Anda di halaman 1dari 7

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM POSITIF DAN

AKIBAT HUKUM DIKELUARKANNYA PERATURAN SEMA No.2


TAHUN 2023

Hilma Aulia Agustin ,Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara,


email: Hilmauliagustin5@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang Pernikahan beda agama dan juga akibat
dikeluarkanya peraturan SEMA No. 2 Tahun 2023. SEMA itu sendiri dibuat berdasarkan
fungsi regulasi dan pertama kali dibentuk pada tahun 1951, SEMA telah dibuat untuk
kontrol peradilan. SEMA Isi berkaitan dengan peringatan, menegur petunjuk yang
diperlukan dan berguna ke pengadilan di bawah Mahkamah Agung. SEMA berfungsi
sebagai dari bentuk fuction formal. Namun peran SEMA dalam pembentukan hukum di
Indonesia sangat besar. Terutama menciptakan hukum yang responsif terhadap rasa
keadilan masyarakat. Dalam Undang-Undang Perkawinan tidak ada satupun ketentuan
yang secara eksplisit melarang adanya perkawinan beda agama, padahal secara hukum
larangan itu harus tertuang pada sebuah aturan yang eksplisit jika tidak berarti hal tersebut
tidak menjadi larangan namun secara regulatif pernikahan beda agama di Indonesia tidak
memiliki kekuatan hukum, sebab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan sebagai hukum positif telah melarang nikah beda agama. Karena itu, Kantor
Urusan Agama maupun Catatan Sipil tidak akan melakukan pencatatan administratif atas
peristiwa nikah beda agama.
Kata Kunci: Pernikahan beda agama, Larangan,Peraturan SEMA

ABSTRACT
This research aims to examine interfaith marriages and also the consequences of the
issuance of SEMA regulation no. 2 of 2023. SEMA itself was created based on a regulatory
function and was first formed in 1951. SEMA was created for judicial control. SEMA
Contents relate to warnings, rebuking necessary and useful instructions to courts under the
Supreme Court. SEMA functions as a form of formal function. However, SEMA's role in
law formation in Indonesia is very large. Especially creating laws that are responsive to
society's sense of justice. In the Marriage Law, there is not a single provision that explicitly
prohibits interfaith marriages, even though legally the prohibition must be stated in an
explicit regulation, otherwise this does not mean it is not a prohibition, however,
regulatively, interfaith marriages in Indonesia have no legal force. , because Law Number 1
of 1974 concerning Marriage as a positive law prohibits interfaith marriages. For this
reason, the Office of Religious Affairs and the Civil Registry will not carry out
administrative registration of events involving interfaith marriages.
Keywords: Interfaith marriage, prohibition, SEMA regulations

1
A. Pendahuluan

Perkawinan beda agama merupakan isu hukum yang hingga saat ini belum
tuntas dalam konstruk hukum perkawinan yang ada di Indonesia. Isu perkawinan
beda agama merupakan isu yang sensitif dan menarik banyak perhatian dari berbagai
pihak, terutama kalangan akademisi atau peneliti. Berbagai judul penelitian dengan
berbagai pendekatan dan perspektif telah dilakukan untuk menjawab isu perkawinan
beda agama ini.
Titik pangkal persoalan mengenai perkawinan beda agama ini tidak lain
karena terdapat bias dalam ketentuan legal formal yang ada, yakni Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut
dengan UU Perkawinan). UU Perkawinan tersebut dinilai belum mampu menjawab
persoalan legalitas perkawinan beda agama. Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan tidak
secara lugas melarang atau membolehkan terjadinya perkawinan beda agama.
Di tengah biasnya legal formal perkawinan beda agama yang ada dalam Pasal 2 Ayat
1 UU Perkawinan, terdapat aturan lain yang membuka peluang diperbolehkannya
perkawinan beda agama, yaitu dalam Pasal 35 Huruf a Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(selanjutnya disebut UU Adminduk). Secara tersurat, pasal tersebut membuka jalan
legalitas perkawinan beda agama melalui pencatatan yang didahului dengan
pengesahan dari pengadilan negeri. Kesimpangsiuran dan ketidakpastian legalitas
perkawinan beda agama menyebabkan kesulitan bagi pasangan beda agama untuk
memperoleh pengakuan keabsahan perkawinan secara hukum dari negara.
Kesulitan pasangan beda agama untuk melangsungkan perkawinan tidak
menghalangi pasangan tersebut untuk memperoleh keabsahan secara hukum. Pada
praktiknya, terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1400
K/Pdt/1986. Isi putusan tersebut menyatakan bahwa suami dan istri yang berbeda
agama dapat melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Putusan tersebut
menjadi yurisprudensi dan payung hukum bagi pelaksanaan perkawinan beda agama
yang kerap kali dijadikan landasan bagi hakim pengadilan negeri dalam
mengabulkan permohonan perkawinan beda agama.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki lembaga peradilan tertinggi yaitu
Mahkamah Agung. Penyelesaian sengketa hukum ini hanya dapat dilakukan di
dalam lembaga peradilan termasuk Mahkamah Agung. Hal ini juga sebagai

2
perwujudan dari diterapkanya prinsip pemisahan kekuasaan didalam negara hukum.
Idealnya lembaga peradilan hanya menerapkan Undang-Undang, dalam pengertian
apakah ada ketentuan dalam peraturan-perundang-undangan yang dilanggar. Namun
demikian pada kenyataanya perkembangan Undang-Undang sebagai dasar hukum
terkesan lama. Bahkan hukum yang seharusnya dibentuk untuk menciptakan
ketertiban masyarakat, terkadang hanya dibuat untuk kepentingan dari para penguasa
dan elit politik sehingga tidak lagi mencerminkan rasa keadilan rakyat. Mahkamah
Agung sebagai salah satu lembaga peradilan tertinggi di Indonesia harus menentukan
sikap dan memberikan jawaban yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
B. Pembahasan
Salah satu permasalah hukum yang terjadi saat ini adalah mengenai
pernikahan beda agama. Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang
Perkawinan hanya mengatur sah atau tidaknya suatu perkawinan. Termasuk
dilarangnya suatu perkawinan yang didasarkan pada hukum agama. Tentu ketentuan
tersebut tidak bisa serta merta diartikan bahwa Undang-Undang Perkawinan melarang
adanya perkawinan beda agama.
Pada tahun 2023 ini Mahkamah Agung sebagai bentuk dari lembaga peradilan
tertinggi Indonesia mengeluarkan Peraturan SEMA No. 2 Tahun 2023. Ketua
Mahkamah Agung (MA) M. Syarifuddin telah menerbitkan Surat Edaran No. 2 Tahun
2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan
Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dan Kepercayaan tertanggal 17 Juli 2023.
Sejumlah kalangan menyambut positif terbitnya SEMA itu guna mengakhiri polemik
pengesahan pencatatan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan melalui
pengadilan. SEMA itu ditujukan untuk ketua pengadilan banding dan ketua
pengadilan tingkat pertama. Isinya, memberikan petunjuk bagi hakim dalam
mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama
dan kepercayaan. SEMA bukanlah regulasi, tetapi pedoman atau petunjuk yang
merujuk pada Undan-Undang Perkawinan. Dalam SEMA yang diterbitkan pada 17 Juli
2023 ini, tertulis bahwa SEMA tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian dan
kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan
antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan demikian, para hakim harus
berpedoman pada ketentuan dalam SEMA itu. Pedoman pertama yaitu perkawinan yang
sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang
3
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pedoman kedua, yakni pengadilan tidak
mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan
kepercayaan.
Berbicara mengenai perkawinan sejati, pada prinsipnya akan berbicara
mengenai pilihan pasangan hidup yang benar-benar dari hati yang paling tulus
walaupun dalam pemilihan itu banyak terjadi tantangan, namun bagi mereka yang
telah benar-benar yakin adalah mereka yang ingin segera meresmikan ikatan itu
dalam ikatan perkawinan yang sah dimata agama dan Negara. Selain harus siap
berkonflik dengan keluarga, pasangan berbeda agama juga perlu mendiskusikan
mengenai masalah agama apa yang kelak diajarkan kepada anak. Pernikahan antara
pasangan yang berbeda bukanlah sesuatu yang sederhana di Indonesia. Selain harus
melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus dilewati sulit dilakukan.
Sehingga banyak pasangan dengan perbedaan keyakinan akhirnya memilih untuk
melangsungkan pernikahan di luar negeri. Pasangan yang memutuskan menikah di
luar negeri nantinya akan mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan
atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI). Sepulangnya ke Indonesia,
mereka dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan
Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.Meski begitu, bukan berarti
pernikahan dengan perbedaan agama tak bisa diwujudkan di dalam negeri.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 para pasangan beda
keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut menyatakan
bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama, sebab tugas
kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan. Hanya saja, tidak semua
kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda agama. Kantor catatan sipil yang
bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya akan mencatat perkawinan
tersebut sebagai perkawinan non-Islam.
Pasangan tetap dapat memilih menikah dengan ketentuan agama masing-
masing, dengan cara mencari pemuka agama yang memiliki persepsi berbeda dan
bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya, misalnya akad nikah sesuai
syariat islam namun ada pemberkatan secara ketentuan agama kristen.Namun, cara ini
juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan kantor catatan sipil yang mau
menikahkan pasangan beda keyakinan. Akhirnya, solusi terakhir yang sering
digunakan oleh pasangan beda agama di Indonesia untuk melegalkan pernikahannya
adalah tunduk sementara pada salah satu hukum agama sesuai dengan Undang-
4
Undang Perkawinan

C. Kesimpulan dan saran

Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut, pertama,
SEMA yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai aktor puncak kekuasaan kehakiman
di Indonesia dapat memberikan dampak negatif bagi independensi pelaku kekuasaan
kehakiman di bawahnya, baik secara substantif, personal, maupun fungsional struktural.
Selain itu, juga tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak-hak konstitusional hakim
untuk secara leluasa menangani perkara yang diajukan kepada mereka. Kedua, Keberadaan
SEMA dapat berdampak pada tidak terpenuhinya hak-hak konstitusional masyarakat pelaku
perkawinan beda agama dalam hal kepastian hukum, perlindungan hukum, dan persamaan di
hadapan hukum. Mengingat persamaan di depan hukum merupakan hak asasi manusia, maka
SEMA secara otomatis tidak sejalan dengan hak asasi manusia tersebut. Ketiga, SEMA dapat
memicu terjadinya penyelundupan hukum di bidang perkawinan di mana ketika akibat
hukumnya dibawa ke Indonesia maka harus diakui oleh hakim Indonesia dengan
berlandaskan pada doktrin kelanjutan keadaan hukum, asas resiprositas, asas comitas
gentium, di mana ketiganya dapat menjadi dasar keabsahan perkawinan beda agama yang
dilakukan di luar negeri. Merujuk pada kesimpulan di atas, maka untuk menjaga marwah
Indonesia sebagai negara hukum di mana harus ada kekuasaan kehakiman yang merdeka,
untuk memenuhi hak-hak konstitusional hakim, hak-hak konstitusional para pelaku
perkawinan beda agama untuk mendapatkan kepastian hukum, perlindungan hukum, dan
kesamaan kedudukan di depan hukum, maka Mahkamah Agung perlu segera mencabut
SEMA yang telah dikeluarkan.
Pada realitanya, pernikahan beda agama di Indonesia terjadi disetiap kalangan, baik itu
maupun masyarakat biasa maupun publik pigure.Ini menunjukkan bahwa pernikahan beda
agama tetap berjalan, walaupun kontroversial. Di satu sisi dihadapkan dengan hukum Islam,
dan di sisi lain ada regulasi sebagai hukum positif, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.
Untuk konstruksi yuridis secara konstitusional sebagai fundamental tata hukum di
Indonesia yang berpangkal pada UUD 1945. Dalam UUD 1945 meletakkan hak untuk
melangsungkan perkawinan dan membentuk suatu keluarga sebagai hak asasi manusia. Pada
Pasal 28 B ayat (1) yang berisi tentang Hak Asasi Manusia. Prinsip dari Hak Asasi Manusia
5
lainnya yang termuat pada UUD 1945 adalah hak kebebasan beragama dan hak bebas dari
perlakuan diskriminasi atas latar belakang tertentu, sehingga secara garis besar bahwa hak
untuk melangsungkan perkawinan merupakan hak asasi manusia yang melekat pada diri
semua orang dan bersifat mutlak, absolut, dan berhak. Terlepas dari latar belakang agama
yang mereka yakini. Termasuk memiliki pasangan yang berbeda agama.
Setelah dikeluarkannya peraturan SEMA No.2 Tahun 2023 bukan menjadikan sebuah
regulasi dan solusi hukum untuk pernikahan beda agama, SEMA hanya ditujukan kepada
ketua Pengadilan Banding dan Ketua Pengadilan tingkat pertama. Isinya memberikan
petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat

yang berbeda agama dan kepercayaan.

Hukum normatif dan empiris tentang perkawinan beda agama dapat menimbulkan
beberapa akibat secara hukum, psikologis, dan sosial. Secara yuridis, perkawinan beda agama
menimbulkan persoalan hukum keabsahan yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan,
status hukum anak yang dilahirkan, termasuk pula di dalamnya tentang perwalian dan
kewarisan, dan kewarisan antar-pasangan. Hal ini mengingat ketentuan-ketentuan hukum
berbeda yang diterapkan dalam agama Islam dan peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Selanjutnya secara psikologis dan sosiologis, perkawinan beda agama dapat
memicu perselisihan dan bahkan memperkuat perselisihan yang terjadi didalam sebuah
keluarga. Berikutnya perkawinan beda agama juga dinilai dapat menimbulkan gangguan
psikologis dan pendidikan terhadap anak-anak karena akan menyebabkan kebingungan untuk
memilih agama yang akan dianutnya.

6
7

Anda mungkin juga menyukai