Anda di halaman 1dari 7

PERKAWINAN BEDA AGAMA

Pengantar

Di tengah masyarakat global yang semakin bergerak menuju kemajuan bersama masih
dapat ditemukan permasalahan-permasalahan sosial di antara Negara Dunia Ketiga. Salah satunya
adalah dalam masyarakat Indonesia. Di negara lain seperti Amerika Serikat misalnya, perkawinan
antar ras dan antar agama sudah menjadi suatu hal yang wajar. Beranjak dari kenyataan bahwa
setiap orang berhak untuk mempunyai keluarga, meneruskan keturunan dan menjalankan semua
itu bersama orang pilihan hatinya telah menjadi Hak Asasi. Konstitusi Republik Indonesia
melindungi hak yang sama dalam Pasal 28B ayat (1). Tetapi dalam penerapannya dilapangan,
perkawinan beda agama di Indonesia kerap menimbulkan perdebatan. Perdebatan yang lahir dari
kenyataan bahwa Hukum Perkawinan di Indonesia tidak mengakui sahnya perkawinan campur,
yakni perkawinan beda agama. Berikut merupakan upaya penulis dalam memberikan kajian
tentang perkawinan beda agama dari sudut pandang hukum, disertai dengan contoh kasus yang
relevan. Dengan harapan supaya kajian ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi yang
dapat diandalkan, sekaligus menjawab pertanyaan ditengah masyarakat seperti “mengapa negara
tidak mengesahkan pernikahan beda agama?”

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam
proses pembuatan karya tulis ini. Khususnya bagi saudara Yustinus Anta, SH. dan saudara
Albertus Redy dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang telah memberikan kritik, masukan
dan saran dalam penyusunan karya tulis ini. Akhir kata, tidak ada karya yang sempurna, maka
penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila dalam penulisan karya tulis ini masih terdapat
kesalahan dan kekurangan.

Denpasar, 20 November 2022

Hormat saya,

Willem Edward de Graal

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana


Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan campur beda agama?


2. Apa substansi dan bagaimana cara kerja dari hukum perkawinan dalam hal perkawinan
campur beda agama dilihat dari studi kasus yang diberikan?
3. Mengapa perkawinan beda agama tetap dicatatkan meskipun tidak sah secara hukum?

Studi Kasus

https://nasional.kompas.com/read/2022/09/17/06400031/ramai-soal-nikah-beda-agama-
kemendagri--dukcapil-hanya-mencatatkan-bukan

“DRS yang beragama Kristen dan JN yang memeluk agama Islam itu telah melangsungkan
pernikahan pada 31 Mei 2022 di Gereja Kristen Nusantara, Jakarta Pusat. Pada 27 Juni 2022
keduanya melayangkan gugatan ke PN Jaksel. DRS dan JN meminta pengadilan menyatakan
perkawinan mereka sah serta meminta pengadilan memerintahkan Dinas Dukcapill menerbitkan
akta perkawinan. Gugatan ini dikabulkan sebagian oleh PN Jaksel. Majelis hakim menolak
mengabulkan permohonan DRS dan JN yang meminta supaya pengadilan menyatakan perkawinan
mereka sah. Namun, majelis mengabulkan permintaan DRS dan JN untuk memerintahkan
Dukcapil mencatatkan perkawinan keduanya dan menerbitkan akta perkawinan. "Memerintahkan
agar Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan
untuk mencatatkan Perkawinan Beda Agama Para Pemohon ke Register Pencatatan Perkawinan
yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut," tulis amar putusan
pengadilan dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan
dikutip Kamis, (15/9/2022). Menurut hakim, kendati DRS dan JN berbeda agama, keduanya telah
melakukan perkawinan. Sehingga, sebagaimana bunyi undang-undang, perkawinan itu harus
dicatatkan.”
Analisis

Secara umum (Lex Generalis), hak konstitusional warga negara Indonesia untuk
melaksanakan perkawinan, meneruskan keturunan dan membina keluarga tercantum dalam Pasal
28B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut “Setiap orang berhak membentuk keluarga
dan meneruskan keturunan melalui keturunan yang sah.” Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Kemudian
dirincikan secara khusus (Lex Specialis) dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal
1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974 telah menjelaskan apa itu perkawinan dan perkawinan beda agama
yang olehnya dikategorikan sebagai perkawinan campur.

Pasal 1

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama dikategorikan sebagai
perkawinan campur oleh Hukum Belanda. Tentang perkawinan campur telah diatur dalam
Regeling op de Gemende Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang biasa disingkat GHR. Dalam Pasal
1 GHR disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Selain GHR dan UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan
di Indonesia juga diatur oleh Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.

Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 telah mengindikasikan bahwa tidak ada perkawinan
di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Beberapa pasal dalam Instruksi Presiden
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menyampaikan sebagai
berikut.
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”

Artinya adalah perkawinan yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia harus dilakukan
dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak diperbolehkan untuk dilaksanakan
dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda agama berarti pernikahan itu
tidak sah dan melanggar undang-undang. Hukum positif yang berlaku di Indonesia, yakni UU No.
1 Tahun 1974 tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga perkawinan beda agama tidak
dapat disahkan. Perkawinan tetap dicatatkan, yakni bagi pihak beragama Islam di Kantor Urusan
Agama dan bagi pihak non-Islam di Kantor Catatan Sipil.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berpihak kepada nilai-nilai dan ajaran setiap
agama. Pasal 6 ayat (6) UU No. 1 Tahun 1974 yang menjelaskan mengenai Persyaratan
Perkawinan menegaskan bahwa perlu untuk memperhatikan aturan setiap agama mengenai
perkawinan. Maka seandainya hukum agama atau kepercayaan salah satu mempelai melarang
adanya perkawinan beda agama, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, perkawinan tersebut
dapat batal (ibid. Pasal 22).

Pasal 6 ayat (6)

“Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.”

Pasal 22

“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan."

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berangkat dari sistem hukum
agama, sehingga tidak mungkin dipisahkan dari norma agama atau hukum yang berlaku didalam
agama itu sendiri. Secara penafsiran, UU No. 1 Tahun 1974 melarang perkawinan beda agama
karena berangkat dari kenyataan bahwa semua agama mengajarkan dan menganjurkan perkawinan
seiman. Perkawinan beda agama sudah diatur dalam aturan agama itu sendiri, sehingga peran UU
No. 1 Tahun 1974 hanya sebatas mengakomodir pencatatan administrasi negara.
Sekaligus menjawab mengapa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang sah atau tidaknya
perkawinan beda agama, karena sah atau tidaknya perkawinan beda agama diserahkan kepada
hukum agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (6) dan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974.

Kesalahpahaman muncul ketika pencatatan atas perkawinan beda agama disamakan


dengan mengesahkan perkawinan terkait. Perlu diketahui bahwa pencatatan atas setiap perkawinan
tidak sama dengan perkawinan tersebut sah dimata hukum. Pencatatan dilakukan karena
perkawinan, sah atau tidak, merupakan suatu peristiwa hukum. Maka perkawinan beda agama
harus dicatat oleh negara, karena terlepas dari unsur beda agama atau SARA, perkawinan itu
sendiri merupakan fenomena atau peristiwa hukum (peristiwa kependudukan). Pencatatan
peristiwa kependudukan ini diatur oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.

Pasal 1 angka 11 dan 17

“Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena
membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk
dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta
status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.”

“Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir
mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan
nama dan perubahan status kewarganegaraan.”

Dalam kaitannya dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan studi kasus
perkawinan beda agama DRS dan JN, Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2006 telah menjelaskan bahwa
perkawinan (beda agama atau tidak) termasuk ke dalam kategori peristiwa penting yang perlu
dicatatkan. Sebagai peristiwa kependudukan, perkawinan harus dilaporkan dan dicatatkan oleh
petugas pencatatan sipil karena akan membawa akibat atau berpengaruh langsung terhadap
penerbitan atau perubahan dokumen resmi negara seperti Kartu Keluarga, perubahan status
perkawinan di Kartu Tanda Penduduk, dan penerbitan Akta Kelahiran bagi calon anak. Maka dapat
disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan berpengaruh langsung terhadap kelangsungan hidup
warga negara Indonesia yang memutuskan untuk berkeluarga dan pencatatan perkawinan tidak ada
hubungannya dengan sah atau tidaknya perkawinan. Khususnya perkawinan beda agama.
Kesimpulan

Secara umum (Lex Generalis), hak konstitusional warga negara Indonesia untuk
melaksanakan perkawinan, meneruskan keturunan dan membina keluarga tercantum dalam Pasal
28B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut “Setiap orang berhak membentuk keluarga
dan meneruskan keturunan melalui keturunan yang sah.” Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Kemudian
dirincikan secara khusus (Lex Specialis) dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generalis yakni penafsiran hukum yang
menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang
bersifat umum (lex generalis), maka dalam hal perkawinan diikutilah ketentuan dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sesuai dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan yang dilakukan di wilayah
hukum Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak
diperbolehkan untuk dilaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan
beda agama berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar undang-undang. Hukum positif yang
berlaku di Indonesia, yakni UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengenal perkawinan beda agama,
sehingga perkawinan beda agama tidak dapat disahkan. Tidak lain karena Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan berangkat dari sistem hukum agama, sehingga tidak mungkin
dipisahkan dari norma agama atau hukum yang berlaku didalam agama itu sendiri. Secara
penafsiran, UU No. 1 Tahun 1974 melarang perkawinan beda agama karena berangkat dari
kenyataan bahwa semua agama mengajarkan dan menganjurkan perkawinan seiman. Perkawinan
beda agama sudah diatur dalam aturan agama itu sendiri, sehingga peran UU No. 1 Tahun 1974
hanya sebatas mengakomodir pencatatan administrasi negara. Perkawinan itu sendiri tetap harus
dicatat oleh negara demi kepentingan administrasi.

Kesalahpahaman muncul ketika pencatatan atas perkawinan beda agama disamakan


dengan mengesahkan perkawinan terkait. Perlu diketahui bahwa pencatatan atas setiap perkawinan
tidak sama dengan perkawinan tersebut sah dimata hukum. Pencatatan dilakukan karena
perkawinan, sah atau tidak, merupakan suatu peristiwa hukum. Sebagai peristiwa kependudukan,
perkawinan harus dilaporkan dan dicatatkan oleh petugas pencatatan sipil karena akan membawa
akibat atau berpengaruh langsung terhadap penerbitan atau perubahan dokumen resmi negara
seperti Kartu Keluarga, perubahan status perkawinan di Kartu Tanda Penduduk, dan penerbitan
Akta Kelahiran bagi calon anak. Pencatatan perkawinan berpengaruh langsung terhadap
kelangsungan hidup warga negara Indonesia yang memutuskan untuk berkeluarga dan pencatatan
perkawinan tidak ada hubungannya dengan sah atau tidaknya perkawinan. Khususnya perkawinan
beda agama.

Mengacu kepada contoh kasus DRS dan JN yang melakukan perkawinan campur beda
agama, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengambil keputusan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 (UU
Perkawinan) dan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yaitu bahwa
perkawinan beda agama tidak dapat disahkan karena bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974
yang berlandaskan norma agama, tetapi dapat dicatatkan karena perkawinan itu sendiri, terlepas
dari isu beda agama, tetap merupakan suatu peristiwa penting dalam kependudukan.

Referensi

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
4) Post Instagram Heylaw “Apakah Bisa Melangsungkan Pernikahan Beda Agama Di
Indonesia?” https://www.instagram.com/p/CbupcEEh11A/?igshid=MDJmNzVkMjY=
5) Hasil diskusi dengan rekan-rekan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai