PERKAWINAN
CAMPURAN
20191036
PENDAHULUAN
Eksistensi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) adalah tertib hukum
yang disusun berdasarkan falsafah negara dan mencabut hukum perkawinan lama sejauh materi
hukumnya telah diatur olehnya. Asas Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan beragama
mengandung makna setuju berbeda dalam agama, namun bersatu dalam bangsa dan negara.
Dalam negara hukum berdasarkan Pancasila diakui adanya pluralitas hukum perkawinan.
UUP telah mendudukkan hukum agama pada kedudukan fundamental,
sehingga di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan. Dari segi sejarah hukum dan perundang-
undangan, pembentukan undang-undang perkawinan nasional dalam rangka pengamalan
Pancasila.
Pengertian Perkawinan Campuran menurut UU Nomor 1/1974 lebih sempit daripada pengertian
yang terdapat dalam GHR karena perkawinan beda agama tidak termasuk dalam pengertian
Perkawinan Campuran menurut UU Nomor 1/1974.
UUP telah mendudukkan hukum agama pada kedudukan fundamental,
sehingga di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan. Dari segi sejarah hukum dan perundang-
undangan, pembentukan undang-undang perkawinan nasional dalam rangka pengamalan
Pancasila.
LANDASAN PERKAWINAN CAMPURAN
3. Wawasan Nusantara
Dalam Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) dikenal hubungan Hukum Antar Tata Intern dan
Hukum Antar Tata Hukum Ekstern. Dari segi sejarah hukum,
sebelum lahir Undang-Undang Perkawinan ada berbagai bentuk perkawinan campuran ialah :
1. Internasional
2. Antar tempat
Dalam Hukum Antar Tata Hukum berlaku kaidah dasar hukum suami berlaku bagi hubungan
antar tata hukum.
Dengan menunjuk kepada Aturan Peralihan Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 dan Pasal 66
UUP karena ketentuan tentang pelaksanaan Perkawinan antar agama belum ada maka Pasal 6
GHR masih berlaku.
Karena diakui kemerdekaan untuk beragama dan menjamin negara terhadap pemelukan agama-
agama oleh penduduk Indonesia (Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang
No.1/PNPS/1965), maka timbul masalah apakah UUP merupakan satu undang-undang nasional
yang tidak mengandung unifikasi hukum, namun pluralitas hukum perkawinan. Karena rumusan
Pasal 2 ayat (1) UUP, maka dalam masyarakat timbul istilah “perkawinan antar agama”.
• Dengan berlakunya UU No. 1/1974, ternyata masih dapat dilakukan perkawinan beda
agama.
• Dasar hukumnya : Pasal 66 UU No.1/1974 jo. Pasal 7 ayat (2) GHR.
• Oleh karena tidak diatur dalam UU No. 1/1974, maka keputusan Pengadilan Negeri
dalam kasus Sumarni v. Medelu menunjuk Pasal 7 ayat (2) GHR yang tidak melarang
perkawinan beda agama, selanjutnya memerintahkan Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk
menikahkan
upaya hukum demikian menimbulkan masalah apakah perkawinan tersebut sah menurut hukum
Indonesia, karena Undang-Undang Perkawinan menentukan perkawinan warga negara Indonesia
di luar negeri “tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan UUP (Pasal 56 UUP)”.
Sejak 1 Januari 1989 fungsi KCS sebagai instansi yang menikahkan dihapus melalui
KEPRES No.12/1983.
KCS hanya berfungsi mencatatkan perkawinan dari pihak non Muslim yang telah sah
melangsungkan perkawinan menurut hukum agama masing-masing.
Menikah di dua instansi yaitu pertama di KUA, setelah itu menikah lagi di Gereja atau
sebaliknya .
Menikah di luar negeri secara sipil. Setelah kembali di Indonesia, melaporkan ke KCS
tempat kediamannya.
Dasar hukumnya adalah Pasal 56 UU No.1/1974. Jalan keluar ini tidak dianjurkan karena
merupakan penyelundupan hukum. Bila timbul sengketa antara keduanya, salah satu
pihak dapat menuntut pembatalan perkawinan.
Dengan tidak adanya ketentuan yang tegas apakah perkawinan yang dilangsungkan di
luar negeri secara menyelundupkan hukum sah atau tidak, seandainya pun dapat diterima
bahwa perkawinan itu “sah”, menurut saya perkawinan itu rapuh.
Bila terjadi cekcok dan salah satu pihak minta cerai, pihak lainnya dapat menuntut
pembatalan perkawinan karena hanya sah menurut hukum tempat dilangsungkannya
perkawinan, tapi tidak sah menurut hukum Indonesia (melanggar Pasal 2 UU No. 1/1974)
(Ingatlah perkara Riviere).
Perkawinan menurut agama Islam ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah
kepada Allah SWT dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria & wanita yang ditakdirkan
oleh Allah SWT satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan
untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan seksuil untuk melanjutkan keturunan yang sah serta
mendapat kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat &
negara serta keadilan & kedamaian baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
C. Harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat- sarat.
A. Adanya persetujuan dari kedua calon suami istri dan wali calon istri
G. Tidak ada perbedaan agama antara calon suami & calon istri
Tiga prinsip pokok pandangan agama Islam terhadap masalah perkawinan antara pemeluk agama
Islam dengan orang-orang yang bukan beragama Islam, yaitu:
a. Melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang yang beragama menyembah
berhala, polytheisme, agama-agama yang tidak mempunyai kitab suci, dengan kaum
atheis
b. Melarang perkawinan antara wanita Islam dengan pria bukan Islam
c. Mengenal perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita bukan muslim yang ahli
kitab, terdapat tiga macam pendapat, yaitu:
1) Melarang secara mutlak
2) Memperkenankan secara mutlak
3) Memperkenankan dengan syarat, yaitu apabila pria muslim itu kuat imannya
Menurut ajaran Agama Katolik, bahwa perkawinan adalah suatu Sakramen. Agama Katolik
mendasarkan ajaran itu adalah Alkitab (Efesus 5. 25-33). Memandang perkawinan sebagai
sesuatu yang suci serta persatuan cinta & hidup antara seorang pria & wanita merupakan
persatuan yang luhur.
Perkawinan menurut agama Katolik, pada masing-masing pihak harus mengandung unsur :
Salah satu saja dari ketiga unsur tersebut tidak dipenuhi, maka perkawinan dianggap batal dari
sejak semula.
Tiga hal lagi yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan Katolik secara sah,
yaitu sbb :
Dispensasi akan diberikan apabila pihak yang bukan Katolik mau berjanji:
1. Bahwa ia tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik untuk melaksanakan imannya
Perkawinan menurut agama Protestan : suatu persekutuan hidup yang meliputi keseluruhan hidup,
yang menghendaki laki-laki & perempuan yang telah kawin supaya dua jenis kelamin yang
berbeda menjadi satu. Satu di dalam kasih pada Tuhan, satu di dalam kasih mengasihi, satu dalam
kepatuhan, satu dalam menghayati kemanusiaan mereka & satu dalam memikul beban
pernikahan.
Menurut gereja Protestan, suatu perkawinan baru dapat dilangsungkan di gereja apabila telah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Demi kesejahteraan perkawinan, gereja menganjurkan kepada umatnya untuk mencari pasangan
hidup yang seagama dengan mereka. Tetapi walaupun demikian, karena menyadari bahwa
umatnya hidup bersama-sama dengan pemeluk agama lainnya, gereja tidak melarang umatnya
untuk menikah dengan orang-orang yang bukan beragama Protestan.
Perkawinan antara seorang Protestan dengan bukan Protestan dapat dilangsungkan di gereja
(Protestan) apabila pihak yang bukan Protestan membuat surat pernyataan bahwa ia tidak
berkeberatan perkawinannya dilaksanakan di gereja Protestan.
Dalam membahas pandangan agama Hindu & Budha tentang masalah perkawinan antar agama
ini, bahwa agama Hindu & Budha merupakan Bhinneka Tunggal Ika yang mempunyai prinsip
yang sama dalam hukum perkawinan. Bagi masyarakat Hindu dan Budha, perkawinan
mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan mereka. Permasalahan
bukan pada upacara perkawinannya, namun kehidupan dalam perkawinan itu sendiri.
Perkawinan (wiwaha) di identikkan dengan sakramen (samskara) sehingga lembaga perkawinan
tidak terpisah dari hukum agama. Wiwaha samskara itu wajib hukumnya & harus memenuhi
syarat- syarat yang ditentukan oleh hukum agama (Dharma).
Perkawinan sebagai suatu sakramen adalah suatu ritualia yang memberikan kedudukan sah
tidaknya suatu perkawinan sehingga suatu perkawinan yang tidak disakralkan dianggap tidak
mempunyai akibat hukum. Didalam kitab Manadharma Sastra III (20), disebutkan secara definitif
delapan sistem perkawinan Hindu yaitu :
1. Brahmana Wiwaha 5. Asura Wiwaha
1. Anak yang dilahirkan dalam suatu Perkawinan Campuran (lihat definisi Perkawinan
Campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974) akan memperoleh kewarganegaraan ganda
terbatas sampai usia 18 tahun atau telah menikah. Dalam waktu 3 tahun setelah berumur
18 tahun harus memilih jadi WNI atau WNA.
2. Berlaku pula bagi anak yang telah lahir sebelum UU ini diundangkan, tetapi si anak
belum berumur 18 tahun. Caranya adalah dengan mendaftar kepada Menhukham melalui
pejabat atau Perwakilan RI paling lambat 4 tahun setelah diundangkannya UU ini.
KEWARNEGARAAN GANDA TERBATAS
A. Keuntungan :
1. Anak-anak bebas tinggal di dua negara. Untuk warga negara Indonesia bebas tinggal di
Indonesia tanpa perlu takut dideportasi paling tidak sampiu usia 21 tahun, dapat
menempuh pendidikan di sekolah-sekolah negeri & lainnya.
B. Kerugian :
1. Dengan memegang 2 paspor, dapat dikenakan Wajib Militer bila sudah berumur tertentu
2. Ada batasan keluar masuk untuk paspor yang dikeluarkan oleh negara satunya
3. Bila melakukan tindakan-tindakan yang merugikan baik perdata /pidana, akan berlaku
ketentuan tertentu pula.
Contoh : dipakai “lex fori” atau kewarganegaraan yang efektif sebagai dasar untuk memutus
perkara yang dituduhkan.
Bagaimana apabila setelah 3 tahun sejak berusia 18 tahun memilih menjadi WNA/WNI?
3. Bila syarat-syarat dalam Pasal 2-6 peraturan ini sudah terpenuhi, Menteri menetapkan
keputusan memberikan kewarganegaraan RI, paling lambat 30 hari sejak pendaftaran
diterima oleh Pejabat atau Perwakilan RI.
B. Apabila memilih jadi WNA tetapi tetap tinggal dan bekerja di Indonesia
Pasal 54 ayat (1d) UU No.6 Tahun 2011 tentang Imigrasi jo. PP No. 31 Tahun 2013:
Kepada orang asing ex-WNI dan ex- subyek anak berkewarganegaraan gandat terbatas dapat
diberikan Izin Tinggal Tetap untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu tidak terbatas selama izinnya tdk dibatalkan.”
1. Untuk itu ia wajib melapor ke kantor Imigrasi setiap 5 tahun dan tidak dikenai biaya.
2. Izin Tinggal Tetap diberikan setelah tinggal tetap di Indonesia selama 3 tahun berturut-turut
dan menandatangani Pernyataan Integrasi kepada Pemerintah RI.
3. Izin Tinggal Tetap ini dapat langsung diberikan apabila anak tersebut bekerja/berusaha di
Indonesia (Pasal 59 & 60 UU Imigrasi).
1. Suami, istri dan/atau anak dari asing pemegang Izin Tinggal Tetap (dengan catatan izin
ini tidak diberikan bila orang asing tersebut tidak memiliki paspor kebangsaan).Bila
punya Izin Tinggal Tetap dapat bekerja di Indonesia.
2. Izin Tinggal tetap baru bisa diberikan setelah usia perkawinan mencapai 2 tahun, sudah
tinggal menetap di Indonesia selama 3 tahun berturut-turut dan menandatangani
Pernyataan Integrasi kepada Pemerintah RI. (Pasal 59 dan 60 UU jo. Pasal 152,153 RPP
Imigrasi).
3. Izin Tinggal Tetap berlaku untuk 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
tidak terbatas, kecuali dicabut.
3. Putus perkawinan dengan WNI, kecuali perkawinan telah berlangsung lebih dari
10 tahun
PASAL 63 UU/6/2011
Pasal 63 UU/6/2011 tentang Imigrasi : “Orang asing yang ada di Indonesia wajib memiliki
Penjamin, antara lain untuk: menjamin keberadaannya di Indonesia, bertanggung jawab terhadap
kegiatan orang tersebut selama di Indonesia, melaporkan perubahan status keimigrasiannya,
membayar biaya kepulangannya bila izin tinggal habis & dan lainnya.
PENJAMINAN
• Ketentuan tentang penjaminan tidak berlaku bagi orang asing yang kawin sah dengan
WNI, karena pada dasarnya suami/istri bertangung jawab terhadap pasangan atau anak-
anaknya.
• Pasal 150 PP Imigrasi : Permohonan Izin Tinggal Tetap diajukan oleh orang asing atau
penjamin ke Kantor imigrasi yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang asing
tersebut dengan lampiran :
3. Keterangan domisili
4. Pernyataan Integrasi
1. Untuk perkawinan di luar No., baca & perhatikan Pasal 56 ayat 1 UU No.1/1974.
2. Dari sudut HPI perkawinan itu harus memenuhi Pasal 18 AB (syarat formal) dan Pasal 16
AB (syarat materil)
3. Pasal 56 ayat 2 UU No. 1/1974 : “Dalam waktu 1 tahun setelah suami istri kembali ke
wilayah No., surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Catatan Sipil
yang mewilayahi tempat tinggal mereka.”
4. Ketentuan Pasal 56 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan harus dilangsungkan
menurut hukum setempat menimbulkan kesulitan bagi pemeluk Agama Islam, bila di
negara tempat perkawinan tersebut berlangsung hanya dikenal perkawinan sipil.
5. Menurut agama Islam, perkawinan tersebut belum sah apabila belum dilaksanakan akad
nikah di hadapan penghulu.
6. Begitu pula terhadap perkawinan yang dilangsungkan di hadapan Instansi Islam tertentu
di negara asing. Walau sah menurut agama Islam, tidak akan diakui bila tidak memenuhi
ketentuan Apsal 56 ayat 1 UU No. 1/1974.
Contoh : Perkawinan dua orang WNI di Hongkong (lihat buku Hukum Perkawinan).
Untuk mengatasi hal tersebut telah dikelaurkan berbagai peraturan sebagai petunjuk pelaksanaan,
antara lain:
1. Peraturan Menteri Agama RI No.1/1994 tanggal 2 April 1994, tentang Pendafataran Surat
Bukti Perkawinan yang Dilangsungkan di luar negeri
2. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Men Luar Negeri RI No.589/1999,tgl 13/10-
1999 No.182/OT/X/99/01 tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan WNI di
luar negeri, beserta lampirannya.
Pasal 1 Peraturan Menteri Agama 1994 : Bagi WNI beragama Islam yang telah melakukan
perkawinan di luar negri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) UU No. 1/1974, paling
lambat 1 tahun setelah mereka kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka
harus didaftarkan kepada KUA Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal mereka.
A. Pasal 2 Peraturan Menteri Agama 1994, berkas-berkas yang perlu dilampirkan untuk
pendaftaran perkawinan :
3. Foto copy Sertifikat Nikah dari KBRI atau foto copy Akte Nikah dari KBRI atau
Surat Keterangan dari KBRI setempat.
B. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agama 1994, apabila pegawai KUA ragu akan
keabsahan perkawinan tersebut menurut agama Islam, yang bersangkutan dapat
dinikahkan kembali menurut hukum Islam.
Dengan keluarnya SKB antara Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri tersebut, hilanglah
keragu- raguan mengenai keabsahan perkawinan antara pemeluk agama Islam yang
dilangsungkan di laur negeri karena kini WNI beragama Islam yang ingin menikah dengan
sesama WNI atau dengan WNA telah dapat menikah dan mencatatkan perkawinanannya di KBRI
atau Perwakilan Indonesia di luar negeri (Pasal 1 dan 2 SKB).
Bila perkawinan terjadi di atas kapal laut, dicatat di daerah di mana kapal berlabuh. Apabila tidak
ada Perwakilan RI, perkawinan dicatat pada Perwakilan RI yang mewilayahi daerah kapal
tersebut berlabuh.
Untuk melaksanakan tugas menghadiri, mengawasi & mencatat pelaksanaan nikah & rujuk umat
Islam di luar negeri diangkat penghulu sebagai pegawai atau petugas yang ditunjuk oleh
Perkawinan RI.
Untuk mengantisipasi, suatu peraturan di suatu negara yang mewajibkan pencatatan di KCS
setempat, agar suatu perkawinan sah baik menurut hukum maupun menurut hukum Indonesia,
diadakan pengaturan
1. Pernikahan dilangsungkan di bawah pengawasan Penghulu, setelah itu ducatatkan ke
KCS setempat
2. Tata cara pencatatan sesuai dengan ketentuan negara setempat
3. Perwakilan RI konsultasi dengan instansi setempat
4. Bukti perkawinan dari KCS setempat, didaftarkan dalam buku pendaftaran di Perwakilan
RI
5. Setelah kembali ke Indonesia, paling lamabt dalam waktu 1 tahun, buktI perkawinan
harus dicatatkan di KUA yang mewilayahi tempat tinggal mereka di Indonesia
6. Petugas Pencatat Nikah wajib mengirim salinan dokumen nikah dari yang bersangkutan
ke KUA kecamatan tempat tinggal mempelai perempuan di Indonesia