Anda di halaman 1dari 10

PROBLEMATIKA PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF DI INDONESIA

Dr. Mashudi, S.H., M.H.I.


Hakim Madya Utama pada Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta Selatan
Email: tudingmashudi@gmail.com

Abstrak
Mahkamah Agung sebagai Lembaga Yudikatif dalam konsep trias politika bertugas
mengawasi dinamika pembangunan hukum Islam di Indonesia dan mengawalnya agar
terlaksana dengan baik melalui Lembaga Peradilan Agama. Mahkamah Agung juga nenjadi
puncak kekuasaan kehakiman yang membawahi 3 (tiga) lembaga peradilan lainnya yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer yang eksistensinya
termaktub dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Salah satu permasalahan yang kembali mencuat ke publik di akhir-akhir ini adalah masalah
perkawinan beda agama. Hal ini dikarenakan adanya permohonan uji materi Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh salah satu pemuda Katolik
yang hendak menikahi perempuan Muslim. Akan tetapi MK menolaknya karena menilai
pokok permohonan tersebut tidak berasalan menurut hukum. Hakim MK mengatakan bahwa
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak menghalangi kebebasan beragama bagi setiap orang.
Melihat realitas yang terjadi di masyarakat, perkawinan beda agama relatif banyak terjadi.
Bahkan pernikahan beda agama telah banyak dilakukan oleh banyak artis di Indonesia,
Namun yang menjadi permasalahan adalah adanya perbedaan pendapat sesama lembaga
peradilan dalam memahami makna Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari
Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby yang membolehkan
pasangan berbeda agama menikah. Peran Hakim Pengadilan Agama sebagai penjaga
kedaulatan hukum Islam yang ada dalam sistem peradilan agama di Indonesia harus terus
dijaga. Oleh karena itu, melihat fenomena Hakim Pengadilan Negeri yang berpendapat lain
bahkan berlawanan dengan putusan-putusan yang telah dibuat MK terkait beda agama,
Penulis akan membedah tentang Probematika Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif
Hukum Positif di Indonesia.

Kata Kunci: Perkawinan, Beda Agama, Problematika

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negera dengan penduduk muslim mayoritas bahkan merupakan
negara dengan polulasi muslim terbesar di dunia. Hal tersebut berdampak terhadap
perkembangan hukumnya yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman,
khususnya hukum Islam. Peranan negara dalam pembinaan dan pembangunan hukum Islam
menjadi hukum nasional menjadi sangat penting. Sebagai negara berkembang, masyarakat
Indonesia juga mengawali kehidupan sosialnya dengan keinginan yang kuat untuk melakukan
pembangunan untuk menuju suatu perubahan situasi dan kondisi yng lebih biaik.
Konsep Pembangunan pada dasarnya mengisyaratkan adanya perubahan dasar pada
sistem kemasyarakatan baik yang bersifat sturuktural maupun kultural. Menurut Soerjono
Soekanto, dasar-dasar kemasyarakatan tersebut setidaknya mencakup agama, filsafat,
ideologi, ilmu pengetahuan, dan teknologi.1 Oleh karena itu, pembangunan hukum Islam di
1
Soerjono Soekanto, “Ilmu-Ilmu Hukum Dan Pembangunan Hukum”, Analisis Pendidikan (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983), hlm.37.

1
Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Penjabaran Hukum Islam ke dalam Sistem
Hukum Indonesia; 2) Penciptaan serta Penyusunan kembali Lembaga-Lembaga Hukum baru;
3) Pengupayaan tentang bagaimana hukum terebut dapat berjalan efektif.2 Terciptanya sistem
hukum yang adaftif dengan kondisi saat ini merupakan suatu kebutuhan dalam menghadapi
perkembangan di masa yang akan datang.
Mahkamah Agung sebagai Lembaga yudikatif dalam konsep trias politika yang dianut
oleh Negara Indonesia bertugas mengawasi dinamika pembangunan hukum Islam di
Indonesia dan mengawalnya agar terlaksana dengan baik melalui Lembaga Peradilan Agama.
Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara menjadi salah satu lembaga pemerintahan
yang berfungsi mengawasi jalannya peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Mahkamah Agung juga
nenjadi puncak kekuasaan kehakiman yang membawahi 3 (tiga) lembaga peradilan lainnya
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer yang
eksistensinya termaktub dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.3
Berkaitan dengan hal itu, maka Hakim Pengadilan Agama yang terlibat secara
langsung dengan proses hukum, akan berhadapan dengan suatu dilema persoalan yang terjadi
dalam kehidupan sosial masyarakat. Di satu sisi, Hakim Pengadilan harus memegang teguh
perangkat hukum yang menjadi pedoman dalam Sistem Peradilan Agama. Di sisi lain juga
harus memperhitungkan tingkat kesadaran mayarakat terhadap perangkat hukum tersebut.4
Salah satu permasalahan yang kembali mencuat ke publik di akhir-akhir ini adalah
masalah perkawinan beda agama. Hal ini dikarenakan adanya permohonan uji materi Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Ramos Petege
seorang laki-laki beragama Katolik yang hendak menikahi seorang perempuan beragama
Islam. Ramos mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan harapan dapat mengubah
substansi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal
tersebut membuatnya kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan yang
dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sebab ia harus berpindah agama bila ingin
menikahi calon istrinya yang berbeda agama. Akan tetapi MK menolaknya karena menilai
pokok permohonan tersebut tidak berasalan menurut hukum. Hakim MK Wahiduddin Adams
mengatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak menghalangi kebebasan beragama
bagi setiap orang. Oleh sebab itu Ia berpandangan bahwa tidak ada urgensi bagi MK untuk
bergeser dari pendirian MK pada putusan-putusan sebelumnya.5
Melihat realitas yang terjadi di masyarakat, perkawinan beda agama relatif banyak
terjadi. Bahkan pernikahan beda agama telah banyak dilakukan oleh banyak artis di
Indonesia, diantaranya Jamal Mirdad dan Lidya Kandau, Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen,
Nurul Arifin dan Mayong Suryo Laksono, Rio Febrian dan Sabria Kono, Marcell Siahaan dan
Rima Melati, Nadine Chandrawinata dan Dimas Anggara, dan masih banyak contoh lainnya.
Adanya tren artis menikah beda agama dikhawatirkan akan memberikan inspirasi negatif oleh

2
Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama (Jakarta: Departemen Agama R.I., 1985),
hlm.2.
3
Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia (Bandung: PT. Refika Adiatma, 2011),
hlm.152.
4
Nur Aisyah, “Peranan Hakim Pengadilan Agama Dalam Penerapan Hukum Islam Di Indonesia,”
Jurnal Al-Qadau 5, no. 1 (2018).
5
Ardito Ramadhan, “MK Tolak Legalkan Pernikahan Beda Agama,” Kompas.Com, last modified 2023,
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/31/12085031/mk-tolak-legalkan-pernikahan-beda-
agama#:~:text=JAKARTA%2C KOMPAS.com - Mahkamah,31%2F1%2F2023).

2
banyak masyarakat. Bahkan baru-baru ini, artis muda yang menjadi Deva Mahenra dan Mikha
Tambayong juga melakukan hal yang sama.
Bahkan yang juga menjadi permasalahan adalah adanya perbedaan pendapat sesama
lembaga peradilan dalam memahami makna Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini dapat
dilihat dari Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby yang
membolehkan pasangan berbeda agama menikah. Hakim Tunggal Imam Supriyadi
memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di
hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya setelah
sebelumnya ditolak oleh dinas tersebut. Dalam pertimbangannya, Hakim menyatakan bahwa
perbedaan agama tidak bisa dijadikan larangan untuk melangsungkan pernikahan
sebagaiaman diatur dalam UU Perkawinan. Hakim berendapat bahwa pernikahan beda agama
dapat ditetapkan di Pengadilan dengan merujuk pada Pasal 35 huruf a Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa
“pencatatan perkwinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan”. Hal
lain yang menjadi pertimbangan adalah warga memiliki hak untuk mempertahankan
keyakinan agamanya ketika ingin membangun rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal
29 UUD 1945.6
Masyarakat harus memahami bahwa perkawinan beda agama bukan hanya masalah
perkara hubungan seksual saja, melainkan akan berdampak dari berbagai aspek khususnya
hukum. Secara yuridis, perkawinan beda agama menimbulkan persoalan hukum keabsahan
yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, status hukum anak yang dilahirkan, termasuk
pula di dalamnya tentang perwalian dan kewarisan, dan kewarisan antar-pasangan. Hal ini
mengingat ketentuan-ketentuan hukum berbeda yang diterapkan dalam agama Islam dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Maka putusan PN Surabaya yang
memperbolehkan pernikahan beda agama dianggap bertentangan dengan prinsip hukum,
kepastian, dan keadilan. Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Euis Nurlaelawati mengatakan
bahwa diperbolehkannya perkawinan beda agama akan menimbulkan ketidakselarasan
dengan ketentuan hukum yang relevan dengannya kaitannya dengan perwalian, kewarisan,
dan lainnya. Maka berbicara mengenai perkawinan beda agama masih relevan untuk tetap
diatur seperti pengaturan melalui atau dengan Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perkawinan. Selain itu,
pengaturan tersebut selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang penerapannya
dapat digantungkan pada ajaran dan keyakinan agama serta lokalitas suatu wilayah atau
negara.7
Peran Hakim Pengadilan Agama sebagai penjaga kedaulatan hukum Islam yang ada
dalam sistem peradilan agama di Indonesia harus terus dijaga. Oleh karena itu, melihat
fenomena Hakim Pengadilan Negeri yang berpendapat lain bahkan berlawanan dengan
putusan-putusan yang telah dibuat MK terkait beda agama, Penulis akan membedah tentang
Probematika Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia.

METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif, yaitu
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-

6
“PN Surabaya Izinkan Warga Beda Agama Menikah,” Cnnindonesia.Com, last modified 2022,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220620173909-12-811262/pn-surabaya-izinkan-warga-beda-agama-
menikah.
7
Humas MKRI, “Perkawinan Beda Agama Mudaratnya Lebih Besar,” MKRI.Id, last modified 2023,
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18422&menu=2.

3
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.8 Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approcah) yang dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang
ditangani9, dalam hal ini berkaitan dengan Fenomena Perkawinan Beda Agama dalam
Perspektif Hukum Positif di Indonesia.

PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama menurut 6 Agama yang diakui di Indonesia
Menurut agama Islam, sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di
Indonesia, menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di dalam
masyarakat Indonesia. Bagi wali nikah yang ingin menikahkan dalam konteks perkawinan
beda agama juga dilarang oleh Islam. Bagi orang Islam tidak diperbolehkan
menikahkan anak perempuannya yang kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahkan
anak perempuannya yang muslimah, sebab hubungan kewalian di antara keduanya terputus.10
Adapun perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab dibolehkan. Hal ini
dikarenakan ahli kitab juga belajar tentang injil dan taurat, sama halnya yang telah diajarkan
Al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Aturan-aturan hukum agama yang
bersumber dari Al-Qur’an, intinya sama dengan yang diajarkan pada ahli kitab, jadi
menurut sebagian ulama, perkawinan tersebut dibolehkan karena dalam melangsungkan
perkawinan tersebut pria muslim bisa dengan mudah membimbing wanitanya dalam
mengarungi bahtera rumah tangga sehingga kalau wanita itu benar-benar berpegang teguh
pada injil dan taurat maka menurut para ulama pasti mereka akan menganut agama Islam.
Adanya larangan perkawinan beda agama antara wanita muslim dengan laki-laki non
muslim disebabkan karena wanita muslim dikhawatirkan akan meninggalkan agamanya dan
mengikuti agama suaminya. Karena laki-laki adalah kepala keluarga dan berpotensi akan
mengajak istrinya untuk mengikuti keyakinan suaminya. Di samping itu, pada hakikatnya
tujuan perkawinan berbeda agama adalah memurtadkan, menjauhkan kita dari agama Islam
dan ikut masuk memeluk agama lain. Hal ini sering terjadi dikalangan masyarakat,
tetapi pasangan yang melakukan perkawinan beda agama tidak mempermasalahkan hal
itu karena mereka dibutakan oleh cinta. Allah Swt berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat
217:
ََ‫عنَ َيسْـَلُ ْونَك‬َ َ‫ش ْهر‬ َّ ‫ل فيْهَ قتَالَ ْال َح َرامَ ال‬ َْ ُ‫صدَ َۗ َكَبيْرَ فيْهَ قتَالَ ق‬ َ ‫ع ْنَ َو‬ َ َ‫سبيْل‬ َٰ َ‫بهَ َو ُك ْفر‬
َ ‫ّللا‬
َ‫ّللا ع ْندََ ا َ ْك َب ُرَ م ْن َهُ ا َ ْهلهَ َوا ْخ َرا ُجَ ْال َح َرامَ َو ْال َمسْجد‬
َٰ َۗ ُ‫َيزَ الُ ْونََ َو َلَ َۗ ْالقَ ْتلَ منََ ا َ ْك َب ُرَ َو ْالف ْت َن َة‬
‫ن َي ُرد ُّْو ُك ْمَ َحَت ٰىَ يُقَاتلُ ْو َن ُك َْم‬
َْ ‫ع‬ َ َ‫ع ْوا انَ ديْن ُك ْم‬
ُ ‫طا‬ َ َ ‫ست‬
َْ ‫ن م ْن ُك َْم ي َّْرتَد َْد َو َم ْنَ َۗ ا‬
َْ ‫ع‬َ َ‫تَ ديْنه‬ ْ ‫َكافرَ َوه ََُو فَ َي ُم‬
ََ‫تَ فَاُولَىَك‬ ْ ‫ط‬َ ‫َب َواُولَىَكََ َۗ َو ْالَخ َرةَ الدُّ ْن َيا فى ا َ ْع َمالُ ُه َْم َحب‬ َُ ‫صح‬ ْ َ ‫خَلد ُْونََ ف ْي َها ُه َْم ال َّنارَ ا‬

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:


"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah

8
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, 2013),
hlm.57.
9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. Ke-6. (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.93.
10
H. Moch. Anwar, Dasar-Dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan Di Pengadilan Agama
(Bandung: CV. Diponegoro, 1991), hlm.18.

4
lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi
kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada
kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya.
Selain tidak akan tercapainya kebahagiaan yang hakiki dalam rumah tangga,
perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai akibat yang berkepanjangan di
belakang hari, seperti melahirkan keturunan yang tidak jelas nasabnya, terputusnya hak waris,
serta membuat ketidakpastian dalam memilih agama. Dalam beberapa pendapat mazhab
tentang masalah perkawinan beda agama terutama melakukan pernikahan dengan perempuan
dari kalangan ahli kitab adalah sebagai berikut:11
1) Menurut Pandangan Mazhab Hanafi bahwa seorang laki-laki yang menikah dengan
perempuan ahli kitab yang sedang berperang melawan kaum muslimin (dar al-harb),
maka perbuatan tersebut dilarang. Selain dari kerugian dan bahaya tentunya anak dari
hasil perkawinan tersebut cenderung ikut keyakinan ibunya.
2) Menurut Pandangan Mazhab Maliki bahwa ada 2 kesimpulan, yaitu: Pertama, perbuatan
tersebut mengandung sifat makruh, baik wanita tersebut dari kafir zimmi maupun
penduduk dar al harb; Kedua, pernyataan dari Al-Qur’an lebih kearah mendiamkan
terhadap masalah ahli kitab ini. Dapat dipahami bahwa sifat mendiamkan tersebut
dianggap sebagai persetujuan, sehingga status perkawinan dengan ahli kitab menjadi
tidak masalah tanpa mempertimbangkan dari orang tua juga ahli kitab.
3) Menurut Pandangan Mazhab Syafi’i dan Hambali berpedoman pada Firman Allah Swt
dalam Q.S. Al-Ma’idah ayat 5 yaitu bahwa diperbolehkan menikahi perempuan-
perempuan dari kalangan ahli kitab.
Adapun menurut agama Khatolik, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilakukan, diteguhkan dan diberkati oleh pejabat gereja yang dihadiri oleh dua orang saksi
dan telah memenuhi syarat-syarat perkawinan. Bagi agama Khatolik pada prinsipnya sama
dengan Kristen Protestan yang mana perkawinan beda agama menurut Khatolik tidak
dapat dilakukan. Tidak dapat dilakukan dikarenakan agama Khatolik memandang
perkawinan sebagai sakramen.12 Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa
perkawinan dalam lingkup Khatolik sangat dianggap suci dan sakral. Sehingga
perkawinan tersebut sesuai dengan kesadaran dan kemauan dari kedua belah pihak tanpa
adanya paksaan untuk berjanji bersatu dalam ikatan suci tanpa ditarik kembali janjinya
tersebut. Karena perkawinan Khatolik ini harus sekali seumur hidup dan tidak ideal
jika adanya perkawinan beda agama antara Khatolik dan non Khatolik.
Selain Khatolik, perkawinan beda agama menurut agama Kristen Protestan juga tidak
diperbolehkan. Karena bagi Kristen, tujuan dari perkawinan adalah untuk mencapai
kebahagiaan antara suami, istri, dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga yang abadi
dan kekal. Untuk itu apabila mereka yang menikah dengan berlainan agama maka
rumah tangga mereka akan sulit untuk mencapai kebahagiaan.13 Begitu juga dengan agama

11
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba Ah (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1990), hlm.76-77.
12
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung:
Mahdar Maju, 2007), hlm.11.
13
A. Syamsul Bahri, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan,” Al-Syakhshiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan 2, no. 1 (2020).

5
Hindu, perkawinan beda agama tidak dibolehkan sesuai dengan kitab Manawa darmasastra
buku ke III pasal 27 menyatakan bahwa “suatu perkawinan hindu itu pertamanya harus
dirias dan setelah itu menghormati orang tua dihadapan ahli weda yang berbudi bahasa
baik”. Maksud dari dirias itu adalah yang berpendidikan baik atau diberi pendidikan
tentang taat beragama, berbudi luhur dan sopan santun agar kelak dalam menjalani
kehidupan berumah tangga, akan selalu tentram dan bahagia.14
Berbeda halnya dengan umat Budha yang berprinsip bahwa perkawinan beda agama
tidaklah menjadi masalah, asalkan yang non Budha mau mengikuti adat perkawinan Budha
tanpa menganut agama Budha. Karena menurut keputusan sang Agung. Perkawinan
agama dimana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, maka hal itu masih
diperbolehkan asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut tatacara agama Budha.
Dalam hal ini calon mempelai yang tidak beragama Budha, tidak diharuskan untuk masuk
agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam acara ritual perkawinan kedua
mempelai diwajibkan mengucapkan atas nama sang Budha, yang merupakan dewa-dewa
umat Budha.15 Begitupun dengan Agama Konghucu yang pada prinsipnya tidak
mempermasalahkan perkawinan beda agama. Sebagaimana disampaikan keterangannya
dihadapan persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 November 2015 dengan
Nomor Register Perkara 68/PUU-XII/2014 bahwa dalam Agama Konghucu pada pokoknya
menerangkan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah firman tian,
perbedaan faham, golongan, bangsa, budaya, etnis, sosial politik maupun agama tidak
menjadi penghalang dilangsungkannya perkawinan. Karena itu dalam tardisi agama
Konghucu perkawinan beda agama dapat dibenarkan walaupun li yuan, yaitu perkawinan
yang hanya dapat dilaksanakan bagi kedua mempelai yang beragama Konghucu.16

B. Perkawinan Beda Agama menurut Hukum Positif di Indonesia


1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), tidak
mengatur secara tegas bahkan tidak ada hukum yang mengatur tentang adanya
perkawinan beda agama. Karena yang diatur dalam UU Perkawinan ini hanyalah
perkawinan campuran tentang pasangan yang berbeda kewarganegaraan. Perkawinan beda
agama hanya berdasar pada UU Perkawinan dalam penjelaskan Pasal 2. Ayat (1) dalam
Pasal 2 UU Perkawinan menjelaskan bahwa sahnya suatu perkawinan adalah menurut hukum
agamanya atau keyakinannya masing-masing. Pada ayat (2) kembali dijelaskan bahwa
berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga dalam ini yang dimaksud “menurut hukum agamanya masing-masing “ adalah
tergantung dari sahnya hukum masing-masing agama yang bersangkutan dalam
melangsungkan perkawinan beda agama. Dengan adanya masalah pengaturan perkawinan
di Indonesia, undang- undang memberikan kepercayaannya secara penuh kepada agama,
dan agama memiliki peranan penting terhadap perkawinan berbeda agama.
Berdasarkan analisis beberapa pasal dalam UU Perkawinan di atas, maka dapat
dipahami bahwa dalam melangsungkan perkawinan, setiap calon pasangan diharuskan untuk
seagama agar pelaksanaannya tidak menemui hambatan maupun penyelewengan agama. Hal
ini dikarenakan dalam pelaksanaannya menurut UU Perkawinan, perkawinan beda agama

14
Ibid.
15
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Hukum Adat, Hukum Agama.
16
Budiarti, “Ijma Dan Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam,” Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam 2, no. 1
(2016).

6
tidak boleh dilaksanakan dan tidak sah menurut hukum kecuali salah satu pihak mengikuti
agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah menganut agama yang sama, maka
perkawinan dapat dilangsungkan dan dianggap sah apabila dicatatkan dalam pencatatan
perkawinan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam UU Perkawinan.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Di antara kandungan Kompilasi Hukum Islam itu ada menyangkut perkawinan
beda agama. Hal itu dapat dijumpai dalam pasal 40 dan 44 bab VI tentang larangan,
Kompilasi Hukum Islam melarang umat Islam melakukan perkawinan dengan non-
muslim. Kemudian pasal 61 bab X tentang Pencegahan perkawinan, maka perkawinan
dapat dicegah oleh orang-orang yang telah diberi hak untuk dapat melakukan
pencegahan. Terakhir pada pasal 116 bab XVI tentang putusnya perkawinan, maka
perkawinan pasangan suami istri yang sama-sama beragam Islam dapat putus akibat salah
satu dari mereka keluar dari Islam.
Berbicara mengenai otoritas KHI dalam pemberlakuannya, terdapat perbedaan para
ahli hukum, yang dapat disimpulkan bahwa KHI menjadi salah satu hukum tertulis yang
bersifat memaksa karenanya ia termasuk salah satu dari sumber hukum formal di Indonesia,
sehingga wajib dijalani. Dengan demikian, sehubungan KHI telah melarang perkawinan
berbeda agama, maka perkawinan berbeda agama itu inkonstitusional dan ilegal. Adapun
pendapat lain mengatakan bahwa KHI tidak termasuk ke dalam salah satu sumber hukum
formal di Indonesia karena kedudukannya hanya diatur berdasarkan INPRES yang tidak
termasuk bagian dari sumber hukum formal di Indonesia. Sejalan dengan ini, KHI hanya
bersifat persuasif, jadi substansi larangan perkawinan berbeda agama bagi orang Islam tidak
dapat dipahami sebagai sebuah keharusan melainkan hanya bersifat anjuran. Maka bagi
orang melakukan perkawinan tersebut menurut pendapat ini bisa memberlakukan ketentuan
yang ada dalam Staatsblad 1898 Nomor 158 karena hal itu dipandang masih berlaku, dan
perkawinan mereka dipandang konstitusional dan legal.
Penulis menganalisis bahwa pendapat pertama berada pada tataran yang ideal, yang
secara normatif bahwa perkawinan berbeda agama adalah sesuatu yang dilarang. Disamping
haram menurut ajaran Islam, hal tersebut juga inkonstitusional. Karenanya bagi yang
melaksanakan ini, berprinsip bahwa pernikah adalah mitsaqon ghalizon menuju keselamatan
di dunia dan akhirat. Namun pada sisi lain harus dimaklumi pula bahwa INPRES yang
mewadahi keberlakuan KHI tidaklah cukup kuat, mengingat bahwa institusi hukum ini
tidak menjadi sumber hukum formal di Indonesia. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah
lebih berupaya menyelesaikan masalahnya dari hulu terlebih dahulu agar problematika
perkawinan berbeda agama dapat diselesaikan dengan landasan hukum yang kuat dengan
melahirkan sumber hukum formil yang lebih tinggi hierarkinya seperti undang-undang.
Sehingga KHI tidak lagi hanya bersifat seruan moral semata karena tidak mengandung
konsekwensi yuridis yang kuat.
3. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
menyatakan bahwa Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penertiban dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk,
pencatatan sipil, pengelolaan informasi penduduk serta pendayagunaan hasil untuk pelayan
publik dan sektor lain.
Dalam UU Administrasi Kependudukan ini terdapat bagian tentang pencatatan
perkawinan di Indonesia, yang terdiri dari Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36. Pasal 34

7
menjelaskan bahwa “perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan”. Laporan yang diterima oleh
pejabat pencatatan sipil dicatatkan pada Register Akta perkawinan dan menerbitkan kutipan
Akta perkawinan yang diberikan masing-masing kepada suami istri. Bagi penduduk yang
beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh KUA dan tidak memerlukan penerbitan
kutipan kutipan Akta Pencatatan Sipil. Adapun dalam Pasal 35 (a) dijelaskan bahwa ketentuan
dalam Pasal 34 berlaku bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dan perkawinan
warga negara asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan yang bersangkutan.
Ketentuan ini yang memberikan dasar hukum dilaksanakannya perkawinan beda agama di
Indonesia. Sebagaimana kasusnya pasangan beda agama yang disahkan melalui Hakim
Tunggal oleh Pengadilan Negeri Surabaya berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby, perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan
adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama dan dapat dicatatkan di
Instansi Pelaksana yaitu Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagaimana pencatatan
perkawinan pada umumnya. Jika keabsahan perkawinan telah bisa dipastikan, maka
amanat selanjutnya dari Undang-Undang perkawinan harus dijalankan, yakni pencatatan
perkawinan.
Namun setelah melihat penjelasan dari pasal 35 (a) UU Administrasi
Kependudukan, pasal tersebut mengesampingkan suatu ketentuan atau bunyi dari suatu
pasal Undang-Undang yang lain yaitu Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perkawinan meskipun
pasal-pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan larangan perkawinan beda agama,
namun sudah menjadi pengetahuan umum dan pemahaman bersama bahwa setiap agama
di Indonesia melarang perkawinan beda agama. Hal tersebut diperkuat dengan isi
penjelasan atas pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan isi penjelasan pasal 35
UU Administrasi Kependudukan secara tersirat mengizinkan perkawinan beda agama
(Humani, 2017).

C. Dampak Hukum terhadap Perkawinan Beda Agama di Indonesia


1. Akibat Hukum terhadap Status Perkawinan
Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan cenderung
menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing untuk menentukan boleh
tidaknya perkawinan berbeda agama. Semua agama di Indonesia melarang perkawinan
berbeda agama, bagi umat Islam setelah dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun1991 tentang
KHI, pada pasal 44 menyatakan bahwa perkawinan campuran berbeda agama, baik itu
laki-laki muslim dengan perempuan non muslim, telah dilarang secara penuh. Begitu pula
dengan agama kristen yang melarang perkawinan berbeda agama antara umat kristen dengan
non kristen, sama halnya dengan agama-agama lain yang melarang umatnya melakukan
perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama. Oleh karena semua agama melarang
perkawinan berbeda agama, maka perkawinan berbeda agama juga dilarang oleh undang-
undang No. 1 tahun 1974 dan hal tersebut mengakibatkan perkawinan tersebut tidak sah.

2. Akibat Hukum terhadap Status dan Kedudukan Anak


Bahwa anak sah dalam pasal 42 undang-undang No. 1 tahun 1974 yaitu anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Demikian juga dengan
ketentuan pasal 99 KHI, yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan

8
dalam atau akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat
dikatakan bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya anak tergantung pada sah atau tidaknya
suatu perkawinan. Maka menurut pemahaman penulis bahwa anak dari hasil perkawinan
berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin. Karena perkawinan kedua
orang tuanya pun tidak sah menurut hukum agama atau hukum perkawinan. Oleh karena
itu anak yang dilahirkan dari perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau
anak luar kawin, maka akibatnya adalah anak tersebut tidak memiliki hubungan perdata
dengan bapaknya, si anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya saja. Hal tersebut diatur dalam pasal 43 ayat 1 undang-undang No. 1
Tahun 1974 dan pasal 100 KHI, yang menyebutkan bahwa anak yang lahir diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Akibat Hukum dalam Status Administasi Kependudukan
Jika merujuk pada pasal 37 ayat 1 undang-undang No. 23 tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan, perkawinan berbeda agama yang dilakukan di luar negara
Indonesia, pencatatan perkawinannya dilakukan di negara mana perkawinan itu
dilangsungkan. Kemudian perkawinan tersebut dilaporkan di Indonesia. Oleh karena itu
perkawinan berbeda agama, bagi warga negara Indonesia jika telah dicatatkan atau
dilaporkan dipencatatan sipil, telah di akui oleh hukum negara. Namun kembali lagi kepada
undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang urusan mengenai perkawinan lebih diserahkan
kepada hukum masing-masing agama yang mengaturnya. Meskipun dengan melakukan
berbagai macam cara untuk melegalkan perkawinan yang berbeda agama, hingga
menempuh jalan ke luar negeri, tetap saja menurut hukum-hukum agama yang ada di
Indonesia, adalah dilarang. Artinya perkawinan mereka tidak sah menurut hukum
agama, karena cara yang ditempuh dengan melangsungkan perkawinan di luar negara
Indonesia adalah mengesampingkan urusan agama. Menurut hukum agama, perkawinan
berbeda agama adalah tidak sah, maka anak yang dilahirkan pun merupakan anak yang
tidak sah. Namun meskipun demikian setiap anak yang lahir tetap harus dicatatkan pada
catatan sipil untuk dapat memperoleh akta kelahiran. Adapun hal tersebut diatur dalam
pasal 27 undang- undang No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.
Sedangakn tatacara pencatatan kelahiran diatur dalam pasal 51-54 Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 25 tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara pendaftaran
penduduk dan pencatatan sipil.

KESIMPULAN
Akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan beda agama adalah status
perkawinan berbeda agama tersebut tidak sah menurut undang-undang No. 1 tahun1974
tentang perkawinan. Dengan adanya perkawinan yang tidak sah tersebut sehingga maka
dapat membawa akibat juaga terhadap status dan kedudukan anak. Anak yang dilahirkan
dalam perkawinan beda agama tersebut adalah anak tidak sah karena perkawinan kudua
orang tua bukan merupakan perkawinan yang sah. Sehingga akibatnya adalah anak
tersebut tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Melainkan dengan ibu dan
keluarga ibunya saja. Dan hal tersebut sesuai dengan pasal 43 ayat 1 undang-undang
perkawinan dan pasal 100 KHI. Namun meskipun demikian setiap anak yang lahir
tetap harus dicatatkan pada catatan sipil untuk dapat memperoleh akta kelahiran.
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkmah Agung RI dapat mengambil momentum
terkait fenomena perkawinan beda agama dengan melaksanakan penelitian dan
pengembangan dalam mendukung pembangunan substansi hukum dan pembaruan kebijakan
Mahkamah Agung dengan melibatkan hakim Yustisial di setiap badan peradilan untuk

9
menemukan formulasi yang baik bagi kemaslahatan bangsa dan negara sebagaimana Misi
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkmah Agung RI, yaitu:
1) Meningkatkan layanan dan dukungan operasional penyelenggaraan Penelitian dan
Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan;
2) Melaksanakan Penelitian dan Pengembangan dalam mendukung pengembangan dan
pembangunan substansi hukum dan pembaruan kebijakan Mahkamah Agung;
3) Menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan yang komprehensif, terpadu dan sinergis
dengan kebutuhan Badan Peradilan.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Nur. “Peranan Hakim Pengadilan Agama Dalam Penerapan Hukum Islam Di
Indonesia.” Jurnal Al-Qadau 5, no. 1 (2018).
Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba Ah. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1990.
Anwar, H. Moch. Dasar-Dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan Di Pengadilan
Agama. Bandung: CV. Diponegoro, 1991.
Bahri, A. Syamsul. “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Al-Syakhshiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan
Kemanusiaan 2, no. 1 (2020).
Budiarti. “Ijma Dan Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam.” Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam
2, no. 1 (2016).
Effendi, Deden. Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama. Jakarta: Departemen Agama R.I.,
1985.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Di Indonesia, Hukum Adat, Hukum Agama.
Bandung: Mahdar Maju, 2007.
Ibrahim, Johnny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia,
2013.
Indra, Mexsasai. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: PT. Refika Adiatma,
2011.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Cet. Ke-6. Jakarta: Kencana, 2010.
MKRI, Humas. “Perkawinan Beda Agama Mudaratnya Lebih Besar.” MKRI.Id. Last modified
2023. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18422&menu=2.
Ramadhan, Ardito. “MK Tolak Legalkan Pernikahan Beda Agama.” Kompas.Com. Last
modified 2023. https://nasional.kompas.com/read/2023/01/31/12085031/mk-tolak-
legalkan-pernikahan-beda-agama#:~:text=JAKARTA%2C KOMPAS.com -
Mahkamah,31%2F1%2F2023).
Soekanto, Soerjono. “Ilmu-Ilmu Hukum Dan Pembangunan Hukum”, Analisis Pendidikan.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.
“PN Surabaya Izinkan Warga Beda Agama Menikah.” Cnnindonesia.Com. Last modified
2022. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220620173909-12-811262/pn-
surabaya-izinkan-warga-beda-agama-menikah.

10

Anda mungkin juga menyukai