Anda di halaman 1dari 10

Makalah Teknik Penyusunan Gugatan Dan Permohonan

KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT,karena atas rahmat dan
karunia yang telah diberikan, sehingga kami dapat menyusun Makalah Hukum Acara
Peradilan Agama yang membahas tentang Teknik Penyusunan Gugatan Dan
Permohonan. Dan tak lupa pula salawat serta salam kita hadiahkan kepada nabi besar kita
yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya ke alam yamg penuh dengan
ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat sekarng ini. Makalah ini di buat untuk
meningkatkan kesadaran dan wawasan kami sebagai mahasiswa/i dan meningkatkan kualitas
diri kami dalam menuntut ilmu.
Bertambah tuanya umur dunia, maka semakin pesat pula perkembangan manusia dan
perkembangan teknologi.Zaman yang digeluti hampir mencapai puncak kejayaan dunia
seiring dengan dunia modern ini,tidak ada manusia yang luput dari kesalahan.Penulis yakin
dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu demi
kesempurnaan makalah ini segala kritik dan saran yang membangun yang penulis harapkan,
dan semoga makalah sederhana ini dapat membantu kita semua.
Dan tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing serta
pihak yang telah ikut memberikan masukan dan motifasi terhadap penulis dalam
menyelesaikan makalah ini semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat ridho dan
balasan dari allah swt,,amin..
Semoga bermanfaat.

Garegeh, 18 Maret 2013

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................. v
DAFTAR ISI ....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian gugatan ........................................................................... 2
B. Pengertian permohonan .................................................................... 2
C. Bentuk gugatan dan permohonan ..................................................... 4
D. Isi gugatan dan permohonan ............................................................. 6
E. Kelengkapan gugatan dan permohonan ............................................ 7
F. Tempat mengajukan gugatan dan permohonan ................................. 8
BAB III
PENUTUP ........................................................................................................... 11
A. Kesimpulan
B. saran
KEPUSTAKAAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat yang selalu bersosialisasi tidak jarang terjadi konflik
antara individu satu dengan yang lainnya maupun antara kelompok satu dengan kelompok
yang lainnya. Terkadang konflik yang terjadi menimbulkan kerugian kepada pihak yang
lainnya. Agar dalam mempertahankan hak-masing-masingnya tidak melampaui batas dari
norma yang telah ditentukan maka perbuatan seenaknya harus di hapuskan
Jadi agar bisanya menyelesaikan masalah dengan jalan yang baik dan dengan
menegakkan keadilan maka semua itu diatur oleh Negara. Dan masalah ini pemakalah bahas
agar terhindar dari ketidak adilan dalam menyelesaikan perkara.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian gugatan dan permohonan
2. Bentuk Gugatan dan permohonan
3. Isi gugatan dan permohonan
4. Kelengkapan gugatan dan permohonan
5. Tempat mengajukan gugatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan
Gugatan dalam bahasa hukum islam disebut “ad-da’wa”. Kata “ad-da’wa” ini
dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana, yakni da’wa perdata atau da’wa pidana
tergantung dengan konsep kalimat.[1]
Darwan Prints mengartikan gugatan dengan: suatu upaya hukum atau tindakan untuk
menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya guna
memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan.
Mardani mengartikan gugatan dengan; suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada
Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya
mengandung sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu
pembuktian kebenaran suatu hak.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu
tindakan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan
untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigen richting).[2]
Kesimpulannya gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua
Pengadilan yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainya dan harus
diperiksa menurut tatacara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap
gugatan tersebut.[3]
B. Pengertian Permohonan
Permohonan adalah suatu permohonan dari seseorang atau beberapa orang Pemohon
kepada Ketua Pengadilan yang berwenang untuk menetapkan suatu hal yang tidak
mengandung sengketa.[4]
Prinsip dalam surat permohonan adalah tidak mempunyai lawan, lain dengan surat
gugatan. Surat permohonan dalam pengertian asli, supaya dibuat sesuai dengan prinsipnya,
yaitu tidak ada lawan, itulah yang pokok. Dengan demikian identitas pihak hanya pihak
pemohon saja, bagian positanya adalah tentang situasi hukum atau peristiwa hukum yang
dijadikan dasar terhadap apa yang dimohon oleh pemohon dalam bagian petita.[5]
Perbedaan antara gugatn dengan permohonan adalah:[6]
a) Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa, atau konflik yang harus diselesaikan dan harus
diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau perselisihan,
misalnya segenap ahli waris secara bersama-sama menghadap ke pengadilan untuk mendapat
suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhu. Atau permohonan
untuk mengganti nama dari leonardo de caprio menjadi muhammad salim atau perbaikan akta
catatan sipil.
b) Dalam suatu gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat yang
merasa haknya atau hak mereka dilanggar sedangkan dalam permohonan hanya ada satu
pihak yaitu pihak pemohon.
c) Suatu gugatan dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan sungguh-sungguh,
sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilanvoluntair atau pengadilan pura-pura.
d) Hasil suatu gugatan adalah putusan (vonis) sedeangkan hasil suatu permohonan adalah
penetapan (beschikking)
Perbedaan ini sudah tidak relevan lagi jika dikatkan dengan UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, sebab dalam UU tersebut dikenal adanya permohonan dan gugatan
perceraian. Permohonan perceraian dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, sedangkan
gugatan perceraian dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Dalam hal permohonan
perceraian yang dulakukan oleh suami pasti ada alasan-alasan perceraian sebagaimana
disyaratkan oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. Tahun 1975 di mana
alasan-alasan tersebut bisa jadi merupakan suatu sengketa atau konflik, dan juga ada dua
pihak yaitu pihak pemohon dan termohon.[7]
C. Bentuk gugatan dan permohonan
1. Gugatan tertulis
Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat (1) R.Bg. dalam kedua
pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan secara tertulis dan ditujukan kepada Ketua
Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat gugatan yang ditulis itu harus
ditandatangani oleh penggugat atau para penggugat. Jika perkara itu dilimpahkan kepada
kuasa hukumnya, maka yang menandatangani surat itu adalah kuasa hukumnya sebagaimana
disebutkan dalam pasal 123 ayat (1) HIR dan pasal 147 ayat (1) R.Bg.[8]
Surat gugatan dibuat haruslah bertanggal, menyebutkan dengan jelas nama penggugat dan
tergugat, tempat tinggal mereka, dan kalau perlu disebutkan juga jabatan dan kedudukannya.

2. Gugatan lisan
Pada dasarnya gugatan harus diajukan kepada Pengadilan secara tertulis sebagaimana
yang tersebut dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat (1) R.Bg.Tetapi dalam asal 120 HIR
dan pasal 144 ayat (1)R.Bg dikemukakan bahwa jika orang yang menggugat buta huruf,
maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua
Pengadilan mencatat segala hal gugatan itu dalam bentuk tertulis. Jika Ketua Pengadilan
karena sesuatu hal tidak dapat mencatat sendiri gugatan tersebut, maka ia dapat meminta
seorang hakim untuk mencatat dan menformulasikan gugatan tersebut sehingga memudahkan
Majelis Hakim untuk memerisaknya.
Dispensasi yang diberikan oleh aturan perundang-undangan kepada orang yang buta
hurufuntuk menggugat secara lisan langsung kepada pengadilan mempunyai tujuan untuk
melindungi dan membantu orang yang buta huruf itu dalam rangka menuntut hak-haknya,
agar terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam membuat gugatan, yang dapat terjadi apabila
dilakukan oleh orang lain
Dalam praktek gugatan secara lisan ini jarang yang ditangani secara langsung oleh ketua
pengadilan tetapi ketua pengadilan menugaskan seorang hakim untuk mencatat gugatan itu
dan di formulasikan dalam bentuk tertulis. Gugatan secara lisan yang telah diformulasikan itu
ditanda tangani oleh ketua pengadilan atau hakim yang memformulasikan gugatan itu,
penggugat tidak perlu menandatangani atau membubuhkan cap jempolnya pada surat gugta
tersebut dan juga tidak perlu diberi materai.[9]
Tata cara mengajukan gugatan secara lisan:
1. Tuntutan disampaikan secara lisan pada ketua pengadilan yang berwenang.
2. Ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan mencatat segala kejadian
dan peristiwa sekitar tuntutan yang diminta oleh penggugat, kemudian diformulasikan dalam
sebuah surat gugat yang mudah dipahami apabila para pihak membacanya.
3. Gugatan yang telah diformulasikan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan kepada
penggugat, apakah segala hal yang menjadi persengketaan dan tuntutan yang dikehendakinya
telah sesuai dengan kehendak penggugat,
4. Apabila sudah sesuai dengan kehendak penggugat, maka surat gugat yang telah
diformulaikan itu di tanda tangani oleh ketua/ hakim yang di tunjuk oleh ketua untuk
menyusun formulasi gugatan itu.
Jika gugatan atau permohonan diajukan secara lisan, maka panitera atas nama Ketua
Pengadilan Agama membuat catatan yang diterangkan oleh penggugat atau pemohon
kepadanya, yang disebut dengan “catatan gugat atau catatan permohonan”.

D. Isi Gugatan dan permohonan


isi gugatan adalah sebagai berikut:
1) Identitas para pihak dan kedudukannya dalam perkara
Melipiutoi nama, tempat tinggal, dan pekerjaan. Dalam praktek sering juga dicantumkan
agama, umur, status (kawin/belum kawin, janda/duda)[10]
2) Posita (position)
Posita gugat adalah fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak.
Ia merupakan dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar
serta alasan dari tuntutan. Posita terdiri dari dua bagian, yakni bagian yang menguraikan
tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang
hukum. Bagian ini menguraikan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi
dasar yuridis dari tuntutan.
3) Petitum
Petitum atau disebut juga tuntutan yaitu apa yang diminta atau yang diharapkan oleh
penggugat agar diputuskan oleh hakim. Petitum disebut juga dengan tuntutan hukum yang
diminta penggugat untuk dijatuhkan pengadilan kepada tergugat. Yang kedudukannya
sebagai syarat formil, sehingga gugatan tanpa petitum berarti surat gugatan mengandung
cacat formil.
Dalam hukum acara perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun gugatan kepada
pengadilan, yaitu pertama, substantiering theory, yakni teori yang menyatakan bahwa
gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus
menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dam menjadi sebab
timbulnya peristiwa hukum tersebut.
Bagi penggugat di dalam gugatannya ia tidak hanya menyebutkan bahwa ia pemilik suatu
benda, tetapi juga harus menyebutkan sejarah kepemilikannya. Misalnya kerena ia membeli,.
Atau dari hasil warisan, hadiah dan sebagainya. Kedua, individualisering theory. Teori ini
menyatakan bahwa dalam membuat surat gugatan cukup ditulis yang pokok-pokoknya saja,
tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terjadinya kepemilikan atas
benda itu tidak perlu dimasukan dalam gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam
persidangan dengan disertai bukti-bukti yang cukup.[11]
Dalam praktek tuntutan dan petitum terdiri atas dua bagian yaitu tuntutan primer dan
tuntutan subside. [12]
Tuntutan primer antara lain:
a) Menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa dalam keadaan baik dan kosong
kepda penggugat.
b) Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas tanah sengketa.
c) Menyatakan putusan dapat dilaksanakan lebih dulu ( iutvoebaar bij voorraad), meskipun
timbul perlawanan, banding atau kasasi.
d) Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa. Pembayaran uang paksa ini hanya
mungkin terhadap perbuatan yang harus dilakukan ileh tergugat yang tidak terdiri dari
pembayaran suatu jumlah uang, dan dikenakan setiap hari selama ia tidak memenuhi isi
putusan sejak putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap.
e) Menghukum tergugat membayar bunga, apabila tuntutan yang diminta oleh penggugat
berupa pembayaran sejumlah uang tertentu, karena lambat memenuhi isi perjanjian dan
diperhitungkansejak diajukan gugatan ke pengadilan
f) Menghukum tergugat untuk memberikan uang nafkah setiap bulan
g) Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara.
Tuntutan subside antara lain:
a) Jika majelis hakim berpendapat lain , mohon memberikan putusan lain yang adil dan benar
b) Agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar
c) Mohon putusan yang seadil-adilnya
E. Kelengkapan gugatan dan permohonan
Sekalipun surat gugatan atau pemohonan sudah dibuat tetapi untuk mendaftarkan di
Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapai dengan syarat-syarat lainnya. Syarat
kelengkapan gugatan atau permohonan, ada syarat kelengkapan umum dana ada syarat
kelengkapan khusus.
1. Syarat kelengkapan umum
Syarat kelengkapan umum untuk dapat diterima didaftarkannya suatu perkara
dipengadilan ialah sebagai berikut:
a) Surat gugatan atau surat permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf, catatan gugat atau
catatan permohonan.
b) Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi penggugat atau pemohon
c) Vorskot biaya perkara, kecualiu bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin
dari lurah/kepala desa yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.

2. Syarat kelengkapan khusus


Syarat kelengkapan khusus ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara, melainkan
tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu an sich, contohnya sebagai berikut:
a) Perkara perkawinan harus melampirkankutipan akta Nikah, seperti perkara gugatan cerai,
permohonan untuk menceraikan isteri dengan cerai talak dan sebagainya.
b) Gugatan pewaris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris.

F. Tempat mengajukan gugatan /permohonan


1. Perkara cerai talak
a) Seorang suami yang beragama islam yang yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikanikrar talak.
b) Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat
kediamanyang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
c) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
d) Apabila suami isteri (pemohon dan termohon) bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
e) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama dengan
permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

2. Perkara cerai gugat


a) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah
hukumnyameliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
b) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraiaan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
c) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
3. Permohonan untuk beristri lebih dari seorang diajukan oleh pemohon (suami yang
bersangkutan) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman suami (pemohon)
4. Izin kawin sebagai pengganti izin dari orang tua/wali/keluarga bagi calon mempelai (laki-
laki) atau perempuan) yang belum berusia 21 tahun dan tidak telah pernah kawin
sebelumnya, diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman calon
mempelai tersebut.
5. Bagi calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari umur 16 tahun atau bagi calon
mempelai pria yang mau kawin mendahului dari umur 19 tahun, maka untuk mendapatkan
dispensiasi kawin, ia mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh
orang tua masing-masing.
6. Pencegahan perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak memenuhi syarat-syarat
perkawinan atau karena alasan hukum lainnya, diajukan permohonannya ke Pengadilan
Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan.
7. Calon mempelai yang ditolak untuk melangsungkan perkawinannya oleh Pegawai Pencatat
Nikah karena menurut Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh, diajukan oleh si calon ke
Pengadilan Agama yang mewilayahi Pegawai Pencatat Nikah tersebut.
8. Gugatan Pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi dimana
perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atau ke Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat kediaman salah seorang dari suami isteri tersebut.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gugatan merupakan suatu usaha/permohonan yang disampaikan ke pengadilan yang
berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip
keadilan dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Gugatan itu mempunyai unsur-unsur, yang mana apabila salah satu unsur itu tidak
ada maka gugata itu tidak akan diterima sebagai gugatan.
Sedangkan permohonan merupakan suatu surat yang di dalamnya berisi tuntutan hak
perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung
sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan
yang bukan sebenarnya.

B. Saran
Demikianlah kami buat makalah ini dengan sedemikian sempurna, tetapi biarpun
demikian kami tau makalah ini masih jau dari kata sempurna, untuk itu kami harapkan kritik
dan sarannya pada makalah ini, dan biarpun demikian semoga makalah ini menjadi berguna
bagi kita semua terutama buat pemakalah sendiri, dan semoga ini menjadi tambahan bacaan
yang akan menambah ilmu kita nantinya.
KEPUSTAKAAN

Makarao, Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Manan, Abdul, Penetapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta:
Yayasan al- hikmah, 2000
Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, Bukittinggi: STAIN Prees, 2010
Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Ggatan Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002
Sutanto, Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Bandung: cv Mandar Maju, 2009

[1] Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010),
hal 28
[2] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2012), hal 4
[3] Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan
Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal 2
[4] Ibid
[5] Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010),
hal 34
[6] Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata,(jakarta: Rineka Cipta,
2009), hal, 16
[7] Ibid, hal, 17
[8] Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010),
hal 34
[9] Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan
Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2002), hal47
[10] Taufik Makarao,Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Rineka Cipta,
2004), hal 30
[11] Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010),
hal 32
[12] Loc Cit, hal 30-31
Posted by mizanul adly at 23:35
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: Makalah, Pengetahuan
Location: Jambu Air, Bukittinggi, Padang, Sumatera Barat, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai