Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pengertian perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita yang berbeda agama, yang karena berbeda agama
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan
tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing
dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa.
Perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama mengandung
berbagai konflik pada dirinya. Oleh karena tujuan perkawinan seperti tercantum
dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Indonesia adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam
perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama, tujuan perkawinan tersebut
sukar terwujud.
Perkawinan beda agama berdasarkan hak asasi dan menurut kata hati, agar
benar-benar menyatu terikat lahir batin dengan pasangannya, sesuai dengan makna
perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Perkawinan Indonesia.

B. Ruang lingkup
1. Pandangan perundang-undangan indonesia tentang perkawinan beda agama.
2. Pandangan fikih klasik tentang perkawinan beda agama

C. Tujuan
1. Mengetahui pandangan perundang-undangan tentang perkawinan beda agama
2. Mengetahui pandangan fikih klasik tentang perkawinan beda agama

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkawinan antar agama menurut perundang-undangan


Larangan karena beda agama tidak diatur sama sekali dalam UU Perkawinan,
namun diatur dalam KHI dalam pasal yang terpisah, yaitu pasal 40 ayat c dan pasal 44.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu:
- seorang wanita yang tidak beragama Islam
Pasal 44 : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang
tidak beragama Islam.
Ada beberapapendapattentangperkawinanbeda agama diantaranya :
a. Berpendapat bahwa perkawinan antara agama merupakan pelanggaran
terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 : “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
Pasal 8 huruf (f): “perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
b. Berpendapat bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan dapat
dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran,
sebagaimana termaktub dalam pasal 57 undang-undang ini dan
pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh pasal 6 GHR
dengan merujuk pasal 66 UU No. 1/1974.
c. Berpendapat bahwa perkawinan antara agama sama sekali tidak diatur dalam
UU No. 1/1974, oleh karenanya sesuai dengan pasal 66 UU No. 1/1974, maka
peraturan-peraturan lama dapat diberlakukan.
Perkawinan antar agama tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang perkawinan, karena perkawinan itu memang tidak dikehendaki
pelaksanaannya. Hal ini mengacu pada pasal 2 ayat (1) menentukan sah atau tidaknya
perkawinan. Jadi, bila pasal 66 UU No. 1/1974 yang merujuk pasal 7 ayat 2 GHR
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan materil adalah terlalu dipaksakan, karena
mengingat lembaga perkawinan antaragama di Indonesia kurang dikehendaki, sehingga
tidak diperlukan adanya pemenuhan hukum materil.

2
Perkawinan orang-orang berbeda agama, jika dihubungkan dengan Undang-
Undang Perkawinan (1974) terdapat beberapa pendapat, diantaranya:
a. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dapat saja dilangsungkan
sebagai pelaksanaan hak asasi manusia, kebebasan seseorang untuk
menentukan pasangannya, hak dan kedudukan suami istri yang seimbang
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat. Menurut pendapat ini, perkawinan yang demikian dapat
mempergunakan S. 1898 No. 158 tentang Perkawinan Campuran peninggalan
Belanda dahulu sebagai landasan dan mencatatkannya pada Kantor Catatan
Sipil di tempat mereka melangsungkan perkawinan. Perbedaan agama,
menurut pendapat ini, tidak boleh menjadi penghalang dilangsungkannya
perkawinan.
b. Undang-Undang No 1 Tahun 1974, tidak mengatur perkawinan campuran
antara orang-orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini, perkawinan
antar pasangan yang berbeda adalah suatu kenyataan. Dilihat dari sudut
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi syarat pengangkatan
seseorang menjadi penyelenggara negara dalam negara Pancasila yang salah
satu kaidah fundamentalnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
c. Perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama tidak
dikehendaki oleh pembentukan undang-undang yaitu Pemerintah dan DPR
Republik Indonesia. Kehendak itu dengan tegasnya dinyatakan dalam pasal 2
ayat 1 mengenai sahnya perkawinan dan pasal 8 huruf (f) mengenai larangan
perkawinan. Dalam pasal 8 huruf (f) Undang-undang Perkawinan dengan jelas
dirumuskan bahwa, “perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dalam Negara
Republik Indonesia. Larangan yang tercantum dalam Undang-undang
Perkawinan ini selaras dengan larangan agama dan hukum masing-masing
agama yang dikemukakan diatas.
Larangan perkawinan beda agama ini adalah semata-mata untuk menjaga
keutuhan kebahagiaan rumah tangga dan aqidah keberagamannya. Hal ini sebagaimana
qaidah fiqh yang menyebutkan:
“Sesuatu yang diharamkan karena suddu dzariah dapat dibolehkan karena ada
maslahat yang lebih kuat”

3
Pengertian perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita yang berbeda agama, yang karena berbeda agama menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan
untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Peraturan hukum Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia
berdasar Pancasila ada perbedaan pendapat di kalangan para pakar hukum di Indonesia.
Dalam negara berdasar Pancasila tidak boleh ada aturan hukum yang bertentangan
dengan hukum agama. Agama-agama yang ada di Indonesia melarang perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda. Pendapat ini menyatakan bahwa UU Perkawinan tidak
mengatur perkawinan campuran. Tiap agama telah ada ketentuan tersendiri yang
melarang perkawinan antar agama. Kecuali adanya perubahan pemahaman dan
paradigma dalam pemahaman agama. H. M. Daut Ali menyatakan:
a. Sikap negara atau penyelenggara negara dalam mewujudkan
perlindungan hukum haruslah sesuai dengan cita hukum bangsa dan
kaidah fundamental negara serta hukum agama yang dipeluk oleh bangsa
Indonesia.
b. Perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama, dengan berbagai cara
pengungkapannya, sesungguhny tidaklah sah menurut agama yang diakui
keberadaannya dalam Negara Republik indonesia. Dan karena sahnya
perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak
sah menurut hukum agama tidak sah pula menurut Undang-Undang
perkawinan Indonesia.
c. Perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan
dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan
undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia.

Perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama, dengan


berbagai cara pengungkapannya sesungguhnya tidak sah menurut agama yang diakui
keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia.
Perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama mengandung
berbagai konflik pada dirinya. Oleh karena tujuan perkawinan seperti tercantum
dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Indonesia adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam

4
perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama, tujuan perkawinan tersebut
sukar terwujud.
Perkawinan beda agama berdasarkan hak asasi dan menurut kata hati, agar
benar-benar menyatu terikat lahir batin dengan pasangannya, sesuai dengan makna
perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Perkawinan Indonesia.

B. Perkawinan antar agama menurut pandangan klasik.


a. Agama Islam membolehkan penganutnya yang laki-laki mengawini perempuan
Ahlul Kitab.
Ibrahim Hosen mengelompokkan pendapat para ulama mengenai
pernikahan ini menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ada yang menghalalkan
Kelompok yang membolehkan pernikahan antara pria muslim
dengan wanita Ahlul kitab, yakni pendapat jumhur ulama (mayoritas
ulama). mereka menyatakan pendapatnya pada dalil al-Qur’an surah al-
Maidah ayat 5:

َ ‫وْ ْال ِكت‬FFُ‫ا ُم الَّ ِذ ْينَ أُوْ ت‬FF‫ت َوطَ َع‬


‫ا ُم ُك ْم‬FF‫ ٌل لَّ ُك ْم َوطَ َع‬F‫َب ِح‬ ُ َ‫ َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬F‫اَ ْليَوْ َم اُ ِح‬
َ‫وْ ال ِكت‬Fُ‫ ِذ ْينَ اُوْ ت‬Fّ‫َت ِمنَ ال‬
ُ ‫ن‬F‫ص‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬ ِ َ‫ؤ ِمن‬F ْ ‫َت ِمنَ ْال ُم‬
ُ ‫صن‬ َ ْ‫ِحلٌّ لَّهُ ْم َو ْال ُمح‬
ِ ْ‫وْ َرهُ َّن ُمح‬FFF‫وْ هُ َّن اُ ُخ‬FFF‫ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم اِ َذا اَتَ ْيتُ ُم‬
َ‫ا فِ ِح ْينَ َوال‬FFF‫ َر ُم َس‬FFFْ‫نِ ْينَ َغي‬FFF‫ص‬
‫ َر ِة‬F‫ َو فِى ااْل َ ِخ‬F ُ‫هُ َوه‬F ُ‫طَ َع َمل‬F ِ‫ُمتَّ ِخ ِذي اَ ْخدَا ِن َو َم ْن يَّ ْكفُرْ بِااْل ِ ْي َما ِن فَقَ ْد َحب‬
َ‫ِمنَ الخَ ِس ِر ْين‬
”pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(semblihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan
makananmu halal (pula) baginya. (dan dihalalkan mengawini) wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman.
Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi kitab sebelum kamu, bila engkau telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, bukan dengan maksud berzina dan
bukan (pula) menjadikannya sebagai gundik-gundik. Barang siapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka

5
hapuslah amalnya di hari akhirat dan termasuk orang-orang yang
merugi”
Kebolehan ini bertujuan untuk membuka sikap toleransi terhadap
penganut agama lain, dan memungkinkan terjadinya upaya suami untuk
mendidik istrinya menganut agama Islam, karena tabiatnya sebagai
pemimpin dalam rumah tangganya.

2. Ada yang mengharamkan


Kelompok yang mengharamkan seperti yang termuka dari
kalangan sahabat yaitu Ibnu Umar. Pendapat ini diikuti oleh kalangan
Syiah Imamiyah. Ada pun dasar dari pendapat ini adalah pemahaman
terhadap al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221:

ْ‫و‬FFَ‫ ٍة َّول‬F‫ ِر َك‬F‫ ٌر ِّم ْن ُم ْش‬F‫ت َحتّى ي ُْؤ ِم َّن َوأَل َ َمةٌ ُّم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي‬ ِ ‫َوالَ تَ ْن ِكحُو ْال ُم ْش ِر َك‬
ٍ ‫ ِر‬F‫ ٌر ِّم ْن ُّم ْش‬F‫أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم َوالَ تُ ْن ِكحُو ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َحتَّى ي ُْؤ ِمنُوْ َولَ َع ْب ٌد ُّم ْؤ ِم ٌن َخ ْي‬
‫ك‬
‫أ ِ ْذ‬FFِ‫لى النَّا ِر َو هللا يَ ْد ُعوْ أِلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة ب‬ َ ِ‫َّولَوْ أَ ْع َجبَ ُك ْم أُلئِكَ يَ ْد ُعوْ نَ ا‬
َ‫س لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُوْ ن‬
ِ ‫نِ ِه َويُبَي ُِّن اَيَتِ ِه لِنَّا‬
“dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik; walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik
dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin
Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat Nya (perintah-perintah Nya)
kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran”
Sebagian ulama yang melarang perkawinan antara seorang pria
Muslim dengan wanita Ahlul Kitab karena, pada hakikatnya praktik ibadah
Kristen dan Yahudi mengandung unsur syirik yang jelas.

3. Ada yang membolehkan tetapi siasah tidak menghendaki

6
Menikahi perempuan Ahlul Kitab sah hukumnya, tetapi siasah
tidak menghendakinya.

Hikmah diperbolehkannya perkawinan antara seorang pria Muslim dengan


wanita Ahlul kitab adalah karena pada hakikatnya agama Kristen dan Yahudi itu
satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu. Maka jika
seorang wanita Yahudi atau Kristen kawin dengan pria Muslim yang baik, yang
taat pada ajaran agama dapat diharapkan kesadaran dan kemauannya sendiri
masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan
kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup di tengah-tengah keluarga
Islam. Sebab agama Islam mempunyai panutan/pedoman hidup yang lengkap,
mudah/praktis, fleksibel, demokratis, menghargai kedudukan wanita dalam Islam
dan keluarga, masyarakat, negara, toleran terhadap agama/kepercayaan lain yang
hidup di masyarakat, dan menghargai pula HAM terutama kebebasan beragama
serta ajaran-ajaran yang rasionable.

b. Agama Islam tidak membolehkannya penganut yang laki-laki kawin dengan


perempuan Musyrik
Islam melarang perkawinan antara seorang laki-laki Muslim dengan
wanita musyrik, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221
Di kalangan ulama, timbul beberapa pendapat tentang siapa yang
tergolong musyrikah (wanita musyrik) yang dilarang untuk dikawini. Menurut
Ibnu Jarir al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk
dikawini adalah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada
waktu turunnya al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka
menyembah berhala. Seorang Muslim boleh kawin dengan wanita musyrikah dari
bangsa non Arab, seperti wanita Cina, India, dan Jepang, yang diduga dahulu
punya kitab suci atau serupa kitab suci seperti pemeluk agama Budha, Hindu,
Konghucu yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup
sesudah mati, dan sebagainya.
Tetapi, kebanyakan ulama berpendapat bahwa semua musyrikah baik dari
arab maupun non Arab, selain Ahlul Kitab yakni Yahudi dan Kristen tidak boleh
dikawini. Wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi atau Kristen tidak
boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun agama atau kepercayaannya.

7
Hikmah dilarangnya perkawinan ini adalah antara orang islam dengan
orang kafir terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab
orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta,
percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat, dan percaya pula pada hari kiamat.
Sedangkan orang musyrik pada umumnya tidak percaya pada semua itu.
Kepercayaan mereka penuh dengan khufarat dan irasional. Bahkan mereka selalu
mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk meninggalkan
agamanya dan kemudian mengikuti kepercayaannya.

c. Agama Islam tidak membolehkan penganutnya yang perempuan dikawini oleh


laki-laki Ahlul Kitab
Allah melarang agar perempuan muslimah tidak dikawini oleh Ahlul Kitab
(orang-orang kafir), karena dikhawatirkan akan dipengaruhi meninggalkan
agamanya. Agama Islam meninjau terlalu besar kemungkinan terjadinya hal
tersebut, karena suamilah yang menjadi pemimpin dalam rumah tangganya. Tentu
saja, ia dapat menggunakan hak otoritasnya untuk mengajak keluarganya
menganut keyakinannya.

d. Agama Islam tidak membolehkan penganutnya yang perempuan dikawini oleh


laki-laki non Muslim.
Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria
non Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai
kitab suci, seperti Yahudi dan Kristen (revealed religion), atau pemeluk agama
yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun
pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang
serupa kitab suci.
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan perkawinan
antara wanita Muslimah dengan pria non Muslim adalah:
1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221
2. Ijma’ para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslim
dengan pria non Muslim

8
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Larangan karena beda agama diatur dalam KHI dalam pasal yang terpisah,
yaitu pasal 40 ayat c dan pasal 44. Larangan perkawinan beda agama ini adalah
semata-mata untuk menjaga keutuhan kebahagiaan rumah tangga dan aqidah
keberagamannya. Perkawinan beda agama berdasarkan hak asasi dan menurut kata
hati, agar benar-benar menyatu terikat lahir batin dengan pasangannya, sesuai dengan
makna perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Perkawinan Indonesia.

2. Saran
Pemakalah menyarankan bagi pembaca yang ingin memahami tentang
perkawinan antar agama, maka makalah ini dapat dijadikan sebagai rujukan. Dan
pemakalah juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai