PENYIMPANGAN EKONOMI”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi Kelas
Disusun oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Tolok Ukur Kriminalisasi dan Bentuk Penyimpangan Ekonomi dengan
tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari Bapak Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H. selaku dosen pada mata kuliah
Hukum Pidana Ekonomi kelas J sehingga dengan penyusunan makalah ini kami
dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang yang kami tekuni.
Kami mengucapkan segenap terimakasih kepada Bapak Dr. Rehnalemken
Ginting, S.H., M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi
kelas J serta pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kami menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan sangat kami terima demi kesempurnaan
makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Tolol Ukur Kriminalisasi Kegiatan Ekonomi...........................................3
2.2 Bentuk-Bentuk Penyimpangan Ekonomi..................................................7
BAB III KESIMPULAN........................................................................................14
3.1 Kesimpulan..............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Penentuan tindak pidana dengan tolok ukur yang merupakan produk legislatif,
terdapat pertentangan kepentingan antar kekuatan yang ada pada lembaga, hal ini
berkaitan dengan kedudukan yang berbeda-beda dalarn masyarakat berdasarkan
kemampuan ekonomi, maupun politik. Adanya kesenjangan ekonomi menjadikan
faktor pendorong penyelenggaraan hukum untuk memenuhi dan mempertahankan
kelompok dominan.
Tolok ukur penentuan tindak pidana terkait dengan ideologi sistem nilai yang
dianut oleh kekuasaan negara, dan ini dinyatakan dalam ketentuan hukum pidana.
Oleh karenanya dapat dikatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dikarenakan
bertentangan dengan ideologi atau sistem nilai suatu negara. Penentunya adalah
pembentuk undang-undang yang berkehendak kepentingan atau nilai-nilai ingin
dilindungi dan ditegakkan dengan hukum pidana.
Penentuan tindak pidana di Indonesia bertolok ukur apabila perbuatan
bertentangan dengan ideologi Pancasila, yang nilai-nilainya dijabarkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk dalam bidang ekonomi. Nilai-
nilai Pancasila menyangkut sistem ekonomi yang dikehendaki, sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945 pada Pasal 33. Khususnya ayat (4) yang menyatakan
bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Terpaut dengan tindak pidana di bidang
ekonomi berarti melawan atau mengganggu ideologi atau sistem nilai di bidang
ekonomi yang dikehendaki kekuasaan politik negara untuk diterapkan.
Sehubungan dengan tolok ukur mengenai tindak pidana, maka tindak pidana di
bidang ekonomi itu dinyatakan dalam undang-undang karena immoral, melukai
secara sosial, menimbulkan kerusakan publik, bertentangan dengan ideologi serta
kebijakan pembangunan, yang berarti merugikan negara. Dengan membicarakan
kejahatan sebagai yang merugikan negara, menjadikan lebih baik memikirkan
kejahatan sebagai campur tangan perorangan dalam area pengambilan keputusan,
dan tindakan yang baik dimintakan kepada negara sebagai bagian penting dari
pekerjaannya, warganegara sebagai "klien", sebagaimana "sewa menyewa". Kita
"sewa" negara untuk melindungi hak-hak kita, dan supaya dilindungi dari adanya
gangguan yang paling sedikit.
Tolok ukur suatu tindak pidana berdasarkan kerugian/ derita yang ditimbulkan
menyangkut kepentingan umum, membawa pemikiran dalam kehidupan
perekonomian penting sekali adanya ketertiban sosial dan kepastian hukum,
sekaligus terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena itu terpaut dengan
fungsi hukum pidana. Romli Atmasasmita menjelaskan fungsi hukum pidana
bersifat ultimum remedium atau the last resort untuk mencapai ketertiban dan
kepastian hukum guna menemukan keadilan, telah beralih fungsi menjadi primum
remedium atau the prime resort untuk kepentingan ketertiban, dan kepastian
hukum dan menemukan keadilan dalam aktivitas bisnis Muladi menukil pendapat
Clinard and Yeager, pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi
merupakan primum remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium,
namun dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan
mempertimbangkan: (1) tingkat kerugian yang diderita publik, (2) tingkat
keterlibatan corporate managers, (3) lamanya masa pelanggaran, (4) frekuensi
pelanggaran oleh korporasi, (5) bukti-bukti kesengajaan tindak pidana, (6) bukti
telah terjadinya penyuapan, (7) reaksi negative media massa, (8) preseden dalam
hukum, (9) riwayat kejahatan serius yang dilakukan korporasi, (10) kemungkinan
pengaruh pencegahan, dan (11) tingkat kerjasama yang ditunjukkan oleh korporasi
Dalam Penjelasan Pasal 101 (UU No.8 Tahun 1995) dinyatakan bahwa ukuran
sebagai tindak pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan membahayakan sistem
pasar modal atau kepentingan pemodal dan/atau masyarakat, atau apabila tidak
tercapai penyelesaian atas kerugian yang telah timbul. Dalam hal ini, BAPEPAM
dapat memulai penyidikan dalam rangka penuntutan tindak pidana dengan
pertimbangan jangan sampai penentuan tindak pidananya justeru menghambat
kegiatan penawaran dan/atau perdagangan efek secara keseluruhan, oleh karena itu
tidak semua pelanggaran di bidang pasar modal dikategorikan sebagai tindak
pidana dan dilakukan penyidikan.
Perbuatan terlarang bagi pelaku usaha ditentukan sebagai tindak pidana dalam
UU No. 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen) karena merugikan bahkan
mengganggu keselamatan/kesehatan konsumen. Hal ini melukai moral mengenai
kesetaraan antara konsumen dan pelaku usaha, hak-hak konsumen, dan sistem
ekonomi yang dikendaki khususnya peranan pelaku usaha dan konsumen.
Perbuatan itu berarti melawan kepentingan hukum konsumen juga kepentingan
hukum pelaku usaha, yang merusak ide hukum perlindungan konsumen. Dalam hal
ini, Yusuf Shofie mengemukakan empat rasio utama perlunya diundangkan UU
Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang dan konsumen berada
posisi yang lemah;
2. Prinsip ekonomi pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang
semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin, sangat potensial
merugikan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung;
3. Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan
aktivitas pelaku usaha, tetapi justeru akan menciptakan iklim usaha yang lebih
sehat, mengacu filosofi pembangunan nasional termasuk pem- bangunan
hukum yang memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen;
4. Mengacu filososfi pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang
memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen.
Money Laundering
Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang atau pemutihan
uang. Belum ada definisi yang komprehensif dan universal tentang money
laundering, karena berbagai pihak seperti institusi investigasi, kalangan pengusaha,
negara-negara dan organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri. Secara
singkat money laundering adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu
perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana yang sah. Tidak
mudah untuk membuktikan adanya money laundering karena kegiatannya sangat
kompleks sekali.
Penggolongan Money Laundering
Para ahli menggolongkan proses money laundering ke dalam tiga tahap yaitu:
1. Tahap placement yaitu menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas
kriminal, misalnya dengan mendepositokan uang kotor tersebut ke dalam sistem
keuangan, menggabungkan uang tunai yang bersifat illegal dan uang yang
diperoleh secara legal. Bisa juga dalam bentuk mengkonversi dan mentransfer ke
dalam valuta asing.
2. Tahap layering dengan cara pelapisan (layering). Tujuannya adalah untuk
menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal-usul dari uang tersebut.
Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau
dari suatu negara ke negara lain, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan
maksud mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing,
membeli saham dan sebagainya.
3. Tahap selanjutnya adalah Integrasi, tahap ini merupakan tahap menyatukan
kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering
di atas yang untuk selanjutnya uang tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan
yang legal. Dengan cara ini maka nampak bahwa kegiatan yang dilakukan
kemudian seolah tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan illegal sebelumnya,
dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.
Rumusan Tindak Pidana Money Laundering
Undang-undang Pencucian Uang (UUPU) No. 15 Th. 2002 jo. UU No. 25 Th.
2003 merumuskan tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 3 yang menyatakan
sebagai berikut :
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama
sendiri maupun atas nama pihak lain;
b. Mentransfer Harta Kekayaan yang patut diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil dari tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia
jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri
maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama
pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana;
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat
berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Computer Crime
Secara umum kejahatan komputer mempunyai ciri-ciri: merupakan kejahatan
dengan atau berkaitan dengan komputer dan / atau sistem komputer; merupakan
kejahatan dengan modus operandi dengan cara memperdaya komputer; Perbuatan
itu dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tidak etis; Perbuatan tersebut membuat
komputer tidak dapat berfungsi secara benar; perbuatan tersebut mengakibatkan
kerugian materiil maupun immateriil.
Pengelompokan Computer Crime:
1. Pemasukan data yang tidak benar (fraudelent) ke dalam komputer.
2. Pemakaian fasilitas-fasilitas yang berhubungan dengan komputer.
3. Merubah atau merusak informasi atau arsip.
4. Pencurian apakah secara elektronis atau dengan cara-cara lain uang, benda,
fasilitas-fasilitas dan data yang berharga.
5. Sabotase dan vandalisme terhadap sistem komputer itu sendiri.
6. Penggunaan atas fasilitas-fasilitas komputer tanpa wewenang sebagai
pencurian.
7. Kejahatan terhadap barang (pencurian melalui penggunan komputer).
8. Kejahatan terhadap data (pencurian informasi).
Klasifikasi Computer Crime menurut Donn Parker (Wisnubroto, 1999: 25-27)
1. Komputer sebagai obyek, dalam hal ini termasuk kasus-kasus perusakan
terhadap komputer, data atau program yang terdapat di dalamnya atau perusakan
terhadap sarana-sarana computer.
2. Komputer sebagai subyek, dapat merupakan atau menimbulkan tempat atau
lingkungan untuk melakukan kejahatan, seperti pencurian, penipuan dan
pemalsuan yang tidak tradisional akan tetapi yang menyangkut harta-harta benda
dalam bentuk baru.
3. Komputer sebagai alat, contohnya seseorang yang mengambil warkat-warkat
penyetoran dari suatu bank dan mencetak nomor-nomor rekeningnya sendiri
dengan tinta magnetis pada warkat-warkat tersebut, yang kemudian diletakkan
kembali pada tempatnya di bank, dari mana kemudian para nasabah mengambil
dan mengisinya sebagai bukti penyetoran.
4. Komputer sebagai symbol, yaitu computer yang dipergunakan sebagai simbol
untuk melakukan penipuan atau ancaman contohnya suatu penipuan melalui iklan
“biro jodoh”
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kejahatan di bidang ekonomi selalu berkaitan dengan sistem ekonomi yang
dianut suatu bangsa dan karena itu dianggap menyerang secara langsung
ekonomi nasional. Akibat lebih jauh pada akhirnya akan mempengaruhi
kepercayaan masyarakat terhadap korporasi dan kehidupan bisnis. Atas dasar
kerugian-kerugian baik fisik, sosial maupun ekonomi dari kejahatan korporasi,
maka sangat beralasan jika kebijakan kriminal diorganisasikan secara
sistematik guna penanggulangan kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus
menggunakan secara berpasangan baik langkah-langkah yuridis (penggunaan
hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana) maupun langkah-
langkah pencegahan dalam rangka mengatasi kendala-kendala penanggulangan
kejahatan di bidang ekonomi. Perbuatan dan aktivitas yang menyerang atau
merugikan sistem ekonomi suatu negara inilah merupakan perbuatan
bertentangan dengan moral yang bersifat umum (moral public), dan melukai
sendi-sendi kehidupan ekonomi yang bersifat sosial (social injuries) yang
berdampak kerusakan individual (individual damages) maupun kerusakan
kemasyarakatan (social damages). Adapun contoh bentuk penyimpangan
ekonomi seperti White Collar Crime, Money laundering, Computer Crime.
DAFTAR PUSTAKA