Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Harta Kekayaan Perkawinan & Waris BW
Prof. Dr. Yudho Taruno Miryanto, SH. M.Hum.
Oleh :
Zhulfani Junnaika Wibowo
NIM. S352308046
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2024
ABSTRAK
Analisis ini menggali mengenai batas usia dewasa dan pernikahan seseorang dalam peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia. Mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atas perubahannya Undang- Undang nomor 16
tahun 2019 tentang perkawinan, HukumAdat, dan Hukum Agama yang ada di Indonesia. Terdapat
beberapa kesenjangan antara norma hukum yang ada di masyarakat dengan realitas sosiak yang ada di
masyarakat, hal tersebut memicu perdebatan dari banyak kalangan khususnya pendapat dari masyarakat adat
dengan tokoh agama. Mereka mempunyai pendapat masing-masing mengenai batas usia dewasa dengan
mempertimbangkan dari beberapa sapek yaitu aspek sosial, pendidikan, hingga kesehatan. Dampak social
dari beberapa kebijakan yang sudah di atur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia
tercermin dari berbagai faktor, seperti budaya, agama, dan kondisi ekonomi. Persepsi yang beragam
menciptakan dinamika kompleks, sementara dampak pendidikan dan kesehatan reproduksi memerlukan
perhatian khusus. Dengan demikian, analisis ini diharapakan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat
terkait batas usia dewasa dalam melakukan tindak hukum dan dalam perkawinan.
ABSTRACT
This analysis explores the limits of a person's age of adulthood and marriage in existing laws and
regulations in Indonesia. Starting from the Civil Code, Law Number 1 of 1974 concerning Marriage with
its amendments to Law Number 16 of 2019 concerning Marriage, Customary Law and Religious Law in
Indonesia. There are several gaps between the legal norms that exist in society and the social realities that
exist in society, this has sparked debate from many groups, especially the opinions of indigenous
communities and religious figures. They each have their own opinions regarding the age limit for adulthood
by considering several aspects, namely social, educational and health aspects. The social impact of several
policies that have been regulated in several laws and regulations in Indonesia is reflected in various factors,
such as culture, religion and economic conditions. Diverse perceptions create complex dynamics, while the
impacts of education and reproductive health require special attention. Thus, it is hoped that this analysis
can provide education to the public regarding the age limit for committing legal acts and marriage.
1
Minarti, Tri. 2023.Penetapan Terhadap Batas Usia Dewasa Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.Perahu
(Penarangan Hukum) Jurnal Ilmu Hukum,11 (1).Hal 1-2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atas perubahannya Undang-
Undang nomor 16 tahun 2019 tentang perkawinan. Dalam Pasal 47 ayat (1) menyatakan sebagai
berikut : “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya”.
Penelitian ini menganalisis pandangan mendalam terhadap isu kompleks batas usia
perkawinan di Indonesia, sebuah perdebatan yang merentang luas melibatkan aspek hukum dan
dampak sosial dalam struktur masyarakat. Konteks ini menjadi semakin penting karena pernikahan
merupakan pilar fundamental dalam kehidupan sosial dan budaya Indonesia, dan penentuan batas
usia perkawinan memunculkan pertanyaan krusial mengenai perlindungan hak anak, kesehatan
reproduksi, dan kematangan emosional.2
Isu batas usia perkawinan di Indonesia tidak hanya mencakup ketentuan hukum, tetapi juga
mengakar dalam kerangka sosial dan budaya yang beragam di seluruh nusantara. Dalam masyarakat
yang kaya akan keberagaman suku, agama, dan adat istiadat, pemahaman terhadap batas usia
perkawinan dapat bervariasi, menciptakan lapisan dinamika dan tantangan tersendiri dalam
menetapkan norma yang bersifat universal.3
Aspek hukum menjadi landasan penting dalam memahami kontroversi seputar batas usia
perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Perkawinan, dan
regulasi terkait menjadi panduan formal dalam mengatur keseimbangan antara perlindungan hukum
dan kebutuhan masyarakat. Meskipun demikian, penyesuaian dan evolusi peraturan-peraturan
tersebut menciptakan dinamika hukum yang menarik perhatian, dan pertanyaan mendasar seputar
bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan dan dirasakan oleh masyarakat tetap memerlukan
eksplorasi yang lebih mendalam.4
Dampak sosial dari kebijakan batas usia perkawinan juga memunculkan perdebatan yang
kompleks. Masyarakat Indonesia, dengan keragaman budaya dan nilai-nilai yang dimilikinya,
memberikan berbagai pandangan terhadap kebijakan ini. Persepsi masyarakat menjadi faktor penting
yang perlu dipahami secara holistik, termasuk faktor-faktor yang membentuk pandangan masyarakat
terhadap pernikahan di usia tertentu.
2
Asman, A., Sholihah, H., Zuhrah, Z., Abas, M., Hadi, A. I., Aziz, A., ... & Rohman, M. M. (2023). Pengantar Hukum Perkawinan
Islam Indonesia. PT. Sonpedia Publishing Indonesia.
3
Naily, N., Nadhifah, N. A., Rohman, H., & Amin, M. (2019). Hukum Perkawinan Islam Indonesia.
4
Afrizal, T. Y. (2019). Dispensasi Perkawinan Di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Perundang-Undangan Bidang
Perkawinan Di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 5(1), 93-112.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
5
R.Subekti, dan R. Tjitrosudibio, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 305.
atau belumnya seseorang tersebut dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan
seseorang merupakan tolok ukur dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat
atau belum dapat dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya
seseorang menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum yang ditentukan
dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar
seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala
perbuatan hukum. Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang-undang ini disebut
“kedewasaan”. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu melakukan
semua perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, melakukan perkawinan, dan
membuat surat wasiat.6
3) Menurut Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat mempunyai cara lain untuk menetapkan apakah seseorang telah
dewasa dan cakap untuk bertindak. Biasnaya orang dianggap dewasa telah menikah atau
meninggalkan rumah keluarga, bisa dengan mencari, memasuki ruangan tersendiri
dalam rumah keluarga, dan mulai hidup mandiri. Batas dewasa seringkali diukur
menurut keadaan yang ada, dan bersifat factual. Hukum adat tidak memakai ukuran
sekian banyak tahun yang telah dilalui seseorang, tetapi berpatokan pada aya yang secara
rill tampak. Kecakapan bertindak dalam hukum adat ditentukan oleh apakah ia masih
bocah atau telah mandiri. Dalam masyarakat ada Batak, pada umunya anak yang sudah
berusia 17 atau 18 tahun dianggap cakap bertindak. Patokan “kedewasaan” dalam
Hukum Adat diukur secara kualitatif dan memang lebih adil, namun demikian kurang
memenuhi kepastian hukum karena tidak mudah bagi kita untuk mengukur apakah
seseorang itu sudah mandiri.
Hukum adat tidak mengaitkan kecakapan bertindak dengans ekian banyak tahun.
Penjelasan dalam (Subekti-Tjitrosudibjo 1917:738) hanyalah untuk penafsiran kalua
undang-undang memakai istilah “minderjarig”. Namun, dengan itu tidak mau dikatakan
bahwa orang-orang yang tunduk pada Hukum Adat sejak umur 21 tahun atau telah
menikah sebelum usia itu menjadi cakap untuk bertindak, karena secara umum
kecakapan bertindak harus diukur menurut Hukum Adat. Terhadap Hukum Adat
ketentuan itu tidak punya pengaruh apa-apa.
Menurut keterangan yang dikatakan oleh Subekti dalam buku (Subekti-
Tjitrosudibjo 1931:54), untuk orang-orang yang tunduk pada Hukum Adat dikatakan:
6
Abdulkadir Muhammad. 2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Hlm 40.
“… apabila seorang Notaris atau PPAT mempergunakan batas umur 19 atau 20 tahun
untuk dewasa maka hal itu dapat diterima sebagai benar”. Bahkan untuk bertindak
sebagai saksi, BPN dengan tegas mensyaratkan usia 21 tahun atau telah menikah dengan
tanpa memandamg apakah saksi adalah orang yang tunduk pada Hukum Adat atau BW.
Bahwa demi kepastian hukum dipakai ukuran banyaknya tahun bisa diterima,
namun ukuran tahun itu kalau kita konsekuen dengan Hukum Adat sebagai dasar
mestinya harus mendekati ukuran yang dipakai oleh Hukum Adat. Ukuran 21 tahun dan
19 tahun atau 20 tahun terlalu jauh dari ukuran hukum adat, baik menurut doktrin
maupun keputusan-keputusan Pengadilan. Apalagi sekarang ada kecenderungan dalam
perundang-undangan modern untuk menurunkan batas umur dewasa. Yang pasti, ukuran
itu tidka sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh UU Perkawinan, yang dimaksud
untuk berlaku secara nasional. Pertimdangan Majelis Hakim yang mendasarkan
kewenangan bertindak berdasarkan hukum adat telah tepat, mengingat Hukum Adat
merupakan hukurt yang tumbuh di masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia, seseorang
yang berumur 15 tahun dianggap telah mampu diberi kewenangan oleh hukum dalam
mempertahankan hak-haknya yang timbul karena kewarisan di Pengadilan. 7
4) Menurut Hukum Agama di Indonesia
Tokoh Agama di Indonesia mempunyai pendapat masing-masing mengenai batas
usia menikah/ dewasa. Mahkamah Konstitusi (MK) Kembali menghadirkan pihak terkait
dalam siding lanjutan pengujian Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kali ini yang dibahas yaitu mengenai batas usia pernikahan 16 tahun bagi
perempuan. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Konferensi Wali Gereja
Indonesia (KWI) berkeberatan terhadap aturan batas usia pernikahan 16 tahun bagi
perempuan. Kali ini Mahkamah Konstitusi mendengarkan sejumlah tokoh agama yakni
MUI, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Konghucu
Indonesia (Matakin), dan ormas islam seperti PB NU dan PP Muhammadiyah. Tokoh
agama dalam paparannya berbeda pandangan menyangkut batasan usia perkawinan.
MUI meminta MK agar mempertahankan batas usia nikah 16 tahun bagi
perempuan. Sebaliknya, PHDI mendukung pemohon yang meminta MK mengubah
batas usia nikah. Sedangkan, Matakin memandang meski Konghucu mengatur Batasan
usia pernikahan, tetapi Matakin menyerahkan sepenuhnya kepada aturan negara.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan MUI, Amidhan Shaberah dalam persidangan di gedung
MK, mengatakan bahwa “ Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan telah mengandung nilai-nilai
7
Perdata, Duata, 2011,Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batasan Umur),Jakarta:Makalah
Rakernas.
agama (islam), sehingga harus dinyatakan tetap konstitusional dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945. MUI menegaskan hukum agama termasuk islam tidak menetapkan
batas usia pernikahan. Dalam agama islam hanya mengatur baligh (kedewasaan) dengan
beberapa tanda-tanda. Pertama, anak perempuan sudah berusia 9 tahun atau lebih dan
telah mengalami haidh (menstruasi). Kedua, laki-laki atau perempuan telah berumur 9
tahun atau lebih dan pernah mengalami mimpi “basah”. Ketiga, laki-laki atau perempuan
yang telah mencapai 15 tahun tanpa syarat haidh dan mimpi “basah”. Jadi, kedewasaan
dalam islam rentang usia 9 tahun hingga 15 tahun, sehingga penetapan batas usia nikah
16 tahun bagi Wanita sudah sesuai kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai islam.
Dalam agama Konghucu memandang usia perkawinan bisa dilakukan saat usia
dewasa. Menurut ajaran Matakin kedewasaan bukan ditentukan oleh akil baliq, tetapi
ditentukan dengan prosesi upacara ketika wanita memasuki usia 15 tahun dan laki-laki
memasuki usia 20 tahun. Menurut Wakil Ketua Deroh Matakin, Xs. Djaengrana
Ongawijaya, dalam agama Konghucu kapan boleh menikah bagi Wanita 5 tahun setelah
upacara baru diperkenankan menikah, sedangkan bagi laki-laki 10 tahun kemudian.
Menurut agama Hindu, perkawinan dapat dilakukan setelah mencapai usia
dewasa. Usia dewasa bukan ditentukan datangnya menstruasi bagi Wanita dan ciri-ciri
akil baliq bagi laki-laki. Ciri-ciri itu baru menunjukan mereka telah mencapai usia
remaja atau baru dewasa secara fisik saja dan belum dianggap dewasa. Merujuk kitab
Nitisastra Kakawin dan kitab Canakya Niti III.18, dapat dipahami seseorang dianggap
telah mencapai usia dewasa adalah setelah berumur lebih dari 16 tahun atau dimulai
antara usia 16 sampai 20 tahun.8
8
Pengadilan Agama Padang Kelas IA, 2014, Tokoh Agama Beda Pandangan tentang Batas Usia Nikah, Padang.
9
Hasibuan, S. Y. (2019). Pembaharuan hukum perkawinan tentang batas minimal usia pernikahan dan konsekuensinya. Teraju:
Jurnal Syariah dan Hukum, 1(02), 79-87.
Dalam konteks pendidikan, batas usia perkawinan memiliki potensi untuk memengaruhi
tingkat partisipasi dan kelanjutan pendidikan. Penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini
seringkali berkorelasi dengan penurunan tingkat pendidikan, khususnya pada perempuan. Batas usia
perkawinan yang lebih tinggi dapat memberikan dorongan bagi individu untuk mengejar pendidikan
lebih lanjut, memungkinkan mereka untuk membangun pondasi yang lebih kokoh sebelum
memasuki ikatan perkawinan. Kaitan antara pendidikan dan kebijakan batas usia perkawinan
menciptakan dinamika yang menarik, mempertimbangkan bagaimana perubahan kebijakan dapat
merangsang perkembangan pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.10
Dampak terhadap kesehatan reproduksi menjadi perhatian utama dalam konteks pernikahan,
khususnya di usia yang masih muda. Hubungan yang jelas antara usia perkawinan dan kesehatan
reproduksi menandakan perlunya langkah-langkah preventif dan intervensi yang efektif untuk
mengurangi dampak negatifnya. Kesehatan reproduksi yang terancam akibat pernikahan dini
melibatkan risiko kesehatan maternal dan infantil yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pendekatan
pencegahan dan intervensi perlu melibatkan edukasi kesehatan reproduksi, akses yang lebih baik
terhadap layanan kesehatan, dan dukungan komprehensif untuk pasangan muda.11
Dengan merinci dampak sosial dalam aspek persepsi masyarakat, pendidikan, dan kesehatan
reproduksi, penelitian ini berupaya memberikan gambaran holistik tentang bagaimana kebijakan
batas usia perkawinan mempengaruhi masyarakat Indonesia secara lebih luas. Langkah-langkah
preventif dan intervensi yang diusulkan diharapkan dapat membantu mengatasi tantangan dan
merangsang perubahan positif dalam konteks sosial dan kesejahteraan masyarakat.
10
Siombo, M. R., & Wiludjeng, H. (2020). Hukum Adat Dalam Perkembangannya. Penerbit Universitas katolik Indonesia Atma
Jaya.
11
O’Shaughnessy, K. E. (2006). Divorce, gender, and state and social power: An investigation of the impact of the 1974
Indonesian marriage law. The University of Western Australia.
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdulkadir Muhammad. 2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Hlm 40.
Asman, A., Sholihah, H., Zuhrah, Z., Abas, M., Hadi, A. I., Aziz, A., ... & Rohman, M. M.
(2023). Pengantar Hukum Perkawinan Islam Indonesia. PT. Sonpedia Publishing
Indonesia.
Naily, N., Nadhifah, N. A., Rohman, H., & Amin, M. (2019). Hukum Perkawinan Islam
Indonesia.
Siombo, M. R., & Wiludjeng, H. (2020). Hukum Adat Dalam Perkembangannya. Penerbit
Universitas katolik Indonesia Atma Jaya.
Jurnal Internasional:
O’Shaughnessy, K. E. (2006). Divorce, gender, and state and social power: An investigation of
the impact of the 1974 Indonesian marriage law. The University of Western Australia.
Jurnal Nasional:
Afrizal, T. Y. (2019). Dispensasi Perkawinan Di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum Islam
Dan Perundang-Undangan Bidang Perkawinan Di Mahkamah Syar’iyah
Lhokseumawe. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 5(1), 93-112.
Pengadilan Agama Padang Kelas IA, 2014, Tokoh Agama Beda Pandangan tentang Batas Usia
Nikah, Padang.
Minarti, Tri. 2023.Penetapan Terhadap Batas Usia Dewasa Menurut Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia.Perahu (Penarangan Hukum) Jurnal Ilmu Hukum,11 (1).Hal 1-2
12