Anda di halaman 1dari 10

Makalah

Kompetensi Peradilan Agama dan Sumber Hukum

Dosen Pengampu :

Adi Nurfausi Istamar Affandi,S.H.I.,M.H

Disusun Oleh :

Kelompok 1

Ramayanti (2030104162)

Fenny Pransisca (2030104161)

Putri Sapitri (2030104163)

Mahesa (2030104164)

Surya Alam (2030104165)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH & HUKUM

UNIVERSITA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2022
Daftar isi

Makalah Kompetensi Peradilan Agama dan Sumber Hukum................................................................1


Daftar isi................................................................................................................................................2
A. Sumber-Sumber Hukum Acara Di Pengadilan Agama................................................................3
B. Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Pengadilan Agama......................................4
C. Pihak-Pihak Berperkara di Pengadilan Agama.......................................................................6
D. Proses Beracara di Pengadilan Agama...................................................................................7
A. Sumber-Sumber Hukum Acara Di Pengadilan Agama

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yan diatur dalam
Undang Undang.Peraturan-peraturan yang menjadi sumber hukum Peradilan Agama,
diantaranya adalah:

a. HIR (herzeine inlandsch reglement) untuk jawa dan Madura / RBG (Rechtsreglement
voor de buitengewesten untuk luar jawa dan Madura);
b. B.Rv ( Reglement op de burgelijke rechtvordering) untuk golongan eropa. Walaupun
sudah tidak berlaku lagi tetapi masih banyak yang relevan;
c. BW (bugelijke wetboek voor Indonesia) atau KUH Perdata;
d. WvK (Wetboek van koophandel) KUH Dagang;
e. UU No 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
f. UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
g. UU No 5 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung;
h. UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas UU no 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, dan UU No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU no
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
i. UU No 8 tahun 2004 Tentang Peradilan Umum;
j. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam;
k. Peraturan Mahkamah Agung RI;
l. Surat Edaran Menteri Agama ;
m. Peraturan Menteri Agama;
n. Keputusan Menteri Agama;
o. Kitab-kitab Fiqih Islam dan sumber-sumber Hukum yang tidak tertulis.

Pada prinsipnya pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama merujuk pada Hukum


Acara Perdata pada umumnya, kecuali yang diatur khusus. Sebagai contoh adalah
pemeriksaan sengketa perkawinan, dimana sengketa perkawinan yang diajukan oleh suami
disebut permohonan cerai talak, dan sengketa perkawinan yang diajukan oleh istri disebut
gugatan gugat cerai. Hal semacam ini hanya berlaku di Pengadilan Agama.
Beberapa hukum acara yang diatur secara khusus dalam Peradilan Agama meliputi:

a. Bentuk dan proses perkara;


b. Kewenangan relative Peradilan Agama;
c. Pemanggilan pihak-pihak;
d. Pemeriksaan, pembuktian, dan upaya damai;
e. Biaya perkara;
f. Putusan hukum dan upaya hukum;
g. Penerbitan akta cerai.

B. Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Pengadilan Agama

Kata “kewenangan” bisa diartikan “kekuasaan” sering juga disebut juga “kompetensi”
atau dalam bahasa Belanda disebut “competentie” dalam Hukum Acara Perdata biasanya
menyangkut 2 hal yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

a. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan Pengadilan Agama yang


berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi kewenangannya. Pasal 49 Undang Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan
perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2019 Tentang Pengadilan Agama serta
asas personalitas keislaman menjadi dasar kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam
menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara :

a) Perkawinan.
b) Kewarisan.
c) Wasiat.
d) Hibah.
e) Wakaf.
f) Zakat.
g) Infaq.
h) Shadaqah.
i) Ekonomi syari’ah.
Selain dari yang tersebut di atas Pengadilan Agama juga diberi kewenangan memberi
keterangan, pertimbangan, dan nasehat Hukum Islam kepada Institusi Pemerintah
didaerahnya apabila diminta.

Pun demikian diberi tugas tambahan atau yang didasarkan pada undang-undang
seperti pengawasan pada advokad yang beracara dilingkungan Pengadilan Agama, Pegawai
Pencatat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.

b. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan


Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah. Contoh Pengadilan
Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dalam hal ini antara
Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama Ngawi adalah satu jenis
dalam satu lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.

Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada hukum acara yang
digunakan, dalam hal ini Pengadilan Agama dalam hukum acaranya adalah Hukum Acara
Perdata. Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
menerangkan bahwa dalam Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku di
Peradilan Umum. Untuk itu dasar kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah Pasal 118
Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.

Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus diajukan sesuai
dengan daerah hukum tergugat berada. Namun dalam hal ini ada pengecualian sebagaimana
dalam Pasal 118 Ayat 2, 3, dan 4 yaitu:

a) Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu dari dua
daerah tergugat berada.
b) Apabila tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan pada daerah penggugat.
c) Apabila gugatan yang diajukan terkait benda tidak bergerak maka gugatan diajukan di
mana letak benda tidak bergerak tersebut berada.
d) Apabila ada tempat tinggal yang disebut dalam suatu akad maka gugatan diajukan
pada tempat yang dipilih dalam akad tersebut.
C. Pihak-Pihak Berperkara di Pengadilan Agama

a. Penggugat dan Tergugat

Syarat untuk mengajukan sebuah gugatan adalah adanya kepentingan hukum


(sengketa) yang melekat pada penggugat, dalam hal ini maka tidak semua orang dapat
mengajukan gugatan, dalam hal ini orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung dapat
memperoleh kuasa dari orang yang kepentingannya dilanggar untuk mengajukan sebuah
gugatan.

Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdataannya kemuka pengadilan perdata.
Tergugat adalah orang yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan. Tergugat bisa per-
orangan, atau beberapa orang. Perkara perdata yang terdiri dari 2 pihak yaitu dengan adanya
penggugat dan tergugat yang mana saling berlawanan disebut contentieuse juridictie
(peradilan sungguhan), dalam hal ini maka produk hukumnya adalah putusan.

b. Pemohon dan Termohon

Pemohon adalah seorang yang memohon kepada pengadilan untuk ditetapkan atau
mohon ditegaskan suatu hak bagi dirinya tentang situasi hukum tertentu.

Contoh perkara permohonan di Pengadilan Agama adalah permohonan dispensasi


kawin, permohonan istbath nikah, namun ini tidak berlaku bagi perkara cerai talaq
sebagaimana dalam SEMA No.2 tahun 1990 menyebutkan asasnya cerai talaq adalah
merupakan sengketa perkawinan yang meliatkan kedua belah pihak, sehingga walaupun
pihak yang berkera disebut dengan pemohon dan termohon akan tetapi merupakan perkara
contentious dan produk hakim berupa putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.

Termohon dalam arti yang sebenarnya bukanlah sebagai pihak namun perlu halnya
dihadirkan didepan sidang untuk didengar keterangan dan untuk kepentingan
pemeriksaan.Peradilan yang menyelesaikan perkara permohonan disebut voluntaire
jurisdictie (peradilan tidak sesungguhnya), produk hukum dari peradilan tersebut adalah
penetapan.
D. Proses Beracara di Pengadilan Agama

1. Proses Pengajuan Perkara

Proses beracara di Pengadilan Agama diatur dengan pelayanan sistem meja dalam
penanganan perkara mulai dari pendaftaran sampai perkara putus dan selesai.

a. Meja 1
a) Menerima gugatan/permohonan dan salinannya;
b) Menaksir biaya panjar biaya sesuai dengan radius yang ditetapkan;
c) Membuat surat kuasa membayar (SKUM).
b. Kasir
a) Menerima biaya panjar dan mencatat dalam pembukuan;
b) Menandatangani SKUM;
c) Memberi nomor dan tanda lunas pada SKUM;
d) Memberi keterangan terkait legalisir dokumen dan jadwal pelaksanaan sidang.
a. Meja 2
a) Mencatat perkara dalam buku register perkara;
b) Memberi nomor register pekara pada gugatan/permohonan yang masuk;
c) Meyerahkan salinan gugatan/permohonan, jadwal sidang, dan rangkap 2 SKUM,
serta memasukkannya dalam amplop kepada penggugat/pemohon.
d) Ketua Pengadilan Agama
e) Menenetukan penetapan majlis hakim (PMH);
f) Menetapkan hari sidang (PHS).
g) Panitera dan Wakil Panitera
h) Menunjuk penitera sidang;
i) Meyerahkan berkas perkara kepada majlis.
j) Majelis Hakim
k) Menyidangkan perkara yang diajukan penggugat/pemohon;
l) Memerintahkan kepada juru sita untuk memanggil para pihak;
m) Berkoordinasi dengan meja 1, kasir, meja 2, dan meja 3 berkenaan dengan
administrasi perkara yang disidangkan;
n) Memutus perkara yang ditangani.
b. Meja 3
a) Menerima berkas perkara yang telah di putus oleh majlis hakim;
b) Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak;
c) Menyerahkan berkas perkara yang telah minutasi kepada Panitera Muda Hukum.
d) Tahapan Pemeriksaan dalam Perkara Perdata
e) Proses pemeriksaan perkara perdata di sidang pengadilan dilakukan dengan
tahapan-tahapn yang diatur dalam hukum acara perdata, dan hal ini dilakukan
setelah hakim tidak dapat mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
f) Kemungkinan yang Terjadi pada Sidang Pertama
g) Para pihak datang
h) Hakim akan mendamaikan kedua belah pihak;
i) Hakim akan meneruskan sidang dengan pembacaan gugatan;
j) Tergugat dibolehkan untuk meminta penundaan sidang.
k) Para pihak tidak datang
l) Apabila penggugat tidak hadir maka gugatannya digugurkan;
m) Apabila tergugat tidak hadir
n) Satu kali tidak hadir, dipanggil sekali lagi;
o) Dua kali tidak hadir, diputus verstek.

UU Peradilan Agama diubah dengan UU 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama dalam UU 3 tahun 2006 adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Salah satu alasan mengapa UU 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah adalah bahwa
Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Kewenangan Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama di perluas dalam UU 3 tahun 2006


tentang Perubahan Atas UU 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perluasan tersebut antara
lain meliputi ekonomi syari’ah. Berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Peradilan
Agama, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian
warisan”, dinyatakan dihapus.

Ekonomi syari’ah dalam UU 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi:

 bank syari’ah;
 lembaga keuangan mikro syari’ah;
 asuransi syari’ah;
 reasuransi syari’ah;
 reksa dana syari’ah;
 obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
 sekuritas syari’ah;
 pembiayaan syari’ah;
 pegadaian syari’ah;
 dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
 bisnis syari’ah.

Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah pengadilan syari’ah Islam
yang diatur dengan Undang-Undang. Contohnya Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa: ”Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
kewenangan-nya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan Peradilan Umum”.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7


tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 20 Maret 2006 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama diundangkan
oleh Menkumham Hamid Awaludin di Jakarta pada tanggal 20 Maret 2006.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7


tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditempatkan pada Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 22. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611. Agar setiap
orang mengetahuinya.

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan
untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih,
makmur, dan berkeadilan;

bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung


sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan

bahwa Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama;

Anda mungkin juga menyukai