Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HUKUM PIDANA EKONOMI

“TOLOK UKUR KRIMINALISASI DAN BENTUK-BEBTUK

PENYIMPANGAN EKONOMI”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi Kelas

J Dosen Pengampu : Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H.

Disusun oleh:

Wida Wulandari Nur Rahma (E0019427)


Wiwik Diah Muliasih (E0019433)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Tolok Ukur Kriminalisasi dan Bentuk Penyimpangan Ekonomi dengan
tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari Bapak Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H. selaku dosen pada mata kuliah
Hukum Pidana Ekonomi kelas J sehingga dengan penyusunan makalah ini kami
dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang yang kami tekuni.
Kami mengucapkan segenap terimakasih kepada Bapak Dr. Rehnalemken
Ginting, S.H., M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi
kelas J serta pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kami menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan sangat kami terima demi kesempurnaan
makalah ini.

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Tolol Ukur Kriminalisasi Kegiatan Ekonomi...........................................3
2.2 Bentuk-Bentuk Penyimpangan Ekonomi..................................................7
BAB III KESIMPULAN........................................................................................14
3.1 Kesimpulan..............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejahatan, atau dalam bahasa Inggris disebut evil conduct, adalah perilaku
jahat. Perilaku dalam Bahasa Inggris adalah conduct, perilaku tersebut dapat
berupa melakukan suatu perbuatan yang di dalam Bahasa Inggris disebut act
atau commission. Selain itu, perilaku dapat juga berupa tidak melakukan
perbuatan apapun atau berdiam diri, yang di dalam bahasa Inggris disebut
omission. Kejahatan tidak selalu merupakan tindak pidana, kejahatan hanya
merupakan tindak pidana ketika perilaku jahat (evil conduct) tersebut telah
ditetapkan sebagai tindak pidana (telah dikriminalisasi) oleh suatu undang-
undang pidana. Artinya, pelaku suatu kejahatan hanya dapat dijatuhi sanksi
pidana apabila perilaku jahat. Menghadapi era keterbukaan dalam bidang
perekonomian yang dipengaruhi oleh kebebasan pasar yang telah memicu
timbulnya berbagai bentuk kejahatan di bidang perekonomian.
Berkembangnya tindak pidana perekonomian, menuntut keberadaan kebijakan
kriminal dari pemerintah untuk menciptakan kondisi atau situasi
perekonomian yang akomodatif. Penegakan hukum pidana ekonomi pada
hakekatnya merupakan pencampuran dua nilai, yaitu tujuan hukum pidana dan
tujuan penciptaan kondisi perekonomian yang kondusif, untuk itu hukum
pidana harus dapat menyeimbangkan dan menyerasikan kedua nilai tersebut
serta sekaligus bertindak sebagai ultimum remedium.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu
rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana tolok ukur kriminalisasi kegiatan ekonomi?
b. Bagaimana bentuk-bentuk penyimpangan ekonomi?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan yang hendak dicapai
untuk mencari pemecahan rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui tolok ukur kriminalisasi kegiatan ekonomi;
b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan ekonomi.
4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tolok Ukur Kriminalisasi Kegiatan Ekonomi


Pencarian tolok ukur sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana yakni
penunjukan kerugian tertentu sebagai kerugian publik, di samping itu, hukum
pidana terbatas pada perilaku yang jelas merugikan secara sosial/immoral,
dikatakan oleh Herbert L. Packer; hanya perilaku yang umumnya dianggap tidak
bermoral yang harus diperlakukan sebagai kriminal, di samping itu, merugikan
orang lain untuk memasukkan risiko kerusakan pada kepentingan orang lain, dan
biasanya mungkin untuk membuat alasan masuk akal bahwa setiap perilaku dalam
bentuk tertentu melibatkan risiko itu dalam beberapa cara. Perbuatan immoral
bukan dalam arti daya pembeda benar atau salah, adil atau tidak adil dalam diri
seseorang, melainkan keseluruhan orang-orang dalam masyarakat yang selalu
berkembang dan berubah. Dengan demikian bersifat melukai masyarakat,
merugikan, atau mencelakakan pihak lain. Terkait dengan tindak pidana ekonomi,
perbuatan tersebut bertentangan dengan moral di bidang ekonomi, dan merugikan
kehidupan ekonomi yang merusak sistem ekonomi suatu masyarakat, sudah tentu
berdampak secaa individual kepada anggota masyarakat menderita kerugian.

Penentuan tindak pidana dengan tolok ukur yang merupakan produk legislatif,
terdapat pertentangan kepentingan antar kekuatan yang ada pada lembaga, hal ini
berkaitan dengan kedudukan yang berbeda-beda dalarn masyarakat berdasarkan
kemampuan ekonomi, maupun politik. Adanya kesenjangan ekonomi menjadikan
faktor pendorong penyelenggaraan hukum untuk memenuhi dan mempertahankan
kelompok dominan.

Tolok ukur penentuan tindak pidana terkait dengan ideologi sistem nilai yang
dianut oleh kekuasaan negara, dan ini dinyatakan dalam ketentuan hukum pidana.
Oleh karenanya dapat dikatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dikarenakan
bertentangan dengan ideologi atau sistem nilai suatu negara. Penentunya adalah
pembentuk undang-undang yang berkehendak kepentingan atau nilai-nilai ingin
dilindungi dan ditegakkan dengan hukum pidana.
Penentuan tindak pidana di Indonesia bertolok ukur apabila perbuatan
bertentangan dengan ideologi Pancasila, yang nilai-nilainya dijabarkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk dalam bidang ekonomi. Nilai-
nilai Pancasila menyangkut sistem ekonomi yang dikehendaki, sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945 pada Pasal 33. Khususnya ayat (4) yang menyatakan
bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Terpaut dengan tindak pidana di bidang
ekonomi berarti melawan atau mengganggu ideologi atau sistem nilai di bidang
ekonomi yang dikehendaki kekuasaan politik negara untuk diterapkan.

Ditambahkan sehubungan dengan tolok ukur tindak pidana di bidang ekonomi,


yakni melanggar atau menyerang kepentingan politik ekonomi dalam rangka
demokrasi ekonomi. Politik ekonomi mencakup kebijaksanaan, strategi dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional sebagai perwujudan prinsip-prinsip
dasar demokrasi ekonomi yang mengutamakan kepentingan rakyat untuk
kemakmuran rakyat. Arahnya untuk menciptakan struktur ekonomi nasional agar
terwujud usaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta ternya keterkaitan
dan kemitraan saling menguntungkan antar pelaku ekonomi yang meliputi usaha
kecil, menengah dan koperasi, usaha besar swasta, dan BUMN yang saling
memperkuat untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional yang
berdaya saing tinggi.

Kejahatan di bidang ekonomi selalu berkaitan dengan sistem ekonomi yang


dianut suatu bangsa dan karena itu dianggap menyerang secara langsung ekonomi
nasional. Akibat lebih jauh pada akhirnya akan mempengaruhi kepercayaan
masyarakat terhadap korporasi dan kehidupan bisnis. Atas dasar kerugian-kerugian
baik fisik, sosial maupun ekonomi dari kejahatan korporasi, maka sangat beralasan
jika kebijakan kriminal diorganisasikan secara sistematik guna penanggulangan
kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus menggunakan secara berpasangan
baik langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi,
dan hukum pidana) maupun langkah-langkah pencegahan dalam rangka mengatasi
kendala-kendala penanggulangan kejahatan di bidang ekonomi. Perbuatan dan
aktivitas yang menyerang atau merugikan sistem ekonomi suatu negara inilah
merupakan perbuatan bertentangan dengan moral yang bersifat umum (moral
public), dan melukai sendi-sendi kehidupan ekonomi yang bersifat sosial (social
injuries) yang berdampak kerusakan individual (individual damages) maupun
kerusakan kemasyarakatan (social damages).

Tolok ukur yang bersifat publik baik menyangkut kerugiannya, kerusakannya,


kepentingan, dan nilai-nilai umum yang dianggap penting dalam menentukan
tindak pidana di bidang ekonomi. Hal ini berkaitan dengan tindak pidana sebagai
larangan menurut undang-undang dalam hukum pidana, dan hukum pidana tersebut
masuk dalam ranah hukum publik. Mengenai hal ini, Charies W. Thomas and
Donna M. I menjelaskan bahwa hukum pidana merupakan sub-bagian hukum
publik (public law) daripada hukum perdata. Hukum publik merupakan hukum
yang menghubungkan secara langsung kepada negara dalam kedudukan politisnya
atau kapasitas kedaulatannya. Publik diartikan terkait dengan masalah struktur
pemerintah, tugas-tugas dan kekuasaan pejabat publik, serta kewajiban dan hak-hak
pribadi, maupun perusahaan yang terikat pada kekuasaan pemerintahan. Kejahatan
dipandang sebagai suatu perbuatan yang tidak selalu melawan perorangan yang
menjadi korban. Akan tetapi juga melawan negara, sebab negara telah langsung
menentukan kepentingan yang dilindungi masyarakat dari perilaku kejahatan.
Tidak seperti proses peradilan perdata, yang memberikan kewajiban pada pihak
yang dirugikan untuk melakukan gugatan terhadap pelanggar. Dalam proses
pidana, peran yang dimainkan korban sering relatif lebih sedikit. Pemerintah dapat
menuntut seseorang yang didakwa melakukan kejahatan tanpa harus
memperhatikan tindakan dan tujuan yang sama menurut si korban.

Penentuan tindak pidana di bidang ekonomi berorientasi lebih pada kepentingan


umum, perbuatan tersebut dianggap mengganggu public-order dalam kehidupan
ekonomi. Ini terkait dengan peran pemerintah dalam pengaturan berbagai kegiatan
kehidupan masyarakat.

Sejatinya bukan ketentuan hukum pidana, namun akibat perlunya penciptaan


ketertiban umum, pelaksanaan tugas kepolisian, dan pengaturan bisnis serta
perlindungan lingkungan hidup, berkecenderungan berkembang peraturan
perundang-undangan (statutory legislation) yang disertai sanksi pidana. Dalam hal
ini memunculkan sifat responsif atau reflektif hukum sejajar dengan the
development of the welfarestate. SPP selalu dituntut menyesuaikan perubahan
kebutuhan masyarakat, yang dalam pelaksanaannya terdapat tujuan kebijakan yang
khusus. Ada hubungan yang erat antara hukum dan kebijakan publik.

Kejahatan sebagai perbuatan terlarang bernilai politik, karena ada hubungan


hukum antara negara dan warganya sebagai ideological- societol relationship.
Ketentuan hukum pidana menyediakan penjagaan berbagai nilai ideologis yang
dikehendaki kekuasan negara untuk diamalkan. Sehubungan dengan ini, Stephen
Schafer mengemukakan bahwa, perilaku manusia yang dikualifikasi sebagai
kejahatan menurut hukum, oleh karena itu, merepresentasikan perlawanan kondisi
yang bersifat ideologis yang dinyatakan sebagai yang tidak diinginkan oleh
kekuasaan negara secara sosial politik. Kepentingan, nilai, dan keyakinan dari
kekuasaan ini, apapun bekerjanya struktur kemungkinan, dinyatakan melalui
norma-norma hukum.

Sehubungan dengan tolok ukur mengenai tindak pidana, maka tindak pidana di
bidang ekonomi itu dinyatakan dalam undang-undang karena immoral, melukai
secara sosial, menimbulkan kerusakan publik, bertentangan dengan ideologi serta
kebijakan pembangunan, yang berarti merugikan negara. Dengan membicarakan
kejahatan sebagai yang merugikan negara, menjadikan lebih baik memikirkan
kejahatan sebagai campur tangan perorangan dalam area pengambilan keputusan,
dan tindakan yang baik dimintakan kepada negara sebagai bagian penting dari
pekerjaannya, warganegara sebagai "klien", sebagaimana "sewa menyewa". Kita
"sewa" negara untuk melindungi hak-hak kita, dan supaya dilindungi dari adanya
gangguan yang paling sedikit.

Menurut konsep dasar mengenai perencanaan kebijakan (policy plan), ukuran


yang diambil berdasarkan hukum pidana untuk memerangi kejahatan sudah
terintegrasi lagi ke dalam kebijakan pemerintah secara keseluruhan, tetapi sifat
subsidier pendekatan hukum pidana telah ditekankan secara lebih kuat. Hal ini
berhubungan dengan akibat negatif tindak pidana di bidang ekonomi, yang bersifat
merugikan kepentingan umum dan mengganggu public order. Perlu diketahui tolok
ukur terhadap tindak pidana pun mengalami dinamika, apalagi kaitannya dengan
kegiatan ekonomi - industri yang terhanyut oleh kemajuan iptek, utamanya
teknologi telekomunikasi informasi, serta perkembangan global. Masukan
perkembangan demikian ini, bagi ilmu hukum pidana dan penegakan hukum pidana
dituntut kemampuan mengadaptasikannya.

Tolok ukur tindak pidana di bidang ekonomi menyentuh kepentingan individu


dan publik (dalam kegiatan ekonomi), yang menghasilkan tipologi kejahatan
dengan gabungan aktor, yakni kalangan pelaku usaha, birokrat pemerintahan, dan
pemegang kekuasaan (politisi) yang dinamakan WCC. Demikian itu,
mengakibatkan tindak pidana di bidang ekonomi dapat bersentuhan pula dengan
tindak pidana korupsi. Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Sekretaris
Jampidsus), TH Panggabean mengemukakan bahwa kegiatan bisnis di dalamnya
berpotensi dilakukannya tindak pidana, bisa sebagai tindak pidana korupsi, bila
terdapat kerugian negara. Korupsi mengandung unsur melawan hukum dalam arti
formil maupun materiil. Di samping itu, adanya penyalahgunaan wewenang,
perbuatan melawan hukum, mementingkan diri sendiri. Kasus perbankan dapat
dikembangkan sebagai tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan. Hal ini
nanti tergantung pada tuntutan jaksa, dan pemutusan hakim. Kasus korupsi
dibungkus dengan perbuatan perdata, tetapi sebenarnya merupakan tindak pidana
korupsi, yang di dalamnya terkandung moral hazard.erkara perdata lebih pada
epentingan pihak-pihak, dan perkar pada kepentingan publik. Sehingga sebagai
tindak pidana di bidang ekonomi seperti perkara perdata tetapi mengandung pidana,
yang dapat dilihat dalam kasus korupsi. Ukuran sebagai tindak pidana kejaksaan
mempernilai berkas yang masuk dari penyelidikan/penyidikan dari aspek
administrasi maupun materilnya, dengan dasar yang penting yaitu ada aturan
hukum pidana yang dilanggar .

Tolok ukur sifat ketercelaannya perbuatan, sehingga merupakan tindak pidana


menjadi penting terkait dengan wewenang negara untuk menetapkannya, namun
dengan pembatasan. Dalam tataran kebijakan perundang-undangan, penentuan
tersebut merupakn titik tolak penegakan hukum pidana lebih lanjut oleh aparat
penegak hukum. Sifat ketercelaan suatu perbuatan ini bersifat relatif tergantung
masa dan kelompok kepentingan yang memandang hal tersebut, sehingga perlu
mencari kriteria yang obyektif yang dapat diterima siapa saja dengan
memperhatikan aspirasi berbagai pihak. Dengan demikian, penting pendapat atau
pandangan dari aparat penegak hukum dan pembentuk undang-undang serta
kelembagaan terkait dengan pengaturan kegiatan perekonomian, mengenai tolok
ukur penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Ragaan V menjelaskan hal
tersebut. Perkara mengenai tindak pidana di bidang ekonomi bersentuhan dengan
aspek keperdataan, oleh karenanya perlu memperoleh perhatian persoalan
mengenai batas hukum pidana dengan hukum perdata.

Tindak pidana di bidang ekonomi, khususnya kejahatan bisnis, di dalamnya


aspek perdata dan aspek pidana bagaikan dua sisi mata uang. Kedua lapangan
hukum tersebut berbeda secara diametral, dan memiliki karakteristik yang
bertentangan. Asas hukum perdata lebih mementingkan perdamaian di antara para
pihak, sehingga aspek regulasi lebih mengemuka. Sedangkan aspek pidana lebih
menekankan melindungi kepentingan umum atau masyarakat luas atau negara,
sehingga memaksa lebih mengemuka daripada sifat regulasi tersebut menurut Yap
Rafael, dilihat ketentuan undang-undang yang bersangkutan, apakah pelanggaran
itu masuk sebagai kasus perdata atau pidana atau kedua-duanya. Area tindak pidana
di bidang ekonomi, kemungkinan termasuk dalam lapangan hukum perdata, namun
perkembangannya dilihat kerugiannya yang memungkinkan termasuk dalam
hukum pidana (lapangan hukum publik), yakni merugikan kepentingan umum.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sri Redjeki Hartono, bahwa pihak yang menderita
kerugian diperluas menjadi merugikan negara, masyarakat luas, dan pihak ketiga
yang langsung maupun tidak langsung menderita kerugian. Kecenderungan sebagai
perkara perdata, tergantung jenis kasus di bidang ekonomi, apabila tanpa transaksi
sebagai perkara pidana, dan bila ada transaksi termasuk sebagai perkara perdata.

Tolok ukur suatu tindak pidana berdasarkan kerugian/ derita yang ditimbulkan
menyangkut kepentingan umum, membawa pemikiran dalam kehidupan
perekonomian penting sekali adanya ketertiban sosial dan kepastian hukum,
sekaligus terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena itu terpaut dengan
fungsi hukum pidana. Romli Atmasasmita menjelaskan fungsi hukum pidana
bersifat ultimum remedium atau the last resort untuk mencapai ketertiban dan
kepastian hukum guna menemukan keadilan, telah beralih fungsi menjadi primum
remedium atau the prime resort untuk kepentingan ketertiban, dan kepastian
hukum dan menemukan keadilan dalam aktivitas bisnis Muladi menukil pendapat
Clinard and Yeager, pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi
merupakan primum remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium,
namun dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan
mempertimbangkan: (1) tingkat kerugian yang diderita publik, (2) tingkat
keterlibatan corporate managers, (3) lamanya masa pelanggaran, (4) frekuensi
pelanggaran oleh korporasi, (5) bukti-bukti kesengajaan tindak pidana, (6) bukti
telah terjadinya penyuapan, (7) reaksi negative media massa, (8) preseden dalam
hukum, (9) riwayat kejahatan serius yang dilakukan korporasi, (10) kemungkinan
pengaruh pencegahan, dan (11) tingkat kerjasama yang ditunjukkan oleh korporasi

Tolak ukur kriminalisasi kegiatan ekonomi dalam Undang-Undang:

UU No.8 Tahun 1995

Dalam Penjelasan Pasal 101 (UU No.8 Tahun 1995) dinyatakan bahwa ukuran
sebagai tindak pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan membahayakan sistem
pasar modal atau kepentingan pemodal dan/atau masyarakat, atau apabila tidak
tercapai penyelesaian atas kerugian yang telah timbul. Dalam hal ini, BAPEPAM
dapat memulai penyidikan dalam rangka penuntutan tindak pidana dengan
pertimbangan jangan sampai penentuan tindak pidananya justeru menghambat
kegiatan penawaran dan/atau perdagangan efek secara keseluruhan, oleh karena itu
tidak semua pelanggaran di bidang pasar modal dikategorikan sebagai tindak
pidana dan dilakukan penyidikan.

UU No. 7 Tahun 1995 tentang Pangan

Dalam UU No. 7 Tahun 1995 tentang Pangan penentuan tindak pidana di


bidang pangan dengan ukuran terkait pengabaian tanggung jawab. Setiap orang
yang memproduksi pangan untuk diedarkan perlu dibebani tanggung jawab,
terutama apabila pangan yang diproduksi menyebabkan kerugian pada kesehatan
masyarakat maupun kematian orang yang mengonsumsinya. Jadi ukurannya bila
perbuatan mengakibatkan kerugian, baik pada kesehatan maupun kematian
seseorang atau sekelompok orang sebagai konsumen.

UU No. 8 Tahun 1999

Perbuatan terlarang bagi pelaku usaha ditentukan sebagai tindak pidana dalam
UU No. 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen) karena merugikan bahkan
mengganggu keselamatan/kesehatan konsumen. Hal ini melukai moral mengenai
kesetaraan antara konsumen dan pelaku usaha, hak-hak konsumen, dan sistem
ekonomi yang dikendaki khususnya peranan pelaku usaha dan konsumen.
Perbuatan itu berarti melawan kepentingan hukum konsumen juga kepentingan
hukum pelaku usaha, yang merusak ide hukum perlindungan konsumen. Dalam hal
ini, Yusuf Shofie mengemukakan empat rasio utama perlunya diundangkan UU
Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang dan konsumen berada
posisi yang lemah;
2. Prinsip ekonomi pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang
semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin, sangat potensial
merugikan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung;
3. Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan
aktivitas pelaku usaha, tetapi justeru akan menciptakan iklim usaha yang lebih
sehat, mengacu filosofi pembangunan nasional termasuk pem- bangunan
hukum yang memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen;
4. Mengacu filososfi pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang
memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen.

UU No.7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998


Dalam UU No.7 Tahun 1992 (Perbankan, telah dilakukan perubahan UU No.
10 Tahun 1998) menentukan tindak pidana terkait dengan gangguan terhadap
penyelenggaraan kegiatan perbankan. Pengaturan perbankan diarahkan pada
perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan di bidang perbankan
secara sehat dan bertanggung-jawab, sekaligus mencegah terjadinya praktek-
praktek yang merugikan kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu, perbuatan-
perbuatan yang menjadikan kegiatan di bidang perbankan tidak sehat dan
melakukan kegiatan perbankan tidak bertanggung-jawab, sehingga terjadi praktik-
praktik yang merugikan masyarakat luas, harus dijadikan tindak pidana.
UU No. 32 Tahun 1997
Pengaturan mengenai kegiatan perdagangan berjangka komoditi (UU No. 32
Tahun 1997) menentukan perbuatan yang juga dilarang sebagai tindak pidana.
Penjelasan Pasal 66, apabila BAPPETI berpendapat bahwa suatu kegiatan yang
dilakukan dinilai telah melanggar ketentuan UU dan peraturan pelaksanaannya
mengenai perdagangan berjangka komoditi, serta mengakibatkan kerugian
terhadap kepentingan perdagangan berjangka dan/atau membahayakan
kepentingan nasabah dan masyarakat, maka tindakan penyidikan dapat mulai
dilakukan. Dengan demikian singkatnya, ukuran tindak pidananya berhubungan
dengan kerugian yang ditimbulkan karena pelanggaran peraturan perdagangan
berjangka, yakni kerugian terhadap kepentingan perdagangan berjangka dan/atau
membahayakan kepentingan nasabah dan masyarakat.

2.2 Jenis Jenis Tindak Pidana Ekonomi


Kejahatan ekonomi (economic crimes) secara umum dirumuskan sebagai
kejahatan yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crimeundertaken
for economic motives). Secara yuridis kejahatan ekonomi dapat dilihat secara
sempit sebagai tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-undang No. 7
/Drt./ 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
dan dapat juga dilihat secara luas yaitu semua tindak pidana di luar Undang-undang
TPE (UU No. 7 drt. 1955) yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat
mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan
negara yang sehat (Barda Nawawi Arief, 1992 :152). Kegiatan di bidang
perekonomian dan keuangan negara yang sehat dapat meliputi antara lain dalam
bidang usaha perdagangan, industri, dan perbankan. Hal tersebut dalam istilah
asing biasa disebut dengan istilah economic crimes, crime as business, business
crime, abuse of economic power atau economic abuses (Barda Nawawi Arief, 1992
:148).
White Collar Crime
White Collar Crime atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti “kejahatan
kerah putih” atau “kejahatan berdasi” adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-
orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi atau terhormat dalam
pekerjaannya (crime committed by persons of respectability and high social status
in the course of their occupation). Sutherland dalam bukunya berjudul White
Collar Crime (1949) menjelaskan bahwa WCC ini digunakan untuk menunjuk
kejahatan – kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha dan pejabat eksekutif
yan merugikan kepentingan umum.
Ada beberapa pengelompokan WCC di antaranya adalah sebagai berikut :
1. WCC yang bersifat individual, berskala kecil dan modus operandi yang
sederhana. Contohnya adalah dalam kasus BLBI, dimana dana yang seharusnya
diperuntukan bagi bank miliknya yang sedang kesulitan likuiditas justru untuk
kepentingan pribadi.
2. WCC yang bersifat individual, berskala besar dengan modus operandi yang
kompleks. WCC seperti ini biasanya memakai pola yang sistematis dengan
perencanaan dan pelaksanaan yang bisa memakan waktu yang cukup lama dan
bisa juga dalam bentuk berbagai kolusi dengan ahli-ahli tertentu atau dengan
orang dalam perusahaan tertentu.
3. WCC yang melibatkan korporasi, pelaku WCC adakalanya bukan individu
tetapi sebuah korporasi sehingga kita mengenal istilah kejahatan korporasi
(corporate crime).
4. WCC di sektor publik, suatu WCC juga dapat terjadi di sektor publik yaitu
yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasan public atau pejabat pemerintah,
sehingga dikenal istilah kejahatan jabatan (occupational crime).
Kejahatan Perbankan
Kejahatan perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan WCC. Salah satu
perumusan kejahatan perbankan menyebutkan kejahatan perbankan (banking
crime) adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan
baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan
lembaga, perangkat dan produk perbankan sehingga menimbulkan kerugian
materiil dan atau imateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau
pihak ketiga lainnya (Munir Fuady, 2004: 74).
Pengelompokan Kejahatan Perbankan
Ada pula yang membagi kejahatan perbankan sebagai berikut:
1. Kejahatan fisik misalnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain.
2. Pelanggaran administrasi perbankan, hal ini diatur di dalam Undang-Undang
Perbankan yang berlaku. Contohnya bank gelap, tidak memenuhi batas
maksimum pemberian kredit dan sebagainya.
3. Kejahatan produk bank, karena broduk bank sangat beragam maka kejahatan
dan ketentuan hukumnya juga beraneka ragam yaitu KUHP, UU Perbankan, dan
Undang-undang Khusus lainnya.
4. Kejahatan profesional perbankan yaitu kejahatan perbankan yang berkenaan
dengan pelanggaran profesi sebagai bankir. Sebagian pelanggaran ini diatur di
dalam Undang-undang yang berlaku, sebagian lainnya hanya merupakan
pelanggaran moral yang diatur dalam Kode Etik Bankir Indonesia.
5. Kejahatan Likuiditas Bank Sentral. Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia
merupakan tempat meminjam terakhir (the lender of the last resort). Artinya jika
bank-bank mengalami kesulitan likuiditas seperti kalah kliring atau terjadi
rushnasabah, maka bank yang bersangkutan bisa meminjam uang sementara
kepada Bank Indonesia.

Money Laundering
Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang atau pemutihan
uang. Belum ada definisi yang komprehensif dan universal tentang money
laundering, karena berbagai pihak seperti institusi investigasi, kalangan pengusaha,
negara-negara dan organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri. Secara
singkat money laundering adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu
perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana yang sah. Tidak
mudah untuk membuktikan adanya money laundering karena kegiatannya sangat
kompleks sekali.
Penggolongan Money Laundering
Para ahli menggolongkan proses money laundering ke dalam tiga tahap yaitu:
1. Tahap placement yaitu menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas
kriminal, misalnya dengan mendepositokan uang kotor tersebut ke dalam sistem
keuangan, menggabungkan uang tunai yang bersifat illegal dan uang yang
diperoleh secara legal. Bisa juga dalam bentuk mengkonversi dan mentransfer ke
dalam valuta asing.
2. Tahap layering dengan cara pelapisan (layering). Tujuannya adalah untuk
menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal-usul dari uang tersebut.
Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau
dari suatu negara ke negara lain, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan
maksud mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing,
membeli saham dan sebagainya.
3. Tahap selanjutnya adalah Integrasi, tahap ini merupakan tahap menyatukan
kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering
di atas yang untuk selanjutnya uang tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan
yang legal. Dengan cara ini maka nampak bahwa kegiatan yang dilakukan
kemudian seolah tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan illegal sebelumnya,
dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.
Rumusan Tindak Pidana Money Laundering
Undang-undang Pencucian Uang (UUPU) No. 15 Th. 2002 jo. UU No. 25 Th.
2003 merumuskan tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 3 yang menyatakan
sebagai berikut :
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama
sendiri maupun atas nama pihak lain;
b. Mentransfer Harta Kekayaan yang patut diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil dari tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia
jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri
maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama
pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana;
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat
berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Computer Crime
Secara umum kejahatan komputer mempunyai ciri-ciri: merupakan kejahatan
dengan atau berkaitan dengan komputer dan / atau sistem komputer; merupakan
kejahatan dengan modus operandi dengan cara memperdaya komputer; Perbuatan
itu dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tidak etis; Perbuatan tersebut membuat
komputer tidak dapat berfungsi secara benar; perbuatan tersebut mengakibatkan
kerugian materiil maupun immateriil.
Pengelompokan Computer Crime:
1. Pemasukan data yang tidak benar (fraudelent) ke dalam komputer.
2. Pemakaian fasilitas-fasilitas yang berhubungan dengan komputer.
3. Merubah atau merusak informasi atau arsip.
4. Pencurian apakah secara elektronis atau dengan cara-cara lain uang, benda,
fasilitas-fasilitas dan data yang berharga.
5. Sabotase dan vandalisme terhadap sistem komputer itu sendiri.
6. Penggunaan atas fasilitas-fasilitas komputer tanpa wewenang sebagai
pencurian.
7. Kejahatan terhadap barang (pencurian melalui penggunan komputer).
8. Kejahatan terhadap data (pencurian informasi).
Klasifikasi Computer Crime menurut Donn Parker (Wisnubroto, 1999: 25-27)
1. Komputer sebagai obyek, dalam hal ini termasuk kasus-kasus perusakan
terhadap komputer, data atau program yang terdapat di dalamnya atau perusakan
terhadap sarana-sarana computer.
2. Komputer sebagai subyek, dapat merupakan atau menimbulkan tempat atau
lingkungan untuk melakukan kejahatan, seperti pencurian, penipuan dan
pemalsuan yang tidak tradisional akan tetapi yang menyangkut harta-harta benda
dalam bentuk baru.
3. Komputer sebagai alat, contohnya seseorang yang mengambil warkat-warkat
penyetoran dari suatu bank dan mencetak nomor-nomor rekeningnya sendiri
dengan tinta magnetis pada warkat-warkat tersebut, yang kemudian diletakkan
kembali pada tempatnya di bank, dari mana kemudian para nasabah mengambil
dan mengisinya sebagai bukti penyetoran.
4. Komputer sebagai symbol, yaitu computer yang dipergunakan sebagai simbol
untuk melakukan penipuan atau ancaman contohnya suatu penipuan melalui iklan
“biro jodoh”
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kejahatan di bidang ekonomi selalu berkaitan dengan sistem ekonomi yang
dianut suatu bangsa dan karena itu dianggap menyerang secara langsung
ekonomi nasional. Akibat lebih jauh pada akhirnya akan mempengaruhi
kepercayaan masyarakat terhadap korporasi dan kehidupan bisnis. Atas dasar
kerugian-kerugian baik fisik, sosial maupun ekonomi dari kejahatan korporasi,
maka sangat beralasan jika kebijakan kriminal diorganisasikan secara
sistematik guna penanggulangan kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus
menggunakan secara berpasangan baik langkah-langkah yuridis (penggunaan
hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana) maupun langkah-
langkah pencegahan dalam rangka mengatasi kendala-kendala penanggulangan
kejahatan di bidang ekonomi. Perbuatan dan aktivitas yang menyerang atau
merugikan sistem ekonomi suatu negara inilah merupakan perbuatan
bertentangan dengan moral yang bersifat umum (moral public), dan melukai
sendi-sendi kehidupan ekonomi yang bersifat sosial (social injuries) yang
berdampak kerusakan individual (individual damages) maupun kerusakan
kemasyarakatan (social damages). Adapun contoh bentuk penyimpangan
ekonomi seperti White Collar Crime, Money laundering, Computer Crime.
DAFTAR PUSTAKA

Al. Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan


Penyalahgunaan Komputer, Univ. Atmajaya, Yogyakarta.
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
J.E. Sahetapy, 1994, Kejahatan Korporasi, PT. Eresco, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung.
Munir Fuady, 2004, Bisnis Kotor (Anatomi Kejahatan Kerah Putih), Citra Aditya
Bakti, Bandung.
N.H.T. Siahaan, 2005, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, edisi revisi,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Supanto. 2015. Kebijakan Formulasi Hukum Pidan Ekonomi dalam Menghadapi
Perkembangan Globalisasi Ekonomi. Surakarta: UNS Press.
Sutan Remy Sjahdeini,2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pembiayaan Terorisme, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. UU Pencucian
Uang (UU No. 15 /2002 dan UU No. 25 /2003).

Anda mungkin juga menyukai