Anda di halaman 1dari 22

TUGAS HUBUNGAN INDUSTRIAL PRAKTEK ANALISIS KASUS

ANALISIS KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA SEPIHAK


DALAM PUTUSAN NOMOR 10/PDT.SUS-PHI/2021/PN-DPS

Analisis Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hubungan Industrial

Dosen Pembimbing :
Dr. Ujang Charda S, SH., MH., M.IP.,M.AP

Disusun Oleh :
Deden Sutisna
A1B.18.0025

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS SUBANG
2021
ANALISIS KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA SEPIHAK
DALAM PUTUSAN NOMOR 10/PDT.SUS-PHI/2021/PN-DPS
KASUS POSISI
Salah satu hak manusia adalah untuk mendapatkan perlindungan hukum, dimana
manusia sebagai subjek hukum baik dalam keadaan perorangan maupun ketika berada dalam
suatu komunitas/kelompok atau dalam keadaan lainnya. Perlindungan hukum merupakan
salah satu perlindungan yang diberikan kepada masyarakat untuk mendapat hak-hak yang
sepantasnya didapatkan dari hukum tersebut. Perlindungan hukum dapat dilihat sebagai salah
satu upaya hukum untuk mempertahankan harkat dan martabat serta hak-hak asasi manusia
guna memberikan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bernegara.
Perlindungan tenaga kerja merupakan suatu sistem hubungan kerja secara harmonis
tanpa adanya tekanan dari pihak manapun dan tak ada tekanan dari pihak yang kuat kepada
pihak lemah. Perlindungan hukum sesuai dengan peratusan perundangaan yang berlaku. Hak
buruh berupa uang pisah, uang ganti rugi perumahan dan pengobatan, uang penghargaan
masa kerja, dan uang pesangon. Sesuatu hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja atau
karyawan suatu hal abstrak merupakan hubungan kerja. Kata lain tidak ada persamaan paham
dalam hubungan kerja yang kedua belah pihak sepakati bersama. Hak-hak yang tidak
terpenuhi dengan baik dapat menimbulkan adanya perselisihan hak, hal ini disebabkan dari
adanya selisih pendapat mengenai pelaksaan atau penafsiran terhadap ketentuan yang telah
tertuang dalam peraturan perundang-undangan, dalam peraturan perusahan maupun dalam
perjanjian kerja, perselisihan hak ini juga sering disebut sebagai perselisihan normatif.
Penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial dapat melalui penyelesaian
bipartit menjadi salah satu jalan menyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial yang
dapat diselesaikan dengan cara non ajudikasi melaui form antara pihak pekerja melalui
serikat buruh dengan perusahan dan dengan melibatkan pihak lain. Jika bipatrit tidak juga
dengan kata sepakat antara kedua belah pihak maka selanjutnya dengan cara tripartit
penyelesaian tetap di jual pengadilan berupa mediasi, konsliasi, dan bisa arbitrase dengan
cara ini sering disebut non litigasi atau penyelesaian di luar pengadilan, sedangkan kasus
ketenagakerjaan dengan pemutusan hubungan kerja tetap melalui litigasi di dalam
pengadilan. PKWT merupakan perjanjian kerja antara pihak pemberi kerja dengan penerima
kerja bersangkutan akan terjadi hubungan kerja untuk pekerja terterntu atau waktu tertentu,
PKWT berupa tertulis memakai bahasa indonsia dan bahasa asing, sehingga di butuhkan
seorang juru bahasa. Sedangkan PKWTT merupakan bentuk perjanjian kerja anatara kedua
belah pihak anatra pengusaha dengan pekerja/ karyawan untuk hubungan kerja yang sifatnya
tepat.
Duduk perkara KMBP, laki-laki, Warga Negara Indonesia, jabatan terakhir sebagai
Management Consultant beralamat di xxx, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya
IBAM S.H., DPL, S.H., M.H. dan IWGY, S.H., M.H., Para Advokat dan Konsultan Hukum,
pada kantor xxx, beralamat di Jalan Danau XXX Denpasar - Bali, untuk selanjutnya disebut
sebagai penggugat. Lawan Yayasan GMISB Berkantor Cabang di Jl. Tukadxxx Nomor xxx,
Kec.Denpasar XXX, Kota Denpasar, Bali dan Berkantor Pusat di Jl.xxx, Jakarta dalam hal ini
diwakili oleh kuasa hukumnya IWR, S.H., C.N., M.H., Advokat/Penasihat Hukum pada
kantor Law FirmXXX, alamat Jl.XXX Jakarta Pusat, surat kuasa tertanggal 20 juli 2021 dan
sebagai tergugat.
Menurut Udiana bahwa suatu gugatan yang diajukan pekerja/buruh kepada
majikan/pemberi kerja berdasarkan Pasal 1365 BW tentang perbuatan melanggar hukum,
maka gugatan tersebut (PHK tanpa izin dan pembayaran gaji dibawah standar upah
minimum) merupakan perselisihan hak yang menjadi wewenang peradilan umum. Penggugat
telah mengajukan surat gugatan tertanggal 7 Juli 2021, sudah didaftarkan dan di terima di
kepaniteraan. Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar pada
tanggal 10 Juli 2021 dibawah register perkara nomor : 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN.Dps,
Gaji pokok guru swasta KMBP terakhir Rp.38.000.000/gaji di tambah tunjangan tetap
sebesar Rp2.000.000 yang dibayarkan secara bulanan, sehingga jumlah upah yang di terima
pengugat melalui tranfer bank sebesarRp.40.000.000 perbulan secara bersih setelah di potong
pajak yang di bayarkan oleh tergugat. Penggugat telah mempunyai hubungan kerja dengan
tergugat sejak tahun 1999. Segi normatif hukum telah di atur pada pasal 57 ayat (1) dan ayat
(2) UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih di tegaskan pada pasal 15 ayat(1)
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu, secara terang
benderang mengatur bahwa perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan lalu
Secara terang benderang mengatur bahwa perjanjian kerja yang tidak dibuat dalam
Bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi perjanjian kerja untuk waktu tertentu
(PKWTT) sejak adanya hubungan kerja. Kata renewal dalam renewal of Agreement yang
dibuat oleh tergugat tersebut diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa sifat pekerjaan
penggugat merupakan pekerjaan yang dibutuhkan oleh tergugat sebagai pekerjaan pokok
yang sifatnya terus menerus, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja untuk sifat
pekerjaan tersebut tidak dapat didasarkan atas (PKWT). Pasal 59 ayat (7) UU
Ketenagakerjaan, PKWT untuk pekerjaan yang menurut sifat dan jenisnya adalah pekerjaan
yang terus menerus tanpa terputus-putus, maka demi hukum Perjanjian Kerja untuk Waktu
Tertentu (PKWT) tersebut menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Pada
tanggal 11 November 2020 tanpa alasan yang jelas dan berdasar hukum, tergugat
mengirimkan surat pemberitahuan kepada penggugat, yang mana dalam surat tersebut
terlampir surat pengunduran diri atas nama penggugat yang tidak pernah sama sekali dibuat
oleh penggugat. Selain itu tergugat juga melarang penggugat untuk masuk ke areal tempat
kerjanya tanpa dasar hukum dan alasan yang jelas. Tergugat yang memaksa penggugat untuk
menandatangani Surat Pengunduran Diri yang tidak pernah dibuatnya. Surat pengunduruan
diri seorang pekerja pada suatu perusahaan harus berdasarkan pada keinginan dan kehendak
sendiri, yang mana dalam ketentuan Pasal 162 ayat (3) dan Pasal 151 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, yakni:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambatlambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas.
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal pengunduran diri.
Apabila terdapat kasus dimana PHK yang dilakukan bersifat sepihak dan pekerja yang di
PHK tidak mendapatkan hak-hak yang sudah seharusnya didapatkan, maka hal itu tentu saja
dapat merugikan para pekerja.13 Pasal 154 UU Ketenagakerjaan ditegaskan pula bahwa
pengunduran diri yang dilakukan oleh Pekerja dilakukan dengan mengajukan pengunduran
diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha. tergugat lakukan kepada penggugat, terlebih penggugat telah mengabdi dengan
profesional dan berintegritas selama 22 (dua puluh dua) tahun kepada tergugat, namun
tergugat memilih mengakhirinya dengan cara yang tidak profesional dan melanggar amanat
UU Ketenagakerjaan. Perundingan secara bipartit, yang mana telah dilaksanakan
perundingan secara bipartit antara penggugat dengan tergugat di tempat milik tergugat
(Sekolah) pada tanggal 5 januari 2021. Kemudian mengundang penggugat dan tergugat untuk
hadir dalam perundingan bipartit II (kedua) yang diselenggarakan pada tanggal 20 Januari
2021 bertempat di ruang pertemuan Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Kota Denpasar. Jelas
tergugat tidak memenuhi undangan tersebut diatas dan tidak hadir dalam perundingan
tersebut, maka oleh karena tidak hadirnya tergugat, dinas tenaga kerja pemerintah Kota
Denpasar kemudian melimpahkan peselisihan ini kepada mediator pada dinas tenaga kerja
provinsi bali, untuk dilaksanakan Perundingan secara Tripartite.
PERTIMBANGAN-PERTIMABANGAN HUKUM DALAM PUTUSAN NOMOR
10/PDT.SUS-PHI/2021/PN-DPS
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Adapun upaya penyelesaian perselisihan di luar pengadilan dapat dilakukan melalui
cara yang tercantum dalam ketentuan Pasal 136 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur yang berlaku dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Berkenaan dengan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatur lebih khusus dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004. Penyelesaian perselisihan hubungan Industrial dapat ditempuh melalui
pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian di Pengadilan Hubungan Industrial
dilakukan apabila penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan,
maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial.
Adapun cara penyelesaian di luar pengadilan hubungan industrial dilakukan dengan cara
(Lestari, 2019:14-17) :
a. Penyelesaian melalui bipartit
Penyelesaian melalui bipartit merupakan penyelesaian dengan mengadakan
perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
b. Penyelesaian melalui mediasi
Penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
c. Penyelesaian melalui konsiliasi
Penyelesaian melalui konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
d. Penyelesaian melalui arbitrase
Penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan hubungan
industrial melalui kesepakatan tertulis dari pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Pemutusan Hubungan Kerja
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja dijelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha (Khakim, 2003:32).
Adapun jenis-jenis pemutusan hubungan kerja antara lain (Rini & Kusumawati,2008:5659) :
a. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha/perusahaan
1) Pekerja melakukan pelanggaran atau kesalahan berat;
2) Terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan;
3) Perusahaan tutup yang disebabkan oleh rugi terus menerus selama 2 tahun atau
adanya keadaan memaksa;
4) Perusahaan melakukan efisiensi;
5) Perusahaan pailit.
b. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja
1) Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
2) Terjadi perubahan kepemilikan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja;
3) Pekerja mangkir (tidak masuk kerja) selama lima hari atau lebih berturut-turut;
4) Pengusaha melakukan pelanggaran/kejahatan terhadap pekerja.
c. Pemutusan hubungan kerja demi hukum atau bukan inisiatif perusahaan maupun
pekerja
1) Pekerja meninggal dunia
2) Pekerja memasuki usia pensiun
3) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) telah selesai
d. Pemutusan hubungan kerja berdasarnya perlu tidaknya izin
1) PHK dengan izin
2) PHK tanpa izin perantara
Pertimbangan-Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-Phi/2021/Pn-
Dps
Pertimbangan Hakim pada putusan Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-Phi/2021/Pn-Dps Yaitu :
Berdasarkan Pasal 1365 BW tentang perbuatan melanggar hukum, maka gugatan
tersebut (PHK tanpa izin dan pembayaran gaji dibawah standar upah minimum) merupakan
perselisihan hak yang menjadi wewenang peradilan umum. Penggugat telah mengajukan
surat gugatan tertanggal 7 Juli 2021, sudah didaftarkan dan di terima di kepaniteraan.
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 10 Juli 2021
dibawah register perkara nomor : 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN.Dps,
Gaji pokok guru swasta KMBP terakhir Rp.38.000.000/gaji di tambah tunjangan tetap
sebesar Rp2.000.000 yang dibayarkan secara bulanan, sehingga jumlah upah yang di terima
pengugat melalui tranfer bank sebesarRp.40.000.000 perbulan secara bersih setelah di potong
pajak yang di bayarkan oleh tergugat. Penggugat telah mempunyai hubungan kerja dengan
tergugat sejak tahun 1999. Segi normatif hukum telah di atur pada pasal 57 ayat (1) dan ayat
(2) UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih di tegaskan pada pasal 15 ayat(1)
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu, secara terang
benderang mengatur bahwa perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan lalu
Secara terang benderang mengatur bahwa perjanjian kerja yang tidak dibuat dalam
Bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi perjanjian kerja untuk waktu tertentu
(PKWTT) sejak adanya hubungan kerja. Kata renewal dalam renewal of Agreement yang
dibuat oleh tergugat tersebut diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa sifat pekerjaan
penggugat merupakan pekerjaan yang dibutuhkan oleh tergugat sebagai pekerjaan pokok
yang sifatnya terus menerus, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja untuk sifat
pekerjaan tersebut tidak dapat didasarkan atas (PKWT). Pasal 59 ayat (7) UU
Ketenagakerjaan, PKWT untuk pekerjaan yang menurut sifat dan jenisnya adalah pekerjaan
yang terus menerus tanpa terputus-putus, maka demi hukum Perjanjian Kerja untuk Waktu
Tertentu (PKWT) tersebut menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Pada tanggal 11 November 2020 tanpa alasan yang jelas dan berdasar hukum,
tergugat mengirimkan surat pemberitahuan kepada penggugat, yang mana dalam surat
tersebut terlampir surat pengunduran diri atas nama penggugat yang tidak pernah sama sekali
dibuat oleh penggugat. Selain itu tergugat juga melarang penggugat untuk masuk ke areal
tempat kerjanya tanpa dasar hukum dan alasan yang jelas. Tergugat yang memaksa
penggugat untuk menandatangani Surat Pengunduran Diri yang tidak pernah dibuatnya. Surat
pengunduruan diri seorang pekerja pada suatu perusahaan harus berdasarkan pada keinginan
dan kehendak sendiri, yang mana dalam ketentuan Pasal 162 ayat (3) dan Pasal 151 ayat (3)
UU Ketenagakerjaan, yakni:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambatlambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas.
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal pengunduran diri.
Apabila terdapat kasus dimana PHK yang dilakukan bersifat sepihak dan pekerja yang di
PHK tidak mendapatkan hak-hak yang sudah seharusnya didapatkan, maka hal itu tentu saja
dapat merugikan para pekerja.13 Pasal 154 UU Ketenagakerjaan ditegaskan pula bahwa
pengunduran diri yang dilakukan oleh Pekerja dilakukan dengan mengajukan pengunduran
diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha. tergugat lakukan kepada penggugat, terlebih penggugat telah mengabdi dengan
profesional dan berintegritas selama 22 (dua puluh dua) tahun kepada tergugat, namun
tergugat memilih mengakhirinya dengan cara yang tidak profesional dan melanggar amanat
UU Ketenagakerjaan.
Pertimbangan hak-hak pekerja yang di dapat pemutusan hubungan kerjanya secara
sepihak berdasarkan Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps. Menurut ketentuan
undang-undang, bagi bekerja yang bertugas dan berfungsi tidak mewakili kepentingan
perusahan secara langsung, selain uang pengganti hak, juga diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama.
Pertimbangan hukum majelis hakim dalam Putusan Nomor 10 Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps:
1. Megabulkan gugatan penggugat untuk Sebagian.
2. Menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu antara penggugat dengan tergugat demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
3. Menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat berakhir karena
pemutusan hubungan kerja terhitung sejak tanggal 2 November 2020.
4. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditetapkan
sejumlah Rp.491.000,00
Jadi pertimbangan hak-hak pekerja pada kasus Putusan Nomor 10/Pdt.SusPHI/2021/PN-
Dps hak-hak pekerja yang di Pengusaha tetap wajib membayar uang penghargaan masa kerja
1 (satu) kali dan uang penghargaan hak. Dengan rincian sebagai berikut:
Uang Pesangon:
2 x 9 x Rp.40.000.000, = Rp. 720.000.000
Uang Penghargaan Masa Kerja
8 x Rp.40.000.000 = Rp. 320.000.000
Jumlah = Rp.1.040.000.000
Uang Penggantian Hak
15% x Rp.1.040.000.000 = Rp. 156.000.000,-
Total seluruhnya = Rp.1.196.000.000,-

Total atau jumlah total hak-hak pekerja yang di dapatkan mulai dari uang ganti rugi,
uangpenghargaan masa kerja dan uang pesangon yang wajib dibayarkan oleh pihak
perusahan kepada karyawan guru sebesar Rp 1.196.000.000.
PUTUSAN PENGADILAN DALAM PUTUSAN NOMOR 10/PDT.SUS-PHI/2021/PN-
DPS
Dengan adanya Pertimbangan hak-hak pekerja yang di dapat pemutusan hubungan
kerjanya secara sepihak berdasarkan Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps. Menurut
ketentuan undang-undang, bagi bekerja yang bertugas dan berfungsi tidak mewakili
kepentingan perusahan secara langsung, selain uang pengganti hak, juga diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja
bersama. Keputusan hukum majelis hakim dalam Putusan Nomor 10 Pdt.Sus-PHI/2021/PN-
Dps:
1. Megabulkan gugatan penggugat untuk Sebagian.
2. Menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu antara penggugat dengan tergugat demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
3. Menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat berakhir karena
pemutusan hubungan kerja terhitung sejak tanggal 2 November 2020.
4. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditetapkan
sejumlah Rp.491.000,00
Jadi keputusan majelis hakim terhadap hak-hak pekerja pada kasus Putusan Nomor
10/Pdt.SusPHI/2021/PN-Dps hak-hak pekerja yang di Pengusaha tetap wajib membayar uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang penghargaan hak. Dengan rincian sebagai
berikut:
Uang Pesangon:
2 x 9 x Rp.40.000.000, = Rp. 720.000.000
Uang Penghargaan Masa Kerja
8 x Rp.40.000.000 = Rp. 320.000.000
Jumlah = Rp.1.040.000.000
Uang Penggantian Hak
15% x Rp.1.040.000.000 = Rp. 156.000.000,-
Total seluruhnya = Rp.1.196.000.000,-

Total atau jumlah total hak-hak pekerja yang di dapatkan mulai dari uang ganti rugi,
uangpenghargaan masa kerja dan uang pesangon yang wajib dibayarkan oleh pihak
perusahan kepada karyawan guru sebesar Rp 1.196.000.000.
Pertimbangan majelis hakim kepada guru swasta yang dijadikan keputusan yaitu
mendapatkan hak yang di akibatkan akibat PHK berupa mulai dari uang pesangon, uang masa
kerja dan uang ganti rugi yang berpedoman dengan aturan yang berlaku. Hak-hak pekerja
yang di peroleh, akibat hukum terjadi dan majelis hakim mengabulkan hak pekerja di PHK
secara sepihak Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps adalah sebesar
Rp.1.196.000.000. Pada pemutusan hubungan kerja secara sepihak hendaknya diberikan
seadil-adilnya dan aturan norma yang ada.
ANALISIS BERDASARKAN
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pada Kasus ini bahwa, Pada tanggal 11 November 2020 tanpa alasan yang
jelas dan berdasar hukum, tergugat mengirimkan surat pemberitahuan kepada
penggugat, yang mana dalam surat tersebut terlampir surat pengunduran diri atas
nama penggugat yang tidak pernah sama sekali dibuat oleh penggugat. Selain itu
tergugat juga melarang penggugat untuk masuk ke areal tempat kerjanya tanpa dasar
hukum dan alasan yang jelas. Tergugat yang memaksa penggugat untuk
menandatangani Surat Pengunduran Diri yang tidak pernah dibuatnya.
Berdasarkan Menurut pasal 61 UU 13/2003 jo. UU 11/2021 perjanjian kerja
dapat berakhir, atau artinya hubungan kerja berakhir, apabila:
- Pekerja meninggal dunia
- Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir
- Selesainya suatu pekerjaan tertentu
Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
Lebih lanjut pasal 154A ayat (1) UU 13/2003 jo. UU 11/2021 dan pasal 36 PP
35/2021 juga mengatur berbagai alasan PHK dapat dilakukan/diperbolehkan.
Dalam hal PHK tidak dapat dihindari, berdasarkan pasal 37 PP 35/2021,
pengusaha diwajibkan untuk memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada
Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan apabila
Pekerja/Buruh yang bersangkutan merupakan anggota dari Serikat Pekerja/Serikat
Buruh. Pemberitahuan PHK dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan
disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau
Serikat Pekerja/Serikat Buruh paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum PHK.
Bila PHK dilakukan dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum PHK.
Jelas bahwa yang dilakukan tergugat sangat melanggar karena Surat
pengunduruan diri seorang pekerja pada suatu perusahaan harus berdasarkan pada
keinginan dan kehendak sendiri, yang mana dalam ketentuan Pasal 162 ayat (3) dan
Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, yakni:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambatlambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas.
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal pengunduran diri.
Apabila terdapat kasus dimana PHK yang dilakukan bersifat sepihak dan pekerja
yang di PHK tidak mendapatkan hak-hak yang sudah seharusnya didapatkan, maka
hal itu tentu saja dapat merugikan para pekerja.13 Pasal 154 UU Ketenagakerjaan
ditegaskan pula bahwa pengunduran diri yang dilakukan oleh Pekerja dilakukan
dengan mengajukan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada
indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha. tergugat lakukan kepada
penggugat, terlebih penggugat telah mengabdi dengan profesional dan berintegritas
selama 22 (dua puluh dua) tahun kepada tergugat, namun tergugat memilih
mengakhirinya dengan cara yang tidak profesional dan melanggar amanat UU
Ketenagakerjaan.

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial
Didalam Hubungan Industrial bisa terjadi perselisihan. Perselisihan Hubungan
Industrial menurut Undang- Undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial No 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 1 yaitu: “Perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar Serikat Pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan”. Berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2004, terdapat
beberapa jenis perselisihan, Hubungan Industrial yaitu:
1. Perselisihan Hak
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran ketentuan peraturan perundang- undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1
angka 2 Undang-Undang No 2 Tahun 2004).
2. Perselisihan Kepentingan
Yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/ atau perubahan syarat-syarat
kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No 2 Tahun 2004).
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak
(Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 2 Tahun 2004).
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu Perusahaan
Yaitu perselisihan antara Serikat Pekerja/serikat buruh dengan Serikat
Pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikat-pekerjaan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No 2 Tahun 2004).
Undang-undang No.2 Tahun 2004 memberikan beberapa pilihan atau alternatif
untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yaitu dapat melakukan
perundingan secara bipatrit, tripatrit, dan dapat pula dilakukan melalui pengadilaan
hubungan industrial (PHI). Pada dasarnya, perundingan tripatrit dilakukan dengan
melibatkan orang ketiga melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase atau lazim disebut
sebagai tahap di luar pengadilan atau non litigasi. Apabila penyelesaian perundingan
secara bipatrit dan tripatrit gagal dilaksanakan atau perundingan tidak mencapai kata
sepakat, baru perkara perselisihan hubungan industrial tersebut dapat dilakukan
melalui pengadilan hubungan industrial (PHI) atau melalui jalur secara litigasi
(Mulyasi. L, 2011).
1. Penyelesaian Melalui Bipatrit
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (10) UU No.2 Tahun 2004 menyatakan bahwa
perundingan bipatrit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial. Bipatrit merupakan langkah pertama untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004. Jadi
dari beberapa ketentuan diatas dapat dipahami bahwa apabila terjadi perselisihan
hubungan industrial maka wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya
secara bipatrit. Tetapi apabila secara bipatrit gagal maka sesuai Pasal 4 ayat (1)
UU No.2 Tahun 2004 : “Dalam hal perundingan bipatrit gagal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipatrit telah dilakukan.”
Lebih dari itu sesuai Pasal 4 ayat (2) UU No.2 Tahun 2004 apabila buktibukti
tidak dilampirkan maka dinas yang terkait wajib mengembalikan berkas untuk
dilengkapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas. Penyelesaian perselisihan secara bipatrit tersebut
dimaksudkan untuk mencari jalan keluar atas perselisihan hubungan industrial
dengan cara musyawarah untuk mencapai kata mufakat secara internal, dalam arti
kata tidak melibatkan pihak lain, di luar pihak-pihak yang berselisih. Penyelesaian
perselisihan secara bipatrit ini harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam 30 hari salah satu pihak
menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai
kesepakatan, perundingan bipatrit dianggap gagal. Tetapi apabila perundingan
bipatrit tersebut dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, dibuat perjanjian
bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan mengikatdan menjadi hukum
serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian bersama tersebut wajib
didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian dalam PHI pada pengadian
negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama.
2. Penyelesaian Melalui Triparit
Pada dasarnya, perundingan tripatrit merupakan perundingan yang melibatkan
pihak ketiga yang netral. Dalam UU No.2 Tahun 2004 pihak ketiga yang
dilibatkan untuk menyelesaikan suatu perselisihan hubungan industrial tersebut
adalah mediator, atau kosiliator, atau arbiter. Upaya penyelesaian secara tripatrit
ini baru dapat dilakukan apapbilaa usaha tripatrit telah dilakukan. Adapun proses
penyelesaian secara tripatrit melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase sebagaimana
diuraikan secara lebih terperinci dibawah ini :
2.1. Penyelesaian Melalui Mediasi Mediasi ialah penyelesaian perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat
pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang mediator yang netral, sebagaimana tercantum
dalam pasal 1 angka 1 UUPPHI). Penyelesaian melalui mediasi pada
dasasrnya mempunyai karakteristik yang bersifat unggulan sebagai berikut
(Mulyadi. L, 2011) :
1. Voluntary
Keputusan untuk bermediasi diserahkan kepada kesepakatan para
pihak sehingga dapat diciptakan suatu putusan yang merupakan kehendak
dari para pihak. Karena dikehendaki para pihak, putusan yang dihasilkan
bersidat win-win solution.
2. Informal dan Fleksibel
Bila diperintahkan, para pihak sendiri dengan bantuan mediator dapat
mendesain sendiri prosedur, tata cara, prosedur maupun mekanisme sangat
berbeda jauh antara litigasi dengan mediasi.
3. Interested based
Di dalam mediasi tidak dicari siapa yang salah atau siapa yang benar,
tetapi yang lebih diu tamakan adalah bagaimana mediasi tersebut
menghasilkan dan mencapai kepentingan masing-masing pihak.
4. Future Looking
Karena hakikat mediasi lebih menjaga kepentingan masing-masing
pihak, sehingga lebih menekankan untuk menjaga hubungan para pihak
yang bersengketa ke depan dan tidak berorientasi ke masa lalu.
5. Parties oriented
Orientasi mediasi yang bersifat prosedur yang informal, para pihak
lebih aktif berperan dalam proses mediasi tanpa tergantung pada peran
pengacara.
6. Parties control
Mediator tidak dapat memaksakan kehendak atau pendapatnya untuk
mencapai kesepakatan karena penyelesaian sengketa melalui mediasi
merupakan keputusan dari pihak-pihak itu sendiri.
Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas
melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam
menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang
diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam
Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004. Pengangkatan dan akomodasi
mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai
kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan
“perjanjian bersama” yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut,
kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat. Tetapi apabila tidak tidak terjadi
kesepakatan antara pihak bersengketa maka dapat dilakukan mediasi. Mediasi
dapat dikatakan sebagai salah satu upaya dari pihak yang dapat dilakukan oleh
para pihak, sebelum sampai ke pengadilan. Penyelesaian masalah di tahap
mediasi sangat cepat tidak lebih dari 30 hari kerja, dan mediator wajib untuk
memulai sidang mediasi selambatlambatnya 7 hari sejak dilimpahkan (pasal
10 dan 15 UUPHI).
2.2. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran
organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi
pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun
2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi
atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
menerima penyelesaian Konsiliator tersebut. Pejabat Konsiliator dapat
memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama
apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang
diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan
Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat tesebut.
2.3. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur
di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa
perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam
undang-undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa
di bidang hubungan industrial. Undang-undang dapat menyelesaikan
perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan.
Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1). Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang
mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan
Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada
Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang
menimbulkan keraguan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38
Undang-undang No.2 Tahun 2004, dapat membuat putusan mengenai alasan
ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai
perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang No.2 Tahun 2004,
seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.
Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan,
dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana
lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan
diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan
didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan tersebut yang telah
berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang sama
tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Arbitrase dilakukan
atas kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama,
dan apabila didalam Perjanjian Kerja Bersama tidak diatur tentang
penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara Arbitrase, maka para
pihak dapat membuat Perjanjian pendahuluan yang berisikan penyelesaian
perselisihan melalui Arbitrase pada saat sengketa telah terjadi. Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial melalui Arbitrase yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak dapat diajukan Gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial karena Putusan Arbitrase bersifat akhir dan
tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat dilakukan pembatalan ke
Mahkamah Agung RI.
Pada kasus ini berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dilakukan Perundingan secara
bipartit, yang mana telah dilaksanakan perundingan secara bipartit antara penggugat
dengan tergugat di tempat milik tergugat (Sekolah) pada tanggal 5 januari 2021.
Kemudian mengundang penggugat dan tergugat untuk hadir dalam perundingan
bipartit II (kedua) yang diselenggarakan pada tanggal 20 Januari 2021 bertempat di
ruang pertemuan Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Kota Denpasar. Jelas tergugat tidak
memenuhi undangan tersebut diatas dan tidak hadir dalam perundingan tersebut,
maka oleh karena tidak hadirnya tergugat, dinas tenaga kerja pemerintah Kota
Denpasar kemudian melimpahkan peselisihan ini kepada mediator pada dinas tenaga
kerja provinsi bali, untuk dilaksanakan Perundingan secara Tripartite.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja
Secara terang benderang mengatur bahwa perjanjian kerja yang tidak dibuat
dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi perjanjian kerja untuk waktu
tertentu (PKWTT) sejak adanya hubungan kerja. Kata renewal dalam renewal of
Agreement yang dibuat oleh tergugat tersebut diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa
sifat pekerjaan penggugat merupakan pekerjaan yang dibutuhkan oleh tergugat
sebagai pekerjaan pokok yang sifatnya terus menerus, maka sesuai dengan ketentuan
Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
hubungan kerja untuk sifat pekerjaan tersebut tidak dapat didasarkan atas (PKWT).
Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, PKWT untuk pekerjaan yang menurut
sifat dan jenisnya adalah pekerjaan yang terus menerus tanpa terputus-putus, maka
demi hukum Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) tersebut menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Pada tanggal 11 November 2020
tanpa alasan yang jelas dan berdasar hukum, tergugat mengirimkan surat
pemberitahuan kepada penggugat, yang mana dalam surat tersebut terlampir surat
pengunduran diri atas nama penggugat yang tidak pernah sama sekali dibuat oleh
penggugat. Selain itu tergugat juga melarang penggugat untuk masuk ke areal tempat
kerjanya tanpa dasar hukum dan alasan yang jelas.
Saat ini telah berlaku peraturan baru yang mengatur detail perhitungan
pesangon, yaitu PP No. 35 Tahun 2021. Sebelumnya, detail perhitungan
pesangon diatur lewat UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Terdapat
beberapa hal yang masih sama seperti aturan sebelumnya dan terdapat beberapa
hal yang berubah.
Ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Adapun perhitungan pesangon dan uang
penghargaan masa kerja dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: (1) masa kerja
karyawan; dan (2) alasan PHK karyawan. 
Berikut adalah rangkuman dari perubahan aturan mengenai PHK dari
UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menjadi PP No. 35 Tahun 2021.
1. Ketentuan Masa Kerja Tetap Sama
Besar pengali upah yang diterima oleh karyawan berdasarkan masa kerja
tidak ada perubahan, baik itu untuk Uang Pesangon ataupun Uang
Penghargaan Masa Kerja. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada UU Cipta
Kerja yang telah disahkan sebelumnya.

Perhitungan Uang Pesangon (UP) Berdasarkan Masa Kerja

Masa Kerja UP

Kurang dari 1 tahun 1 bulan upah

1 tahun hingga kurang dari 2


2 bulan upah
tahun

2 tahun hingga kurang dari 3


3 bulan upah
tahun

3 tahun hingga kurang dari 4


4 bulan upah
tahun

4 tahun hingga kurang dari 5


5 bulan upah
tahun

5 tahun hingga kurang dari 6


6 bulan upah
tahun

6 tahun hingga kurang dari 7


7 bulan upah
tahun

7 tahun hingga kurang dari 8


8 bulan upah
tahun

Lebih dari 8 tahun 9 bulan upah

Perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja Berdasarkan Masa Kerja

Masa Kerja UPMK

3 tahun hingga kurang dari 6 tahun 2 bulan upah

6 tahun hingga kurang dari 9 tahun 3 bulan upah

9 tahun hingga kurang dari 12 tahun 4 bulan upah

12 tahun hingga kurang dari 15


5 bulan upah
tahun
15 tahun hingga kurang dari 18
6 bulan upah
tahun

18 tahun hingga kurang dari 21


7 bulan upah
tahun

21 tahun hingga kurang dari 24


8 bulan upah
tahun

Lebih dari 24 tahun 10 bulan upah

2. Perubahan Faktor Pengali Berdasarkan Alasan PHK Karyawan


Besar pengali upah yang diterima oleh karyawan berdasarkan alasan
PHK terdapat beberapa penyesuaian. Terdapat alasan PHK yang faktor
pengalinya tetap sama, menjadi lebih kecil dan alasan PHK baru yang pada
aturan sebelumnya tidak diatur. Agar lebih mudah, berikut adalah gambar
rangkuman perbedaan antara faktor pengali alasan PHK pada UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 35 Tahun 2021.

Sebelum PP No. 35 Tahun


2021, berlaku UU Sesudah PP No.
Alasan
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 35 Tahun 2021
2003

Mengundurkan diri dengan Tidak ada


permohonan 30 hari sebelumnya. perubahan

Karyawan mangkir tanpa


keterangan tertulis dan telah Tidak ada
dipanggil oleh perusahaan 2 perubahan
(dua) kali

Karyawan ditahan pihak Tidak ada


berwajib perubahan

Tidak ada
Meninggal dunia
perubahan

Terdapat 2 kemungkinan di
mana:
- pekerja/buruh tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja (UP Digabung menjadi
Penggabungan, peleburan, atau
1x UPMK 1x) satu dengan UP 1x
pemisahan perusahaan
- pengusaha tidak bersedia UPMK 1x
menerima pekerja/buruh di
perusahaannya (UP 2x UPMK
1x)

UP 0.5x UPMK
Perusahaan pailit UP 1x UPMK 1x
1x
Perusahaan merugi selama 2 UP 0.5x UPMK
UP 1x UPMK 1x
tahun 1x

Perusahaan melakukan tindakan


UP 2x UPMK 1x UP 1x UPMK 1x
kurang menyenangkan

Pelanggaran atas aturan UP 0.5x UPMK


UP 1x UPMK 1x
perusahaan (setelah SP 3) 1x

Sakit berkepanjangan dan tidak


dapat lanjut bekerja setelah 12 UP 2x UPMK 2x UP 2x UPMK 1x
(dua belas) bulan

UP 1.75x UPMK
Pensiun UP 2x UPMK 1x
1x

Pengambilalihan perusahaan UP 1x UPMK 1x

Pengambilalihan perusahaan dan


UP 0.5x UPMK
karyawan tidak bersedia
1x
melanjutkan hubungan kerja

Efisiensi karena perusahaan UP 0.5x UPMK


mengalami kerugian 1x

Efisiensi untuk mencegah


UP 1x UPMK 1x
perusahaan mengalami kerugian

Perusahaan tutup bukan karena


UP 1x UPMK 1x
mengalami kerugian

Perusahaan tutup akibat keadaan UP 0.5x UPMK


memaksa (force majeur) 1x

Keadaan memaksa yang tidak UP 0.75x UPMK


mengakibatkan perusahaan tutup 1x

Perusahaan menunda kewajiban


UP 0.5x UPMK
pembayaran hutang karena
1x
mengalami kerugian

Perusahaan menunda kewajiban


pembayaran hutang bukan UP 1x UPMK 1x
karena mengalami kerugian
Faktor pengali pada gambar di atas nanti nya akan menentukan
berapa nilai uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang akan
diterima oleh karyawan. Lebih jelasnya lagi akan ada contoh kasus
perhitungan pesangon di akhir artikel ini.
3. Perubahan Uang Penggantian Hak
Terdapat perubahan komponen yang menjadi bagian dari Uang
Penggantian Hak. Lebih detailnya Anda bisa lihat pada gambar di bawah
ini.

Sebelum PP No. 35 Tahun 2021, berlaku UU


Sesudah PP No. 35 Tahun 2021
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003

Uang penggantian hak yang


Uang penggantian hak yang seharusnya diterima seharusnya diterima sebagaimana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; a. cuti tahunan yang belum
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan diambil dan belum gugur;
keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh b. biaya atau ongkos pulang
diterima bekerja; untuk pekerja/buruh dan
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan keluarganya ke tempat
perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari pekerja/buruh diterima bekerja;
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja c. hal-haI lain yang ditetapkan
bagi yang memenuhi syarat; dalam perjanjian kerja, peraturan
d. hal-hal lain yang ditetapkan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
Dapat dilihat bahwa komponen Penggantian Perubahan
Pengobatan yang nilainya adalah 15% dari UP dan/atau UPMK
dihilangkan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja, Pertimbangan hak-hak pekerja yang di dapat pemutusan hubungan kerjanya secara
sepihak berdasarkan Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps. Menurut ketentuan
undang-undang, bagi bekerja yang bertugas dan berfungsi tidak mewakili kepentingan
perusahan secara langsung, selain uang pengganti hak, juga diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama.
Keputusan hukum majelis hakim dalam Putusan Nomor 10 Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps:
1. Megabulkan gugatan penggugat untuk Sebagian.
2. Menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu antara penggugat dengan tergugat demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
3. Menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat berakhir karena
pemutusan hubungan kerja terhitung sejak tanggal 2 November 2020.
4. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditetapkan
sejumlah Rp.491.000,00
Jadi pertimbangan yang dijadikan putusan bahwa hak-hak pekerja pada kasus Putusan
Nomor 10/Pdt.SusPHI/2021/PN-Dps hak-hak pekerja yang di Pengusaha tetap wajib
membayar uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang penghargaan hak. Dengan
rincian sebagai berikut:
Uang Pesangon:
2 x 9 x Rp.40.000.000, = Rp. 720.000.000
Uang Penghargaan Masa Kerja
8 x Rp.40.000.000 = Rp. 320.000.000
Jumlah = Rp.1.040.000.000
Uang Penggantian Hak
15% x Rp.1.040.000.000 = Rp. 156.000.000,-
Total seluruhnya = Rp.1.196.000.000,-

Total atau jumlah total hak-hak pekerja yang di dapatkan mulai dari uang ganti rugi,
uangpenghargaan masa kerja dan uang pesangon yang wajib dibayarkan oleh pihak
perusahan kepada karyawan guru sebesar Rp 1.196.000.000.

KESIMPULAN
Perlindungan hukum pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya secara sepihak
berdasarkan studi kasus Putusan Nomor: 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps adalah bahwa
Penggugat telah mengabdi dengan profesional dan berintegritas selama 22 (dua puluhdua)
tahun kepada tergugat, namun tergugat memilih mengakhirinya dengan cara yang tidak
profesional. Tergugat melarang Penggugat berada di wilayah tempat kerja, perundingan
secara bipartit, yang mana telah dilaksanakan perundingan secara bipartit antara penggugat
dengan tergugat di tempat milik tergugat (Sekolah) pada tanggal 5 januari 2021. Kemudian
mengundang penggugat dan tergugat untuk hadir dalam perundingan bipartit II (kedua) yang
diselenggarakan pada tanggal 20 Januari 2021 bertempat di ruang pertemuan Dinas Tenaga
Kerja Pemerintah Kota Denpasar. Alasan yang jelas tergugat tidak memenuhi undangan
tersebut diatas dan tidak hadir dalam perundingan tersebut, maka oleh karena tidak hadirnya
tergugat, Dinas Tenaga Kerja dan Sertifikasi Kompetensi Pemerintah Kota Denpasar
kemudian melimpahkan sengketa ini kepada mediator pada Dinas Tenaga Kerja Energi
Sumber Daya Mineral Provinsi Bali, untuk dilaksanakan Perundingan secara Tripartit.
Perlindungan hukum yang tercermin dalam Putusan Nomor 10 Pdt.SusPHI/2021/PN-Dps
adalah sebagai berikut:
a) Megabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
b) Menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu antara penggugat dengan tergugat demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
c) Menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat berakhir karena
pemutusan hubungan kerja terhitung sejak tanggal 2 November 2020.
d) Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditetapkan
sejumlah Rp.491.000,00
Pertimbangan majelis hakim kepada guru swasta mendapatkan hak yang di akibatkan
akibat PHK berupa mulai dari uang pesangon, uang masa kerja dan uang ganti rugi yang
berpedoman dengan aturan yang berlaku. Hak-hak pekerja yang di peroleh, akibat hukum
terjadi dan majelis hakim mengabulkan hak pekerja di PHK secara sepihak Putusan Nomor
10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps adalah sebesar Rp.1.196.000.000. Pada pemutusan hubungan
kerja secara sepihak hendaknya diberikan seadil-adilnya dan aturan norma yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Farianto dan Darmanto, Himpunan Putusan Mahkamah Agung DalamPerkara PHI Tentang
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum, (Jakarta, PT.Raja
Grafindo Persada, 2010).
Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).
Suwiryo, Broto,Hukum Ketenagakerjaan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan Asas Keadilan, (Jawa Timur, LaksbangPressindo, 2017).
Udiana, I Made, Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial,
(Denpasar,Udayana University Press, 2016). Wijayanti, Asri, Hukum
Ketenagakerjaan pasca reformasi, (Jakarta,Sinar Grafika,2010).
Jurnal Ilmiah
Amilia, Sri Intan. “Penyebab Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
Terhadap Pekerja Ditinjau Berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan.” Jurnal Hukum
Kertha Semaya Univesitas Udayana Vol. 1 No.10 (2018).
Arwini, Ni Luh Putu Sintia, “Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pekerja Kontrak
Cleaning Service Pada BPR Karya Sari Sedana di Kabupaten Badung”, Jurnal
Hukum Kertha Semaya Univesitas Udayana Vol. 06No.07 (2018).
Desri wulandari, Ida Ayu. “Penyelesaian Perselisahan Hubungan Industrial Dalam Perkara
Demosi Karyawan Kontrak Pt.Dewata Seminyak (Studi Kasus Putusan
Nomor.03/Pdt.Sus-Phi/2016/PnDps).”Jurnal Hukum Kertha Semaya Univesitas
Udayana Vol. 2 No. 22 (2014).
Fathammubina, Rohendra and Apriani, Rani. “Perlindungan Hukum Terhadap Pemutusan
Hubungan Kerja Sepihak Bagi Pekerja.” Jurnal Univesitas Singa perbangsa
KarawangVol. 3 No. 1 (2018).
Gita Mogi, Erica, “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Di Phk Sepihak Oleh
Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan”, E-Journal Universitas Sam Ratulangi Manado, Vol 5 No.2, (2017).
Grace, Angelia, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja
(Phk) Sepihak Berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 211/Pdt.Sus-
Phi/2018/Pn.Bdg)”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Vol. 03 No.
01 (2020).
Maringan, Nikodemus, “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Secara Sepihak Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 3, Vol. 3 No. 3
(2015).
Randi, Yusuf. “Pandemi Corona Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Oleh
Perusahaan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.” Jurnal Hukum
Universitas Padjadjaran Vol. 3 No. 2 (2020).
Simpen, I Ketut. “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang – Undang
KetenagaKerjaan.” Jurnal Hukum Universitas MahendradattaVol. 2 No. 2 (2020).
Widayanti. “Tinjauan Perlaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.” Jurnal Univesitas
17 Agustus 1998 SemarangVol. 15 No. 2 (2018).

Peraturan Perundang – Undangan:


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih
Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.

Anda mungkin juga menyukai