Anda di halaman 1dari 22

Pengangkatan Anak

Dalam Hukum Adat

Disusun Oleh

Kelompok 10 :

1. Devin Catur Pangestu (1509114593)


2. Devi Angriyani (1509111962)
3. Khairani Miftahul (1508113568)
4. M. Sobirin Hafiz A. (1509117174)

Dosen Pembimbing : Eriza Elpha Darnia , S.H.,M.H.

Kelas : A

Ruang : O1

Jurusan Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Riau
Tahun Ajaran 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat.

Dalam pembuatan makalah ini mulai dari perancangan, pencarian bahan, penulis
mendapat saran, petunjuk, dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Meriza Elpha
Darnia sebagai dosen pengampu mata kuliah Hukum Adat dan teman-yang berpartisipasi
dalam pembuatan makalah ini.

Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu penulis harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, November 2017

Kelompok 10

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................2
1.3 Tujuan.........................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Pengertian Adopsi / Pengangkatan Anak.................................................................................3
2.2 Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat................................................................................4
2.3 Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat......................................................8
2.4 Akibat Hukum Pengangkatan Anak Di Dalam Hukum Adat...............................................9
2.5 Cara Melakukan Pengangkatan Anak..................................................................................12
2.6 Hukum Adat Bali Matindih dalam Pengangkatan Anak.................................................13

BAB III PENUTUP 18


3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................18

Daftar Pustaka 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Esa, bajkan anak dianggap
sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya,
Karenanya, anak sebagai amanah amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi
karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi.Anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa
datang, generasi penerus cita cita bangsa, Di Indonesia, khususnyadalam kehidupan
masyarakat adat tujuan dari lahirnya seorang anak yang merupakan hasil perkawinan adalah
untuk melanjutkan dan menyambung keturunan serta melestarikan harta kekayaan keluarga
tersebut, dalam kehidupan masyarakat adat, mempunyai seorang anak merupakan sebuah
karunia yang sangat dibanggakan dalam sebuah keluarga.

Tetapi tidak semua keluarga dapat menikmati rasanya membesarkan seorang anak
seperti keluarga lainnya. Di beberapa keluarga, atas kekuasaan Tuhan, dimana kehendak
memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai, sedangkan
keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Maka akibatnya, keturunan dari keluarga
tersebut akan terancam punah dan putus bila tidak ada yang meneruskan silsilah keluarga dan
kerabat keluarga.

Jika peristiwa tersebut terjadi, maka kerabat keluarga akan menekan dan mendesak
sang suami untuk mencari istri lain yang dapat mengandung atau mengangkat anak yang
asalnya bisa dari kerabat keluarga atau mengangkat anak yang tidak ada hubungannya dengan
kerabat keluarga (adopsi) untuk menjadi penerus keturunan keluarga yang bersangkutan.

Dalam makalah ini, akan dijelaskan secara lebih lengkap tentang segala hal terkait
pangangkatan atau adopsi anak menurut hukum adat, seperti pengertian dari pengangkatan
anak dalam hukum adat, arti penting pengangkatan dan adopsi anak bagi masyarakat adat,

1
pelaksanaan pengangkatan ana k menurut hukum adat, dan akibat hukum dari
perbuatan pengangkatan anak dalam hukum adat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian Anak Angkat Dalam Hukum Adat.
2. Arti Penting Pengangkatan dan Adopsi Anak Bagi Masyarakat Adat.

3. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat.

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Apa Pengertian Anak Angkat Dalam Hukum Adat.

2. Mengetahui Arti Penting Pengangkatan dan Adopsi Anak Bagi Masyarakat Adat.

3. Mengetahui Bagaimana Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat.

4. Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum adat

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Adopsi / Pengangkatan Anak

Pada umumnya, definisi pengangkatan anak adalah pengakuan seorang anak yang
tidak ada hubungan secara biologis dengan orang tua yang mengangkatnya sebagai anak
sendiri atau setara sebagai kandungnya dan bertanggung jawab atas kehidupan anak tersebut.
Hal yang sedemikian rupa di Indonesia sering kita lihat di Indonesia, terutama kasus-kasus
pengangkatan anak yang tidak ada hubungan dengan kerabat keluarga orang tua yang
mengangkatnya. Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya
timbul hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua
sendiri1.

Dalam hukum positif Indonesia, telah diberi beberapa peraturan yang terdapat dalam
perundang-undangan Indonesia yang memberikan pengertian khusus tentang pangangkatan
anak dan anak angkat.

Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang


Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang
mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang
lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Sedangkan pada Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak abgkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan dan pembesaran anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

1
Soeroso, 2003, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.176

1
2.2 Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat

Pada hakekatnya, anak merupakan generasi muda dari suatu keluarga yang
mempunyai tujuan secara umum untuk meneruskan keturunan keluarganya. Dalam sebuah
keluarga, anak kandung mempunyai peran dan kedudukan penting dalam sebuah keluarga,
antara lain sebagai penerus silsilah keluarga, meneruskan keturunan, dan melestarikan harta
kekayaan keluarganya.

Tetapi tidak semua keluarga, khususnya dalam kehidupan masyarakat adat, yang
dapat menikmati karunia mengandung dan membesarkan seorang anak sampai besar.
Keadaan-keadaan seperti itu memaksa keluarga bila ingin mempunyai penerus untuk
mengangkat seorang anak.

Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut, memiliki segi
persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya anak
angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga
dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Perbedaannya didalam hukum adat
diisyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung anak angkat --
biasanya berupa benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan magis.

Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan
pada kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat
(keluarga yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan
kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian
menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia
terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.

Anak angkat dalam pengertian hukum adat dapat kita ambil dari berbagai pendapat
para Sarjana hukum adat, antara lain:

Imam Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat Sketsa Asas, tertulis bahwa pengangkatan
anak yang terdapat di seluruh Nusantara, ialah perbuatan memungut/mengangkat anak dari
luar ke dalal kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan

2
kewangsaan biologis2. Menurut pendapat Imam Sudiyat, perbuatan pengangkatan anak dalam
hukum anak terjadi apabila terciptanya ikatan sosial antara anak angkat dan keluarga
angkatnya.

Menurut Hilman Hadi Kusuma, ia mengartikan anak angkat sebagai anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat,
dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan
rumah tangga3. Pendapat Hilman Hadi Kusuma mengartikan anak angkat yang sah adalah
anak orang lain yang telah diakui oleh keluarga angkat dan hukum adat setempat.

Sedangkat pendapat Soerojo Wignjodipuri telah memberikan batasan bahwa mengangkat


anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri
sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu
tumbul suatu kekeluargaan yang sama seperti ada antara orang tua dengan anak kandungnya
sendiri4. Dalam pendapat Soerojo menegaskan bahwa dalam pengangkatan anak tidak hanya
sebatas mengangkat atau mengakui, tetapi keluarga angkat harus memberlakukan anak angkat
tersebut seperti anak kandungnya sendiri.

Terdapat banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap
daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan anak dalam
kehidupan masyarakat adat sangat menarik. berikut beberapa contoh tentang pelaksanaan
pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia,
antara lain :

1. Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan sepengetahuan kepala desa.
Mereka mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan. Lazimnya
mengangkat anak keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang atau
penyerahan barang kepada orang tua si anak.
2. Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut nyentanayang. Anak lazimnya diambil
dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa
(pancer laki-laki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat pula diambil dari keluarga istri
(pradana).

2
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, cet.ke-4 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm.102.
3
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: tnp, 1977).
4
Soerojo Wignjodipero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1973), hlm.11

3
3. Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak harus
dilepaskan dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantiannya,
yaitu berupa benda magis, setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung anak
yang dipungut itu masuk ke dalam kerabat yang memungutnya, itulah perbuatan
ambil anak sebagai suatu perbuatan tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan
dengan suatu upacara-upacara dengan bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat,
dengan perkataan lain perbuatan itu harus terang5.

4. Di Pontianak, syarat-syarat untuk dapat mengangkat anak adalah:

o Disaksikan oleh pemuka-pemuka adat.

o Disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu orang tua kandung dan orang tua
angkat.

o Si anak telah meminum setetes darah dari orang tua angkatnya.

o Membayar uang adat sebesar dua ulun (dinar) oleh si anak dan orang tuanya
sebagai tanda pelepas atau pemisah anak tersebut, yakni bila pengangkatan
anak tersebut dikehendaki oleh orangtua kandung anak tersebut. Sebaliknya
bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orang tua angkatnya maka
ditiadakan dari pembayaran adat. Tetapi apabila dikehendaki oleh kedua belah
pihak maka harus membayar adat6.

5. Dalam masyarakat Rejang pada Provinsi Bengkulu dikenal adanya lembaga


pengangkatan anak, yang diangkat disebut Anak Aket dengan cara calon orang tua
angkat mengadakan selamatan/kenduri yang dihadiri oleh ketua Kutai dan pemuda-
pemuda masyarakat lainnya. Di dalam upacara itu ketua Kutai mengumumkan
terjadinya pengangkatan anak yang kemudian disusul dengan upacara penyerahan
anak yang akan diangkat oleh orang tua kandung dan penerimaan oleh orang tua
angkat (semacam ijab kabul), maka secara adat resmilah pengangkatan anak tersebut.

Seorang anak telah diangkat atau diadopsi oleh orang tua angkatnya, maka akan
timbul akibat hukum dari perbuatan pengangkatan/adopsi tersebut. Contoh pada hukum di
Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh keluarga angkatnya, maka anak tersebut
5
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 182.
6
Amir Mertosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara : Prize, Semarang, 1987, hal.22.

4
akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung orang tuanya. Dalam
hukum adat, Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak,
bukannya sebagai orang asing.

Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai
anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini
dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan
mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya
sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya
anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung7.

Di dalam Islam pengangkatan anak disebut dengan tabanni secara harfiah diartikan
sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung
sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan
lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya.
Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri
yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak. Maka itu, sangat baik jika mengambil
anak orang lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim
piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Hanya saja, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan
keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan
syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya.
Jadi, Adopsi yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, tidak menjadikan anak yang
diangkat mempunyai hubungan dengan orangtua angkat seperti hubungan yang terdapat
dalam hubungan darah.

7
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 99

5
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

2.3 Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat

Terdapat banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap
daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan anak dalam
kehidupan masyarakat adat sangat menarik. berikut beberapa contoh tentang pelaksanaan
pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia,
antara lain :

1. Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan sepengetahuan kepala desa.
Mereka mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan. Lazimnya
mengangkat anak keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang atau
penyerahan barang kepada orang tua si anak.
2. Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut nyentanayang. Anak lazimnya diambil
dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa
(pancer laki-laki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat pula diambil dari keluarga istri
(pradana).

3. Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak harus


dilepaskan dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantiannya,
yaitu berupa benda magis, setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung anak
yang dipungut itu masuk ke dalam kerabat yang memungutnya, itulah perbuatan
ambil anak sebagai suatu perbuatan tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan
dengan suatu upacara-upacara dengan bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat,
dengan perkataan lain perbuatan itu harus terang.8

4. Dalam masyarakat Rejang pada Provinsi Bengkulu dikenal adanya lembaga


pengangkatan anak, yang diangkat disebut Anak Aket dengan cara calon orang tua
angkat mengadakan selamatan/kenduri yang dihadiri oleh ketua Kutai dan pemuda-
pemuda masyarakat lainnya. Di dalam upacara itu ketua Kutai mengumumkan
terjadinya pengangkatan anak yang kemudian disusul dengan upacara penyerahan

8
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal.
182.
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

anak yang akan diangkat oleh orang tua kandung dan penerimaan oleh orang tua
angkat (semacam ijab kabul), maka secara adat resmilah pengangkatan anak tersebut.

Masih banyak lagi bentuk-bentuk pengangkatan anak dalam kehidupan masyarakat adat
yang belum sempat diungkap sampai saat ini di Indonesia. Keanekaragaman pengangkatan
tersebutlah yang membuat hukum adat di Indonesia semakin menarik untuk digali dan
dipelajari secara lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan tentang pengangkatan anak
dalam hukum adat dengan lebih baik.

2.4 Akibat Hukum Pengangkatan Anak Di Dalam Hukum Adat

Sangat jelas bila seorang anak telah diangkat atau diadopsi oleh orang tua angkatnya,
maka akan timbul akibat hukum dari perbuatan pengangkatan/adopsi tersebut. Contoh pada
hukum di Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh keluarga angkatnya, maka anak
tersebut akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung orang tuanya.
Anak angkat akan mendapatkan kewajiban seperti menghormati orang tua atau walinya,
sedangkan hak yang anak tersebut akan dapatkan ketika telah diangkat adalah warisan dari
keluarga angkatnya, yang dapat berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi yang dapat
diwariskan lainnya. Tetapi apakah sama akibat hukum pengangkatan seorang anak dalam
hukum positif nasional dan hukum adat yang berlaku di Indonesia

Dalam hukum adat, Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan
sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan pengangkatan anak telah
menghapuskan perangainya sebagai orang asing dan menjadikannya perangai anak maka
anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat.

Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang mengambil anak itu
anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal dari ayah atau ibu
angkatnya atas barang-barang dimana kerabat tersebut tetap mempunyai haknya yang
tertentu, tapi ia mendapat barang-barang yang diperoleh dalam perkawinan. Pengangkatan
anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan. Pengadilan
dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan antara anak
dengan orang tua sebagai berikut :
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

1. Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan


hubungan anak dengan orangtua kandung.
2. Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak
akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan
mendapat waris dari orangtua angkat.

3. Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak


dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru
dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang
tua kandung berlaih kepada orang tua angkat.

4. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat
marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat

Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak setelah diangkat oleh
orang tua angkatnya, terdapat juga akibat anak tersebut dengan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan perbuatan pengangkatan anak tersebut seperti akbiat hukum dengan
orang tua kandung dan orang tua angkat.

a. Dengan orang tua kandung

Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang tua
kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tata cara
pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung telah digantikan
oleh orang tua angkat.

Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di
daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan
anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak
memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya hubungan
dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak
boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.

b. Dengan orang tua angkat

Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai
anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan
mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya
sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya
anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung.9

Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan


orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan dengan
orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orang tua
angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya.

Terdapat sebuah pengaturan khusus tentang hak waris anak angkat yang diatur dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan bahwa tidak semua harta peninggalan
bisa diwariskan kepada anak angkat. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa keputusan
Mahkamah Agung, antara lain:

1) Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959

Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan
mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal)
anak angkat tidak berhak mewarisinya.

2) Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957

Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-
barang ini kembali kepada waris keturunan darah.

3) Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959

Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak
merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.

Secara garis besar akibat hukum tentang perbuatan pengangkatan anak sudah sangat
jelas pengertiannya karena telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Akibat hukum tersebut akan selalu muncul apabila sebuah keluarga memutuskan untuk

9
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 99.
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

mengangkat seorang anak, karena perbuatan tersebut akan menciptakan hak dan kewajiban
kepada anak yang telah diangkat

2.5 Cara Melakukan Pengangkatan Anak

Berkenaan dengan masalah tata cara adopsi atau pengangkatan anak, sebenarnya ada
beraneka macam, sesuai dengan keanekaragaman sistem masyarakata ada, sekalipun secara
esensial tetap memiliki titik persamaan.

Di lampung utara adopsi dilakukan dengan upacara pemotongan kerbau yang dihadiri
anggota keluarga. Di Lahar (Palembang) pengangkatan dihadiri oleh Kerio , Khotib dan
keluarga sedusun. Adopsi adakalanya dilakukan secara tertulis dan ada yang tidak, asal saja
dinyatakan di muka umum. Biasanya diadakan sedekahan. Begitu pula dikecamatan lebung
utara dan selatan, kepahiyang dan curup (sumatera selatan) adalah dangan suatu perjaumuan
dengan mengundang kutai yakni ketua adat di marga yang bsersangkutan pasirah; dengan
acara memotong kambing dan memasak serawa( beras ketan di campur kelapa dan gula
merah)10

Bagi masyarakat suku Mapur di kabupaten bangka, adopsi dilakukan cukup dengan
memnita langsung kepada orang tua calon anak angkat, kemudian dilaporkan kepada kepala
adat. Tapi jika tidak dilaporkan tidak juga menjadi halangan, sebab mereka berangggapan
bahwa orang tua sianak lebih berkuasa dari kepala adat. Untuk keabupaten barito kuala
(kalimantan selatan) cara orang disini dengan selamatan dengan mengundang orang
orang tua sekitarnya, sedang untuk satu daerah di kabupaten goa, tidak ada cara tertentu
dalam hal adopsi ini. Bagi masyarakat daerah kepulauan tidore (ambon) yang penting adalah
kata sepakat antara pihak orang tua kandung dengan pihak orang tua angkat. Dikecamatan
tobelo dan kalela (ambon) bisa pula terjadi adopsi sebelum anak dilahirkan. Dibeberapa desa
dikecamatan duduk kabupaten gersik, tidak ada ktentntuan khusus untuk mengkatngkat anak,
dalam pengertian tidak ada keharusan untuk mengadakan selamatan. Jadi begitu ada yang
mengangkat anak, lalu dilaporkan kepada kepala desa dan selanjutnya ke pengadilan agama
dan pengadilan negeri. Begitu pula di daerah kabutaen merauke (jayapura) tidak terdapat cara
tertentu dalam hal adopsi. Kecuali mengadakan musyawarah antarkeluarga dan hasilnya
diberitahukan kebada kepala desa.

10
Muderis Zaini, Adopsi suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002, Hlm.47
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

Pengangkatan anak dalam suku marind, apabila pengangkatan anak itu berasal dari lain
kerabat, ketentuan adat harus ada babi berasar dari dusun sagu. Masyarakat gunung biran
kabupaten aceh besar dan daerah jeuram meuaboh kabupaten aceh barat tidak mengenal
upacara apapun dalam proses pengangkatan anak, kecuali di ddaerah tekngon kabupaten aceh
tengah dan tanah alas kabupaten aceh tenggara, pengangkatan anak dilakukan dengan kenduri
atau selamatan yang dihadiri dan disaksikan oelh masyarakat sekitarnya, terutama di daerah
takengon harus dihadiri / disaksikan oleh kepala adat setempat (sarak Apat), kemudian
diadakan acara pinang Biru yaitu membagi bagikan pinang sejumlah 1000 biji kepada
anggota keluarga dan orang orang yang hadir

2.6 Hukum Adat Bali Matindih dalam Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak menurut hukum adat Bali, mengacu kepada Peraturan (Paswara)
Tanggal, 13 Oktober 1900 tentang Hukum Waris Berlaku bagi Penduduk Hindu Bali dari
Kabupaten Buleleng, dikeluarkan oleh Residen Bali dan Lombok (F.A.Liefrinck) dengan
Permusyawarahan Bersama-sama Pedanda-pedanda dan Punggawa-punggawa.

Paswara ini pada awalnya hanya berlaku di Buleleng, tetapi sejak tahun 1915, juga
diperlakukan untuk seluruh Bali Selatan. Pasal 11 ayat (1) menentukan sebagai berikut.
Apabila orang-orang tergolong dalam kasta manapun djuga jang tidak mempunjai anak-anak
lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak (memeras sentana) maka mereka itu harus
mendjatuhan pilihannja atas seorang dari anggota keluarga sedarah jang terdekat dalam
keturunan lelaki sampai deradjat kedelapan.

Dalam praktik kehidupan masyarakat adat di Bali (desa pakraman), pengangkatan


anak juga perlu mendapat persetujuan seluruh warga desa pakraman melalui rapat (paruman)
desa, dan baru dikatakan sah menurut hukum adat Bali setelah melaksanakan upacara
paperasan.

Memperhatikan ketentuan di atas, tampak ada beberapa poin penting yang patut
diperhatikan apabila pasangan suami-istri ingin mengangkat anak, yaitu:

1. Anak yang diangkat berasal dari anggota keluarga sedarah terdekat (kasta yang
sama), dalam garis keturunan laki-laki.
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

2. Perlu mendapat persetujuan keluarga dan desa pakraman. Anak yang diangkat
beragama Hindu.

Kalau dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia atau sudut pandang
masyarakat yang lain, persyaratan pengangkatan anak seperti digambarkan di atas,
menimbulkan beberapa pertanyaan :

1. Kenapa pengangkatan anak harus berasal dari keturunan keluarga laki-laki, bukankah
hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia?
2. Lebih dari itu, apa pentingnya desa pakraman ikut campur urusan pengangkatan anak
oleh keluarga tertentu?
3. Untuk apa memastikan agama calon anak angkat harus Hindu, bukankah masalah
agama, masalah keyakinan itu adalah masalah pribadi seseorang?

Adanya persyaratan yang relatif ketat dalam pengangkatan anak menurut hukum adat
Bali dibandingkan dangan ketentuan serupa berdasarkan hukum yang lainnya, terkait dengan
swadharma dan spirit matindih. Seorang anak angkat yang diangkat anak sesuai dengan
hukum adat Bali, memiliki kedudukan yang sama persis dengan anak kandung. Hal ini
berarti, anak angkat harus melaksanakan kewajiban (swadharma) terhadap keluarga dan
masyarakat, dan mendapatkan hak (swadikara) yang sama dengan anak kandung.

Kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat (desa pakraman) yang harus


dilaksanakan, dapat dikelompokkan menjadi tiga:

1. Kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan sesuai dengan ajaran agama
Hindu (parhayangan),
2. kewajiban yang berhubungan dengan aktivitas kemanusiaan (pawongan)
3. kewajiban memelihara lingkungan (palemahan) baik itu untuk kepentingan keluarga
maupun masyarakat. Kewajiban sosial-spiritual ini pada dasarnya adalah untuk
meneruskan penauran (membayar utang), yang dikenal dengan tri rna (tiga utang),
yang terdiri atas:
1) Dewa rna atau utang jiwa kepada Tuhan.
2) Pitra rna atau utang kehidupan kepada leluhur (orangtua).
3) Rsi rna atau utang ilmu pengetahuan kepada orang-orang suci (termasuk
guru). Utang yang nyata (sekala), dibayar secara nyata dalam bentuk materi,
sementara utang gaib (niskala), dibayar dengan melaksanakan upacara
agama sesuai dengan ajaran agama Hindu.
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

Kasta dapat diartikan sebagai struktur masyarakat yang bertingkat berdasarkan


keturunan (wangsa) seperti di Bali (sudra, wesya, kesatria dan brahmana), atau bisa juga
diartikan sebagai profesi atau jabatan (buruh, pengusaha, prajurit, presiden). Idealnya
pasangan suami-istri mengangkat anak yang berasal dari kasta yang sama. Apabila anak yang
diangkat berasal dari kasta berbeda, cenderung menimbulkan rupa-rupa penyakit dalam
keluarga dan masyarakat. Tindih, sutindih, matindih berarti sikap yang siap menerima
(pageh) dalam suasana suka maupun duka. Sikap tindih muncul karena adanya ikatan sekala
(pekerjaan sama, asal sama, kepentingan sama), ikatan niskala (agama yang sama), serta
adanya ikatan sekala-niskala (keturunan kasta yang sama).

Keluarga akan menolak pengangkatan anak yang tidak berasal dari keturunan (laki-
laki) kasta dan agama yang sama, karena tidak yakin anak yang diangkat dapat melaksanakan
swadharma keluarga dan matindih terhadap keluarga angkatnya. Masyarakat (desa pakraman)
akan menolak pengangkatan anak yang tidak berasal dari agama yang sama, karena tidak
yakin anak yang diangkat itu dapat melaksanakan swadharma dan matindih terhadap desa
pakraman.

Menurut Hukum Adat Bali proses pengangkatan anak sebagai berikut:

1. Dimulai dari musyawarah keluarga kecil (pasutri yang akan mengangkat anak).
Kemudian diajukan dengan rembug keluarga yang lebih luas meliputi saudara
kandung yang lainya.setelah ada kesepakatan matang, lalu mengadakan pendekatan
dengan orang tua atau keluarga yang anaknya yang mau diangkat.
2. Setelah semua jalan lancar dilanjutkan dengan pengumuman (pasobyahan) dalam
rapat desa atau banjar. Tujuanya, untuk memastikan tidak ada anggota keluarga
lainnya dan warga desa atau banjar yang keberatan atas pengangkatan anak yang
dimaksud. Oleh karena itu, anak angkat harus diusahakan dari lingkungan keluarga
yang terdekat, garis purusa, yang merupakan pasidi karya. Ada tiga golongan
pasidikarya yaitu pasidikarya waris (mempunyai hubungan saling waris), pasidikarya
sumbah ( pempunyai hubungan salaing menyembah leleuhur), dan pasidikarya idih
pakidih ( mempunyai hubungan perkawinan).

3. Apabila tidak ada garis dari garis purusa, maka dapat dicari dari keluarga menurut
garis pradana (garis ibu). Apa bila tidak ditemuakn pula maka dapat dihusahakan dari
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

keluarga lain dalam satu soroh dan terakhir sama sekali tidak ada pengangkatan anak
dapat dilakukan walaupun tidak ada hubungan keluarga (sekama-kama).

4. Anak yang diangkat wajib beragama Hindu. Jika yang diangkat seseorng yang bukan
umat Hindu, pengangkatan anak itu akan ditolak warga desa karena tujuan
pengangkatan anak antara laian untuk meneruskan warisan baik dalam bentuk
kewajiaban maupun hak, termasuk berbagai kewajiaban desa adat, terutama dalam
hubungan dengan tempat suci (pura).

5. Melakukan upacara pemerasan yang disaksiakan keluarga dan perangkat pemimpin


desa atau banjar adat. Pengangkatan anak baru dipandang sah sesudah dilakauakan
upacara pemerasan. Itulah sebabnya anak angkat itu disebut pula dengan istilah
sentana paperasan.

6. Selain melakukan upacara pemerasan proses berikutnya adalah pembuatan surat


sentana. Walaupun hal ini tidak merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak,
tetapi hal ini penting dilakukan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan
anak. Menurut hukum positif pengangkatan anak dilakukan dengan penetapan hakim.
Dengan demikian sesudah upacara pemerasan, patut dilanjutkan dengan mengajukan
pemohonan penetapan pengangkatan anak kepada Pengadilan Negeri dalam daerah
hukum tempat pengangkatan anak itu dilaksanakan.

Menurut Dyatmikawati jika pasangan suami istri adalah orang Bali yang beragama
Hindu, maka proses pengangkatan anak patut mengikuti ketentuan hukum adat Bali, awig-
awig yang berlaku didesanya dan juga harus mengikuti tata cara pengangkatan anak
sebagaimana ditentukan berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dengan adanya proses pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum yang berlaku (baik
hukum adat maupun hukum nasional), maka anak itu akan memiliki kedudukan hukum
persisi seperti anak kandung.

Tujuan Mengangkat Anak Menurut Hindu

Sebagaimana disebutkan, bahwa salah satu tujuan perkawinan dilingkungan umat


Hindu di Bali adalah untuk mendapat keturunan dengan maksud untuk meneruskan warisan
orang tua atau keluarganya. Dalam Hukum adat Bali yang dijiwai oleh ajaran Hindu adalah
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

sebagai kewajiban (swadharma) dan hak, baik dengan hubungan dengan parahyangan,
pawongan maupun palemahan.

Tujuan pengangkatan anak sebagai berikut:

Meneruskan warisan, Menurut ajaran agama Hindu yang tercemin dalam hukum adat
Bali bahwa yang dimaksud dengan warisan adalah segala kewajiaban (swadharma)
dan hak, baik dalam hubungannya dengan parahyanagan, pawongan maupun
palemahan. Dengan demikian, anak angkat tidak saja berhak mewarisi harta benda
orang tua angkatnya, tetapi juga memiliki kewajiban seorang anak yang sama dengan
anak kandung. Kewajiaban itu misalnya memelihara merajan dan tempat suci lainya
warisan aornag tua angkatnya termasuk melakuakan persembahan roh leluhur orang
tua angkatnya (parahyangan), mensuciakn orang tua angkatanya atau roh leluhurnya
(upacara ngaben), melaksanakan kewajiban dengan anggota keluarga yang lain dan
dalam kaitanya dengan sesoroh, banjar (pawongan) dan memelihara rumah,
lingkungan milik orang tua mengangkatnya (palemahan).
Menyelamatkan roh leluhur, Dengan adanya anak angkat maka sebuah keluarga tidak
mengalami puntung atau putus. Dalam kepercayaan Hindu, keturunan yang berlanjut
ini dapat menyelamatkan roh leluhur. Dalam adi parwa menyebutkan tentang
pentingnya keturunan untuk menyelamatkan roh leluhur. Dalam Adiparwa disebutkan
tentang pentingnya keturunan untuk menyelamatkan roh leluhur. Betapa pentingnya
kehadiran seorang anak dalam keluarga sebagai penurus keturunan dan dapat
menyelamatkan roh leluhur dari neraka. Dalam Manawadharmasastra IX.138
menyebutkan karena anak laki-laki akan mengantarkan pitara dari neraka yang
disebut put, karena itu ia di sebut putra dengan kelahirannya sendiri. Sedangkan
dalam Adiparwa, 74,38 disebutkanseseorng dapat menundukan dunia dengan lahirnya
anak ia memeper oleh kesenagan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-
kekek akan memeperoleh kebahagiaan yang abadi dengan kelahiran cucu-cucunya.

Pengingkat tali kasih keluarga, kelahiran seorang anak/anak angkat dalam keluarga
dapat sebagai pengingkat tali kasih dalam keluarga hal ini diungkapakan dalam sastra
hindu, yakni dalam Adiparwa yang di sebutkan seorang anak merupakan pengikat tali
kasih yang sangat kuat dalam keluarga, ia merupakan pusat penyatunya cinta kasih
M. Sobirin Hafiz A (1509117174)

orangtuanya. Dalam ajaran agama Hindu dapat dikatakan kehadiran seorang


anak/anak angkat sebagai penjalin cinta kasih dalam keluarga. Penomena yang ada
betapa pun kemelut yang terjadi antara orang tua dan anak akan selalu damai dalam
pelukan orang tua, anak juga akan menjadi pelekat diantara kemelut orang tua. Anak
juga dapat menciptakan kedamaian dalam keluarga disamping orang suci dan seorang
istri.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai