MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Hukum Islam
Oleh:
DWI AYU LESTARI
NIM. 165010100111016
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2017
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila
dilihat dari segi etnis/suku bangsa dan agama. Fakta tersebut menjadikan Indonesia
sebagai negara yang dikenal dengan kekayaan budayanya di antara negara lain di dunia
ini. Konsekuensi dari kemajemukan tersebut adalah adanya perbedaan dalam segala hal,
mulai dari cara pandang hidup dan interaksi antar individu. Indonesia mempunyai
beberapa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu bahkan ada aliran kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Dengan adanya interaksi sosial ini membuka kemungkinan terjalin
sebuah hubungan yang berlanjut ke dalam jenjang perkawinan.
Perbedaan suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan antara laki-laki dan
perempuan yang akan melangsungkan perkawinan bukanlah masalah. Hukum negara
Indonesia tidak melarang perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan
yang berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan. Namun kebebasan memilih
pasangan hidup tidaklah berlaku mutlak di Indonesia. Salah satu hal yang menjadi
masalah di Indonesia adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
yang berbeda agama.
Perkawinan beda agama merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita, yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua aturan
yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara perlaksanaan perkawinan sesuai
dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 mengatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Di sini jelas
bahwa pernikahan yang dilaksanakan di luar hukum agama maka akan dianggap oleh
negara sebagai pernikahan yang tidak sah. Selama ini pernikahan beda agama sudah
banyak terjadi di Indonesia, tetapi dalam hal ini pemerintah kurang tegas dalam
menanggapi pernikahan beda agama karena sampai detik ini pernikahan beda agama
masih terus berlangsung. Dan dari sekian banyak pelaku pernikahan beda agama pun
masih belum jelas tercatat dalam arsip pemerintah.
B. Kasus
Ari Sihasale, seorang Kristen Khatolik menikahi Nia Zulkarnaen, seorang
Muslimah yang taat (telah sering terlihat menggunakan jilbab) di Perth, Australia pada
tanggal 25 September 2003 yang lalu, bukan di gereja, apalagi di Masjid atau secara
Islam. Ibu Nia saat itu, Mieke Wijaya merupakan seorang aktivis dari partai Muslim.
Dalam wawancara dengan beberapa mass media pada acara resepsi pernikahan di suatu
Hotel Sheraton Timika, Rabu 8 Oktober 2003, Nia memberikan statemen, bahwa untuk
‘menghormati’ suaminya, pada hari Minggu, 5 Oktober 2003 pukul 09.00 WIT, dia
mengikuti kebaktian di Gereja Betlehem Kuala Kencana. Nia mengaku ‘tetap Islam’
dan suaminya Ale tetap Katholik dan mereka berdua mendirikan sebuah production
house yang berfokus untuk memfilmkan cerita anak-anak, Alenia Pictures.
C. Analisis Kasus
(1) Perkawinan Menurut Hukum Nasional
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai
hubungan keperdataan saja. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-Undang
terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-
Undang hanya mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan
di hadapan seorang pegawai catatan sipil. Demikian juga dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata , yang berlaku di Indonesia.
Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua macam syarat,
yaitu:
(1) Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawwinan pada
umumnya. Syarat ini meliputi:
a. Syarat materil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi
seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat itu meliputi:
Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri,
dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (Pasal 27
KUHPerdata)
Persetujuan dari calon suami dan istri. (Pasal 28 KUHPerdata)
Masa tunggu 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin
kawin kembali. (Pasal 34 KUHPerdata)
Harus ada izin dari orangtua atau wali bagi anak-anak yang belum
dewasa dan belum pernah kawin. (Pasal 35 - Pasal 49 KUHPerdata)
b. Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi
seseorang untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 3 macam:
Larangan kawin dengan keluarga sedarah,
Larangan kawin karena zinah,
Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya
perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.
(2) Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan
dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai catatan sipil. (Pasal 50-51
KUHperdata)