Anda di halaman 1dari 19

TUGAS HUKUM KELUARGA DAN HUKUM PERKAWINAN

“PROSEDUR DAN SYARAT PENGAJUAN IZIN PERKAWINAN


POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA”

Oleh:
Arde Nauval Sulistyo 2206133052
Chantiqa Dwi Ayudhia Ch 2206133102
Cindy Valencya T 2206133121
Defrina Choirunnisa 2206133153

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA

PEMBAGIAN TUGAS
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tentu tidak dapat hidup sendiri dan
dibutuhkan kehidupan sosial yang dimana bisa berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia
pada hakikatnya diciptakan untuk saling membantu. Ikatan manusia dalam kehidupan sosial
dapat menjadi ikatan perkawinan. Perkawinan ini dapat dikatakan sebagai salah satu
kebutuhan setiap manusia. Dengan adanya perkawinan, manusia bisa mendapatkan keturunan
untuk meneruskan keluarganya.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.1Manusia merupakan subjek hukum, yang memiliki hak dan
kewajiban, ketika manusia tersebut melakukan ikatan perkawinan maka ini mempengaruhi

status kedudukan hukum seseorang.2 Perkawinan dapat dikategorikan sebagai peristiwa


hukum, yang dimana ketika telah melaksanakan ikatan pernikahan maka status pria menjadi
suami sekaligus kepala keluarga dan status wanita menjadi istri. Di Indonesia, perkawinan
dikatakan sah, yaitu dengan pelaksanaan menurut menurut agama dan kepercayaang masing-
masing.3
Perkawinan merupakan ikrar bagi pria dan wanita untuk siap hidup bersama baik
dalam kondisi senang atau susah. Ikatan perkawinan dikatakan untuk membentuk keluarga
yang kekal yang artinya seorang pria dan seorang wanita ini diharapkan untuk bisa hidup
sebagai pasangan kekal selamanya, tanpa ada perceraian yang terjadi. Bahkan dalam tahap
perceraian pun tetap diupayakan mediasi (perdamaian) dengan tujuan agar pasangan tersebut
dapat mencapai hubungan yang kekal. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1997. Perkawinan harus dilakukan dengan
persetujuan pria dan wanita, artinya perkawinan tidak dapat dilakukan apabila karena
keterpaksaan.
Dalam UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019, syarat bagi pria dan wanita yang
hendak melakukan perkawinan harus berusia 19 tahun. Namun dalam kenyataan di masa
covid-19 banyak terjadi dispensasi perkawinan. Dispensasi perkawinan adalah permohonan

1 Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, selanjutnya disebut UU Perkawinan, Pasal 1
2 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, ed.1, cet.3, (Jakarta: Rizkita,
2015), hlm.12
3 UU Perkawinan, Pasal 2
untuk melaksanakan perkawinan meskipun usia pria/wanita belum mencapai 19 tahun. Selain
itu, dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum tetapi perkawinan ini tetap
mengutamakan kedudukan istri dan suami adalah seimbang.4
Perkawinan di Indonesia menganut prinsip Asas Monogami, artinya seorang suami
hanya diperkenankan mengawini seorang istri saja. 5 Monos berarti satu dan Gomos berarti
Perkawinan. Pemberlakuan prinsip Asas Monogami dalam hukum Indonesia ini ada beberapa
hal dapat dikecualikan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tetap
menganut asas monogami (KUHPer bersifat multak) sedangkan UU Perkawinan bersifat
relatif yang artinya perkawinan poligami dapat dimungkinkan terjadi. Selain Indonesia,
negara lain yang melegalkan poligami adalah Arab Saudi, Mesir, Iran, dsb.6
Dalam perkembangan masyarakat, sudah banyak ditemukan di pengadilan negeri
terkait permohonan izin perkawinan poligami. Poligami berasal dari bahasa Yunani
“Polygamie”. “Poly” berarti laki-laki dan “Gamien” artinya perkawinan sehingga dapat
7
diartikan laki-laki yang memiliki banyak istri atau lebih dari satu. Dalam bahasa Arab,
poligami disebut dengan ta’did al-zawjah (berbilangnya pasangan).8 Sedangkan dalam
Bahasa Indonesia biasa didengar istilah perentu saja hal ini masih menjadi perdebatan hingga
saat ini dikarenakan Indonesia diketahui menganut asas monogami dan memang pasti setiap
orang tidak ada yang mau apabila suaminya memiliki istri lain. Melihat ke sejarah, poligami
ini sudah ada sejak dulu seperti orang-orang Hindu, Bangsa Israel, Persia, Arab, Romawi,
Babilonia, Tunisia, dan lain-lain yang telah melakukan poligami. 9 Poligami yang dilakukan
orang-orang terlebih dahulu dapat dikatakan terlalu bebas dikarenakan belum ada peraturan
yang mengaturnya.
Poligami dalam agama Islam mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, tetapi
hal ini tetap ada batasan, yaitu hanya sampai 4 (empat) wanita. 10 Meskipun dalam
kenyataannya ada yang melewati batasan lebih dari empat istri. Perkawinan poligami dalam

4 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, ed.1, cet.2, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2015), hlm.11
5 Ibid.,
6 Alifia Gita Riani, “5 Negara yang Melegalkan Poligami, Termasuk Indonesia”, 04 Desember 2022, tersedia pada
https://news.okezone.com/read/2022/12/03/18/2719935/5-negara-yang-melegalkan-poligami-termasuk-indonesia diakses pada
16 Maret 2023
7 Reza Fitra Ardhian, Satrio Anugrah dan, Setyawan Bima, “POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA SERTA URGENSI PEMBERIAN IZIN
POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA”, Jurnal Private Law, Vol.III, No.2 (2015), hlm.100

8 Feny Dyah Aprillia dan Vivien Indrawati Setya, “Komparisi Poligami dan Monogami Perspektif Hukum Islam”, IJLIL, Volume 1, Nomor 1 (2019), hlm.133
9 Muhammad Arif Mostufa, “Poligami dalam Hukum Agama dan Negara”, AL-IMARAH: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol.2, No.1 (2017), hlm.54
10 Ibid., hlm.48
agama Islam memang tidak dilarang dan tidak pula diperintahkan, akan tetapi poligami bagi
orang-orang tertentu saja yang bisa memenuhi persyaratan yang ada. 11 Mengutip pendapat
M.Quraish Shihab (Pakar Tafsir Kontemporer Indonesia) bahwa poligami hanya pintu kecil
yang tidak semua orang bisa lewati, hanya orang yang sangat membutuhkannya dan tentunya
syarat yang harus dilalui pun tidak mudah.12 Poligami dapat dikatakan sebagai kondisi darurat
dikarenakan adanya alasan logis yang secara normatif dapat diterima.13
Dalam UU Perkawinan khususnya pada Pasal 3 Ayat 2 dikatakan “Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan”14, pasal ini diartikan pemberian izin perkawinan
poligami dapat dilakukan apabila pihak yang bersangkutan (salah satunya istri) memberi
persetujuan. Hal tersebut termasuk sebagai syarat kumulatif. Syarat-syarat lain yang harus
dipenuhi bagi pria yang hendak melakukan perkawinan poligami adalah istri tidak dapat
menjalani kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan atau istri tidak dapat melahirkan keturunan. 15 Syarat yang dimaksud
sebelumnya merupakan syarat alternatif.
Pada permohonan izin poligami terdapat syarat lain lagi, yaitu pria yang hendak
poligami harus memberikan kepastian kepada istri pertama dan anak-anaknya bahwa sanggup
menafkahi dan tetap berlaku adil apabila telah melakukan perkawinan poligami. 16 Menurut
Hukum Islam, poligami menjadi suatu proses kepemimpinan laki-laki dalam rumah
tangganya, apabila dia tidak bisa bersikap adil dalam rumah tangga, maka terlebih lagi tidak
mungkin dalam melaksanakan keadilan sebagai seorang pemimpin bagi masyarakat. Apabila
suami sewenang-wenang kepada istri-istrinya sebagai pemimpin, maka terlebih lagi dapat
memungkinkan membuat kezaliman kepada rakyatnya. 17 Pada Peraturan Nomor 9 Tahun
1975, ditetapkan juga syarat-syarat yang harus dilampirkan sebagai bukti untuk memenuhi
syarat alternatif.

11 Annisa, Teuku Yudi Afrizal, dan T. Saifullah, “Kajian Yuridis terhadap Perkawinan Poligami yang Tidak Tercatat (Studi Penelitian di Desa
Kota Panton Labu Kecamatan Tanah Jambo Aye Kabupaten Aceh Utara)”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa FH, Volume IV, Nomor 2 (2021), hlm. 221
12 Ibid.,hlm.50
13 Feny Dyah April, “Komparisi Poligami dan….”, hlm.141
14 UU Perkawinan Pasal 3 Ayat 2
15 Wahyono, Hukum Perkawinan dan…., hlm.40
16 Abdul Edo Munawar, “Aturan Poligami: Alasan, Tujuan, dan Tingkat Ketercapaian Tujuan”, Jurnal Tahkim, Vol. XVII, No.1 (2021), hlm.35
17 Feny Dyah April, “Komparisi Poligami dan….”, hlm.134-135
Seorang pria yang hendak melakukan perkawinan poligami harus mengajukan
permohonan ke Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya. Pengajuan poligami tidak
akan langsung diterima oleh Pengadilan Agama, tetapi pihak pengadilan akan memproses
dengan mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan pemohon dan kondisi lain
seperti kondisi istri pemohon. Pengajuan permohonan poligami tidak akan berlangsung cepat
tepai akan memakan waktu yang cukup lama karena poligami ini harus dipertimbangkan
segala syarat dengan sebaik mungkin karena poligami ini memiliki dampak yang cukup besar
nantinya apabila dilaksanakan baik bagi pria, istri pertama, calon istri kedua, atau pun anak-
anak pria tersebut. Dalam beberapa kasus juga, salah satunya Putusan Nomor
737/Pdt.G/2021/PA.Kab.Mlg, hakim Pengadilan Agama menolak permohonan izin poligami.
Dengan demikian, pada makalah ini akan memberikan pengetahuan bagi pembaca terkait
penetapan pengadilan agama dalam menerima atau menolak permohonan izin poligami.

B. POKOK PERMASALAHAN
Isu poligami di Indonesia sering menjadi pro kontra bagi setiap orang. Berikut tim penulis
telah merumuskan pokok permasalahan yang kami bahas, diantaranya:
1. Bagaimanakah prosedur dan syarat pengajuan izin perkawinan poligami di
Pengadilan Agama?
2. Bagaimana perbandingan terhadap pertimbangan hukum hakim dalam
perizinan poligami pada Putusan Nomor 1426/Pdt.G/2021/PA.Btl dan Putusan
Nomor 737/Pdt.G/2021/PA.Kab.Mlg?

C. TUJUAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana prosedur dan syarat pengajuan izin perkawinan
poligami di pengadilan negeri di Indonesia
2. Untuk mengetahui perbandingan pertimbangan hukum hakim dalam perizinan
poligami pada Putusan Nomor 1426/Pdt.G/2021/PA.Btl dan Putusan Nomor
737/Pdt.G/2021/PA.Kab.Mlg

D. METODE PENELITIAN
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang pada hakikatnya
menganalisis hukum yang berlaku sebagai norma atau kaidah dalam masyarakat dan menjadi
pedoman berperilaku setiap orang.18 Penelitian hukum normatif sering disebut sebagai
penelitian hukum doktrinal dikarenakan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data
yang bersifat sekunder.19
2. Jenis Data
Data yang digunakan adalah data kualitatif, yaitu dengan melakukan interpretasi terhadap
bahan-bahan hukum yang telah diolah. Data kualitatif adalah data yang memberikan
gambaran/deskripsi dengan kata-kata bukan dengan angka sehingga data kualitatif lebih
mengutamakan kualitas dari data yang digunakan.20
3. Jenis Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer terdiri atas peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan negeri, antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU Nomor 1
Tahun 1974
3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974
4) Kompilasi Hukum Islam
5) Putusan Nomor 1426/Pdt.G/2021/PA.Btl
6) Putusan Nomor 737/Pdt.G/2021/PA.Kab.Mlg

b. Bahan Hukum Sekunder, antara lain buku hukum, jurnal hukum, hasil penelitian
hukum,
c. Bahan Non-hukum, antara lain seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berita
online, dan situs daring yang berkaitan dengan perkawinan poligami di Indonesia

4. Alat Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (bibliography study). Studi Pustaka adalah
pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan
penelitian hukum normatif.21

18 Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, ed.1, cet.1, (Bandung: CV. ALFABETA, 2017), hlm.66
19 Ibid., hlm.27
20 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan DIsertasi, ed.1, cet.1, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2019), hlm.21
21 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, ed.1, cet.1, (NTB: Mataram University Press,2020), hlm.39
5. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan non-hukum. Bahan hukum yang telah diperoleh, diolah, dan dianalisis secara
kualitatif kemudian diuraikan secara deskriptif dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun,
dan efektif.

6. Bentuk Hasil Penelitian


Bentuk hasil penelitian ini adalah makalah. Makalah ini terdiri dari pendahuluan,
pembahasan, dan penutup. Dalam penutup terdapat kesimpulan dan saran yang dapat
pembaca baca untuk mengetahui hasil penelitian kami secara singkat.

BAB II

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang Wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). 22 Prinsip perkawinan
yang tertuang di dalam UU Perkawinan adalah monogami. Asas monogami yang ditegaskan
di dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu di dalam asasnya yang berbunyi dalam
sebuah perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan Wanita hanya
22 UU Perkawinan, Pasal 1
boleh memiliki seorang suami. Namun, di dalam UU Perkawinan asas monogami tersebut
dapat pengecualian, yang memungkinkan untuk seorang suami memiliki lebih dari satu orang
istri. Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Poligami juga diatur khusus untuk yang beragama islam, dasar hukumnya diatur di
dalam Pasal 56 ayat (1) KHI yang berbunyi, suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang
harus mendapat izin dari pengadilan Agama.23

Sebagaimana poligami diatur di dalam UU Perkawinan dan KHI, peraturan


pemerintah juga memberikan ketentuan pengaturan tentang pelaksanaan pemberian izin
berpoligami. Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 disebutkan bahwa “apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang
berupa izin untuk beristiri lebih dari seorang.”

Berdasarkan dasar hukum poligami yang diatas, poligami pada dasarnya dapat
dilakukan di Indonesia. Sepanjang poligami tersebut dilakukan sesuai hukum poligami yang
ada di Indonesia, terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan di dalam perundang-undangan
dan mendapatkan izin dari pengadilan.Poligami dapat dilaksanakan apabila terpenuhinya
syarat-syarat poligami. Agar dapat melakukan poligami secara sah menurut hukum Indonesia,
maka harus terpenuhinya syarat-syarat poligami yang tertuang di dalam Pasal 4 dan 5 UU
Perkawinan.

Adapun syarat-syarat yang tertuang dalam Pasal 4 UU Perkawinan hanya memberikan


izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Seorang suami juga harus memenuhi persyaratan khusus, persyaratan tersebut dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan, persyaratan tersebut diantaranya
adalah:

23 Kompilasi Hukum Islam, selanjutnya disebut KHI, Pasal 56 ayat (1)


a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak
anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.

Selanjutnya dijelaskan bahwa istri/istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuan dan


tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya salaam
dua tahun atau lebih, atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat pertimbangan dari
hakim pengadilan, persetujuan dari istri/istri-isri tidak tersebut tidak diperlukan. 24

Syarat poligami bagi yang beragama islam, secara gais besar hukum poligami
menurut hukum islam dengan UU Perkawinan tidak jauh berbeda. Namun, dalam KHI ada
syarat poligami lainnya yang harus di perhatikan yaitu:

1. Suami hanya boleh beristri terbatas sampai 4 istri pada dalam waktu bersamaan.

2. Suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya. Jika tidak
mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

3. Suami harus memperoleh persetujuan istri dan adanya kepastian suami mampu
menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Persetujuan ini dapat
diberikan secara tertulis atau lisan.

4. Harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Jika nekat dilakukan tanpa izin dari
Pengadilan Agama, perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika istri tidak
mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin diajukan atas dasar alasan yang sah
menurut hukum, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa
dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama. Atas
penetapan ini, istri/suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Alasan yang sah yang
dimaksud adalah jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.25

24 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, ed.1, cet.3, (Jakarta: Rizkita,
2015), hlm.41

25 Erizka Permatasari, “Hukum Poligami dan Prosedurnya yang sah di Indonesia,” hukumonline.com, 5 Januari 2022,
tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-poligami-dan-prosedurnya-yang-sah-di-indonesia-lt5136cbfaaeef9 ,
Ketentuan yang termuat dalam Kompilasi hukum Islam tersebut pada hakekatnya
adalah hukum Islam, tujuannya Kompilasi Hukum Islam adalah unifikasi hukum Islam yang
diberlakukan bagi umat Islam menurut kondisi dan kebutuhan hukum masyarakat Islam
Indonesia.

B. TEORI TEORI POLIGAMI


1. Poligami dalam perspektif historis

Menurut Bahasa, poligami berasal dari Bahasa Yunani “pollus” memiliiki arti banyak,
sedangkan kata “gamos” itu artinya perkawinan. Poligami dapat diartikan sebagai suata
pernikahan yang banyak atau lebih dari satu orang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
poligami didefinisikan sebagai tradisi seorang pria beristri lebih dari seorang, dan poliandri
didefinisikan sebagai tradisi seorang wanita bersuami lebih dari seorang.26

Perkawinan poligami merupakan sebuah peristiwa perkawinan yang dari dulu sudah ada
terjadi di dunia ini. Banyak yang mengira bahwa praktik poligami dimulai oleh islam.
Padahal praktik poligami telah dilakukan oleh raja-raja atau bangsa-bangsa di benua eropa
seperti di Yunani, Romawi dan Yahudi yang dilakukan secara teratur atau terbatas. Bangsa-
bangsa yang hidup di zaman purba seperti Yunani, China, India, mesir dan babylonia telah
melakukan praktik poligami. Pada saat itu praktik poligami dilakukan tanpa aturan sehingga
mencapai ratusan istri dalam satu waktu tanpa adanya cerai dan kematian.

Masyarakat Yahudi Timur Tengah jugak melakukan praktik poligami. Menurut


pemahaman mereka bahwa di dalam kitab tidak ada aturan larangan yang ditemukan secara
tegas untuk membatasi suami menikahi lebih dari seorang istri.27

Di dalam kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq dinyatakan, bahwa poligami hanya
bisa dipraktekkan oleh bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya, dan sulit sekali
bahkan tidak ada sama sekali praktek poligami yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang
masih primitif. Karena bangsa yang telah maju kebudayaannya memiliki ciri kratif,
menginginkan suasana baru, sifat rekreatif yang tinggi, mudah bosan, dan selalu
menginginkan hal-hal yang baru.28

diakses pada tanggal 22 Maret 2023.


26 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hlm. 600.

27 Ach. Faisol, “POLIGAMI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF (UPAYA MEMAHAMI POLARISASI PRO-KONTRA
POLIGAMI- MONOGAMI),” Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah, Vol.2 No. 1 (2020), hlm. 22
28 Ibid., hlm. 23
Praktik Poligami sanggup dilakukan oleh bangsa-bangsa yang peradaban
kebudayaannya telah maju dan ketidaksanggupan berpoligami oleh bangsa yang masih
primitif ini diamini oleh para pakar sosiologi dan kebudayaan seperti Westermark, Hobbers,
Heler, dan Jean Bourge.

Berburu dan bertani adalah ciri utama masyarakat agraris yang lebih suka ketenangan,
ajeg, dan kerukunan. Sehingga wajar jika masyarakat yang memiliki ciri-ciri tersebut, dalam
praktek pernikahan monogami lebih cocok daripada praktek pernikahan poligami.29

2. Poligami dalam Hukum Islam

Asas perkawinan di dalam Islam ialah asas monogami, namun poligami tidak dilarang
di dalam Islam. Turunnya ayat poligami dalam al-Quran, lebih didasarkan pada konteks
sosial demi memastikan keadilan dalam perkawinan, dan untuk melestarikan tujuan
perkawinan. Hukum Islam memperbolehkan adanya poligami yang telah dijelaskan Allah
SWT dalam Al-Qu‟an surat An-Nisaa (4): 3 yang memperbolehkan seorang suami menikah
dengan empat orang istri dengan syarat utama si suami dapat berlaku adil terhadap istri-
istrinya. Adil dalam hal pemberian nafkah baik lahir maupun batin, perlindungan, kasih
sayang, dan perhatian yang diberikan tanpa pilih kasih. Rasulullah SAW memberikan contoh
dalam berpoligami dengan alasan kemaslahatan umat. Karena yang dinikahinya pada masa
itu adalah janda-janda yang ditinggal mati suaminya saat berperang dan bukan untuk
memuaskan hawa nafsu saja.

Dalam teori hukum Islam, poligami bukan wajib dan bukan sunnah, tetapi Islam
memperbolehkan dilakukan oleh seorang lelaki dengan tujuan untuk mengelakkan terjadinya
perzinaan. Menurut Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin (2000), dalam Fiqh Mazhab Syafi’e
seseorang hanya diberi hak untuk menikahi oleh seorang istri saja, jika istri tidak mampu
untuk melayani suami sepenuhnya karena lemah dan sebagainya, barulah kemudian suami
diberi kesempatan untuk beristri lebih dari seorang.

Poligami boleh dilakukan selama tidak dikhawtirkan terjadinya penganiayaan


terhadap para istri. Selama tidak yakin pada hal tersebut, dianjurkan seorang suami untuk
tidak melakukan praktik berpoligami, karena dikhawatirkan terjadinya ketidakadilan dan
terjadinya penganiayaan terhadap istri-istrinya.30
29 Sayyid Sabiq, Fiqh us-Sunnah Hajj and Umrah, (Indianapolis: International Islamic Publishing House, 2006), hlm. 7.
30 Farrah Wahida Mustafar, “Konsep Poligami Mengikuti Perspektif Para Isteri Dalam Jemaah Global Ikhwan SDN. BHD,”
Jurnal Maw’izah, Vol. 1, (2018), hlm. 70
Perkawinan dalam Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan, ketenangan jasmani
dan rohani, menjaga keturunan dan berbagai tujuan yang lain. Oleh karena itu, jika
seandainya perkawinan yang dilaksanakan tidak mampu mencapai tujuan ini, malahan
kemudian mendatangkan keburukan yang lebih parah, ialah bertentangan dengan prinsip
Islam.
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Buku
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia. ed.1. cet.3. Jakarta: Rizkita, 2015.

HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi. ed.1. cet.3. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2013.

Ishaq. Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi. ed.1. cet.1. Bandung: CV.
ALFABETA, 2017.

Muhaimin. Metode Penelitian Hukum. ed.1. cet.1. NTB: Mataram University Press,2020.

Munir Fuady. Konsep Hukum Perdata. ed.1. cet.2. Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2015.

Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2006

Sabiq, Sayyid. Fiqh us-Sunnah Hajj and Umrah. Indianapolis: International Islamic
Publishing House, 2006
Jurnal
Afrizal, Annisa Teuku Yudi dan T. Saifullah. “Kajian Yuridis terhadap Perkawinan Poligami
yang Tidak Tercatat (Studi Penelitian di Desa Kota Panton Labu Kecamatan Tanah Jambo
Aye Kabupaten Aceh Utara)”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa FH, Volume IV, Nomor 2 (2021).

Munawar, Abdul Edo. “Aturan Poligami: Alasan, Tujuan, dan Tingkat Ketercapaian Tujuan”.
Jurnal Tahkim. Vol.XVII. No.1 (2021).

Ardhian, Reza Fitra, Satrio Anugrah, dan Setyawan Bima. “POLIGAMI DALAM HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA SERTA URGENSI PEMBERIAN IZIN
POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA”. Jurnal Privat Law. Vol.III. No.2 (2020).

Aprillia, Feny Dyah dan Vivien Indrawati Setya. “Komparisi Poligami dan Monogami
Perspektif Hukum Islam”. IJLIL. Volume 1. Nomor 1 (2019).

Mostufa, Muhammad Arif. “Poligami dalam Hukum Agama dan Negara”. AL-IMARAH:
Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam. Vol.2. No.1 (2017)
Faisol, Ach. “POLIGAMI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF (UPAYA MEMAHAMI
POLARISASI PRO-KONTRA POLIGAMI- MONOGAMI),” Jurnal Ilmiah Ahwal
Syakhshiyyah, Vol.2 No. 1 (2020). Hlm. 22-23.

Wahida Mustafar, Farrah “Konsep Poligami Mengikuti Perspektif Para Isteri Dalam Jemaah
Global Ikhwan SDN. BHD,” Jurnal Maw’izah, Vol. 1, (2018), hlm. 70

Bahan Berita
Alifia Gita Riani. “5 Negara yang Melegalkan Poligami, Termasuk Indonesia”. 04 Desember
2022. Tersedia pada https://news.okezone.com/read/2022/12/03/18/2719935/5-negara-yang-
melegalkan-poligami-termasuk-indonesia diakses pada 16 Maret 2023.

Permatasari,Erizka. “Hukum Poligami dan Prosedurnya yang sah di Indonesia,”


hukumonline.com, 5 Januari 2022, tersedia pada
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-poligami-dan-prosedurnya-yang-sah-di-
indonesia-lt5136cbfaaeef9 , diakses pada tanggal 22 Maret 2023.
LAMPIRAN
(PUTUSANNYA)

Anda mungkin juga menyukai