Anda di halaman 1dari 13

LEGAL OPINI

KASUS PENGEROYOKAN AUDREY OLEH 12 SISWI SMA DI PONTIANAK

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Logika dan Penalaran
Hukum Dosen Pengampu Ibu Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum. dan Bapak Solehuddin,
S.H., M.H.

Disusun Oleh:
DWI AYU LESTARI
NIM. 165010100111016

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2019
A. PENDAHULUAN
Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang
dan patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.1
Fenomena yang melatar belakangi penulisan legal opini ini adalah adanya pelaku tindak
pidana yang masih dalam kategori anak. Pengertian anak dalam konteks ini didasarkan pada
Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dengan
baik, dalam tumbuh kembangnya menjadi manusia dewasa, anak juga memiliki harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya, yang perlu mendapat perlindungan dan perhatian secara
khusus, agar anak dapat bertumbuh kembang secara baik dan berkualitas sebagai generasi
penerus bangsa. Dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Perlindungan Anak menyatakan bahwa: “setiap anak
dapat hidup, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Anak di dalam
keadaan apapun harus tetap tumbuh dan berkembang sebagaimana seharusnya dan bagi anak
yang berhadapan dengan hukum harus mendapat keadilan secara filosofis termasuk
menggeser pendekatan hukum retributif kearah restoratif.
Anak yang melakukan tindak pidana dalam konteks hukum positif yang berlaku di
Indonesia tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, namun demikian mengingat
pelaku tindak pidana masih di bawah umur maka proses penegakan hukumnya dilaksanakan
secara khusus. Dalam perkembangannya untuk melindungi anak, terutama perlindungan
khusus yaitu perlindungan hukum dalam sistem peradilan, telah terdapat dua undang-undang
yang mengatur khusus tentang peradilan anak, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak yang berganti menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
mengatur tentang Penyelesaian perkara yang bersifat restorative justice. Restorative Justice
merupakan salah satu cara (alternatif) penyelesaian perkara pidana anak di luar jalur
1
Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.
77.
konvensional (peradilan). Dengan adanya Restorative Justice, maka penyelesaian perkara
pidana anak yang berkonflik dengan hukum tidak melulu harus melalui jalur peradilan. Salah
satunya yaitu melalui diversi. Diversi bagi pelaku anak adalah untuk menyediakan alternatif
yang lebih baik dibanding dengan prosedur resmi beracara di pengadilan. Tujuannya adalah
menghindarkan anak tersebut dari prosedur resmi beracara di pengadilan dan mengurangi
kemungkinan terjadinya bentuk residivisme di masa mendatang.2
Perlindungan hak anak kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk
langkah-langkah kongkrit perlindungan terhadap hak-hak anak. Demikian juga upaya untuk
melindungi hak-hak anak yang dilanggar oleh negara, orang dewasa, orang tuanya sendiri
atau bahkan oleh anak yang seumuran.3 Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat
bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai
dengan kemampuan nusa dan bangsa. Perlindungan anak bermaksud untuk mengupayakan
perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai kesejahteraan anak.

B. POSISI KASUS
Perkara yang terjadi dalam kasus ini merupakan perkara yang masuk dalam kualifikasi
kekerasan terhadap anak. Pada tanggal 29 Maret 2019 Berdasarkan keterangan tujuh dari 12
orang siswi SMA terkait dugaan kekerasan, perkelahian terjadi pada hari Jumat (29/3).

Pada Jumat (29/3) itu, berdasarkan cerita Ec alias NNA, dia dan A membuat janji
bertemu pada Sabtu (30/3) untuk menyelesaikan permasalahan mereka yang berawal dari
ejek-ejekan di medsos. Namun, rupanya A meminta pertemuan dilakukan di hari itu juga. A
dan Ec pun bertemu di pinggir tepi Kapuas. Dalam pertemuan itu, mereka terlibat adu mulut
dan berlanjut dengan baku hantam.

Tak berhenti di situ, perkelahian berlanjut ke lokasi lainnya, yaitu Taman Akcaya yang
jaraknya sekitar 500 meter dari tepi Kapuas. Di sana A berkelahi lagi dengan Ar dan Ll. Ec
menyebut tak ada pengeroyokan, yang ada duel satu per satu.

Di lokasi yang sama, Komisioner KPPAD Pontianak Alik R Rosyad, yang


mendampingi korban dan pelaku karena masih termasuk kategori anak, juga menjelaskan
kronologi perkelahian tersebut. Menurut Alik, berdasarkan penjelasan para pelajar tersebut,

2
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembangunan Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia,Yogyakarta: Genta Publishing, hal 53.
3
Absori, 2008, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya Di Indonesia Pada Era
Otonomi Daerah, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm.14.
perkelahian diawali dari Ec dan A di Aneka Pavilion. Kemudian A mencoba lari ke Taman
Akcaya, yang berjarak sekitar 500 meter dari lokasi pertama. A kemudian dikejar Ec. Saat
sedang mengejar korban, Ec bertemu Ar di Jalan Uray Bawadi. Ar kemudian diajak mengejar
A, dan mereka bertemu korban di Taman Akcaya. Kemudian A berkelahi dengan Ar. Setelah
selesai berkelahi dengan A, Ll datang dan berkelahi lagi dengan A di lokasi yang sama.

5 April 2019
Ibu korban mengadukan kasus ini ke Polsek Pontianak.

8 April 2019
Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Polresta Pontianak. Dari BAP orang tua, A disebut
sempat dijemput di rumahnya oleh temannya yang berinisial DE dan diantar ke rumah
sepupunya yang berinisial PP. Selanjutnya, A dan PP pergi naik motor dan mengaku
dibuntuti 4 perempuan. Mereka lalu dicegat seseorang berinisial TR, yang lalu melakukan
penganiayaan bersama EC dan LL.

9 April 2019
Kasus dugaan kekerasan ini viral lewat tagar JusticeForAudrey di media sosial Twitter.
Pada Selasa (9/4/2019), tagar tersebut menduduki posisi nomor 1 di Indonesia dan dunia.
Salah satu akun yang menceritakan kisah A adalah @syarifahmelinda. Hingga Selasa (9/4),
cuitan @syarifahmelinda di-retweets lebih dari 9.400 pengguna Twitter.
A dirawat di RS akibat dugaan kekerasan yang dialaminya.

10 April 2019
- Pukul 12.20 WIB
Perkara yang sampai memicu petisi viral 'Justice for Audrey' ini sudah ditingkatkan ke
penyidikan. Polisi juga meminta hasil visum A pada pihak RS. Pihak Polresta sudah
melakukan proses penyidikan, sudah ditingkatkan menjadi penyidikan bukan lagi
penyelidikan.

- Pukul 14.33 WIB


Polisi menyatakan ada 4 orang yang sedang diperiksa di Polresta Pontianak terkait
dugaan kekerasan terhadap A. Mereka yang diperiksa berstatus sebagai saksi.
- Pukul 15.11 WIB
Polisi memaparkan hasil visum terhadap A. Visum dilakukan sepekan setelah dugaan
pengeroyokan terjadi di rumah sakit tempat A dirawat. Hasil visum dipaparkan oleh
Kapolresta Pontianak Kombes M Anwar Nasir dalam jumpa pers di Pontianak, Rabu
(10/4/2019). Anwar lalu membacakan hasil visum dari rumah sakit. Dari hasil visum,
kepala korban tidak bengkak dan tidak ada benjolan. Tidak ada memar di mata dan
penglihatan normal. Anwar mengatakan, dari pengakuan korban, terduga pelaku sempat
menekan alat kelamin korban. Berdasarkan hasil visum, tidak ada bekas luka di alat
kelamin. Kulit tidak ada memar, lebam, maupun bekas luka.

- Pukul 19.30 WIB


Polisi menetapkan 3 orang tersangka kasus dugaan kekerasan terhadap anak yang
dialami A. Ketiga orang yang menjadi tersangka itu ialah Ar, Ec alias NNA, dan Ll.
Mereka dijerat dengan Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak tentang
kekerasan terhadap anak. Ancaman hukuman maksimalnya adalah 3,5 tahun penjara.

- Pukul 22.01 WIB


Tujuh dari 12 siswi SMA yang terkait kasus dugaan kekerasan terhadap A, memberikan
klarifikasi. Ketujuh pelajar didampingi komisioner Komisi Perlindungan dan
Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Pontianak Alik R Rosyad dan sejumlah keluarga.
Mereka secara bergantian menyampaikan permintaan maaf kepada korban A. Di antara
mereka ada yang mengaku tidak berada di dua lokasi kejadian di Aneka Pavilion di Jalan
Sulawesi dan Taman Akcaya di Sutan Syahrir, Pontianak, pada Jumat (29/3).

Dikutip dari Antara, para pelajar itu menyebut tidak melakukan pengeroyokan. Mereka
mengaku berkelahi satu lawan satu, sementara teman-teman yang lain hanya
menyaksikan. Ada juga yang mencoba melerai perkelahian tersebut. Ketiga tersangka
penganiayaan terhadap A, menyampaikan permohonan maaf kepada korban, pihak
keluarga, serta masyarakat luas. Mereka juga menyatakan menyesal.

C. PERMASALAHAN HUKUM
1. Apakah korban dapat menuntut ganti kerugian secara keperdataan pada pelaku?
2. Apakah dengan korban dan keluarganya memaafkan pelaku menghapuskan
pertanggungjawaban pelaku dalam tindak pidana tersebut?
D. PENELUSURAN BAHAN HUKUM
Dasar hukum yang digunakan sebagai dasar untuk memberikan legal opinion dalam
permasalahan ini, antara lain :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
6. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak
yang Menjadi Korban Tindak Pidana

E. ANALISIS HUKUM

1. Korban Dapat Menuntut Ganti Kerugian Secara Keperdataan Pada Pelaku


Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau
ganti rugi terhadap korban. Restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada
korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian
harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.4
Restitusi sesuai dengan prinsip pemulihan dalam keadaan semula (restutio in
integrum) adalah suatu upaya bahwa korban kejahatan haruslah dikembalikan pada
kondisi semula sebelum kejahatan terjadi meski didasari bahwa tidak akan mungkin
korban kembali pada kondisi semula. Prinsip ini menegaskan bahwa bentuk
pemulihan kepada korban haruslah selengkap mungkin dan mencakup berbagai aspek
yang ditimbulkan dari akibat kejahatan. Dengan restitusi, maka korban dapat
dipulihkan kebebasan, hak-hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan
kewarganegaraan, kembali ke tempat tinggalnya, pemulihan pekerjaannya, serta
dipulihkan asetnya.5
Terkait dengan aturan pemberian restitusi atau ganti rugi kepada anak yang
menjadi korban tindak pidana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 43
4
Irawan Adi Wijaya, 2018, Pemberian Restitusi sebagai Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana,
Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi,Vol.6 No.2: 95.
5
Fauzy Marasabessy, 2015, Restitusi bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme Baru,
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.1: 55.
Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak
Pidana. PP No. 43 Tahun 2017 merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 71D ayat (2)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang pada pokoknya menentukan
bahwa “setiap anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j, berhak mengajukan ke
pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan”.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi
Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, pada pokoknya mengatur restitusi
sebagai pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau
immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Setiap anak yang menjadi korban
tindak pidana berhak memperoleh restitusi, meliputi: (Pasal 2 PP No. 43 Tahun 2017)
a. anak yang berhadapan dengan hukum;
b. anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual;
c. anak yang menjadi korban pornografi;
d. anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
e. anak korban kekerasan fisik, dan
f. anak korban kejahatan seksual.
Sementara dalam Pasal 3 PP No. 43 Tahun 2017, restitusi bagi anak yang menjadi
korban tindak pidana berupa:
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan;
b. ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. penggantian biaya perawatan dan/atau psikologis.

Berdasarkan PP No. 43 Tahun 2017, restitusi dapat diajukan oleh orang tua atau
wali anak yang menjadi korban; atau ahli waris anak yang menjadi korban; atau orang
yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban.
Permohonan juga dapat diajukan oleh lembaga dalam hal pihak korban sebagai pelaku
tindak pidana. Permohonan restitusi dapat diajukan kepada penyidik dalam tahap
penyidikan ataupun kepada penuntut umum pada tahap penuntutan. Permohonan
restitusi juga dapat diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PP No. 43 tahun 2017 juga mengatur tentang kewenangan penyidik dan
penuntut umum untuk dapat memberikan informasi tentang hak mengajukan restitusi
kepada korban, serta mengatur teknis pelaksanaan restitusi tersebut oleh jaksa. PP No.
43/2017 juga memberi wewenang pada LPSK untuk membantu menilai kerugian yang
dimohonkan.
Ketentuan dalam PP No. 43 tahun 2017 ini melengkapi mekanisme ganti rugi
atau restitusi yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Dalam KUHAP telah diatur mengenai penggabungan perkara Tindak
Pidana dan Perdata apabila korban ingin meminta ganti kerugian sendiri kepada
Pengadilan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 98 ayat (1) hingga Pasal 101 KUHAP.
Pasal 98 ayat (1) menentukan bahwa, “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar
dakwan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan
orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian
kepada perkara pidana itu.”
Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan
ketentuan Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang KUHAP diajukan selambat-lambatnya
sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana atau sebelum majelis hakim
menjatuhkan putusan. Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara
ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk
mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang
hukumanpenggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (Pasal 99 ayat (1)
KUHAP).
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan
kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapatkan kekuatan
hukum tetap (Pasal 99 ayat (3) KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap
perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti Rugi otomatis akan mengalami
hal yang sama (Pasal 100 ayat (1) KUHAP). Namun, apabila perkara pidana tidak
diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak
diperkenankan banding (Pasal 100 ayat (2) KUHAP). Mekanisme pemeriksaan
penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP
menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pihak korban dapat menuntut
ganti kerugian secara keperdataan kepada pelaku atas penderitaan korban sebagai
akibat tindak pidana penganiayaan yang dilakukan pelaku dan untuk penggantian
biaya perawatan dan/atau psikologis korban. Hal itu dikarenakan Audrey merupakan
anak yang masih berusia dibawah 18 tahun yang menjadi korban kekerasan fisik
seperti halnya yang diatur dalam ketentuan pasal 2 dan pasal 3 PP No. 43 Tahun 2017.
Tuntutan ganti kerugian secara keperdataan tersebut dapat digabung dengan
perkara pidana penganiayaannya, dimana permohonan tersebut diajukan selambat-
lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana atau sebelum majelis
hakim menjatuhkan putusan.

2. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Hapus Jika Pihak Korban Telah


Memaafkannya
Hukum positif Indonesia, mengatur tentang perlindungan anak dan metode
penyelesaian perkara pidana bagi anak di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi Negara yang menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi” (Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945).
Selain itu, Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (selanjutnya disingkat UU SPPA) memberikan salah satu reformasi
pemidanaan di Indonesia karena di Undang-Undang ini mengatur masa penahanan
yang lebih singkat, upaya penangguhan penahanan serta diaturnya kewajiban para
penegak hukum dalam mengupayakan diversi (penyelesaian pidana bagi anak melalui
jalur non formal) pada seluruh tahapan proses hukum. Dengan demikian, pelaku
pidana anak yang tertangkap, masih mendapat kesempatan untuk tidak dipenjarakan
demi masa depannya.
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, proses penanganan perkara terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana mewajibkan penyidik, penuntut umum, dan hakim
melaksanakan diversi dan mengutamakan keadilan restoratif. Berdasarkan pada
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(selanjutnya disingkat UU SPPA), Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sehingga dalam
prosesnya, tidak hanya melibatkan para aparat penengak hukum saja melainkan turut
serta melibatkan Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, dan orang
tua/wali korban anak korban serta anak pelaku.
Kasus yang sering muncul di dalam masyarakat yang melibatkan Anak sebagai
pelakunya maka dalam penyelesaiannya dengan mekanisme atau tindakan diversi
dapat memungkinkan Anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan
sosial lainnya. Penerapan diversi tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan dan
menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke
dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta
semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada
terciptanya keadilan restoratif, baik bagi anak maupun bagi korban.
Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi yaitu dimana semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah
serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih
baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting, karena dengan
diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak yang
berhadapan dengan hukum dari stigma sebagai anak nakal, karena tindak pidana yang
diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui
proses hukum.6
Adapun tujuan Penyelesaian perkara dengan diversi menurut Pasal 6 UU SPPA
adalah:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Tidak semua pelaku tindak pidana anak dapat diselesaikan melalui mekanisme
diversi. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU SPPA, Diversi dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan


b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
6
I G A A Apshari Pinatih dan Rai Setiabudi, 2015, Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Artikel Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Udayana
Proses diversi akan menghasilkan kesepakatan diversi yang mana harus
mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak
dan keluarganya. Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk perdamaian dengan atau
tanpa kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam
pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan atau
pelayanan masyarakat. Proses peradilan pidana anak akan dilanjutkan apabila proses
diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.
Dari kasus penganiayaan yang dilakukan oleh 12 siswi SMA terhadap Audrey,
apabila pihak keluarga korban telah memaafkan perbuatan para pelaku maka
pertanggungjawaban pidana mereka dapat dihapuskan. Hal itu dikarenakan
penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku dapat dilakukan
melalui mekanisme diversi (di luar jalur pengadilan). Dimana berdasarkan penyidikan
kepolisian mereka dijerat dengan Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan
Anak, yang mana ancaman hukumannya paling lama 3,5 tahun. Oleh karena ancaman
hukumannya di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana,
maka perkara tersebut dapat diselesaikan melalui diversi. Dari proses diversi tersebut
apabila kedua pihak telah saling memaafkan maka dapat dikatakan diversi telah
berhasil dilakukan dan tidak perlu dilanjutkan ke jalur pengdilan. Menurut ketentuan
Pasal 11 UU SPPA, Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.

F. PENDAPAT HUKUM
1. Korban dapat menuntut ganti kerugian secara keperdataan kepada pelaku, karena
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. PP No. 43 Tahun 2017
merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 71D ayat (2) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
2. Pertanggungjawaban pidana pelaku dapat dihapuskan jika pihak keluarga korban
telah memaafkannya, karena dapat diselesaikan melalui mekanisme diversi (di luar
persidangan), sehingga dapat tercapai perdamaian antar pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Absori, 2008, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya Di Indonesia Pada
Era Otonomi Daerah, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Hamzah, Andi, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Marasabessy, Fauzy, 2015, Restitusi bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran
Mekanisme Baru, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No. 1.

Pinatih, I G A A Apshari dan Rai Setiabudi, 2015, Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Artikel Program Kekhususan
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Wahyudi, Setya, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembangunan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia,Yogyakarta: Genta Publishing.

Wijaya, Irawan Adi, 2018, Pemberian Restitusi sebagai Perlindungan Hukum Korban Tindak
Pidana, Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi,Vol. 6 No. 2.

Anda mungkin juga menyukai