Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341446368

Batas Usia Perkawinan Ditinjau Dari UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Article · May 2020

CITATIONS READS
0 22

5 authors, including:

Dian Afrilia
Universitas Sriwijaya
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Dian Afrilia on 19 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Batas Usia Perkawinan Ditinjau Dari UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(Studi Kasus Perkawinan Anak di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan)

OLEH :
Dian Afrilia, SH.,MH
Antonius Suhadi.,S.H.,M.Hum
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya)
ABSTRAK

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita. Untuk
dapat melangsungkan perkawinan haruslah memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat
perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 sampai dengan
Pasal 11. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa batas usia perkawinan untuk
laki-laki adalah 19 tahun sedangkan untuk wanita berusia 16 tahun. Pembatasan usia
perkawinan bertujuan agar pihak-pihak baik laki-laki maupun perempuan telah siap baik secara
fisik maupun mental untuk membina suatu rumah tangga.
Namun, saat ini di Indonesia sedang maraknya kasus perkawinan anak. Ada berbagai faktor
yang dapat dijadikan alasan untuk melaksanakan perkawinan anak, misalnya faktor ekonomi,
faktor keluarga (perjodohan oleh orangtua) untuk menghindari perzinahan, married by accident
ataupun karena adanya adat istiadat suatu daerah tertentu.
Pada dasarnya, pemerintah telah berupaya untuk mencegah agar tidak terjadi perkawinan anak.
Karena perkawinan anak dapat menimbulkan dampak negative khususnya untuk kelangsungan
dalam berumah tangga. Untuk itu, diharapkan semua pihak, bukan hanya dari pemerintah,
namun dari kalangan akademis, instansi yang berwenang (misalnya KPAI) dapat memberikan
penjelasan kepada masyarakat mengenai batas usia perkawinan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia.

Kata Kunci: Perkawinan, Batas usia perkawinan, Perkawinan anak


A. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pendefinisian perkawinan merupakan sebuah kontrak sosial yang diakui
oleh negara, otoritas keagamaan, atau keduanya. Dalam konteks Indonesia,
perkawinan diatur oleh negara melalui Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974. Manusia mempunyai sifat zoon politicon yang artinya mereka selalu hidup
berkelompok dalam suatu masyarakat. Sudah menjadi kodrat alam (Sunnatullah)
dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, yaitu seorang laki-laki dan
seorang perempuan mempunyai ketertarikan satu sama lainnya untuk hidup
bersama.1 Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih
mengasihi antara kedua belah pihak suami dan istri.

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,


pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga)
yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari bunyi pasal 1 tersebut
ada beberapa unsur yang dapat diketahui yang pertama, perkawinan merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita. Itu berarti, di
Indonesia, perkawinan sesama jenis tidak diperbolehkan (dilarang) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Yang kedua, pada dasarnya orang
melakukan perkawinan adalah bertujuan untuk membentuk keluarga yang
berbahagia dan kekal atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut
sangatlah jelas, sesuai dengan salah satu asas dalam hukum perkawinan yakni
mempersulit terjadinya perceraian.

Ada beberapa pengertian perkawinan dari beberapa ahli, diantaranya


menurut Sudarsono, perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara
laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan

1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung :Sumur Bandung, 1981, hlm 7
dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih
saying, kebijakan dan saling menyantuni.2 Menurut K.Wantjik Saleh, perkawinan
adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan material, yakni
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.3

JIka dari segi hukum adat, maka perkawinan dianggap bukan hanya sebagai
perikatan perdata saja akan tetapi perkawinan juga merupakan perikatan adat dan
sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Menurut hukum adat
di Indonesia, perkawinan dapat berbentuk dan bersistem :4

a). Perkawinan Jujur

Pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan


membayar “jujur” dan setelah perkawinan istri mengikuti tempat kedudukan dan
kediaman suami. Sistem kekerabatan dikenal dengan sebutan patrilineal. Contoh
perkawinan adat Batak, Nias, Lampung.

b). Perkawinan Semenda

Pelamaran dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki dengan


membayar uang jujur dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat
kedudukan dan kediaman istri dan bertanggung jawab meneruskan keturunan
wanita di pihak istri serta melepaskan hak dan kedudukannya dipihak kerabatnya
sendiri, adakalanya walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak pria
harus memenuhi permintaan uang atau barang dari pihak wanita. System
kekerabatannya disebut matrilineal. Contoh : Perkawinan adat Minangkabau,
Semendo (Sumatera Selatan).

2
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta; Jakarta, 1991 hl 36
3
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1982, hlm 15
4
Prof. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, HUkum
Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju: Bandung, 2003, hlm. 8
c). Perkawinan Bebas

Pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki dan setelah perkawinan kedua


suami-istri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka menurut
kehendak mereka. Sistem kekerabatannya disebut bilateral. Contoh perkawinan
adat Jawa.

Selain tujuan perkawinan, di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang


perkawinan, juga diatur tentang syarat-syarat perkawinan. Untuk melangsungkan

suatu perkawinan, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua calon

mempelai. Syarat adalah hal hal yang melekat pada masing masing unsur yang

menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. Akibat tidak

terpenuhinya syarat adalah tidak dengan sendirinya membatalkan perbuatan hukum

atau peristiwa hukum, namun perbuatan atau peristiwa hukum tersebut “dapat

dibatalkan”.5 Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa syarat-syarat

perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai pasal 11.

Pasal 6 menyatakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan diperlukan


persetujuan kedua calon mempelai. Jika salah satu pihak tidak menyetujui untuk
melangsungkan perkawinan maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan.
Selain persetujuan, perkawinan juga harus memenuhi syarat yakni batas usia
perkawinan. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.
Sesuai dengan syarat-syarat perkawinan Pasal 7 ayat 1. Didalam KUHPER, batas
usia minimum perkawinan diatur dalam Pasal 29 yang mengatur tentang batas usia
untuk wanita 15 tahun sedangkan untuk pria 18 tahun. Perbedaan batas usia
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dengan batas usia perkawinan menurut
KUHPER hanya berbeda atau selisih 1 (satu) tahun. Namun, karena UU No. 1

5
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, Cet Ke I, Jakarta: Sinar
Grafika,2010,hlm. 92.
Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan lex specialist dari KUHPER maka
aturan yang digunakan adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Saat ini, di beberapa daerah di Indonesia sedang maraknya perkawinan
anak. Dengan berbagai macam alasan baik dari faktor ekonomi, faktor keluarga
(orangtua) dll. Orangtua yang masih menjodohkan anak untuk melangsungkan
perkawinan meskipun si anak belum dewasa dapat ditemui dibeberapa daerah di
Indonesia. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan daerah setempat.
Selain itu, ada beberapa alasan perkawinan anak. Dalam beberapa kasus yang
terjadi di Indonesia, terjadinya perkawinan anak di Kalimantan Selatan, mereka
melangsungkan perkawinan dengan alasan calon mempelai wanita yang masih
berstatus seorang pelajar Sekolah Dasar takut tidur sendiri dikarenakan ibu si anak
tersebut baru saja meninggal dunia sedangkan si ayah sering pergi ke luar kota.
Dengan alasan tersebut, jika dilihat secara ilmiah maka hal tersebut tidak bisa
dijadikan alasan untuk melangsungkan perkawinan. Karena untuk melangsungkan
perkawinan haruslah matang jiwa dan raganya. Berdasarkan pertimbangan medis,
ada kalanya perkawinan anak tidak sehat, baik ditinjau dari segi fisik maupun
mental yang bersangkutan dan tidak sedikit pula perkawinan anak sering
mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga.
Masyarakat Sumatera Selatan khususnya daerah Kabupaten Musi
Banyuasin dikagetkan dengan adanya perkawinan anak yang masih berstatus
pelajar. Pernikahan anak di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan
(Sumsel), viral di media sosial. Pasangan suami-istri yang baru berusia 14 tahun
tersebut kini terancam putus sekolah. Mempelai laki-laki, Regi (14) ini masih
berstatus murid kelas 2 SMP. Sedangkan mempelai perempuan, Bunga (14), hanya
mengenyam pendidikan hingga tamat sekolah SD saja. Keduanya melangsungkan
pernikahan di Desa Ngulak, Kecamatan Sanga Desa, pada Kamis (11/7/2019)
malam.6 Dikarenakan banyaknya kasus-kasus perkawinan anak di Indonesia, maka

6
https://www.inews.id/daerah/sumsel/pernikahan-anak-di-musi-banyuasin-viral-keduanya-putus-
sekolah/594341, diakses tgl 20 juli 2019
penulis tertarik untuk menulis penelitian yang berjudul : ”BATAS USIA
PERKAWINAN DITINJAU DARI UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN (STUDI KASUS TENTANG PERKAWINAN ANAK DI
MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN)”.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :

1. Bagaimana implikasi perkawinan anak menurut UU No. 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan ?
2. Bagaimana perkawinan anak (perkawinan anak usia dini) menurut hukum
adat di daerah Sumatera Selatan khususnya Desa Ngulak, Sanga Desa Musi
Banyuasin?

B. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Implikasi perkawinan anak menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Perkawinan anak dibawah umur saat ini sangatlah marak terjadi di beberapa

wilayah Indonesia. Berdasarkan hasil survei BPS bersama UNICEF Indonesia, ada

beberapa wilayah di Indonesia yang merupakan kantong perkawinan anak dibawah

umur. Beberapa daerah yang sering terjadi perkawinan anak dibawah umur antara

lain Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Papua, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah.

Jika dikaitkan dengan kasus di atas, kasus perkawinan anak terjadi di Sulawesi

Selatan. Di Sulawesi memang masih banyak wilayah dengan angka perkawinan

anak di bawah umur yang tinggi.


Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak

dibawah umur,yakni :

1. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi merupakan factor yang paling banyak dijadikan alasan

oleh orang tua untuk menikahkan anak dibawah umur. Orang tua dari

keluarga miskin beranggapan bahwa jika menikahkan anaknya,

meskipun anak yang masih dibawah umur maka akan mengurangi beban

ekonomi keluarga mereka. Hal tersebut dijadikan alasan para orang tua

tanpa berpikir panjang akan dampak positif ataupun negative dari

perkawinan anak dibawah umur tersebut.

2. Faktor pendidikan

Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di beberapa wilayah terpencil

atau daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan memiliki tingkat

pendidikan rendah. Anak-anak mereka ada yang hanya tamat Sekolah

Dasar atau Tamat Sekolah Menengah Pertama kemudian mereka

nikahkan. Orangtua tersebut tidak mengetahui bahwa usia anak-anak

yang duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) ataupun Sekolah Menengah

Pertama (SMP) merupakan anak dalam usia wajib belajar. Berdasarkan

UU Sisdiknas, orangtua berkewajiban untuk memberikan pendidikan

kepada anak-anaknya.

3. Faktor Media Massa dan Internet

Faktor ini merupakan factor yang saat ini sedang marak di kalangan

masyarakat. Anak-anak dapat dengan mudah untuk mendapatkan


informasi dari berbagai media massa dan internet. Tanpa pengawasan

dari orang tua maka si anak dapat melihat atau membuka situs-situs

yang seharusnya belum diperbolehkan untuk anak-anak.

4. Faktor Biologis

Biasanya factor biologis juga dapat dipengaruhi oleh media massa yang

menampilkan gambar-gambar atau video tanpa sensor.

5. Faktor hamil di luar nikah

Kurangnya pengawasan dari orang tua dapat menyebabkan anak-anak

melakukan pergaulan bebas. Tanpa mereka sadari, mereka melakukan

hal-hal yang dilarang sehingga mengakibatkan pihak perempuan hamil

sebelum menikah. Dan dengan alasan tersebut untuk menutupi aib,

maka meskipun si anak masih berusia dibawah umur maka perkawinan

tetap dilangsungkan.

6. Faktor adat

Di dalam hukum adat, tidak ada pengaturan mengenai batas usia

perkawinan. Maka ada beberapa daerah di Indonesia yang mempunyai

adat masing-masing. Oleh karena itu, diperbolehkan anak-anak yang

masih di bawah umur meskipun dalam hal ini keduanya baru bisa hidup

bersama sebagai suami istri setelah menjadi baligh atau dewasa.

Dari ke enam faktor di atas maka, dapat diketahui perkawinan anak dibawah

umur dapat disebabkan beberapa factor. Faktor-faktor tersebut bukan hanya

disebabkan oleh anak-anak sebagai subjek perkawinan anak dibawah umur, akan

tetapi juga bisa disebabkan dari pihak orangtua dari anak-anak tersebut. Orang tua
tidak mengetahui atau belum menyadari bahwa perkawinan yang dilakukan oleh

anak dibawah umur dapat menimbulkan banyak dampak negative.

Dalam UU Perkawinan yang ada di Indonesia sebenarnya tidak mengenal

adanya perkawinan anak atau pernikahan dewasa. Karena berdasarkan Pasal 7 ayat

1 UU Perkawinan, UU Perkawinan memberi batasan minimal usia ideal bagi warga

negara untuk menikah, yakni, laki-laki berumur 19 tahun dan untuk perempuan 16

tahun untuk menikah.

Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur minimum untuk menikah
yaitu 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk
perempuan seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UUP, maka dapat
mengajukan Permohonan Dispensasi Nikah sesuai yang diatur dalam Pasal 7 ayat
(2) yang bunyinya “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
Permohonan Dispensasi nikah dapat menimbulkan beberapa akibat hukum
apabila Permohonan dispensasi nikah tersebut dikabulkan oleh pengadilan, yaitu
anak dibawah umur yang mendapatkan dispensasi nikah tersebut boleh
melaksanakan pernikahan walaupun orang tersebut masih dibawah umur atau masih
dibawah batas umur minimum untuk dapat melaksanakan perkawinan seperti yang
telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Anak dibawah umur yang
mendapatkan dispensasi nikah setelah melaksanakan perkawinan, maka dianggap
dewasa dan dianggap cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum atau tidak
dibawah pengampuan orang tuanya lagi.
Tahun 2017 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang berkaitan

dengan batas usia perkawinan. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

22/PUU-XV/2017 ternyata memiliki masalah yang berkaitan dengan tujuan hukum

atau asas-asas yang berkaitan dengan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Mengenai amar putusan yang di tetapkan oleh Mahkamah Konstitusi perihal

tentang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945. Adapun bunyinya sebagai berikut: 1.Mengabulkan permohonan para

Pemohon sebagian; 2. Menyatakan pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “usia 16 (enam

belas) tahun” Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat; 3.Menyatakan ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perubahan sesuai dengan tenggang

waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini; 4.Memerintahkan

kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)

tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019), khususnya

berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan;


5.Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya; 6.Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan

selebihnya. Ditinjau dari segi bunyi amar putusan nomor 2 (dua), Mahkamah

Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 bertentangan

dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi amar selanjutnya menyatakan bahwa

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 masih tetap berlaku sebelum diadakannya

perubahan sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan dalam putusan ini.

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan batas minimal 3 (tiga) tahun

melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 khususnya

berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.7

Di sisi lain, ada sejumlah regulasi yang mendefenisikan anak dengan

batasan usia di bawah 18 tahun. UU Perlindungan Anak, UU Kesehatan, dan UU

Pendidikan Nasional, semua mendefinisikan anak dalam pengertian tersebut.

Dengan demikian, peristiwa menikah di bawah 18 tahun disebut sebagai

perkawinan anak.

Sejak Konvensi Hak Anak PBB diratifikasi melalui keputusan Presiden

Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia terikat secara moral, politis dan yuridis untuk

menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Hal ini dipertegas melalui

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mengatur

7
Maya, Maya (2019) Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 Tentang
Batas Usia Perkawinan. Skripsi, Syariah. https://idr.uin-antasari.ac.id/12450/4/BAB%20III.pdf,
diakses tanggal 20 November 2019
kewajiban dan tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, orang tua dan

keluarga terhadap hak-hak anak.

Didalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak

Pasal 1 dijelaskan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 termasuk

anak yang masih dalam kandungan”. Artinya jika perkawinan anak dilakukan

dibawah usia 18 tahun maka perkawinan tersebut dianggap melanggar UU

Perlindungan Anak. Selain itu, pada Pasal 26 ayat (1) butir c Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak telah mengamanatkan kewajiban

dan tanggung jawab bagi keluarga dan orangtua untuk mecegah terjadinya

perkawinan pada usia anak-anak. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat tumbuh dan

berkembang sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. Orangtua yang

mengizinkan anaknya menikah pada usia dini melanggar Pasal 23 UU Perlindungan

Anak. Namun, pada kenyataannya banyak orang tua yang menyetujui perkawinan

anak dibawah umur dan perkawinan anak-anak masih saja sering terjadi

dimasyarakat.

Selain UU Perlindungan anak, Undang-undang Sisdiknas Pasal 7 ayat 2

menyebutkan bahwa, orangtua dan anak usia wajib belajar berkewajiban

memberikan pendidikan dasar. Oleh karena itu, setiap anak minimal menyelesaikan

setingkat SMP. Karena usia wajib belajar adalah 9 (Sembilan) tahun.Orang tua

mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

Pasal 70 didalam UU Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa anak dapat

melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau


pelatihan. Usianya pun minimal Empat Belas Tahun. Jika perkawinan anak

dilakukan pada dibawah usia 14 tahun maka si anak tidak dapat mencari pekerjaan

karena jika si anak bekerja, maka itu berarti melanggar UU Ketenagakerjaan.

Namun, disisi lain, jika si anak tidak bekerja, maka ia tidak dapat memberikan

nafkah kepada istri dan anaknya, kecuali jika setelah menikah mereka masih tinggal

bersama dari orang tua si anak.

2. Perkawinan anak (perkawinan anak usia dini) menurut hukum adat di

daerah Sumatera Selatan khususnya Desa Ngulak, Sanga Desa Musi

Banyuasin

Di salah satu kecamatan Desa di Musi Banyuasin yakni Sanga Desa, telah

terjadi perkawinan anak dibawah umur. Berdasarkan hasil wawancara yang

diperoleh dari Lurah Sanga Desa, Bapak Naherunay, SH telah terjadi perkawinan

anak pada hari kamis, tanggal 11 Juli 2019. Perkawinan tersebut dilangsungkan di

kediaman mempelai wanita dengan persetujuan kedua mempelai. Orangtua

mempelai wanita pada saat perkawinan juga sebagai wali nikah. Pada saat

berlangsungnya perkawinan, baik mempelai wanita maupun laki-laki berusia 14

tahun. Jika ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 maka

hal tersebut merupakan pelanggaran. Berdasarkan Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974

maka batas usia perkawinan untuk wanita adalah 16 (enam belas) dan laki-laki

berusia 19 (Sembilan belas) tahun.

Masalah perkawinan di Indonesia merupakan suatu hal yang memerlukan

tatanan hukum yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Apabila ada
pasangan pengantin yang berusia dibawah umur (dibawah batas usia perkawinan)

akan tetap melaksanakan perkawinan maka kedua orang tua yang juga menyetujui

perkawinan anak tersebut bisa mengajukan permohonan untuk meminta dispensasi

kepada pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi

yang non-muslim.

Dilihat dari kasus perkawinan anak yang terjadi di Musi Banyuasin, maka

kedua pasangan pengantin tersebut melaksanakan perkawinan secara agama,

artinya perkawinan tersebut tidak dicatatkan di KUA setempat. Berdasarkan Pasal

2 ayat 2 UU Perkawinan, menyatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Secara hukum di Indonesia, maka

perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua mempelai tersebut tidak sah secara

hukum, jadi perkawinan tersebut hanya sah secara agama. Di masyarakat, dikenal

dengan istilah nikah siri (nikah dibawah tangan).

Dalam kasus perkawinan adat di Ngulak, kedua pasangan tersebut telah

berpacaran dan dalam adat di Ngulak, ada istilah “adat turun” bagi mempelai

perempuan, dimana perempuan datang bersama teman wanitanya orang terdekatnya

ke rumah orang tua pria. Hal ini diartikan atau dianggap oleh perempuan telah

terjadi “hubungan atau perbuatan” yang tidak semestinya dilakukan oleh orang

yang bukan suami istri. Jika si perempuan telah “turun” dan pihak laki-laki harus

bertanggung jawab atas perbuatan atau hubungan fisik yang telah terjadi diantara
mereka. Apabila pihak laki-laki tidak mau bertanggung jawab maka akan

dikhawatirkan akan ada “akibat” yang mungkin terjadi dikemudian hari.8

Menurut Lurah Ngulak, perkawinan anak dibawah umur sudah sering

terjadi bahkan menurut beliau, hal tersebut telah berlangsung sebelum adanya UU

No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Bahkan, jumlah kasus tersebut sudah tidak

terdata karena banyak masyarakat yang tidak melapor kepada pemerintah setempat.

Mereka melangsungkan perkawinan hanya secara agama artinya perkawinan

tersebut tidak dicatatkan. Sesuai dengan Pasal 2 ayat 2 perkawinan harus dicatatkan

jika tidak ada ada pencatatan perkawinan maka perkawinan tersebut dianggap tidak

sah secara hukum.Untuk melakukan pencegahan perkawinan anak dibawah umur,

pemerintah setempat telah berupaya dengan mengajak pihak-pihak terkait untuk

melakukan penyuluhan mengenai dampak perkawinan anak dibawah umur serta

memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai batas usia perkawinan

berdasarkan UU Perkawinan namun sampai saat ini hal tersebut belum

mendapatkan hasil yang maksimal.

PENUTUP

Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan batas usia

minimal perkawinan terhadap laki-laki adalah 19 tahun sedangkan perempuan

adalah 16 tahun. Dalam penjelasan, hal tersebut bertujuan untuk menjaga kesehatan

suami-isteri dan keturunan. Namun, batasan usia minimal perkawinan terhadap

perempuan yang telah ditetapkan bertentangan dengan UU No. 35 Tahun 2014

8
Wawancara dengan Lurah Ngulak pada 21 November 2019
tentang Perlindungan Anak yang menetapkan bahwa anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 tahun. Sehingga menjadikan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun

1974 bersifat diskriminatif dan berpotensi melanggar hak konstitusional anak

perempuan dengan terjadinya Perkawinan Anak. Putusan Mahkamah Konstitusi

No. 22/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974

tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan memberikan jangka waktu 3 tahun

kepada legislatif untuk merumuskan norma baru. Apabila telah melewati jangka

waktu tersebut, batas usia minimal perkawinan akan diharmonisasikan dengan

batas usia anak dalam UU No. 35 Tahun 2014.

Oleh sebab itu, pemerintah, masyarakat, dan keluarga terus bersinergi untuk

melindungi anak-anak dari pernikahan usia anak. Pelaminan bukan tempat yang

layak untuk anak. Untuk itu, kita harus melakukan pencegahan terhadap pernikahan

usia anak dengan berbagai upaya. Negara tidak boleh membiarkan generasinya

tidak memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

H. Moch Isnaeni, 2016, Hukum Perkawinan Indonesia, Surabaya : PT. Revka


Petra Media

K. Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia: Jakarta

M Anshary MK, 2015, Hukum Perkawinan DI Indonesia, Cet Ke.II,Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Neng Djubaidah, 2010, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, Cet
Ke I, Jakarta: Sinar Grafika

Prof. Hilman Hadikusuma, SH, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut


Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju: Bandung

Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta; Jakarta

Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung :Sumur


Bandung

Maya, Maya (2019) Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-


XV/2017 Tentang Batas Usia Perkawinan. Skripsi, Syariah. https://idr.uin-
antasari.ac.id/12450/4/BAB%20III.pdf

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPER)


UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017

https://www.inews.id/daerah/sumsel/pernikahan-anak-di-musi-banyuasin-viral-
keduanya-putus-sekolah/594341

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai