Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Logika dan Penalaran
Hukum Dosen Pengampu Ibu Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum. dan Bapak Solehuddin,
S.H., M.H.
Disusun Oleh:
DWI AYU LESTARI
NIM. 165010100111016
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2019
A. PENDAHULUAN
Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang
dan patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.1
Fenomena yang melatar belakangi penulisan legal opini ini adalah adanya pelaku tindak
pidana yang masih dalam kategori anak. Pengertian anak dalam konteks ini didasarkan pada
Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dengan
baik, dalam tumbuh kembangnya menjadi manusia dewasa, anak juga memiliki harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya, yang perlu mendapat perlindungan dan perhatian secara
khusus, agar anak dapat bertumbuh kembang secara baik dan berkualitas sebagai generasi
penerus bangsa. Dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Perlindungan Anak menyatakan bahwa: “setiap anak
dapat hidup, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Anak di dalam
keadaan apapun harus tetap tumbuh dan berkembang sebagaimana seharusnya dan bagi anak
yang berhadapan dengan hukum harus mendapat keadilan secara filosofis termasuk
menggeser pendekatan hukum retributif kearah restoratif.
Anak yang melakukan tindak pidana dalam konteks hukum positif yang berlaku di
Indonesia tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, namun demikian mengingat
pelaku tindak pidana masih di bawah umur maka proses penegakan hukumnya dilaksanakan
secara khusus. Dalam perkembangannya untuk melindungi anak, terutama perlindungan
khusus yaitu perlindungan hukum dalam sistem peradilan, telah terdapat dua undang-undang
yang mengatur khusus tentang peradilan anak, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak yang berganti menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
mengatur tentang Penyelesaian perkara yang bersifat restorative justice. Restorative Justice
merupakan salah satu cara (alternatif) penyelesaian perkara pidana anak di luar jalur
1
Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.
77.
konvensional (peradilan). Dengan adanya Restorative Justice, maka penyelesaian perkara
pidana anak yang berkonflik dengan hukum tidak melulu harus melalui jalur peradilan. Salah
satunya yaitu melalui diversi. Diversi bagi pelaku anak adalah untuk menyediakan alternatif
yang lebih baik dibanding dengan prosedur resmi beracara di pengadilan. Tujuannya adalah
menghindarkan anak tersebut dari prosedur resmi beracara di pengadilan dan mengurangi
kemungkinan terjadinya bentuk residivisme di masa mendatang.2
Perlindungan hak anak kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk
langkah-langkah kongkrit perlindungan terhadap hak-hak anak. Demikian juga upaya untuk
melindungi hak-hak anak yang dilanggar oleh negara, orang dewasa, orang tuanya sendiri
atau bahkan oleh anak yang seumuran.3 Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat
bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai
dengan kemampuan nusa dan bangsa. Perlindungan anak bermaksud untuk mengupayakan
perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai kesejahteraan anak.
B. POSISI KASUS
Perkara yang terjadi dalam kasus ini merupakan perkara yang masuk dalam kualifikasi
kekerasan terhadap anak. Pada tanggal 29 Maret 2019 Berdasarkan keterangan tujuh dari 12
orang siswi SMA terkait dugaan kekerasan, perkelahian terjadi pada hari Jumat (29/3).
Pada Jumat (29/3) itu, berdasarkan cerita Ec alias NNA, dia dan A membuat janji
bertemu pada Sabtu (30/3) untuk menyelesaikan permasalahan mereka yang berawal dari
ejek-ejekan di medsos. Namun, rupanya A meminta pertemuan dilakukan di hari itu juga. A
dan Ec pun bertemu di pinggir tepi Kapuas. Dalam pertemuan itu, mereka terlibat adu mulut
dan berlanjut dengan baku hantam.
Tak berhenti di situ, perkelahian berlanjut ke lokasi lainnya, yaitu Taman Akcaya yang
jaraknya sekitar 500 meter dari tepi Kapuas. Di sana A berkelahi lagi dengan Ar dan Ll. Ec
menyebut tak ada pengeroyokan, yang ada duel satu per satu.
2
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembangunan Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia,Yogyakarta: Genta Publishing, hal 53.
3
Absori, 2008, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya Di Indonesia Pada Era
Otonomi Daerah, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm.14.
perkelahian diawali dari Ec dan A di Aneka Pavilion. Kemudian A mencoba lari ke Taman
Akcaya, yang berjarak sekitar 500 meter dari lokasi pertama. A kemudian dikejar Ec. Saat
sedang mengejar korban, Ec bertemu Ar di Jalan Uray Bawadi. Ar kemudian diajak mengejar
A, dan mereka bertemu korban di Taman Akcaya. Kemudian A berkelahi dengan Ar. Setelah
selesai berkelahi dengan A, Ll datang dan berkelahi lagi dengan A di lokasi yang sama.
5 April 2019
Ibu korban mengadukan kasus ini ke Polsek Pontianak.
8 April 2019
Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Polresta Pontianak. Dari BAP orang tua, A disebut
sempat dijemput di rumahnya oleh temannya yang berinisial DE dan diantar ke rumah
sepupunya yang berinisial PP. Selanjutnya, A dan PP pergi naik motor dan mengaku
dibuntuti 4 perempuan. Mereka lalu dicegat seseorang berinisial TR, yang lalu melakukan
penganiayaan bersama EC dan LL.
9 April 2019
Kasus dugaan kekerasan ini viral lewat tagar JusticeForAudrey di media sosial Twitter.
Pada Selasa (9/4/2019), tagar tersebut menduduki posisi nomor 1 di Indonesia dan dunia.
Salah satu akun yang menceritakan kisah A adalah @syarifahmelinda. Hingga Selasa (9/4),
cuitan @syarifahmelinda di-retweets lebih dari 9.400 pengguna Twitter.
A dirawat di RS akibat dugaan kekerasan yang dialaminya.
10 April 2019
- Pukul 12.20 WIB
Perkara yang sampai memicu petisi viral 'Justice for Audrey' ini sudah ditingkatkan ke
penyidikan. Polisi juga meminta hasil visum A pada pihak RS. Pihak Polresta sudah
melakukan proses penyidikan, sudah ditingkatkan menjadi penyidikan bukan lagi
penyelidikan.
Dikutip dari Antara, para pelajar itu menyebut tidak melakukan pengeroyokan. Mereka
mengaku berkelahi satu lawan satu, sementara teman-teman yang lain hanya
menyaksikan. Ada juga yang mencoba melerai perkelahian tersebut. Ketiga tersangka
penganiayaan terhadap A, menyampaikan permohonan maaf kepada korban, pihak
keluarga, serta masyarakat luas. Mereka juga menyatakan menyesal.
C. PERMASALAHAN HUKUM
1. Apakah korban dapat menuntut ganti kerugian secara keperdataan pada pelaku?
2. Apakah dengan korban dan keluarganya memaafkan pelaku menghapuskan
pertanggungjawaban pelaku dalam tindak pidana tersebut?
D. PENELUSURAN BAHAN HUKUM
Dasar hukum yang digunakan sebagai dasar untuk memberikan legal opinion dalam
permasalahan ini, antara lain :
E. ANALISIS HUKUM
Berdasarkan PP No. 43 Tahun 2017, restitusi dapat diajukan oleh orang tua atau
wali anak yang menjadi korban; atau ahli waris anak yang menjadi korban; atau orang
yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban.
Permohonan juga dapat diajukan oleh lembaga dalam hal pihak korban sebagai pelaku
tindak pidana. Permohonan restitusi dapat diajukan kepada penyidik dalam tahap
penyidikan ataupun kepada penuntut umum pada tahap penuntutan. Permohonan
restitusi juga dapat diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PP No. 43 tahun 2017 juga mengatur tentang kewenangan penyidik dan
penuntut umum untuk dapat memberikan informasi tentang hak mengajukan restitusi
kepada korban, serta mengatur teknis pelaksanaan restitusi tersebut oleh jaksa. PP No.
43/2017 juga memberi wewenang pada LPSK untuk membantu menilai kerugian yang
dimohonkan.
Ketentuan dalam PP No. 43 tahun 2017 ini melengkapi mekanisme ganti rugi
atau restitusi yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Dalam KUHAP telah diatur mengenai penggabungan perkara Tindak
Pidana dan Perdata apabila korban ingin meminta ganti kerugian sendiri kepada
Pengadilan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 98 ayat (1) hingga Pasal 101 KUHAP.
Pasal 98 ayat (1) menentukan bahwa, “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar
dakwan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan
orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian
kepada perkara pidana itu.”
Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan
ketentuan Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang KUHAP diajukan selambat-lambatnya
sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana atau sebelum majelis hakim
menjatuhkan putusan. Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara
ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk
mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang
hukumanpenggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (Pasal 99 ayat (1)
KUHAP).
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan
kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapatkan kekuatan
hukum tetap (Pasal 99 ayat (3) KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap
perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti Rugi otomatis akan mengalami
hal yang sama (Pasal 100 ayat (1) KUHAP). Namun, apabila perkara pidana tidak
diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak
diperkenankan banding (Pasal 100 ayat (2) KUHAP). Mekanisme pemeriksaan
penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP
menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pihak korban dapat menuntut
ganti kerugian secara keperdataan kepada pelaku atas penderitaan korban sebagai
akibat tindak pidana penganiayaan yang dilakukan pelaku dan untuk penggantian
biaya perawatan dan/atau psikologis korban. Hal itu dikarenakan Audrey merupakan
anak yang masih berusia dibawah 18 tahun yang menjadi korban kekerasan fisik
seperti halnya yang diatur dalam ketentuan pasal 2 dan pasal 3 PP No. 43 Tahun 2017.
Tuntutan ganti kerugian secara keperdataan tersebut dapat digabung dengan
perkara pidana penganiayaannya, dimana permohonan tersebut diajukan selambat-
lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana atau sebelum majelis
hakim menjatuhkan putusan.
Tidak semua pelaku tindak pidana anak dapat diselesaikan melalui mekanisme
diversi. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU SPPA, Diversi dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:
F. PENDAPAT HUKUM
1. Korban dapat menuntut ganti kerugian secara keperdataan kepada pelaku, karena
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. PP No. 43 Tahun 2017
merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 71D ayat (2) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
2. Pertanggungjawaban pidana pelaku dapat dihapuskan jika pihak keluarga korban
telah memaafkannya, karena dapat diselesaikan melalui mekanisme diversi (di luar
persidangan), sehingga dapat tercapai perdamaian antar pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Absori, 2008, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya Di Indonesia Pada
Era Otonomi Daerah, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Hamzah, Andi, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Marasabessy, Fauzy, 2015, Restitusi bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran
Mekanisme Baru, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No. 1.
Pinatih, I G A A Apshari dan Rai Setiabudi, 2015, Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Artikel Program Kekhususan
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Wahyudi, Setya, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembangunan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia,Yogyakarta: Genta Publishing.
Wijaya, Irawan Adi, 2018, Pemberian Restitusi sebagai Perlindungan Hukum Korban Tindak
Pidana, Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi,Vol. 6 No. 2.