Landasan Teori
Kelompok 8
Perkawinan Campuran
1
Mariam Yasmin, Akibat Perkawinan Campuran terhadap Anak dan Harta Benda yang Diperoleh Sebelum dan Sesudah
Perkawinan (Studi Banding Indonesia-Malaysia), (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2011), hlm.13.
2
H.Zamhari Hasan M.M, Perkawinan dari Perspektif Undang Nomor 1 Tahun 1974. Tentang Perkawinan.
http://pta.kemenag.go.id/index.php/frontend/news/index/153, diakses pada 17 November 2017
lingkup perkawinan campuran Yaitu : (1). Perkawinan campuran internasional (2).
Perkawinan campuran antar tempat (3). Perkawinan campuran antar golongan
(intergentil) (4). Perkawinan campuran antar agama.
1. Aliran Luas:
a. GHR meliputi perkawinan antargolongan (HAG), perkawinan
antaragama (AA), dan perkawinan antartempat (AT).
b. Penganut: Nederburgh, Lemaire, Kollewijn, Gautama.
c. Gautama: masalah HAT terasa pengaruh daripada masalah
percampuran dengan suku bangsa asli dan persatuan dengan
masyarakat hukum setempat.
2. Aliran Sempit:
a. Hanya meliputi HAG.
b. Penganut: van Vollenhoven, Wincke, dan Carpentir Alting.
c. Wincke: GHR tidak berlaku untuk HAA dan HAT. Sulit dikatakan
suami ikut isteri , bila keduanya dari gologan bangsa yang sama.
3. Aliran setengah luas, setegah sempit
a. GHR=HAG+HAA
b. Penganut: van Hasselt
c. Dalam HAT sering sang suami yang mengikuti status istri, mislanya
perkaiwinan laki-laki Palembanag dengan perempuan Sunda.
d. Yurisprudensi GHR: GHR berlaku untuk perkawinan antaragama.3
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
perkawinan beda agama tidaklah diatur secara tegas. Ada dua pendapat yang
menafsirkan pasal 57 UU Perkawinan, yakni:
Pendapat pertama perkawinan campuran dalam arti luas yaitu pendapat yang
mengatakan perkawinan campuran adalah juga termasuk perkawinan beda
agama
3
Zulfa Djoko Basuki, Hukum Antar Tata Hukum: Perkawinan Campuran
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/oppusunggu.un/material/hatah-perkawinancampuran-13juli2009.pdf, diases pada 17
November 2017.
4
Surini Ahlan Sjarif , Perkawinan di Luar Negeri bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/pradiga-perkawinan-
campuran.ppt, diakses pada 17 November 2017.
melarang pemeluknya melakukan perkawinan lintas agama adalah Katolik dan
Hindu.5
Penyelundupan Hukum
5
UU Perkawinan Tidak Melarang Perkawinan Beda Agama http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6268/uu-
perkawinan-tidak-melarang-perkawinan-beda-agama, diakses pada 17 November 2017.
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014
Duduk Perkara:
Pasal 2 ayat (1) perkawinan dimohonkan untuk diubah menjadi Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan
itu, sepanjang penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaan itu
diserahkan kepada masing-masing calon mempelai Pengubahan ini bertujuan
agar pernikahan beda agama tidak disebut lagi penyeludupan hukum dan tidak perlu
khawatir dengan tidak mencatatkan perkawinannya. Penyeludupan hukum, yang tidak
menikah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing (pasal 2 ayat (1) UU
perkawinan.)
Pertimbangan Hakim:
Dari Permohonana para pemohon dan keterangan para pihak terkaitt majelis hakim
berpendapat sebagai berikut:
Dari pertimbangan tersebut majelis hakim menolak permohonan para pemohon untuk
seluruhnya. Pada putusan tersebut juga terdapat Concuring Opinion dari hakim
konstitusi Mari Farida Indrati. Dimana pada pokoknya menyebutkan :
Analisis:
1. Secara Umum
Penekanan seperti itu pula yang ditekankan oleh majelis hakim pada
pertimbangannya. Bila hal ini dilihat lebih jauh pada pasal 66 UU Perkawinan yang
menyebutkan bahwa Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.. Bahwa
secara eksplisit yang diatur didalam UU Perkawinan hanya pernikahan campuran
beda kewarganegaraan. UU Perkawinan tidak khusus mengatur secara tegas
mengenai perkawinan beda agama.7 Namun,apa bila melihat pengaturan pasal 2 (1)
memiliki kaitan dengan dilarang atau tidaknya suatu perkawinan harus didasarkan
pada ketentuan agama masing-masing mempelai, hal ini didukung oleh pasal 8 ayat
(6) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang
yang mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin. Sehingga disini ada aturan larangan pernikahan campuran beda
agama secara implisit.
Menurut kami dari sisi ini putusan majelis hakim sudah tepat. Karena dengan hanya
penambahan frasa penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaan itu
diserahkan kepada masing-masing calon mempelai menyebabkan ketidakpastian
hukum dan tidak akan merubah secara signifikan keabsahan dari perkawinan
campuran beda agama. Dimana ada larangan kawin terhadap mempelai yang
agamanya melarang perkawinan beda agama, dalam hal ini dapat dilihat pada
keterangan para pihak dalam putusan.
6
Novina Eki Dianti, Perkawinan beda Agama antar Warga Negara Indonesia di Luar Negeri
sebagai bentuk Penyelundupan Hukum dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Privat law 2 (2014), hlm. 7.
7
Ibid., hlm.7.
2. Secara administratif
3. Penyelundupan Hukum
Pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di
Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono
Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda
agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara
tersebut adalah:
1. meminta penetapan pengadilan,
2. perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3. penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4. menikah di luar negeri.8
8
Diana Kusumasari, Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl290/gimana-caranya, diakses pada 17 November 2017.