Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM ACARA PERDATA


Dosen : Mohamad Taufiq Zulfikar Sarson, S.H., M.H., M.Kn

Disusun Oleh :
Nur Rahmawati Mahmud (1011421075)
Kelas A Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkn kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan Rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa mneyelesaikan makalah tentang “Hukum Acara Perdata”.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika
tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa measih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata Bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan
rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
A. Sumber Hukum Acara Perdata
B. Asas Hukum Acara Perdata
C. Pengajuan Tuntutan Hak
a) Isi Gugatan
b) Pengajuan Sita Jaminan
c) Pengajuan Tuntutan Provisional
d) Kumulasi atau Penggabungan Gugatan
D. Kompetensi Kewenangan Mengadili
E. Pemeriksaan Gugatan di Persidangan.

BAB III PENUTUP


Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum acara perdata bisa disebut juga dengan hukum acara perdata formil. Sebutan
hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum perdata formil. Hukum acara perdata
atau hukum perdata formil merupakan bagian dari hukum perdata. Karena, disamping hukum
acara perdata formil juga ada hukum perdata materiil. Hukum perdata materiil ini lazimnya
disebut hukum perdata saja. Yang dimaksud dengan hukum perdata formil atau hukum acara
perdata adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan sanksi
hukuman terhadap para pelanggar hak- hak keperdataan sesuai hukum materiil mengandung
sanksi yang sifatnya memaksa (Sarwono, 2011: 3).
Sudikno Mertokusumo, dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia menyatakan
bahwa hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan hukum materiil dengan perantaraan kekuasaan negara.
Meliputi baik perkara yang mengandung sengketa (contentieus) maupun yang tidak mengandung
sengketa (voluntair).
Dalam hukum acara perdata, inisiatif yaitu ada atau tidaknya sesuatu perkara harus diambil
oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar. Ini
berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang pada umumnya tidak menggantungkan adanya
perkara dari insiatif orang yang dirugikan. Misalnya apabila terjadi suatu tubrukan tanpa adanya
suatu pengaduan, pihak yang berwajib terus bertindak, polisi datang, pemeriksaaan dilakukan,
terdakwa dihadapkan di muka sidang. Oleh karena dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada
penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, setelah
perkara diajukan, ia dalam batas-batas tertentu dapat merubah atau mencabut kembali
gugatannya. Adapun fungsi hukum acara perdata adalah rangkaian cara-cara memelihara dan
mempertahankan hukum perdata materiil.

B. Rumusan Masalah
Dengan adanya Permasalahan yang akan dibahas, saya akan memberikan umusan masalah
pada makalah ini berkaitan dengan apa yang akan ditulis dan dibahas secara konkrit dengan
sebuah Tema “HUKUM ACARA PERDATA” rumusan masalahnya yaitu :
a Apa saja sumber hukum acara perdata?
b Apa saja asas hukum acara perdata?
c Bagaimanakah pengajuan tuntutan hak?
d Jelaskan kompetensi kewenangan mengadili!
e Bagaimanakah pemeriksaan gugatan di pengadilan?

C. Tujuan Pembahasan Masalah


Berdasarkan rumusan yang telah diketahui, saya akan memaparkan tujuan dari
pembahasan makalah ini yaitu : Agar dapat mengetahui sumber hukum, asas, pengajuan
tuntutan hak, kompetensi kewengan megadili, dan pemeriksaan gugatan di pengadilan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Acara Perdata


Dalam praktek peradilan di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata
terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan.
1. Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
HIR ini dibagi dua yaitu bagian hukum acara pidana dan acara perdata, yang
diperuntukkan bagi golongan Bumiputra dan Timur Asing di Jawa dan Madura
untuk berperkara di muka Landraad. Bagian acara pidana dari Pasal 1 sampai
dengan 114 dan Pasal 246 sampai dengan Pasal 371. Bagian acara perdata dari
Pasal 115 sampai dengan 245. Sedangkan titel ke 15 yang merupakan peraturan
rupa-rupa (Pasal 372 s.d 394) meliputi acara pidana dan acara perdata.
2. Reglement Voor de Buitengewesten (RBg)
Rbg yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ordonansi 11 Mei 1927 adalah pengganti
berbagai peraturan yang berupa reglemen yang tersebar dan berlaku hanya dalam
suatu daerah tertentu saja. RBg berlaku untuk di luar Jawa dan Madura.
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (RV) Adalah
Reglemen yang berisi ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang berlaku
khusus untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka untuk
berperkara di muka Raad Van Justitie dan Residentie Gerecht.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang- Undang Hukum Dagang.
5. Undang-Undang.
a UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
b UU No.5 Tahun 2004 ) Tentang Mahkamah Agung, yang mengatur tentang
hukum acara kasasi jo UU No. 48 Tahun 2009 (kewenangan MA)
c UU No.8 Tahun 2004 jo UU No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum.
d UU No.3 Tahun 2006 jo UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
e UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta peraturan
pelaksanaannya.
f UU No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
6. Hukum adat atau kebiasaan
7. Yurisprudensi
8. Doktrin

B. Asas Hukum Acara Perdata


Asas –asas hukum acara perdata ini dikaitkan dengan dasar serta asas-asas peradilan
serta pedoman bagi lingkungan peradilan baik umum, maupun khusus. Antara lain :
1. Hakim bersifat menunggu
Inisiatif mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan (Pasal 118 HIR/142 RBg ). Perk yang diajukan kepada hakim
maka ia tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan alasan
hknya tidak ada /krg jelas, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakatarakat.(Ps 5
UU 48/2009 KK
2. Hakim bersifat pasif
Ruang lingkup atau luas sempitnya pokok perkara ditentukan para pihak
berperkara bukan oleh hakim. Pengadilan membantu para pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan
yang sederhana cepat dan biaya ringan Ps 4 ayat 2 UU 48/2009. Hakim tidak
boleh menjatuhkan putusan melebihi dari yang dituntut ( 178 ayat 2,3 HIR/189
ayat 2,3 RBG )
3. Persidangan terbuka untuk umum
Ps 13 ayat 1 UU 48/2009 setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan perkara, walaupun ada beberapa perkara yang dilakukan
pemeriksaannya secara tertutup. Contoh dalam perkara perceraian.
4. Mendengar kedua belah pihak
5. Putusan harus disertai dengan alasan-alasan (motievering Plicht.)
6. Berperkara dikenai biaya
7. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan
8. Beracara tidak harus diwakilkan
Bisa langsung pihak yang berperkara beracara di pengadilan atau dapat
diwakilkan
9. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME “
10. Asas objektivitas
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan-bedakan
orang - >ps 4 ayat 1 UU 49/2009
11. Asas persidangan berbentuk majelis
ps 11 ayat 1 Pengadilan memeriksa dengan susunan majelis sekurang-
kurangnya 3 org hakim, kecuali UU menentukan lain
12. Pemeriksaan dalam dua tingkat
Tingkat pertama – Original Yurisdicyion. Tk Banding – Apellate Jurisdicion) –
Judex Fakcte – Mahkamah Agung – judex luris :

C. Pengajuan Tuntutan Hak


Pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa merupakan suatu pengajuan tuntutan hak
oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum lainnya atas suatu sengketa keperdataan,
baik berupa wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, dimana pada diri pihak yang
mengajukan tuntutan hak (gugatan) mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil
sebagai akibatnya.
a) Isi Gugatan
Tuntutan hak yang dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai
tuntutan perdata tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya
disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan secara tertulis maupun secara lesan HIR dan Rbg
hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan, sedang tentang persyaratan mengenai
isi dari pada gugatan tidak ada ketentuannya.
Persyaratan mengenai isi gugatan kita jumpai dalam pasal 8 n0.3 Rv yang mengharuskan
gugatan pada pokoknya harus memuat :
1. Identitas dari para pihak
Yang dimaksud dengan identitas adalah cirri-ciri dari pada penggugat dan
tergugat yang berisi, antara lain nama serta tempat tinggalnya, umur serta
statusnya kawin atau tidak, pekerjaan, dan sebagainya yang berkaitan dengan
identitas para pihak, biasanya dibuktikan dengan keterangan Kartu Tanda
Penduduk (KTP atau lainnya).
2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum (fondamnetum petendi)
Yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan tentang hukum.
Adapun uraian tentang kejadian merupakan penjelasan mengenai duduk
perkara, sedang uraian tentang hukum adalah uraian tentang adanya hak atau
hubungan hukum yang menjadi dasar daripada suatu tuntutan hak. Uraian
yuridis ini bukan hanya penyebutan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan
dasar tuntutan, dengan berdasar pada pasal 163 HIR (pasal 283 Rbg, 1865 BW)
yang berbunyi Barang siapa yang mengaku mempunyai satu hak atau menyebut
suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang
lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.
3. Tuntutan (petitum)
Ialah apa yang diminta oleh penggugat atau yang diharapkan diputus oleh
hakim. Jadi, petitum ini akan memperoleh jawaban kelak dalam dictum putusan.
Tuntutan yang tidak jelas atau kurang sempurna dapat berakibat tidak
diterimanya tuntutan tersebut.
b) Pengajuan Sita Jaminan
Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim / Ketua Majelis sebelum atau selama proses
pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan tersebut Hakim / Ketua Majelis membuat surat
penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Negeri / Juru Sita dengan dua
orang pegawai pengadilan sebagai saksi. Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita jaminan
terhadap barang milik tergugat (conservatoir beslag) dan sita jaminan terhadap barang milik
penggugat (revindicatoir beslag) (Pasal 227, 226 HIR. Pasal 261, 260 RBg.).
Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan Ketua Pengadilan / Majelis wajib terlebih
dahulu mendengar pihak tergugat. Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan, Hakim
wajib memperhatikan :
1. Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita
revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di
tangan tergugat yang dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih dahulu
mendengar keterangan pihak tergugat (lihat Pasal 227 ayat (2) HIR/Pasal 261
ayat (2) RBg.)
2. Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka
berita acara penyitaan harus  didaftarkan sesuai ketentuan dalam Pasal 227 (3)
jo Pasal 198 dan Pasal 199 HIR atau pasal 261 jo pasal 213 dan Pasal 214.
3. Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar / bersertifikat, penyitaan harus
didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional. Dan dalam hal tanah yang disita
belum terdaftar / belum bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Kelurahan.
Tindakan tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi
hokum.
4. Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita
dengan sita revindicatoir, harus tetap dipegang / dikuasai oleh tersita. Barang
yang disita tidak dapat dititipkan kepada Lurah atau kepada Penggugat atau
membawa barang itu untuk di simpan di gedung Pengadilan Negeri.

c) Pengajuan Tuntutan Provosional


Permohonan Provisi adalah permohonan pihak yang berperkara supaya diadakan
tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
Tindakan pendahuluan yang dimohonkan adalah tindakan sementara yang tidak termasuk
pokok perkara. Misalnya, dalam perkara perceraian yang sedang diadili oleh Pengadilan
Negeri, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, istri mohon izin kepada hakim agar
boleh meninggalkan rumah suaminya selama persidangan berlangsung dan hakim dalam
putusan provisionil (provisionil vonnis) dapat menunjukkan rumah dimana istri harus tinggal.
Dasar hukum mengenai permohonan provisi dan putusan provisi tidak diatur secara tegas,
malainkan diatur secara implisit dalam Pasal 180 ayat (1) RIB/HIR. Kemudian mengenai
pengertian putusan provisionil tercantum dalam Penjelasan Pasal 185 RIB/HIR.
Dalam membuat permohonan provisi, pihak yang mengajukan harus memperhatikan
beberapa hal seperti syarat formil permohonan provisi, antara lain:
1. Memuat alasan yang melatarbelakangi diajukannya permohonan provisi,
termasuk urgensi dan relevansinya dengan gugatan pokok.
2. Mengemukakan dengan jelas tindakan sementara yang dimohonkan
3. Tindakan yang dimohonkan tidak boleh mengenai pokok perkara
d) Kumulasi atau penggabungan gugatan
Secara bahasa, kumulasi gugatan berarti penyatuan, timbunan, penggabungan beberapa
gugatan (dalam satu surat gugatan di muka hakim). Sedangkan secara istilah kumulasi
gugatan atau samenvoeging van vordering merupakan penggabungan beberapa tuntutan
hukum ke dalam satu gugatan.
Adapun beberapa landasan hukum yang memperbolehkan praktek kumulasi gugatan
adalah:
a Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
b Putusan Mahkamah Agung Nomor 575 K/Pdt/1983
c Buku pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi Peradilan Agama
Secara garis besar syarat pokok sebuah kumulasi adalah sebagai berikut:
a Terdapat Hubungan Erat
b Terdapat Hubungan Hukum
Dalam teori dan praktik, dikenal dua bentuk penggabungan, yaitu:
a Kumulasi Subjektif (Subjective Cumulation), Pada bentuk ini dalam satu surat
gugatan terdapat beberapa orang penggugat, atau beberapa orang tergugat.
b Kumulasi Objektif (Objective Comulation), Dalam bentuk ini yang digabungkan
adalah gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa gugatan dalam satu surat
gugatan. Jadi yang menjadi objek kumulasi adalah gugatan.
Terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh hukum, larangan ini bersumber dari
hasil pengamatan dalam praktik pengadilan. Adapun beberapa bentuk kumulasi
(penggabungan) yang dilarang yaitu:
a Pemilik Objek Gugatan Berbeda
b Gugatan yang Digabungkan Tunduk pada Hukum Acara yang Berbeda
c Gugatan Tunduk Pada Kompetensi Absolut yang Berbeda
d Gugatan Rekonvensi yang tidak ada Hubungan dengan Gugatan Konvensi
Salah satu unsur yang harus dipenuhi agar kumulasi gugatan diperbolehkan adalah
bermanfaat jika ditinjau dari segi acara (procesuel doelmatig), Adapun manfaat dan tujuan
penggabungan jika ditinjau dari segi acara adalah:
a Mengwujudkan Peradilan Sederhana
b Menghindari Putusan yang Saling Bertentangan
D. Kompetensi kewenangan mengadili
Tujuan utama membahas kompetensi/yurisdiksi atau kewenangan mengadili, adalah
memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang
mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya
kepada pengadilan tidak keliru.
Secara singkat, dalam hukum acara perdata dikenal dua macam kompetensi/kewenangan,
yaitu:
1. Kompetensi/kewenangan absolut (atributie van rechtspraark)
Kompetensi absolut adalah kewenangan badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara absolut/mutlak sehingga tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan
lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (pengadilan negeri dengan pengadilan
tinggi, yang sama-sama dalam lingkungan peradilan umum) maupun dalam lingkungan
peradilan yang berbeda (pengadilan negeri yang berada dalam lingkungan peradilan
umum, dengan pengadilan agama yang berada dalam lingkungan peradilan agama).
Dengan demikian, kompetensi absolut ini adalah untuk menjawab pertanyaan, pengadilan
macam apa yang berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara tertentu
tersebut.
2. Kompetensi/Kewenangan Relatif (Distributie van Rechtspraak)
Kompetensi relatif sering pula disebut dengan kewenangan nisbi, yang menyangkut
pembagian kewenangan mengadili antar pengadilan sejenis berdasarkan yurisdiksi
wilayahnya. Artinya, bahwa suatu pengadilan hanya berwenang mengadili perkara yang
subjeknya atau objeknya berada pada wilayah pengadilan yang bersangkutan. Misalnya:
antar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Jadi
kompetensi relatif dalam hukum acara perdata adalah untuk menjawab: ke pengadilan
negeri mana gugatan harus diajukan. Kompetensi relatif ini pada pokoknya diatur dalam
Pasal 142 RBg/118 HIR, sebagai berikut:
a Gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal tergugat. Atau, jika tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan ke
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman senyatanya
dari tergugat. Ketentuan sesuai dengan asas actor “sequitur forum rei”.
b Apabila tergugat lebih dari satu, yang tempat tinggalnya tidak terletak dalam
wilayah satu pengadilan negeri, gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang
wilayah hukumnya meliputi salah satu tempat tinggal tergugat, yang dipilih
penggugat. Apabila para tergugat berkedudukan sebagai debitur dan
penanggungnya, maka gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah
hukumnya meliputi tempat tinggal yang berhutang pokok (debitur).

E. Pemeriksaan gugatan di persidangan


Sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata pada umumnya, bahwa pemeriksaan atau
persidangan suatu perkara adalah ditempuh dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Tahapan upaya perdamaian
2. Tahapan menempuh proses mediasi
3. Pembacaan surat gugatan
4. Jawaban dari pihak tergugat/termohon
5. Tanggapan atau replik dari penggugat/pemohon
6. Jawaban kedua atau duplik dari tergugat/termohon
7. Re-replik (bila diperlukan)
8. Re-duplik (bila diperlukan)
9. Upaya pembuktian dari pihak penggugat/pemohon
10. Pemeriksaan setempat (bila diperlukan)
11. Kesimpulan masing-masing pihak
12. Musyawarah majelis hakim kemudian pembacaan/pengucapan putusan
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan materi diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum acara
perdata memiliki beberapa sumber, berupa HIR, RBG, RV, Undang-undang, Kitab undang-
undang hukum perdata, Hukum kebiasaan, Yurisprudensi dan doktrin. Asas hukum acara perdata
terdiri atas hakim bersifat menunggu, hakim bersifat pasif, persidangan terbuka untuk umum,
Mendengar kedua belah pihak, Putusan harus disertai dengan alasan-alasan (motievering Plicht.)
Berperkara dikenai biaya, Tidak ada keharusan untuk mewakilkan, Beracara tidak harus
diwakilkan, Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME “, Asas
objektivitas, Asas persidangan berbentuk majelis, dan pemeriksaan dalam dua tingkat.
Pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa merupakan suatu pengajuan tuntutan hak
oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum lainnya atas suatu sengketa keperdataan,
baik berupa wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, dimana pada diri pihak yang
mengajukan tuntutan hak (gugatan) mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil
sebagai akibatnya.
kompetensi/yurisdiksi atau kewenangan mengadili, adalah memberi penjelasan mengenai
masalah pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus
yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru.
Sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata pada umumnya, bahwa pemeriksaan atau
persidangan suatu perkara adalah ditempuh dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
Tahapan upaya perdamaian, Tahapan menempuh proses mediasi, Pembacaan surat gugatan
Jawaban dari pihak tergugat/termohon, Tanggapan atau replik dari penggugat/pemohon,
Jawaban kedua atau duplik dari tergugat/termohon, Re-replik (bila diperlukan), Re-duplik (bila
diperlukan), Upaya pembuktian dari pihak penggugat/pemohon, Pemeriksaan setempat (bila
diperlukan), Kesimpulan masing-masing pihak dan musyawarah majelis hakim kemudian
pembacaan/pengucapan putusan
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Martha Eri Safira. 2017. HUKUM ACARA PERDATA. Cv . Nata Karya

Laila M. Rasyid dan Herinawati.2015.Hukum Acara Perdata. Unimal Press

B. Jurnal
Bintoro, R. W. (2010). Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Jurnal
Dinamika Hukum, 10(2), 147-156.

C. Website
Sita Jaminan, Mahkamah Agung Republik Indonesia Pengadilan Negeri Banyuwangi
Kelas I A, 5 April 2023, Pukul 05.00, https://pn-banyuwangi.go.id/sita-jaminan

Pahami Apa Itu Permohonan Provisi, MAGISTER ILMU HUKUM


PASCASARJANA, 5 April 2023, Pukul 06.00, http://mh.uma.ac.id/pahami-apa-
itu-permohonan-provisi/

Anda mungkin juga menyukai