Anda di halaman 1dari 18

1.

Sumber Hukum Dan Kompetensi Absolut Dan Kompetensi Relatif Di


Pengadilan Agama
 A. Sumber-Sumber Hukum Acara Di Pengadilan Agama

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yan diatur dalam Undang
Undang.
Peraturan-peraturan yang menjadi sumber hukum Peradilan Agama, diantaranya adalah:

1. HIR (herzeine inlandsch reglement) untuk jawa dan Madura / RBG (Rechtsreglement
voor de buitengewesten untuk luar jawa dan Madura);
2. B.Rv ( Reglement op de burgelijke rechtvordering) untuk golongan eropa. Walaupun
sudah tidak berlaku lagi tetapi masih banyak yang relevan;
3. BW (bugelijke wetboek voor Indonesia) atau KUH Perdata;
4. WvK (Wetboek van koophandel) KUH Dagang;
5. UU No 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
6. UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
7. UU No 5 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung;
8. UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas UU no 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, dan UU No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU no 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
9. UU No 8 tahun 2004 Tentang Peradilan Umum;
10. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam;
11. Peraturan Mahkamah Agung RI;
12. Surat Edaran Menteri Agama ;
13. Peraturan Menteri Agama;
14. Keputusan Menteri Agama;
15. Kitab-kitab Fiqih Islam dan sumber-sumber Hukum yang tidak tertulis.

Pada prinsipnya pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama merujuk pada Hukum Acara Perdata
pada umumnya, kecuali yang diatur khusus. Sebagai contoh adalah pemeriksaan sengketa
perkawinan, dimana sengketa perkawinan yang diajukan oleh suami disebut permohonan cerai
talak, dan sengketa perkawinan yang diajukan oleh istri disebut gugatan gugat cerai. Hal
semacam ini hanya berlaku di Pengadilan Agama. Beberapa hukum acara yang diatur secara
khusus dalam Peradilan Agama meliputi:

1. Bentuk dan proses perkara;


2. Kewenangan relative Peradilan Agama;
3. Pemanggilan pihak-pihak;
4. Pemeriksaan, pembuktian, dan upaya damai;
5. Biaya perkara;
6. Putusan hukum dan upaya hukum;
7. Penerbitan akta cerai.

B. Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Pengadilan Agama

Kata “kewenangan” bisa diartikan “kekuasaan” sering juga disebut juga “kompetensi” atau
dalam bahasa Belanda disebut “competentie” dalam Hukum Acara Perdata biasanya menyangkut
2 hal yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

a. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan Pengadilan Agama yang
berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi kewenangannya.
Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2019
Tentang Pengadilan Agama serta asas personalitas keislaman menjadi dasar kompetensi
absolut Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara :
a. Perkawinan.
b. Kewarisan.
c. Wasiat.
d. Hibah.
e. Wakaf.
f. Zakat.
g. Infaq.
h. Shadaqah.
i. Ekonomi syari’ah.
Selain dari yang tersebut di atas Pengadilan Agama juga diberi kewenangan:
a. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat Hukum Islam kepada
Institusi Pemerintah didaerahnya apabila diminta.
b. Pun demikian diberi tugas tambahan atau yang didasarkan pada undang-
undang seperti pengawasan pada advokad yang beracara dilingkungan
Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.
b. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan
Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah. Contoh
Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dalam hal ini
antara Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama Ngawi adalah satu
jenis dalam satu lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.
Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada hukum acara yang
digunakan, dalam hal ini Pengadilan Agama dalam hukum acaranya adalah Hukum Acara
Perdata. Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
menerangkan bahwa dalam Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku
di Peradilan Umum. Untuk itu dasar kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah Pasal
118 Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.
Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus diajukan sesuai dengan
daerah hukum tergugat berada. Namun dalam hal ini ada pengecualian sebagaimana
dalam Pasal 118 Ayat 2, 3, dan 4 yaitu
a. Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu dari dua
daerah tergugat berada.
b. Apabila tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan pada daerah penggugat.
c. Apabila gugatan yang diajukan terkait benda tidak bergerak maka gugatan
diajukan di mana letak benda tidak bergerak tersebut berada.
d. Apabila ada tempat tinggal yang disebut dalam suatu akad maka gugatan diajukan
pada tempat yang dipilih dalam akad tersebut.

C. Pihak-Pihak Berperkara di Pengadilan Agama

1. Penggugat dan Tergugat


Syarat untuk mengajukan sebuah gugatan adalah adanya kepentingan hukum (sengketa)
yang melekat pada penggugat, dalam hal ini maka tidak semua orang dapat mengajukan
gugatan, dalam hal ini orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung dapat
memperoleh kuasa dari orang yang kepentingannya dilanggar untuk mengajukan sebuah
gugatan. 

Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdataannya kemuka pengadilan perdata.
Tergugat adalah orang yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan. Tergugat bisa
per-orangan, atau beberapa orang.
Perkara perdata yang terdiri dari 2 pihak yaitu dengan adanya penggugat dan tergugat
yang mana saling berlawanan disebut contentieuse juridictie (peradilan sungguhan),
dalam hal ini maka produk hukumnya adalah putusan.

2. Pemohon dan Termohon


Pemohon adalah seorang yang memohon kepada pengadilan untuk ditetapkan atau
mohon ditegaskan suatu hak bagi dirinya tentang situasi hukum tertentu.
Contoh perkara permohonan di Pengadilan Agama adalah permohonan dispensasi kawin,
permohonan istbath nikah, namun ini tidak berlaku bagi perkara cerai talaq sebagaimana
dalam SEMA No.2 tahun 1990 menyebutkan asasnya cerai talaq adalah merupakan
sengketa perkawinan yang meliatkan kedua belah pihak, sehingga walaupun pihak yang
berkera disebut dengan pemohon dan termohon akan tetapi merupakan perkara
contentious dan produk hakim berupa putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.

Termohon dalam arti yang sebenarnya bukanlah sebagai pihak namun perlu halnya
dihadirkan didepan sidang untuk didengar keterangan dan untuk kepentingan
pemeriksaan.

Peradilan yang menyelesaikan perkara permohonan disebut voluntaire jurisdictie


(peradilan tidak sesungguhnya), produk hukum dari peradilan tersebut adalah penetapan.

D. Proses Beracara di Pengadilan Agama

1. Proses Pengajuan Perkara


Proses beracara di Pengadilan Agama diatur dengan pelayanan sistem meja dalam
penanganan perkara mulai dari pendaftaran sampai perkara putus dan selesai.

a. Meja 1
1. Menerima gugatan/permohonan dan salinannya;
2. Menaksir biaya panjar biaya sesuai dengan radius yang ditetapkan;
3. Membuat surat kuasa membayar (SKUM).
b. Kasir
1. Menerima biaya panjar dan mencatat dalam pembukuan;
2. Menandatangani SKUM;
3. Memberi nomor dan tanda lunas pada SKUM;
4. Memberi keterangan terkait legalisir dokumen dan jadwal pelaksanaan
sidang.
c. Meja 2
1. Mencatat perkara dalam buku register perkara;
2. Memberi nomor register pekara pada gugatan/permohonan yang masuk;
3. Meyerahkan salinan gugatan/permohonan, jadwal sidang, dan rangkap 2
SKUM, serta memasukkannya dalam amplop kepada penggugat/pemohon.
d. Ketua Pengadilan Agama
1. Menenetukan penetapan majlis hakim (PMH);
2. Menetapkan hari sidang (PHS).
e. Panitera dan Wakil Panitera
1. Menunjuk penitera sidang;
2. Meyerahkan berkas perkara kepada majlis.
f. Majelis Hakim
1. Menyidangkan perkara yang diajukan penggugat/pemohon;
2. Memerintahkan kepada juru sita untuk memanggil para pihak;
3. Berkoordinasi dengan meja 1, kasir, meja 2, dan meja 3 berkenaan dengan
administrasi perkara yang disidangkan;
4. Memutus perkara yang ditangani.
g. Meja 3
1. Menerima berkas perkara yang telah di putus oleh majlis hakim;
2. Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak;
3. Menyerahkan berkas perkara yang telah minutasi kepada Panitera Muda
Hukum.
2. Tahapan Pemeriksaan dalam Perkara Perdata

Proses pemeriksaan perkara perdata di sidang pengadilan dilakukan dengan tahapan-


tahapn yang diatur dalam hukum acara perdata, dan hal ini dilakukan setelah hakim tidak
dapat mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa

3. Kemungkinan yang Terjadi pada Sidang Pertama


a. Para pihak datang
1. Hakim akan mendamaikan kedua belah pihak;
2. Hakim akan meneruskan sidang dengan pembacaan gugatan;
3. Tergugat dibolehkan untuk meminta penundaan sidang.
b. Para pihak tidak datang
1. Apabila penggugat tidak hadir maka gugatannya digugurkan;
2. Apabila tergugat tidak hadir
a. Satu kali tidak hadir, dipanggil sekali lagi;
b. Dua kali tidak hadir, diputus verstek.

Contoh kasus :

Kasus Perceraian, Donny Kesuma dan Istri Telah Jalani Mediasi


Dalam sidang cerai perdana, Donny Kesuma tak menghadiri sidang dan hanya diwakili pengacara.

Liputan6.com, Jakarta - Yuni Indriyati telah menggugat cerai sang suami, Donny Kesuma, ke
Pengadilan Agama Bekasi pada Mei lalu. Hal ini telah dikonfirmasi langsung oleh Humas PA
Bekasi, Jazlim.

"Perkara 1324/pd/2017/pabks ini didaftarkan tanggal 4 Mei 2017 atas nama Yuni Indriyanti,
kemudian tergugat Donny Kesuma," ungkap Jazlim kepada wartawan, Selasa (13/6/2017).

Sidang perdana perceraian juga sudah digelar pada awal Ramadan. Dalam kesempatan tersebut,
pihak tergugat yang tak lain adalah Donny, tak hadir memenuhi panggilan dan hanya dihadiri
kuasa hukum.

"Sidang pertama tanggal 29 Mei 2017. Pada saat sidang pertama penggugat hadir, tapi tergugat
tidak hadir. Karena tergugat tidak hadir maka dipanggil lagi," Jazlim menjelaskan.

Donny Kesuma akhirnya datang saat sidang beragendakan mediasi. Keduanya pun akhirnya
menjalani mediasi, tetapi hasilnya belum diketahui. Apakah berhasil ataukah gagal? Untuk itu
sidang ditunda hingga 10 Juli 2017.

"Karena ada hari besar. Nanti beragendakan laporan hasil mediasi, berdamai atau tidak. Kalau
penggugat atau tergugat bisa damai berarti perkara tidak dilanjutkan. Kalaupun hasil mediasi
tidak mau damai, akan dilanjutkan ke isi perkara," jelasnya.

Dalam materi gugatannya sendiri, Yuni Indriyati menuntut hak asuh agar jatuh ke tangannya,
serta nafkah yang harus dipenuhi. "Saudara penggugat cerai menetapkan hak asuh anak dan
nafkah anak," kata Jazlim

Sementara itu, retaknya rumah tangga Donny Kesuma dan Yuni Indriyati diisukan karena adanya
orang ketiga. Namun, hal ini tak bisa dikonfirmasi Humas Pengadilan Agama karena terkait
materi persidangan.
2.Mengenali Kewenangan atau Kompetensi Pengadilan dalam
Menangani Perkara

Salah satu hal penting jika ingin mengajukan gugatan ke pengadilan adalah memerhatikan bahwa
gugatan yang akan diajukan oleh Penggugat adalah benar ditujukan kepada badan peradilan yang
berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Pengadilan Negeri memiliki batasan kewenangan.
Batasan tersebut? menyebabkan Pengadilan Negeri menjadi tidak berwenang dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
 
Hal tersebut merupakan konsekuensi dari adanya pengaturan mengenai kewenangan atau
kompetensi absolut suatu badan peradilan. Kewenangan absolut yang menjadi pemisah
kewenangan? menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, menegaskan
bahwa apa yang menjadi kewenangan satu badan peradilan tertentu mutlak tidak dapat menjadi
kewenangan badan peradilan lainnya.
 
Pasal 134 HIR berbunyi:
?Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri maka pada
setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya
tidak berkuasa dan hakimpun wajib mengakuinya karena jabatannya.?
 
Pada perkara perdata sebagaimana dalam Hukum Acara Perdata telah diatur dua macam
kewenangan yaitu kewenangan/kompetensi relatif dan kewenangan/kompetensi absolut.
 
Kewenangan/Kompetensi Relatif
Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar badan peradilan
yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para pihak (distributie van
rechtsmacht), terutama tergugat. Pengaturan mengenai kewenangan relatif ini diatur pada Pasal
118 HIR. Kewenangan relatif ini menggunakan asas actor sequitor forum rei yang berarti yang
berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.
 
Terhadap kewenangan/kompetensi relatif, jika pihak Tergugat tidak mengajukan jawaban yang
berisi eksepsi mengenai kewenangan/kompetensi relatif terhadap perkara yang sedang diadili,
maka perkara tersebut dapat dilanjutkan pemeriksaannya hingga majelis hakim menjatuhkan
putusan akhir.
 
Terhadap kewenangan/kompetensi relatif, apabila Tergugat tidak mengajukan jawaban yaitu
eksepsi mengenai kewenangan relatif, maka perkara tetap dapat dilanjutkan pemeriksaannya
karena tidak menyangkut hal krusial, yaitu hanya mengenai lokasi pengadilan seharusnya.
Contoh terhadap kewenangan/kompetensi relatif, yaitu Penggugat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan diketahui bahwa Tergugat bertempat tinggal di
daerah Jakarta Timur. Hal tersebut tidak sesuai dengan asas actor sequitor forum rei.
 
Kewenangan/Kompetensi Absolut
Kewenangan/kompetensi absolut merupakan pemisahan kewenangan yang menyangkut
pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan,
menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht). Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
 
Terhadap kewenangan absolut, walaupun Tergugat tidak mengajukan eksepsi kewenangan
absolut atas perkara yang diajukan ke suatu badan pengadilan, maka majelis hakim tetap harus
memeriksa terkait kewenangan absolutnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
yang diajukan kepadanya. Apabila terbukti bahwa perkara tersebut bukan merupakan
kewenangan absolut pengadilan yang bersangkutan, maka majelis hakim wajib menghentikan
pemeriksaan.
 
Contoh terhadap kewenangan/kompetensi absolut, yaitu pengajuan gugatan oleh Penggugat ke
Pengadilan Negeri. Dimana diketahui sebelumnya dalam perjanjian pihak-pihak yang
bersengketa terdapat perjanjian arbitrase yang menegaskan pilihan forum penyelesaian sengketa
di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
 
Terhadap kewenangan pengadilan yang dianggap tidak sesuai maka Tergugat dapat
menyampaikannya melalui eksepsi. Eksepsi mengenai kewenangan Pengadilan tersebut diajukan
apabila pihak Tergugat merasa gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat bukan merupakan
perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus.
 
Berdasarkan Pasal 136 HIR, apabila terdapat pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut
maka hakim akan memeriksa dan memutus terlebih dahulu mengenai eksepsi tersebut. Terhadap
pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut tersebut hakim akan menunda pemeriksaan
pokok perkara. Hal tersebut disebabkan oleh pemeriksaan serta pemutusan mengenai eksepsi
tersebut diambil dan dijatuhkan sebelum pemeriksaan pokok perkara.
 
Tindakan yang demikian bersifat imperatif dimana tidak dapat dibenarkan memeriksa pokok
perkara sebelum ada putusan yang menegaskan apakah Pengadilan Negeri yang bersangkutan
berwenang atau tidak untuk memeriksanya.
 
Apabila hakim berpendapat, bahwa ia berwenang memeriksa dengan mengadili perkara dengan
alasan, apa yang diperkarakan termasuk yuridiksi absolut Pengadilan Negeri yang bersangkutan,
maka eksepsi tergugat ditolak, penolakan dituangkan dalam bentuk putusan sela (interlocutory)
dan amar putusan, berisi penegasan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili dan
memerintahkan kedua belah pihak melanjutan pemeriksaan pokok perkara. Apabila eksepsi
kompetensi yang diajukan tergugat beralasan dan dapat dibenarkan oleh hakim bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara, maka eksepsi dikabulkan. Hakim
menjatuhkan putusan akhir (final judgement) sehingga pemeriksaan perkara dianggap selesai
pada tingkat pertama.

Contoh kasus :
Dua Pembunuh Sisca Divonis Penjara Seumur Hidup

BANDUNG, KOMPAS.com — Dua terdakwa pembunuhan Fransisca Yofie, yakni Wawan (39) dan
Ade Ismayadi (24), menjalani sidang vonis, Senin (24/3/2014). Dalam sidang yang digelar bergantian
di Pengadilan Negeri Bandung, Jalan RE Martadinata, Bandung, Jawa Barat, majelis hakim yang
dipimpin oleh Parulian Lumban Toruan menjatuhkan vonis penjara seumur hidup untuk kedua
terdakwa.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Wawan alias Awing, dengan pidana penjara seumur hidup,"
kata hakim dalam sidang pertama untuk Wawan.

Wawan dijerat dengan Pasal 365 Ayat (2) dan (4) KUHP tentang pencurian dengan kekerasan dan
menyebabkan nyawa orang melayang. Vonis hukuman seumur hidup kepada Wawan ini lebih
ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang menuntut hukuman mati, Kamis lalu.

Majelis hakim menilai hal yang memberatkan Wawan adalah telah melakukan pembunuhan secara
sadis. Majelis hakim menilai bahwa Wawan bersikap sopan selama persidangan. Namun, itu tidak
dijadikan sebagai pertimbangan yang meringankan untuk menjatuhkan vonis tersebut.

"Tindakan mereka sangat sadis, tidak dibenarkan menghilangkan nyawa seseorang dengan alasan
apa pun, apalagi dengan cara yang sadis," katanya.

Seusai sidang, Wawan langsung digiring ke mobil tahanan untuk dikembalikan ke sel. Pada sidang
selanjutnya, Ade menerima vonis serupa dari majelis hakim.

"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 365 Ayat (2) dan (4) KUHP tentang
pencurian dengan kekerasan hingga mengakibatkan matinya seseorang. Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa dengan hukuman seumur hidup," kata hakim.

Hukuman seumur hidup ini sama dengan tuntutan jaksa yang diajukan untuk Ade, Kamis lalu. Hal
yang memberatkan bagi Ade adalah telah terbukti terlibat melakukan pencurian dengan kekerasan
yang menyebabkan seseorang terbunuh secara sadis. Sementara itu, hal yang meringankan adalah
Ade belum pernah dipenjara dan bersikap sopan selama proses persidangan.

Menanggapi vonis untuk kedua terdakwa, jaksa penuntut umum masih akan mempertimbangkan
putusan hakim.

"Kami pikir-pikir," ujar jaksa.


Ade kemudian juga dibawa ke mobil tahanan. Berdasarkan pantauan Kompas.com, semua keluarga
Sisca hadir dengan mengenakan pakaian serba hitam

3.Kewenangan pada Peradilan Militer

1. Kewenangan mutlak pada Peradilan Militer


Kewenangan mutlak adalah kewenangan memeriksa atau mengadili perkara berdasarkan
pembagian wewenang atau tugas (atribusi kekuasaan). Kewenangan Mutlak (Absolute
Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu
perkara
Kekuasaan Mutlak terdapat pada UU no 31 th. 1997 yaitu:

 pasal 40 : menjelaskan kekuasaan mutlak pada Pengadilan Militer, diantaranya adalah


memutus perkara pidana yang terdakwanya berpangkat kapten ke bawah dan seterusnya
 pasal 41 mengenai kekuasaan mutlak  pada Pengadilan Militer Tinggi, salah satunya
adalah memeriksa dan memutus perkara pada terdakwa yang berpangkat mayor ke atas
dll.
 Pasal 42 menjelaskan kekuasaan mutlak pada Pengadilan Militer Utama, yaitu memeriksa
dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh pengadilan militer tinggi yang
dimintakan banding

2. Kewenangan relatif pada Peradilan Militer


Kewenangan relatif adalah Kewenangan memeriksa/mengadili perkara berdasarkan pembagian
daerah hukum (distribusi kekuasaan). kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut
wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak
berperkara
Kekuasaan Relatif terdapat pada UU no 31 tahun 1997, yaitu:

 Pasal 41 ayat 2 dan 3, dalam ruang lingkup kekusaaan Pengadilan Militer Tinggi, yaitu
bertugas memriksa dan memutus perkara pada tingkat banding perkara pidana yang telah
diputus oleh pengadilan militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding (2)
 Pasal 43 ayat 1, dalam ruang lingkup pada kekuasaan Pengadilan Militer Utama,
diantaranya memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
wewenang mengadili antara pengadilan militer yang berkedudukan di daerah hukum
Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan

Contoh kasus :
Bantul - Kasus penipuan yang dilakukan oknum TNI, Serka YW (35), warga Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah terhadap NN (30), wartawati asal Semarang, Jawa Tengah berlanjut ke meja hijau.

Sidang pertama di Pengadilan Militer II-11 di Jalan Majapahit, Banguntapan, Bantul dipimpin oleh hakim
ketua Letkol CHK (KH-W) Kurniawati, SH.,MH, Hakim anggota 1 Mayor CHK Junaidi, SH dan Hakim
anggota 2 Mayor CHK Kuat Bayu Reagean, SH. Adapun agenda dalam persidangan tersebut adalah
mendengarkan dakwaan Oditur militer dan kesaksian dari 3 orang saksi.

Dalam persidangan itu, Oditur militer, Mayor CHK S Nasution membacakan kronologi awal kasus
penipuan yang melibatkan NN dan YW. Di mana kasus tersebut bermula saat keduanya berkenalan pada
Juni tahun 2017 hingga terjadinya penipuan yang merugikan NN hingga Rp 90 juta rupiah.

Setelah itu, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan kesaksian dari NN, ibu kandung korban, Asnimar
dan orangtua terdakwa yakni Wagiran.

Ditemui usai sidang, Nasution mengatakan terdakwa dituntut pasal 378 tentang penipuan dengan
hukuman maksimal 4 tahun penjara. Disinggung mengenai sanksi terhadap terdakwa, Nasution masih
menunggu keputusan Majelis Hakim.

"Apakah nantinya (YW) akan diberhentikan atau tidak tergantung majelis hakim," ujarnya kepada
wartawan di Pengadilan Militer II-11, Selasa (29/1/2019).

Terkait sidang perdana tersebut, Kuasa Hukum NN, Suroso Kuncoro berharap kasus tersebut dapat
diselesaikan secara hukum yang berlaku. Mengingat kliennya telah dirugikan baik secara materi nama
baik.

"Kita minta keadilan seadil-adilnya. Adilnya bagaimana? Terdakwa mengembalikan uang, permintaan
maaf, dan dihukum sesuai hukum yang berlaku," ucapnya.

Sementara itu, kuasa hukum terdakwa enggan memberikan komentar terkait sidang pertama dengan
agenda mendengarkan dakwaan oleh Oditur militer dan kesaksian oleh 3 orang saksi.

Untuk diketahui, kasus ini bermula saat YW berkenalan dengan NN yang juga wartawati sebuah surat
kabar di Jawa Tengah pada tahun 2017 silam. Keduanya bertemu di Magelang dan menjalin hubungan
lebih dekat hingga merencanakan pernikahan.

"Pelaku (YW) awalnya mengaku bujang, sempat meminjam uang adik saya hingga mencapai Rp 90 juta,"
tutur kakak korban, Erwati.

Belakangan, korban NN memergoki pelaku ternyata telah memiliki anak istri sah. Hal itu diketahuinya
dari sebuah foto bayi yang ditemukan NN saat berkunjung ke rumah orangtua pelaku di Magelang.
"Dari situ, terbongkar jika pelaku ternyata memiliki anak dan istri sah. Tapi dia berkilah bahwa sedang
dalam proses perceraian karena sang istri selingkuh," terang Erwati.

Korban pun akhirnya luluh dan bertahan dengan hubungannya bersama YW. Namun bukannya
membaik, pelaku semakin berani meminjam lebih banyak uang ke korban.

"Total uang yang dipinjam kurang lebih Rp 90 juta. Pelaku juga ternyata masih kumpul bersama
anak istrinya, tidak jadi bercerai," kata Erwati.

Sadar telah menjadi korban penipuan, NN bersama keluarga akhirnya sepakat membawa kasus
ini ke Sub Denpom IV/3 Salatiga tanggal 13 Mei 2018. Namun akhirnya kasus ini ditangani oleh
Sub Denpom Magelang karena locus delicti atau tempat terjadinya suatu tindak pidana banyak di
wilayah Magelang.

4.“RUANG LINGKUP KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN TATA USAHA


NEGARA”

(Berdasarkan  Paradigma UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan)

 Oleh : BAMBANG HERIYANTO.,SH MH.

1. Pengantar.

      Kompetensi   (kewenangan)   suatu   badan   pengadilan   untuk mengadili suatu perkaradapat


dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi  absolut.  Kompetensi  relatif  berhubungan  dengan
kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan
kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek,
materi atau pokok sengketa.[1] Sedangkan menurut Soedikno Mertokusumo, Kompetensi absolut atau
kewenangan mutlak pengadilan adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan
lain.[2] Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak ini memberi jawaban atas pertanyaan,: peradilan
apa yang berwenang mengadili suatu perkara tertentu. 

Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1986
sebagaimana terakhir diubah dengan UU  No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
adalah mengadili sengketa Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata melawan
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, akibat diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara. Menurut
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, kewenangan atau kompetensi absolut terbatas pada
mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara akibat diterbitkannya keputusan Tata Usaha
Negara, yaitu penetapan tertulis yang bersifat konkrit individual dan final yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.[3]

Kehadiran Undang-undang No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang disahkan pada
tanggal 17 Oktober 2014, telah membawa perubahan yang signifikan terhadap kompetensi Peradilan
Tata Usaha Negara, karena kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara yang semula terbatas,
menjadi diperluas.  Pengertian Keputusan dan cakupan Keputusan dalam UU No. 30 Tahun 2014 lebih
luas dari Keputusan sebagai obyek sengketa PERATUN menurut UU PERATUN.[4]

Berdasarkan pengantar diatas, maka dalam tulisan ini  akan di  diuraikan lebih lanjut, mengenai,
bagaimana kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, sebelum dan sesudah diundangkannya UU No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

1. 1. Kompetensi Peradilan Tata Usaha  menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana
diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004
2.      dan terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut ketentuan pasal 47 UU Peradilan Tata Usaha Negara, kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha
Negara adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara. Dan yang dimaksud sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dibidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata akibat diterbitkannya Keputusan Tata Usaha
Negara. [5] 

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. (Pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN.)

Penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi, bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah pejabat di pusat
dan diadaerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan Hukum TUN adalah perbuatan
Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu hukum Tata Usaha Negara yang
dapat  menimbulkan hak atau kewajiban bagi orang lain. Bersifat konkrit artinya obyek yang diputuskan
tidak abstrak  tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keptusan TUN
tidak ditujukan kepada umum tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Bersifat final artinya sudah
definitif, dan karenanya sudah dapat menimbulkan akibat hukum.

Dilihat dari uraian diatas, keputusan Tata Usaha Negara yang dapat menjadi obyek sengketa  Tata
Usaha Negara, sangat luas. Namun apabila dilihat dari pembatasan yang diberikan Undang-undang
Peradilan Tata Usaha itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Peradilan TUN,maka kompetensi
Peradilan TUN dalam mengadili Keputusan TUN adalah terbatas.

Pasal 2 UU Peratun : “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang ini :

1. 1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;


2. 2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. 3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan
5.     Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat
hukum  pidana;
6. 5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan
7.     peraturan perundang-undangan yang berlaku;
8. 6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
9. 7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”
Selanjutnya pasal 49 UU Peratun juga masih memberikan pengecualian sebagai berikut : 

“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara
tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:

1. 1. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang
membahayakan berdasarkan peraturan
2.     perundang-undangan yang berlaku:
3. 2. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”

Disamping pembatasan/pengecualian tersebut diatas, dalam Undang-undang peratun mengatur adanya


kewenangan tambahan, yakni sebagaimna diatur dalam pasal 3 UU Peratun :

(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu
menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon,
sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah
lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
keputusan penolakan.

Badan atau Pejabat TUN yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang
berisi penolakan permohonan tersebut (keputusan fictif positif ) apabila tenggang waktu yang ditetapkan
telah lewat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan.
Apabila peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),  maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
keputusan penolakan.

Disamping kewenangan diatas, berdasar UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
(KIP), maka Peradilan Tata Usaha juga diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa informasi publik.
Yakni sengketa informasi publik yang subyek sengketanya menyangkut Badan Publik Negara.(pasal 47
UU KIP).

   1.KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN TATA USAHA NEGARA PASCA PEMBERLAKUAN UU


NO.30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN.

Pemberlakukan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, telah membawa perubahan
besar terhadap kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Perubahan yang terjadi dengan
diundangkannya UU Administarsi Pemerintahan, adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut :

1. 1. Perluasan Pemaknaan Keputusan TUN. (pasal 1 angka 7 UU AP)


2. 2. Kompetensi Peradilan TUN terhadap Tindakan administrasi pemerintahan  /tindakan factual
pejabat TUN.  (pasal 1 angka 8 UUAP).
3. 3. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara  terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya
penyalah gunaan wewenang dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara. ( Pasal 21 UU
AP.)
4. 4. Kompetensi Peratun untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan
jumlah tertentu.
5. 5. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negata Tingkat satu untuk mengadili gugatan pasca Upaya
Administratif .
6. 6. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memutuskan terhadap obyek sengketa fiktif
positif.  (Pasal 53 UU AP.)

Ad. 1. Perluasan Pemaknaan Keputusan TUN .

UU Peratun dalam pasal 1 angka 9 mengatur bahwa, Keputusan TUN ( Obyek sengketa Tata Usaha
Neggara) adalah penetapan tertulis yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yang
berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Ketentuan tersebut mengandung unsur :

1. 1. Penetapan tertulis.
2. 2. Diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata usaha Negara
3. 3. yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara,
4. 4. bersifat konkrit,
5. 5. individual dan
6. 6. final
7. 7. yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.

Sementara itu pasal 1 angka 7 Undang-undang AP mengatur, Keputusan TUN /Keputusan Administrasi
Pemerintahan, (yang dapat menjadi Obyek Sengketa TUN) adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh  Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan  pemerintahan.

Pasal 1 angka 7 UU AP tersebut terkandung unsur :

1. 1. Ketetapan tertulis
2. 2. dikeluarkan oleh  Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan.
3. 3. dalam penyelenggaraan  pemerintahan.

Dari kedua pengaturan tersebut tergambar bahwa berdasar Undang-Undang Peratun memberikan
pemaknaan, Keputusan Tata Usaha Negara ( Obyek Sengketa TUN) lebih sempit dibandingkan
pemaknaan Keputusan TUN menurut UU AP. Karena semakin banyak unsur suatu pasal, maka semakin
sempit cakupannya. Semakin sedikit unsur suatu pasal, maka cakupan pengertiannya akan lebih luas.

Dengan pemaknaan tersebut, maka terlihat kompetensi peradilan TUN  menurut Undang-undang 
Peratun, adalah lebih sempit dibandingkan dengan kompetensi Peradilan TUN menurut UU Administrasi
Pemerintahan.[6]

Ad.2. Kompetensi Peradilan TUN terhadap Tindakan administrasi pemerintahan /tindakan factual pejabat
TUN. (pasal 1 angka 8 UUAP).

Pasal 75.Ayat 1., UU AP mengatur, :


“Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan  dapat  mengajukan Upaya
Administratif        kepada   Pejabat Pemerintahan   atau  Atasan  Pejabat  yang menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.”

Pasal 76 ayat (3) UU AP :

“Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga
Masyarakat dapat    mengajukan    gugatan    ke Pengadilan.”

Pasal 1 angka 8, UU AP:

“Tindakan      Administrasi      Pemerintahan       yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan


Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya         untuk     melakukan     dan/atau     tidak
melakukan perbuatan   konkret    dalam    rangka penyelenggaraan pemerintahan.”

Dari ketentuan pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis. Pasal 1 angka 8, UU Administrasi Pemerintahan
tersebut, memberikan perluasan kompetensi   Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelumnya obyek
sengketa TUN terbatas hanya keputusan TUN (dalam bentuk tertulis) saja, tetapi berdasarkan UU
Administarsi Pemerintahan   Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual  administrasi
Pemerintahan juga menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelum berlakunya UU No.30
Tahun 2014, Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual  administrasi Pemerintahan   adalah
menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Yakni dalam format gugatan perbuatan melawan hukum
penguasa (onrechtmatige overhaitdaad). Jadi Peradilan TUN berwenang mengadili,  tidak hanya tidakan
hukum (rechtelijke handeling) tetapi termasuk tindakan faktual (feitelijke handeling).

Ad.3. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya unsus
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Pejabat pemerintahan. ( Pasal 21 UU AP.)  

Pasal 21 UU AP.

“(1)   Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan       ada    atau    tidak      ada    
unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.

(2)     Badan dan/atau    Pejabat    Pemerintahan   dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau
Tindakan.”

Sesuai ketentuan tersebut, maka kewenangan /  kompetensii Peradilan TUN menjadi diperluasa, yakni
berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan         ada    atau   tidak    ada    unsur
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.

Kewenangan ini bertitik singgung dengan kewenangan peradilan umum, khususnya peradilan pidana.
Karena selama ini mengenai unsur ada atau tidaknya penyalah gunaan wewenang dalam kasus pidana
adalah menjadi kewenangan hakim pidana.

Ad. 4. Kompetensi Peratun untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah
tertentu.

Sebagaimana diuraikan diatas, dari ketentuan pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis. Pasal 1 angka 8,
UU AP, telah memberikan perluasan kompetensi   Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelumnya obyek
sengketa TUN  hanya keputusan TUN (dalam bentuk tertulis) saja, tetapi berdasarkan ketentuan tersebut
Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual  administrasi Pemerintahan juga menjadi
kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelum berlakunya UU No.30 Tahun 2014, Tindakan
Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual  administrasi Pemerintahan   adalah menjadi kompetensi
absolut Peradilan Umum. Yakni dalam format gugatan perbuatan melawan hukum penguasa
(onrechtmatige overhaitdaad).

          Perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya menyangkut obyek Tindakan
Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual administrasi Pemerintahan, membawa konskwensi logis
terhadap besaran tuntutan ganti rugi di Peradilan Tata Usaha Negara.

Sebelumnya menurut   Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara
Pelaksanaannya Pada Pradilan Tata Usaha Negara menentukan ganti rugi dibatasi minimum Rp
250.000,- (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) dan maksimal Rp 5.000.000  (Lima Juta  Rupiah)14.  

Ad. 5. Kewenangan Peradilan TUN tingkat pertama, mengadili gugatan  pasca upaya administratif
(administratief beroep).

Pasal 1 angka 16 :

Upaya Administratif adalah proses penyelesaian sengketayang     dilakukan     dalam     lingkungan


Administrasi              Pemerintahan        sebagai        akibat dikeluarkannya          Keputusan   dan/atau   
Tindakan yang merugikan.

Berbeda dengan pengaturan pada UU peratun, yang memberikan kewenangan Pengadilan


Tinggi/Banding untuk mengadili sengketa TUN yang berasal dari Upaya Administratif. Pasal 48 jo. Pasal
51 ayat (3) UU Peratun.

Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, tentang AP, maka seluruh Gugatan yang berasal dari Upaya
Administratif (baik prosedur keberatan maupun banding administratif,), adalah menjadi kewenangan
Peradilan TUN Tingkat Pertama.

Pasal 75.Ayat 1., UU AP mengatur, :

“Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan  dapat  mengajukan Upaya
Administratif        kepada   Pejabat Pemerintahan   atau  Atasan  Pejabat  yang menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.”

Pasal 76 ayat (3) UU AP :

“Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding olehAtasan Pejabat, Warga
Masyarakat dapat    mengajukan    gugatan    ke Pengadilan.”

Yang dimaksud dengan Pengadilan, menurut pasal 1 angka 18 UU Administrasi Pemerintahan adalah
Pengadilan Tata Usaha Negara.

Ad. 6. Kompetensi Peradilan TUN untuk memutuskan terhadap obyek  Keputusan Fiktif Positif.  (Pasal 53
UU AP.).

Keputusan Fiktif Positif adalah keputusan yang merupakan anggapan bahwa Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan telah menerbitkan keputusan yang bersifat mengabulkan permohonan, dikarenakan tidak
ditanggapinya permohonan yang diajukan oleh pemohon sampai dengan batas waktu yang ditentukan
atau apabila tidak ditentukan telah lewat sepuluh hari setelah permohonan yang sudah lengkap diterima. 

Berdasarkan Permohonan Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memutuskan mengenai


penerimaan permohonan yang diajukan pemohon.
Ketentuan dalam UU AP tersebut adalah berbeda dengan ketentuan pasal 3 UU Peratun yang menganut
rezim fiktif negative. Artinya , Peradilan TUN berwenang mengadili gugatan terhadap Sikap diam
Badan/Pejabat TUN yang tidak menerbitkan keputusan yang dimohon atau yang menjadi kewajibannya,
sikap diam mana adalah  dipersamakan sebagai Keputusan Penolakan (fiktif negative).Berdasarkan
ketentuan pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan, Apabila dalam batas waktu sebagaimana ditentukan
undang-undang, Badan  dan /atau    Pejabat Pemerintahan      tidak menetapkan  dan / atau melakukan
Keputusan dan / atau Tindakan, maka permohonan tersebut  dianggap dikabulkan secara hukum.

[1] S.F.Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2003, hal:59.

[2] Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta , 1988.  Hal 79.

[3] Dr. Imam Soebechi, SH. MH dkk. Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer, Genta Press.
Yogyakarta, 2014. Hal.5.

[4] Ibid hal. 7.

[5] Pasal 1 angka 10 UU Peradilan TUN, Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul da-
lam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

[6] Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan.:

Dengan  berlakunya  Undang-Undang  ini,  Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang  Nomor  51  Tahun  2009    
harus  dimaknai sebagai:

1. 1.penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;


2. 2.Keputusan  Badan  dan/atau  Pejabat  Tata  Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
3. 3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
4. 4. bersifat final dalam arti lebih luas;

1. 1. Keputusan yang   berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau


2. 2. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Contoh kasus :

Contoh kasus dan putusan pengadilan tata usaha negara yang pertama berkaitan dengan Pulau D,
salah satu pulau buatan yang penggarapannya dilaksanakan oleh PT Kapuk Naga Indah.
Perusahaan pengembang ini merupakan anak usaha Agung Sedayu Group. Pengembang tersebut
sudah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 312 hektar yang didasarkan oleh
surat keputusan yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara. Sebuah koalisi bernama
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, mewakilili 15 orang nelayan Teluk Jakarta dan Lembaga
Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), pada awalnya menggugat
penerbitan sertifikat HGB dengan adanya dugaan cacat formil dan materi.
Gugatan koalisi tersebut menyatakan bahwa surat keputusan yang dikeluarkan oleh kepala
Kantor Pertanahan Jakarta Utara harus dibatalkan. Objek gugatan tersebut mentah karena Koalisi
Selamatkan Teluk Jakarta tidak mengetahui bahwa sudah ada revisi atas surat keputusan
tersebut.  Koalisi yang sama kembali mengajukan gugatan. Mereka menyatakan bahwa sertifikat
HGB dikeluarkan pada saat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Raperda mengenai
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Pantai Utara Jakarta belum selesai. 

Mereka juga menyatakan bahwa baik pembangunan dan operasional yang berlangsung di pulau
reklamasi menyebabkan masalah lingkungan. Gugatan tersebut kembali ditolak oleh majelis
hakim pengadilan tata usaha negara Jakarta. Majelis hakim menyatakan bahwa penggugat tidak
memiliki kepentingan atau kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan. Para
nelayan pun kecewa dengan putusan ini. Mereka menyatakan bahwa mata pencaharian mereka
terhambat dikarenakan keberadaan pulau tersebut. Contoh kasus dan putusan pengadilan tata
usaha negara ini adalah salah satu contoh kasus yang mendapatkan perhatian khusus dari
masyarakat DKI Jakarta.

https://bahasan.id/arum/mengenali-kewenangan-atau-kompetensi-pengadilan-dalam-menangani-
perkara/

http://www.pa-magetan.go.id/artikel/215-sumber-hukum-dan-kompetensi-absolut-dan-kompetensi-
relatif-di-pengadilan-agama

http://gatustox.net/rweasy/-81186UVJA/2429942/http://peradilan-di-
indonesia.blogspot.com/2012/10/kewenangan-pada-peradilan-militer.html?rndad=1029594522-
1583086797

https://guruppkn.com/contoh-kasus-pengadilan-tata-usaha-negara

https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4406174/tipu-wartawati-oknum-tni-jalani-sidang-di-
pengadilan-militer

http://republikfilanda.blogspot.com/2016/04/contoh-kasus-yang-diselesaikan-di.html

Anda mungkin juga menyukai