Anda di halaman 1dari 17

CONTOH KASUS HUKUM PERDATA

(perkawinan beda agama


lydia kandou dan jamal mirdad)

vv

Pada tahun 1986 Lydia Kandou menikah dengan actor Jamal Mirdad. Peristiwa ini menjadi
begitu kontroversial, karena perbedaan agama. Lydia Kandou yang beragama Kristen dan Jamal
Mirdad yang beragama islam. Perbedaan agama di antara keduanya tidak menghentikan langkah
keduanya menuju mahligai pernikahan, walaupun UU Perkawinan 1974 pasal 2 ayat 1
menghalangi mereka untuk bersatu secara sah. Undang-undang tersebut menyatakan :
"Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya”. Untuk itu, sebuah perkawinan harus disahkan lebih dulu oleh agama yang
bersangkutan sebelum didaftar ke Kantor Catatan Sipil. Konsekuensinya, banyak pasangan
berbeda agama tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil.

Karena Undang-undang tersebut, bagi mereka yang akan menikah namun berbeda agama
melakukannya secara diam-diam maupun menikah diluar negeri. Namun pasangan Jamal Mirdad
dan Lydia Kandou nekad menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka mati-matian
di Pengadilan Negeri. Peristiwa yang terjadi tahun 1986 tersebut begitu menggemparkan.
Tentangan dan kecaman dari agamawan dan masyarakat menghantam secara bertubi-tubi
pasangan ini. Ketika mereka berdua memang pada saat itu sedang berada dipuncak karir, liputan
berbagai media saat itu membuat peristiwa pernikahan beda agama ini semakin heboh. Tetapi
setelah melewati perjuangan panjang dan melelahkan dan didasari cinta yang kuat diantara
keduanya, akhirnya dengan bantuan pengacara, pernikahan mereka disahkan juga oleh pengadilan
pada tahun 1995.

Ibunda Lydia adalah salah seorang menentang habis-habisan pernikahan Lydia yang saat itu
berumur 22 tahun dengan Jamal. Karenanya sang ibunda pun pindah dari Jakarta ke Bandung.
Lydia tahu bahwa dia menyakiti hati ibunya, maka dua hari sekali Lydia dan Jamal menemui
ibunya. Namun dalam kunjungan-kunjungan itu Jamal selalu menunggu di depan rumah. Selama
kurang lebih setahun, Jamal rela bolak-balik Jakarta-Bandung dan tidur di mobil, sementara Lydia
menginap di rumah sang Ibu. Akhirnya Ibunda Lydia menjadi luluh juga hatinya. Suatu hari, Lydia
hendak menginap di rumah Ibundanya, dan tanpa disangka, sang Ibu menyuruh Lydia mengajak
Jamal masuk ke dalam rumah. Saat diterima, Jamal pun langsung meminta maaf kepada Ibunda
Lydia.

Agama dan orangtua bukan masalah satu-satunya yang dihadapi pasangan Lydia Kandou dan
Jamal Mirdad ini. Masalah beda budaya juga merupakan masalah yang harus dihadapi keduanya.
Lydia yang berdarah Manado-Belanda dan Jamal yang berdarah Jawa membuat mereka harus
melakukan penyesuaian diri terhadap karakter dan latar belakang budaya masing-masing. Namun
dengan prinsip perbedaan adalah pelajaran buat mereka yang dianggap berharga dan istimewa dan
dengan kesabaran dan menghormati perbedaan, pasangan ini dapat melaluinya dengan baik sampai
saat ini.

Dari perkawinan Lydia Kandou dan Jamal Mirdad lahir empat anak. Mereka adalah
Hanna Natasya Maria, Kenang Kana, Nasyila, dan Nathana Ghaza. Hanna (Nana) Natasya dan
Naysila telah mengikuti jejak karier orang tuanya. Keduanya bermain dalam sinetron produksi
Sinemart yang ditayangkan stasiun televise RCTI berjudul Liontin 2. Tema lagu: Menunggumu
digarap Ariel Peterpen dari album Senyawa yang cerita dan skenarionya digarap Putri Pranarka
dan Alexis Leirissa. Film televisi ini disutradarai oleh Noto Bagaskara. 1[1]
ANALISIS

Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku
sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam
bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian
dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr.
Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak
ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat
dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi
orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat
terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan
peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran
bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa
ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat
dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal
10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga
penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama
merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua,
bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang
menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang
berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga
mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama
sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974
maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran,
karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.

Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No.
1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak
permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974
yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan
pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut
hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-
undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta
penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar
hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat
dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada
pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang
yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada
beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-
orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat
kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang
berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam
UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan
beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam
undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang
mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak
berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW,
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa
ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
CONTOH KASUS HUKUM PERDATA
(jual beli rumah)
Pada hari ini, Selasa, tanggal delapan belas bulan september tahun dua ribu tujuh, kami yang
bertanda tangan di bawah ini :

1. LUKMAN ARDIANTO S.H, 30 tahun, pekerjaan Advokat, bertempat tinggal di Jl.


Waringin Timur No. 23, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah, dalam hal ini bertindak
untuk dan atas namanya sendiri yang selanjutnya akan disebut sebagai Pihak Pertama
2. ARIFIN ISKANDAR, 34 tahun, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jl.
Senayan City No 11, Kota Senayan, Propinsi DKI Jakarta, dalam hal ini bertindak untuk
dan atas namanya sendiri yang selanjutnya akan disebut juga sebagai Pihak Kedua

Kedua belas pihak dengan ini menerangkan bahwa Pihak Pertama menyewakan kepada
Pihak Kedua berupa Rumah yang berdiri diatas Sertifikat Hak Milik No 013/HM/2005 yang
terletak di Jl, Puri Melati, No 15, Kota Depok, Propinsi Jawa Barat dengan fasilitas-fasilitas
sebagai berikut :

1. Sambungan listrik sebesar 1300 watt dari PLN dengan nomor kontrak 123456788262
2. Sambungan air bersih dari PDAM Kota Depok dengan nomor kontrak asjhtg2613162537
3. Sambungan telepon tetap nirkabel dari PT Bakrie Tel dengan nomor 021-99266637
4. Jetpam
5. Kolam Ikan

Kedua belah pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian ini dengan syarat-syarat
sebagai berikut

Pasal 1

1. Perjanjian sewa menyewa ini berlaku tiga hari setelah ditandatanganinya perjanjian ini dan
akan berakhir dengan sendirinya pada 18 September 2008.
2. Perjanjian ini dapat diperpanjang untuk jangka waktu dan syarat-syarat yang disepakati
oleh kedua belah pihak.
3. Pihak kedua dalam jangka waktu tiga bulan sebelum masa berakhirnya perjanjian harus
menyatakan kehendaknya secara tertulis untuk perpanjangan perjanjian ini
Pasal 2

1. Uang sewa rumah adalah sebesar Rp. 50.000.000/tahun yang telah dibayar secara tunai
oleh Pihak Kedua pada saat ditanda-tanganinya perjanjian ini
2. Akta perjanjian ini juga berlaku sebagai kuitansi (tanda terima pembayaran) yang sah

Pasal 3

1. Pihak Pertama menyerahkan rumah kepada Pihak Kedua dalam keadaan kosong dari
penghuni dan barang-barang milik Pihak Pertama
2. Pada saat berakhirnya perjanjian ini, Pihak Kedua harus menyerahkan kembali rumah
dalam keadaan kosong dan terpelihara kepada Pihak Pertama dan Pihak Pertama tidak
berkewajiban untuk menyediakan sarana penampungan guna menampung keperluan dan
barang-barang dari Pihak Kedua
3. Apabila pada saat berakhirnya perjanjian ini, Pihak Kedua tidak dapat melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan Pihak Kedua tidak menyatakan
kehendaknya untuk memperpanjang perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(3), maka untuk setiap keterlambatan Pihak Kedua akan dikenakan denda sebesar Rp.
100.000,00/hari, dan denda tersebut dapat ditagih seketika dan sekaligus lunas
4. Apabila keterlambatan tersebut berlangsung hingga 10 hari sejak berakhirnya perjanjian,
maka Pihak Kedua memberi kuasa kepada Pihak Pertama untuk mengosongkan rumah dari
semua penghuni dan barang-barang atas biaya Pihak Kedua dan bilamana perlu dengan
bantuan pihak kepolisian setempat

Pasal 4

1. Pihak Kedua tidak diperkenankan untuk mengubah fungsi serta peruntukkan sebagai
rumah tinggal
2. Pihak Kedua atas tanggungan sendiri dapat melakukan perubahan pada rumah yang tidak
akan mengubah konstruksi dan NJOP dan tambahan tersebut harus merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan menjadi milik Pihak Pertama
3. Perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dengan ijin tertulis dari Pihak
Pertama
Pasal 5

1. Pihak Pertama menjamin Pihak Kedua bahwa selama masa perjanjian ini berlaku, Pihak
Kedua tidak akan mendapatkan tuntutan dan/atau gugatan dari pihak lain yang menyatakan
mempunyai hak atas tanah dan rumah tersebut
2. Apabila terjadi perubahan kepemilikan terhadap rumah tersebut, Pihak Kedua tetap dapat
menikmati hak sewa sampai berakhirnya perjanjian ini

Pasal 6

1. Selama masa sewa berlangsung, Pihak Kedua wajib memberikan uang jaminan sebesar Rp.
10.000.000,00 secara tunai kepada Pihak Pertama
2. Uang Jaminan tersebut akan dikembalikan kepada Pihak Kedua secara tunai oleh Pihak
Pertama, setelah Pihak Pertama memastikan tidak ada kewajiban pembayaran yang
tertunggak dari Pihak Kedua termasuk namun tidak terbatas pada tagihan telepon, listrik,
air, PBB, dan iuran warga.

Pasal 7
Selama perjanjian ini berlangsung, Pihak Kedua tidak diperkenankan untuk memindahkan hak
sewanya sebagian ataupun seluruhnya kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari Pihak
Pertama

Pasal 8
Segala kerusakan kecil maupun besar dari rumah tersebut menjadi tanggungan sepenuhnya dari
Pihak Kedua kecuali terhadap kerusakan yang ditimbulkan bukan oleh Pihak Kedua (force majuer)
akan ditanggung secara bersama oleh kedua belah pihak

Pasal 9
Segala pungutan dan/atau iuran termasuk namun tidak terbatas pada iuran warga, PBB, tagihan
listrik, telepon, dan air menjadi tanggungan Pihak Kedua selama masa perjanjian berlangsung

Pasal 10
Segala ketentuan yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur selanjutnya dalam adendum
yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian ini dan akan diputuskan secara bersama

Pasal 11

1. Apabila terjadi sengketa atas isi dan pelaksanaan perjanjian ini, kedua belah pihak akan
menyelesaikannya secara musyawarah
2. Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak berhasil, maka kedua belah pihak sepakat
untuk memilih domisili hukum dan tetap di kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Depok

Demikian perjanjian ini disetujui dan dibuat serta ditanda tangani oleh kedua belah pihak
dengan dihadiri saksi-saksi yang dikenal oleh kedua belah pihak serta dibuat dalam rangkap dua
bermateri cukup yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Semoga ikatan perjanjian ini membawa berkah bagi semua pihak

Pihak Pertama Pihak Kedua

LUKMAN ARDIANTO S.H ARIFIN ISKANDAR

Saksi
1. SUTONO
2. RAHMAT WIDADI
ANALISIS :

MENURUT KITAP UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA


Dalam kitab undang-undang hukum perdata buku ketiga tentang perikatan, untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat ( pasal 1320 KUHP ) :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu hal tertentu, dan
4. Suatu sebab yang halal.
Dari keterangan tersebut diatas, maka saya akan mencoba mengkaji lebih jauh mengenai
perjanjian sewa-menyewa yang tertulis diatas.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Sepakat dalam hal ini adalah persetujuan antara pihak-pihak untuk melakukan perjanjian.
Kesepakatan tidak salah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan
paksaan atau penipuan (1321 KUH Perdata).
Dalam contoh perjanjian sewa-menyewa diatas, telah terjadi
 kesepakatan antara para pihaknya yaitu LUKMAN ARDIANTO, swasta, bertempat tinggal di Jl.
Waringin Timur No. 23, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah, dalam hal ini bertindak untuk dan
atas namanya sendiri yang selanjutnya akan disebut sebagai Pihak Pertama dengan ARIFIN
ISKANDAR, swasta, bertempat tinggal di Jl. Senayan City No 11, Kota Senayan, Propinsi DKI
Jakarta, dalam hal ini bertindak untuk dan atas namanya sendiri yang selanjutnya akan disebut juga
sebagai Pihak Kedua dengan berbagai persyaratan yang mereka setujui bersama.
Syarat kesepakatan ini,bersama-sama dengan syarat kewenangan berbuat, merupakan syarat
obyektif dari kontrak. Jika tidak dipenuhinya kesepakatan kehendak dan syarat kewenangan
berbuat maka akan mengakibatkan kontrak sewa-menyewa ini ”dapat dibatalkan”.
Kesepakatan sewa-menyewa rumah dimulai dari adanya unsur penawaran dari pihak Lukman
Ardianto sebagai pihak pertama dan diikuti oleh penerima penawaran dari pihak Arifin Iskandar
sebagai pihak kedua.
 Tidak ada unsur paksaan, penipuan dan kesilapan untuk mencapai kesepakatan sewa-menyewa
rumah tersebut.
2. Kecakapan Berbuat dari Para Pihak (untuk membuat suatu perikatan)
Menurut ketentuan yang berlaku bahwa semua orang cakap (berwenang) membuat kontrak kecuali
mereka yang tergolong sebagai berikut :
e. Orang yang belum dewasa (belum berumur 21 tahun atau belum kawin).
f. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan
 Orang yang dingu (onnoozelheid)
 Orang gila (tidak waras pikiran)
 Orang yang gelap mata (razernij)
 Orang boros
g. Wanita bersuami (agar jangan samapai ada dua nahkoda dalam satu perahu, karena dalam suatu
perkawinan, pihak suamilah yang dianggap sebagai nakkodanya (kepala rumah tangga)).
h. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.
(pasal 1330 KUH Perdata)

Dari ketentuan diatas, maka dapat dipastikan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu
kecakapan berbuat dari para pihak yang melakukan sewa-menyewa rumah telah dipenuhi. Dapat
dibuktikan dari identitas dari para pihak yang tertera dalam surat perjanjian sewa-menyewa diatas
yaitu
 LUKMAN ARDIANTO S.H, 30 tahun, pekerjaan Advokat, bertempat tinggal di Jl. Waringin
Timur No. 23, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah, dalam hal ini bertindak untuk dan atas
namanya sendiri yang selanjutnya akan disebut sebagai Pihak Pertama
 ARIFIN ISKANDAR, 34 tahun, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jl. Senayan
City No 11, Kota Senayan, Propinsi DKI Jakarta, dalam hal ini bertindak untuk dan atas namanya
sendiri yang selanjutnya akan disebut juga sebagai Pihak Kedua.

Semua pihak telah dewasa, tidak dibawah pengampuan, laki-laki bukan perempuan serta
tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.

3. Suatu Hal Tertentu


Perihal tertentu adalah perihal yang merupakan obyek dari suatu kontrak. Jadi dalam perjanjian
sewa-menyewa yang dilakukan oleh LUKMAN ARDIANTO dengan ARIFIN ISKANDAR
adalah sebuah rumah yang berdiri diatas Sertifikat Hak Milik No 013/HM/2005 yang terletak di
Jl, Puri Melati, No 15, Kota Depok dengan fasilitas yang disediakan.

4. Suatu Sebab yang Halal


Sebab yang halal adalah sebab mengapa kontrak itu dibuat (harus halal)
Dari contoh surat sewa-menyewa diatas, sebab dilakukan perjanjian sewa menyewa rumah antara
lain untuk :
 Agar rumah itu dapat dirawat apabila rumah tersebut disewakan serta mendapakan upah sewa dari
rumah yang disewakan bagi penyewa (LUKMAN ARDIANTO).
 Agar pihak penyewa (ARIFIN ISKANDAR) mendapatkan tempat tinggal yang layak ataupun
untuk melakukan suatu usaha di rumah yang disewanya.
CONTOH KASUS HUKUM PERDATA/DAGANG
(sewa-menyewa)

Pada awalnya PT. Abdi Pamungkas (PT AP) dibuka dan disewakan untuk pertokoan, pihak
pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya adalah
secara persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan dipusat kota Palembang
itu. Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT Abdi Pamungkas adalah Azis
Ismail yang tinggal di Manggarai, Jakarta. Azis memanfaatkan ruangan seluas 794,31 M2 Lantai
III itu untuk menjual baju muslim dengan nama toko Baroqah. Enam bulan berlalu Azis menempati
ruangan itu, pengelola AP mengajak Azis membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan
Notaris. kedua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, service charge,
sanksi dan segala hal yang bersangkutan dengan sewa menyewa ruangan. Azis bersedia membayar
semua kewajibannya pada PT AP, tiap bulan terhitung sejak Juni 1998 – 30 Mei 2008 paling
lambat pembayaran disetorkan tanggal 15 dan denda 2 0 / 0 0 (dua permil) perhari untuk
kelambatan pembayaran. Kesepakatan antara pengelola PT AP dengan Azis dilakukan dalam Akte
Notaris Stefanus Sindhuntha No. 40 Tanggal 8/8/1998. Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya
hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Azis ternyata tidak pernah dipenuhi, Azis menganggap
kesepakatan itu sekedar formalitas sehingga tagihan demi tagihan pengelola AP tidak pernah
dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No.40 tersebut tidak berlaku karena pihak AP telah
membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda
pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Azis akan dibicarakan kembali diakhir tahun 2001.
Namun pengelola AP berpendapat sebaliknya. Akte No.40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan
tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut. Hingga 10 Maret 2001, Azis seharusnya
membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT AP. Meski kian hari jumlah uang
yang harus dibayarkan untu ruangan yang ditempatinya terus bertambah,Azis tetap berkeras untuk
tidak membayarnya. Pengelola AP yang mengajak Azis meramaikan pertokoan itu. Akihirnya
pihak pengelola AP menutup Toko Baroqah secara paksa. Selain itu, pengelola AP menggugat
Azis ke Pengadilan Negeri Palembang.
ANALISIS

Hukum perikatan diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang terdiri
dari 18 bab, 631 pasal dimulai dari pasal 1233 KUH Perdata dan masing-masing bab dibagi dalam
beberapa bagian.Istilah hukum perikatan merupakan terjemahan dari kata Verbintenissenrecht
(Belanda) yaitu keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara subjek
hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek
hukum yang satu berhak atas suatu prestasi. Prestasi tersebut menurut KUHPerdata, sebagaimana
yang tercantum dalam Bab 1 Pasal 1234 dapat berupa menyerahkan suatu barang,melakukan suatu
perbuatan dan tidak melakukan suatu perbuatan. Pelanggaran Hukum yang terjadi didalam kasus
Perikatan PT Abdi pamungkas dengan pedagang yang benama bapak Aziz Ismail dalam perjanjian
sewa-menyewa yang dibuat tersebut adalah :

Dilihat dari kronologis kejadianya Azis memanfaatkan ruangan seluas 794,31 M2 Lantai
III itu u
ntuk menjual baju muslim dengan nama toko Baroqah. Enam bulan berlalu Azis
menempati ruangan
itu, pengelola AP mengajak Azis membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan
Notaris. kedua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, service charge,
sanksi dan segala hal yang bersangkutan dengan sewa menyewa ruangan. Azis bersedia membayar
semua kewajibannya pada PT AP, tiap bulan terhitung sejak Juni 1998 – 30 Mei 2008 paling
lambat pembayaran disetorkan tanggal 15 dan denda 2 0 / 0 0 (dua permil) perhari untuk
kelambatan pembayaran. Kesepakatan antara pengelola PT AP dengan Azis dilakukan dalam Akte
Notaris Stefanus Sindhuntha No. 40 Tanggal 8/8/1998. Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya
hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Azis ternyata tidak pernah dipenuhi, Azis menganggap
kesepakatan itu sekedar formalitas sehingga tagihan demi tagihan pengelola AP tidak pernah
dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No.40 tersebut tidak berlaku karena pihak AP telah
membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda
pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Azis akan dibicarakan kembali diakhir tahun 2001.
Namun pengelola AP berpendapat sebaliknya. Akte No.40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan
tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.Hingga 10 Maret 2001, Azis seharusnya
membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT AP.

Pasal- Pasal dalam Hukum Perdata yang dilanggar didalam Kasus tersebut adalah :
1. Pasal 1238
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai,atau demi perikatanya sendiri, ialah jika ini menetapkan,bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
2. Pasal 1239
Tiap-tiap perikatan untuk membuat sesuatu,atau untuk tidak berbuat sesuatu,apabila si berutang
tidak memenuhi kewajibanya,mendapatkan penyelesaianya dalam kewajiban memberikan
penggantian biaya,rugi dan bunga.
3. Pasal 1243
Penggantian biaya,rugi dan bunga karena tak terpenuhinya suatu perikatan,barulah mulai di
wajibkan,apabila si berutang,setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,telah
melalaikanya,atau jika suatu yang harus diberikan atau dibuatnya,hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang etlah dilampaukannya.
4. Pasal 1244
Jika ada alasan untuk itu,siberutang harus di hukum mengganti biaya,rugi dan bunga apabila ia tak
dapat membuktikan,bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan
itu,disebabkan suatu hal yang tak terduga,pun tak dapat dipertanggung jawabkan padanya,
kesemuanya itupun itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.
5. Pasal 1268
Suatu ketetapan waktu tidak dapat menangguhkan perikatan melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaannya.

Anda mungkin juga menyukai