunyai kekuatan hukum.7

7
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
b. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Menurut hukum positif terutama di Indonesia, perkawinan


poligami sudah di atur berdasarkan peraturan yang di buat oleh
pemerintah salah satunya iyalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum
perdata tidak di atur mengenai adanya konsep pernikahan poligami,
karena hal itu bertentangan dengan ajaran umat kristiani, yang
menganut azaz pernikahan monogami.
Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia pada
dasarnya menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan untuk melakukan poligami, maka hukum dan juga agama
dari yang bersangkutan mengizinkan seorang laki-laki beristri lebih
dari seorang, yang demikian ini, perkawinannya hanya dapat dilakukan
apabila telah memenuhi berbagai persyaratan yang telah ditentukan
dan diputuskan oleh pengadilan8.
membicarakan mengenai poligami Ada beberapa aturan atau
undang-undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari
poligami antara lain UU No. 1 tahun 1974. Dalam UU No.1 Tahun
1974, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 3, 4 dan 5 . 9
Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
 Pasal 3 ayat (1): Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang isteri
hanya boleh mempunyai seorang suami. Pasal 3 ayat (2):
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk

8
Arso Sosroatmodjo, H.A. Wasit Aulawi., Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975 hlm. 37.
9
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasinal (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hal. 289
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-
pihak yang berkepentingan.
 Pasal 4 ayat (1): Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih
dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) UU
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan
di daerah tempat tinggalnya. Pasal 3 ayat (2): Pengadilan
dimaksud dalam dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri,
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat
disembuhkan,
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
 Pasal 5 ayat (1): Untuk mengajukan permohonan kepada
pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) UU
ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a. adanya persetujuan dari isteri/isteriisteri,
b. adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-
keperluan hidup, isteri-isteri dan anak-anak mereka,
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
UU No. 1 tahun 1974 dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974. Dalam
PP No.9 Tahun 1975, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 40,
41, 42, 43 dan 44 10.
Aturan lain yang mengatur tentang poligami adalah Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawian dan Percraian
10
ibid
Pegawai Negeri Sipil. Dalam PP No.10 Tahun 1983, yang berkaitan
dengan poligami adalah pasal 4,5,6,7,8,9,10 dan 11.
PP No. 10 Tahun 1983 diubah dengan Peraturan Pemerintah
No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas PP No 10/1983 tentang
Izin Perkawian dan Percraian Pegawai Negeri Sipil. Dalam pasal 1
disebutkan bahwa mengubah beberapa ketentuan dalam PP No
10/1983, sehingga berbunyi sebagai berikut:
 Pasal 3 ayat (1): Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan
perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan
terlebih dahulu dari pejabat. Pasal 3 ayat (2): Bagi PNS yang
berkedudukan sebagai penggugat atau PNS yang berkedudukan
sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan
permintaan secara tertulis. Pasal 3 ayat (3): Dalam surat
permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian
untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan
lengkap yang mendasarinya:
 Pasal 4 ayat (1):PNS pria yang akan beristeri lebih dari
seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
Pasal 4 ayat (2): PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi
isteri kedua/ketiga/keempat. Pasal 4 ayat (3) Perrmintaan izin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
Pasal 4 ayat (4): Dalam surat permintaan dimaksud dalam ayat
(3) harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari
permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang.
 Pasal 5 ayat (2): Setiap atasan yang menerima permintaan izin
dariPNS dalam lingkungannya, baik untuk melakukan
perceraian dan atau untuk beristeri lebih dari seorang, wajib
memberikan pertmbangan dan meneruskannya kepada Pejabat
melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-
lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima
permintaan izin dimaksud.
 Pasal 9 ayat (1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk
beristeri lebih dari seorang sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan dengan saksama alasan
alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan
pertimbangan dari atasan PNS yang bersangkutan.
Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud hanya memberi izin kepada
suami yang beristeri lebih dari seorang apabila cukup alasan-alasannya
(lihat pasal 4 ayat (1 dan 2) UU No.1/1974, pasal 41 PP No. 9/1975)
sebagai berikut:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit tidak dapat
disembuhkan dan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Jadi seorang suami yang yang mempunyai isteri masih hidup,
tetapi ternyata tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
misalnya tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik,
mengaturrumah tangga dengan baik, mengurus dan mendidik anak-
anaknya dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dari
maksiat, begitupula jika isteri cacat badannya,misalnya lumpuh, gila,
lepra yang susah disembuhkan, apalagi jika isteri tak mendapatkan
keturunan. Dengan alasan-alasan demikian suami dapat beristeri lebih
dari seorang dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan.
2. Dampak Yang Timbul Dari Tidak Terpenuhinya Hak Istri Yang Sah

Dalam Perkawinan Yang Dipoligami

Perkawinan poligami tanpa izin istri pada hakekatnya merupakan


pelecehan dan penghinaan terhadap martabat kaum perempuan, karena selain
hak-hak perempuan itu terabaikan dan juga tidak ada perempuan yang
bersedia untuk dimadu atau diduakan. Jika ada perempuan yang bersedia
untuk dimadu atau diduakan, maka sebenarnya perempuan itu berada dalam
tekana keterpaksaan. Maka dari itu perkawinan poligami terdapat dampak –
dampak yaitu : 11
1) Dampak Negatif Terhadap Istri Kasus Poligami
a) Ketidakharmonisan hubungan anggota keluarga.
b) Sering timbul permasalahan atau percek-cokan.
c) Tidak adanya rasa saling percaya
d) Tidak adanya kepedulian yang besar dari suami terhadap anak
dan isteri.
e) Kemungkinan dapat menyebabkan perceraian
2) Dampak Negatif Terhadap Istri Kasus poligami
Dampak Negatif Poligami Terhadap Anak Poligami tidak
hanya berdampak negative terhadap kehidupan rumah tangga dan
isteri, namun poligami juga berdampak negative terhadap anak,antara
lain:
a. Anak Merasa Kurang Disayang
b. Kurangnya kasih sayang ayah kepada anaknya
c. Tertanamnya Kebencian Pada Diri Anak.
d. Kekecewaan seorang anak
e. Tumbuhnya Ketidakpercayaan Pada Diri anak.
f. Timbulnya Traumatik Bagi Anak.
11
Lukmam A. Irfan, Nikah, PT Pustaka Insan Madani, Yogyakarta, 2007, hlm. 61-62.
3) Dampak Positif Perkawinan Poligami
Perkawinan poligami juga memiliki dampak positif terhadap
kehidupan, Adapun dampak positif dari perkawinan poligami
adalah :12
a) Mencegah pria merayu perempuan muda lugu hanya karena
ingin bercinta.
b) Langkah terbaik ketimbang berselingkuh.
c) Menciptakan hubungan antar istri dan anak-anak mereka.
d) Menjadikan pria terlibat dalam setiap aspek dari proses
kehamilan istri.
e) Pria menjadi lebih bertanggung jawab.
f) Menjadi jawaban “halal” bagi seorang pria yang memiliki nafsu
seksual tinggi.

D. PENUTUP
1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas, penulis dapat menyimpulkan


bahwa :
1) Bahwapoligami sendiri sudah diatur didalam peraturan perundang-
undangan baik didalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
maupun ompilasi Hukum ISLAM. Menurut Undang-Undang Perkawinan
di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami, apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan untuk melakukan poligami, maka
hukum dan juga agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang
laki-laki beristri lebih dari seorang, yang demikian ini, perkawinannya
12
Iiffah Qanita Nailiya, Poligami, Berkah Ataukah Musibah?, DIVA Press, Jogjakarta, 2016,
hlm. 59-60
hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi berbagai persyaratan yang
telah ditentukan dan diputuskan oleh pengadilan.
2) Dampak yang timbul dari tidak terpenuhinya hak istri yang sah dalam
perkawinan yang dipoligami yaitu adanya tanggung jawab dari seorang
suami yang tidak di penuhi secara lahir dan bathin terhadap istri sahnya
dan melalaikan kewajibannya sebagai seorang ayah tidak memberikan
nafkah, perhatian, kasih sayang kepada anak-anaknya. Dimana dalam
AlQuran surat An-Nisa ayat 129 adalah pria yang melakukan poligami
tersebut harus berlaku adil terhadap istri-istrinya, tidak cenderung
kepada yang kamu cintai sehingga kamu biarkan yang lain
terkatungkatung.
2. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang terdapat dalam penelitian ini,
maka penulis memiliki saran-saran sebagai berikut:
1) Hukum Indonesia satu sisi membolehkan poligami dengan ketentuan
melalui pengadilan sebagai mana pasal 4 ayat 1 UU No 1 tahun 1974
namun pada sisi lain menghalangi poligami dengan mengemukan alasan
yang bertentangan dengan hukum Islam sebagaimana pasal 4 ayat 2
dalam UU tersebut. UU No 1 tahun 1974 harus direvisi dengan
menghapus Pasal 4 ayat 2 UU tersebut sehingga hukum poligami
Indonesia tidak bertentangan dengan hukum Islam yang membolehkan
poligami.
2) Sebaiknya seorang suami yang memilih untuk poligami harus siap baik
lahir maupun bathin dalam memenuhi tanggung jawabnya sebagai
seorang suami yang memiliki istri lebih dari JOM Fakultas Hukum
Volume V Nomor 1, April 2018 Page 15 satu orang. Selin itu seorang
yang ingin poligami juga harus paham mengenai pendalaman agama
islam tentang poligami yaitu bagaimana cara bertingkah laku terhadap
istri-istrinya dan juga sekaligus belajar berlaku adil dan yang utama harus
bertanggung jawab

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU DAN PERATURAN :


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam (Jakarta: ATTAHIRIYAH, 1976), cet. 17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/74 sampai
KHI), (Jakarta: Kencana PrenadaMedia, 2012),
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahroni. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) ed.1, cet.3.
Ali Trigiyanto, “Perempuan dan Poligami di Indonesia”, Jurnal Muwazah,
Vol. 3. No. 1 Juli 2011,
Arso Sosroatmodjo, H.A. Wasit Aulawi., Hukum Perkawinan di Indonesia,
Bulan Bintang, Jakarta, 1975
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasinal (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991)
Lukmam A. Irfan, Nikah, PT Pustaka Insan Madani, Yogyakarta, 2007,
Iiffah Qanita Nailiya, Poligami, Berkah Ataukah Musibah?, DIVA Press,
Jogjakarta, 2016,

JURNAL DAN ARTIKEL ILMIAH:


Muhamad Ilham Miftah Fuzan, “Skripsi : Politik Hukum Poligami”, IAIN
Syekh Nurjati Cirebon, 2021
Nurhasanah, Jurnal ; Kritik Terhadap Hukum Poligami Di Indonesia (telaah
pasal 3,4, dan 5 no. 1 tahun 1974), Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum
UIN Suska Riau
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
www.hukumonline.com

Anda mungkin juga menyukai