Anda di halaman 1dari 32

HUKUM ACARA

PERADILAN AGAMA

OLEH: Yuspika Yuliana Purba

1
Apa itu hukum acara peradilan Agama?
“Hukum Acara Peradilan Agama”, ialah tentang “Hukum
Acara”, dan “Peradilan Agama”.

Yang mana Hukum Acara adalah Proses atau Hukum Formal.


Proses berarti suatu rangkaian perbuatan, yaitu mulai dari
memasukan permohonan atau gugatan sampai selesai
diputus dan dilaksanakan.

Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara


Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang
berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi
orang-orang islam di Indonesia
2
Apa itu peradilan Agama?

Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang – orang yang


beragama islam. (lihat pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama). Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu.

3
Peraturan-peraturan yang menjadi sumber hukum Peradilan Agama
• HIR (herzeine inlandsch reglement) untuk jawa dan Madura / RBG
(Rechtsreglement voor de buitengewesten untuk luar jawa dan
Madura);
• B.Rv ( Reglement op de burgelijke rechtvordering) untuk golongan
eropa. Walaupun sudah tidak berlaku lagi tetapi masih banyak yang
relevan;
• BW (bugelijke wetboek voor Indonesia) atau KUH Perdata;
• WvK (Wetboek van koophandel) KUH Dagang;
• UU No No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman
• UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
• UU No 5 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung;

4
• UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas UU no 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan UU No 50 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU no 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama;
• UU No 8 tahun 2004 Tentang Peradilan Umum;
• Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam;
• Peraturan Mahkamah Agung RI;
• Surat Edaran Menteri Agama ;
• Peraturan Menteri Agama;
• Keputusan Menteri Agama;
• Kitab-kitab Fiqih Islam dan sumber-sumber Hukum yang tidak
tertulis.

5
Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama
1. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan
agama
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
perkawinan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah
6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI;
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987tentang wali hakim
8. Yuriprudensi;
9. Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih;
10. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan
Agama.

6
Azas-Azas Hukum Acara Peradilan Agama
1. Peradilan/hakim bersipat pasif.
2. Mendengar pihak-pihak berperkara di muka pengadilan.
3. Peradilan Agama memutus perkara berdasarkan hukum Islam. (Pasal 2 dan 49
UU No.3 Tahun 2006).
4. Peradilan Agama dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa dan setiap putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat
“Bismillahirrahmanir rahim” dan diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No.7/1989)
5. Peradilan Agama dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 57
ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989).
6. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
(Pasal 58 ayat (1) UU No. 7/1989).
7. Pemeriksaan perkara dilakukan dalam persidangan Majelis sekurang-kurangnya
tiga orang Hakim (salah satunya Menjadi Ketua Majelis) dan dibantu Panitera
sidang. (Pasal 17 ayat (1),

7
8. Persidangan dilakukan terbuka untuk umum kecuali undang-
undang menentukan lain. (Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989 jo.
Psl. 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004).
9. Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan secara tertutup.
(Pasal 67 hurup b dan pasal 80 hurup b UU No.7/1989) akan
tetapi pada saat pembacaan putusan atau penetapan
dilakukan dengan terbuka untuk umum (Pasal 60 UU
No.7/1989 jo. Psl. 20 UU No.4/2004).
10.Peradilan Agama dilakukan bebas dari pengaruh dan campur
tangan dari luar (Psl.5 ayat (2) UU. No. 3/2006 jo. Psl. 4 ayat (3)
UU. No. 4/2004).

8
KEKUASAAN PENGADILAN AGAMA
Pasal 49 UU Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang –
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama serta asas
personalitas keislaman menjadi dasar kompetensi absolut
pengadilan agama dalam menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara - perkara:
1. Perkawinan
2. waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf;
6. Zakat;
7. Infak
8. Shadaqoh dan
9. Ekonomi syariah
9
10
Keterangan dari gambar bagan diatas:
a. Meja 1
1. Menerima gugatan/permohonan dan salinannya;
2. Menaksir biaya panjar biaya sesuai dengan radius yang ditetapkan;
3. Membuat surat kuasa membayar (SKUM).
b. Kasir
4. Menerima biaya panjar dan mencatat dalam pembukuan;
5. Menandatangani SKUM;
6. Memberi nomor dan tanda lunas pada SKUM;
7. Memberi keterangan terkait legalisir dokumen dan jadwal pelaksanaan
sidang.

c. Meja 2
8. Mencatat perkara dalam buku register perkara;
9. Memberi nomor register pekara pada gugatan/permohonan yang masuk;
10.Meyerahkan salinan gugatan/permohonan, jadwal sidang, dan rangkap 2
SKUM, serta memasukkannya dalam amplop kepada
penggugat/pemohon.
11
d. Ketua Pengadilan AgamaMenenetukan penetapan majlis hakim (PMH);
1. Menetapkan hari sidang (PHS).

e. Panitera dan Wakil Panitera


2. Menunjuk penitera sidang;
3. Meyerahkan berkas perkara kepada majlis.

f. Majlis Hakim
4. Menyidangkan perkara yang diajukan penggugat/pemohon;
5. Memerintahkan kepada juru sita untuk memanggil para pihak;
6. Berkoordinasi dengan meja 1, kasir, meja 2, dan meja 3 berkenaan dengan
administrasi perkara yang disidangkan;
7. Memutus perkara yang ditangani.

g. Meja 3
8. Menerima berkas perkara yang telah di putus oleh majlis hakim;
9. Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak;
10.Menyerahkan berkas perkara yang telah minutasi kepada Panitera Muda
Hukum. 12
Tahapan Pemeriksaan dalam Perkara Perdata

13
Kemungkinan yang Terjadi pada Sidang Pertama

a. Para pihak datang


1. Hakim akan mendamaikan kedua belah pihak;
2. Hakim akan meneruskan sidang dengan pembacaan gugatan;
3. Tergugat dibolehkan untuk meminta penundaan sidang.

b. Para pihak tidak datang


4. Apabila penggugat tidak hadir maka gugatannya digugurkan;
5. Apabila tergugat tidak hadir
6. satu kali tidak hadir, dipanggil sekali lagi;
7. dua kali tidak hadir, diputus verstek.

14
15
Pengertian Gugatan dan Permohonan

Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua


pengadilan yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang di
dalamnya mengandung suatu sengketa dan melupakan dasar
landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran
suatu hak.

Sedangakan permohonan adalah suatu surat permohonan yang


di dalamnya berisis tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang
berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung
sengketa.

16
SURAT KUASA KHUSUS , GUGATAN, JAWABAN, PEMBUKTIAN, KESIMPULAN,
DAN PUTUSAN
A. Surat Kuasa Khusus
Pemberian kuasa atau lebih sering disebut dengan kuasa ialah suatu persetujuan dengan
mana seorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain yang menerimanya untuk
dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (lihat Pasal 1792 KUHPer).Sedangkan
yang dimaksud dengan Khusus adalah kuasa tersebut hanya mengenai suatu kepentingan
tertentu dalam hal hal yang terbatas khusus pada apa yang tertuang dalam surat kuasa
yang berupa tindakan yang dapat menimbulkan akibat hukum yang digunakan sebagai
kuasa untuk beracara harus menyebutkan secara rinci dan jelas apa saja yang dikuasakan ,
wewenang dan akan digunakan pada pengadilan mana. Surat kuasa khusus terdiri dari 3
unsur yaitu :
1. Adanya pemberi dan penerima kuasa
Seperti kuasa pada umunya, kuasa khusus adalah sebuah perikatan yang dibangun
berdasarkan adanya pemberi dan penerima, meskipun dalam hal ini para praktisi bersilang
pendapat tntang apakah kuasa khusus bersifat ikatan sepihak atau ikatan timbal balik.

2. Untuk dan atas nama pemberi kuasa


Bahwa tindakan yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah semata mata untuk
pemberi kuasa dan akibat hukum yang timbul dari tindakan penerima kuasa mengikat
terhadap pemberi kuasa sepanjang penerima kuasa tidak melampaui batasan yang telah
ditentukan.
17
3, Pada Hal hal atau tindakan yang terbatas pada apa yang tertulis atau
dikuasakan
artinya bahwa tindakan yang dilakukan yang boleh dilakukan oleh penerima
kuasa adalah terbatas pada hal hal yang tertulis atau dikuasakan secara
khusus, sehingga dalam hal ini surat kuasa harus secara detail dan lengkap
menyebut apa saja tindakan yang boleh dilakukan penerima kuasa untuk dan
atas nama pemberi kuasa. Pasal 148 ayat (1) R.B.g menyebut syarat pokok
yaitu kuasa khusus berbentuk teertulis atau jika pihak materiil hadir dimuka
siding dapat memberikan kuasa melalui persyaratan lisan, Namun demikian
pada praktiknya pemberi kuasa secara lisan dihadapan siding jarang dilakukan
dan lebih banyak dihindari mengingat bahwa hal tersebut dinilai kurang
komperhensif dalam menjamin hak hak kedua belah pihak baik pemberi
kuasa atau penerima kuasa.

B. Gugatan
Syarat Formil
• Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan;
Tempat, gugatan disini apakah dalam hal ini penggugat/pemohon
berdomisili di tempat penggugat/pemohon, ataukah
mengambil tempat domisili di tempat kuasa hukumnya. 18
2, Tanda tangan.
Tanda tangan (handtekening) dalam Surat Gugatan
merupakan syarat formil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 118
ayat 1 HIR, bahwa bentuk surat permohonan ditandatangani
penggugat atau kuasanya. Penggugat yang tidak dapat menulis,
dapat membubuhkan cap jempol berupa ibu jari tangan di atas
surat gugatan sebagai pengganti tanda tangan. Surat gugatan
yang dibubuhkan cap jempol selanjutnya dilegalisir di pejabat
yang berwenang.
Syarat Materil
1. Identitas para pihak;
Meliputi: nama, umur, pekerjaan, agama, alamat terakhir.
2, Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua
belah pihak, hal ini biasa disebut dengan posita (Fundamentum
Potendi);
19
Berdasarkan pengertian di atas maka posita pada dasarnya
mengandung 2 unsur:
• Perihal fakta-fakta atau peristiwa hukum yang menjadi dasar
gugatan.
• Perihal hukumnya, yaitu tentang adanya hak atau hubungan
hukum yang menjadi dasar yuridis sebuah tuntutan.

Untuk menghasilakan sebuah posita yang baik maka sebuah


peristiwa itu harus berkaitan dengan tempat (locus), waktu
(temporal), dan adanya kualitas kausalitas (sebab musababnya). S
ebagai contoh dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan poin d
“salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang
membahayakan pihak lain”, maka dalam posita gugatan yang ada
hal ini harusnya di terangkan lebih jauh, kapan hal itu terjadi ?,
karena apa penganiayaan itu terjadi ?, dan dengan menggunakan
apa ?.
20
3. Tuntutan yang diinginkan, atau biasa disebut dengan petitum.

2. Pencabutan Gugatan
Surat gugatan dapat dicabut selama proses persidangan dengan memperhatikan
beberapa hal:
1. Penggugat dapat langsung mencabut gugatannya, Jika surat gugatan belum sampai
di jawab oleh pihak tergugat.
2. Penggugat harus mendapat persetujuan tergugat, jika surat gugatan telah dijawab
oleh pihak tergugat.

C. Jawaban
3. Eksepsi
Yaitu sanggahan terhadap suatu gugatan yang tidak mengenai pokok perkara, dengan
maksud untuk menggagalkan gugatan dalam segi formilnya agar hakim memutus
gugatan tidak dapat diterima atau ditolak

2. Pokok Perkara
Jawaban dalam pokok perkara yaitu perumusan dalil-dalil yang berupa pengakuan
sebatas peristiwa yang memang terbukti dan menyangkal secara keseluruhan atas
dalil-dalil yang ada, karena dari jawaban ini nanti akan menjadi terang sebenarnya hal
yang disengketakan dan pembuktiannya.
21
.

c. Rekonpensi
Jawaban gugatan dalam bentuk ini merupakan jawaban tergugat yang
disertai dengan gugatan oleh tergugat kepada penggugat, oleh karena itu
tergugat disebut penggugat rekonpensi dan penggugat disebut tergugat
rekonpensi.

2. Replik
Tanggapan yang diajukan oleh penggugat atas jawaban pertama tergugat
disebut dengan istilah replik. Isi dari pada replik boleh jadi pembenaran atau
menyangkal terhadap jawaban tergugat, dan juga dalam hal ini yang paling
penting adalah penggugat bisa jadi menambahkan keterangan dengan tujuan
memperjelas dalil yang diajukan penggugat dalam surat gugatan.
3. Duplik
Duplik adalah jawaban tergugat atas replik yang diajukan penggugat. Sama
halnya dengan replik aturan duplik juga tidak dijumpai dalam HIR/RBg,
melainkan dalam Reglemen Op Dfe Rechts Verodering, staatblad 1847-52 Jo
1849-63.
Tergugat dapat mengemukakan dalil-dalil baru tentang bantahannya terhadap
gugatan atau sekedar untuk menguatkan dalil-dalil jawabannya Ibid.
22
D. Pembuktian
Pembuktian adalah menjelaskan kedudukan hukum yang sebenarnya berdasar
keyakinan hakim kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa. Beban
pembuktian adalah maslah yang dapat menentukan jalannya pemeriksaan perkara dan
menentukan hasil perkara, yang pembuktiannya itu harus dilakukan oleh para pihak dengan
jalan mengajukan alat-alat bukti, dan hakim yang akan menentuakan pihak mana yang
harus membuktikan, dan yang kebenarannya itu dijadikan putusan akhir. Orang yang
mendalihkan adanya suatu hak atau kejadian untuk meneguhkan haknya tersebut harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

1. Macam-Macam Alat Bukti


1.1 Bukti Tertulis (Surat)
Bukti tertulis berupa fotocopy dan salinan sebelum dijadikan alat bukti harus memenuhi
beberapa syarat yaitu harus dilegalisir dan dimateraikan (nezegelen) di Kantor Pos.
a. Akta otentik;
b. Akta bawah tangan;
 Syarat formil akta di bawah tangan: bersifat partai, pembuatannya tidak dihadapkan
pejabat, harus bermeterai, ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
 Syarat materiil akta di bawah tangan: isi akta berkaitan langsung dengan apa yang
diperkarakan, isi akta tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama dan
ketertiban umum, Sengaja dibuat sebagai alat bukti. 23
c. Bukti Bukan Akta
Surat bukan akta dalam HIR maupun KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas.
Namun surat-suart tersebut dianggap sebagai petunjuk kearah pembuktian. Surat-
surat tersebut dapat dianggap sebagai alat bukti atau dikesampingkan, sehingga beban
pembuktian surat bukan akta ini sepenhnya bergantung kepada penilaian hakim (Pasal
1881 Ayat 2 KUH Perdata).

1.2 Bukti Saksi


A. Pengertian kesaksian:
Kesaksian yaitu alat bukti yang diberitahukan secara lisan dan pribadi oleh saksi yang
tidak m pihak dalam perkara tersebut, untuk memberikan kepastian kepada hakim di
muka persidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan. Dengan demikian, unsur
yang harus ada pada alat bukti kesaksian adalah:
1) Keterangan kesaksian itu diucapkan sendiri oleh saksi secara lisan di muka
persidangan.
2) Tujuan kesaksian untuk memberi kepastian kepada hakim tentang peristiwa yang
dipersengketakan.
3) Saksi tidak merupakan salah satu pihak yang berperkara.

B. Macam-macam saksi
1) Saksi yang telah memenuhi kriteria sebagai alat bukti, yakni saksi yang terdiri dari 24
dua orang yang telah memenuhi syarat formil dan materiil.
2). Saksi yang hanya satu orang (unus testis nullus testis).
Saksi yang hanya satu orang (unus testis nullus testis). Hakim diperkenankan
untuk menganggap satu peristiwa terbukti dari keterangan seorang saksi.
Larangan untuk mempercayai keterangan seorang saksi sebagaimana yang
dimaksud Pasal 169 HIR yang menyatakan bahwa keterangan seorang saksi
tanpa ada alat bukti lain tidak dapat dipercaya dimaksudkan sebagai suatu
larangan untuk mengabulkan suatu gugatan apabila dalil-dalil penggugat
disangkal dan hanya dikuatkan oleh satu orang saksi saja.

3). Saksi testimonium de auditu, yaitu saksi yang memberikan keterangan dari
apa yang didengarnya dari orang lain. Saksi testimonium de auditu memang
tidak ada artinya, akan tetapi hakim tidak dilarang untuk menerimanya, yang
dilarang adalah apabila saksi tersebut menarik kesimpulan atau menurut
istilah Pasal 171 (2) HIR atau Pasal 308 (2) RGB memberikan “pendapat atau
perkiraan-perkiraan”.

25
c. Persangkaan
Persangkaan adalah bukti kesimpulan oleh UU atau hakim yang ditarik dari peristiwa
yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.

d. Pengakuan
Pengertian pengakuan Pengertian pengakuan yaitu suatu pernyataan dengan bentuk
tertulis atau lisan dari salah satu pihak beperkara yang isinya membenarkan dalil lawan
baik sebagian maupun seluruhnya.

e. Sumpah
Pengertian sumpah Sumpah adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat
Maha kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang
tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakikatnya sumpah merupakan tindakan
bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.

f. Pemeriksaan ditempat (Pasal 153)


Pemeriksaan setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena
jabatannya, yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan agar
hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang member
kepastian tentang peristiwa peristiwa yang menjadi sengketa
26
g. Saksi Ahli (Pasal 154 HIR)
Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketika yang objektif yang bertujuan
untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan
hakim sendiri. Hakim menggunakan keterangan ahli dengan maksud agar
hakim memperoleh pengetahuan pengetahuan yang lebih mendalam tentang
sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu misalnya tentang hal
hal yang bersifat teknis, kebiasaan tertentu, ilmu kedokteran dan sebagainya.

h. Pengetahuan Hakim (Pasal 178 (1) HIR, UU-MA No 14/1985)


Pasal 178 (1) HIR mewajibkan hakim karena jabatannya waktu
bermusyawarah mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemuka
kedua belah pihak. hakim sebagai organ pengadilan dianggap mengetahui
hukum. Andaikata ia tidak tertulis maka ia wajib menggali hukum tidak
tertulis untuk memutusberdasarkan hukumsebagai orang yang bijaksana dan
bertanggungjwab penuh kepada tuhan yang maha esa, diri sendiri,
masyarakat bangsa dan negara

27
Prosedur Berperkara Tingkat Pertama
A. Cerai Gugat
1. Penggugat mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan ke Pengadilan Agama.
2. Dalam surat gugatan berisi identitas Penggugat, meliputi nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal
Penggugat, kemudian posita yaitu fakta kejadian dan fakta hukum, dan petitum yaitu hal-hal yang dituntut
penggugat berdasarkan posita.
3. Gugatan penguasaan anak, nafkah anak, hadhanah, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan
bersama-sama dengan gugatan perceraian.
4. Membayar panjar biaya perkara melalui Bank dan bagi yang tidak mampu/miskin, dapat berperkara secara
prodeo/Cuma-Cuma.
5. Setelah perkaranya didaftarkan di Pengadilan Agama, kemudian Penggugat dan Tergugat dipanggil untuk
menghadiri sidang, sekurang-kurangnya 3 hari kerja sebelum sidang dilaksanakan, panggilan disampaikan
oleh juru sita dan disampaikan ke alamat penggugat dan tergugat, namun jika saat dipanggil
penggugat/tergugat tidak berada ditempat/sedang keluar, panggilan disampaikan melalui Lurah/Kepala
Desa. Khusus apabila tergugat ghaib, panggilan kepada tergugat dilakukan melalui pengumuman di radio,
antara pengumuman pertama dengan pengumuman kedua berjarak 1 bulan, dan antara pengumuman
kedua dengan  hari sidang dengan jarak sekurang-kurangnya 3 bulan.
6. Pada saat persidangan, diupayakan perdamaian dan dilanjutkan dengan mediasi jika penggugat dan
tergugat hadir. Apabila terjadi damai, perkara dicabut.
7. Putusan Pengadilan Agama adakalanya dikabulkan apabila gugatan terbukti, ditolak jika tidak terbukti dan
 tidak dapat diterima kalau gugatan kabur, kemudian begitu putusan dijatuhkan, penggugat dapat lansung
mengambil sisa panjar biaya perkara jika masih ada.
8. Setelah putusan dijatuhkan dan berkekuatan hukum, Penggugat dan Tergugat dapat mengambil Akte Cerai
secara langsung, atau melalui kuasa dengan sayarat ada surat kuasanya khusus untuk pengambilan Akta
 Cerai tersebut.

28
B. Cerai Talak
1. Mengajukan surat permohonan pemohon yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama, boleh dilakukan dengan
tertulis maupun dengan lisan.
2. Surat permohonan pemohon berisi identitas pemohon dan termohon meliputi nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal,
posita yaitu gambaran peristiwa hukum/fakta kejadian dan fakta hukum, kemudian petitum yaitu apa yang diminta
pemohon,  berdasarkan posita.
3. Permohonan penguasaan anak/hadhanah, nafkah anak, dan pembagian harta bersama dapat  diajukan bersama-sama
dengan permohonan perceraian.
4. Membayar panjar biaya perkara melalui Bank yang besarnya sesuai dengan taksiran Meja 1 seperti yang tersebut dalam
SKUM, jika tidak mampu/miskin dapat mengajukannya secara Cuma-Cuma/prodeo dengan melampirkan surat keterangan
tidak mampu dari Kepala Desa yang diketahui oleh Camat setempat.
5. Setelah perkara didaftarkan di Pengadilan Agama, kemudian pemohon tinggal menunggu panggilan sidang. Panggilan
dilakukan oleh juru sita kealamat pemohon dan termohon sekurang-kurangnya 3 hari kerja sebelum sidang. Jika
pemohon/termohon tidak  berada ditempat, panggilan disampaikan melalui Lurah/Kepala Desa setempat,  Jika
termohonnya beralamat  diluar wilayah yuridiksi Pengadilan Agama tempat pemohon mengajukan permohonan, maka
panggilan dilakuan  dengan meminta bantuan melalui Pengadilan Agama dimana wilayah tempat tinggal termohon
berada. Kemudian jika termohonnya ghaib, panggilan dilakukan melalui pengumuman diradio, dengan ketentuan antara
pengumuman pertama dengan pengumunan kedua jaraknya 1 bulan, dan atara pengumuman kedua dengan hari
sidangnya sekurang-kurangnya 3 bulan. Jika termohonnya berada diluar negeri, panggilan dilakukan melalui kedutaan RI
di luar negeri, dengan ketentuan antara panggilan sidang dengan hari sidangnya sekurang-kurangnya 6 bulan.
6. Dalam pemeriksaan perkara, dilakukan upaya perdamaian dan mediasi jika kedua belah pihak hadir.
7. Setelah pemeriksaan perkara selesai, putusan dijatuhkan mungkin dalam putusan itu  bisa dikabulkan, ditolak atau tidak
dapat diterima.
8. Apabila putusan izin ikrar dijatuhkan dan sudah berkekuatan hukum tetap, Pengadilan Agama menetapkan Majelis Hakim
yang akan melanjutkan sidang pengucapan ikrar talak, dan Ketua Majelis memerintahkan kepada juru sita untuk
memanggil pemohon dan termohon agar hadir pada persidangan pengucapan ikrar talak tersebut. Panggilan dilakukan 3
hari kerja sebelum sidang dilaksanakan. Apabila pemohon tidak hadir pada persidangan ikrar talak tersebut, dan tidak
melapor ke Pengadilan  Agama  sampai 6 bulan, maka menjadi gugur kekkuatan hukum putusan izin ikrar talak itu, dan
pemohon dan termohon tetap suami isteri.
9. Apabila pemohon hadir dan mengucapkan ikrar talak di sidang pengadilan itu, maka pada hari itu juga akta cerainya dapat
diambil, dan  sisa panjar biaya perkara jika ada,  dapat pula  langsung mengambilnya dengan kasir.
29
C.  Gugatan Harta Bersama
1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan harta bersama
yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan.
2. Penggugat membayar biaya perkara ke Bank yang jumlahnya sesuai dengan taksiran Meja I seperti
tersebut dalam SKUM, kemudian menyerahkan surat gugatan yang disertai  bukti  slip pembayaran
tersebut kepada petugas meja 1 untuk didaftarkan dalam buku register perkara.  Bagi Penggugat
yang tidak mampu/miskin dapat mengajukan gugatan secara Cuma-Cuma/prodeo, dengan syarat
melengkapi surat keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa  dan diketahui oleh Camat
setempat.
3. Dalam suarat gugatan harta bersama itu harus dijelaskan  objek yang menjadi sengketa , seperti
ukuran dan batas-batasnya jika objek itu berupa tanah, merek, kode/tahun pembuatan jika barang
digugat berupa mobil/sepeda motor atau barang elektronik, dan kalau perlu dilengkapi warna  dan
lain-lain.
4. Setelah gugatan didaftarkan, penggugat  dan tergugat tinggal menunggu panggilan sidang.
Panggilan sidang nanti akan disampaikan oleh juru sita kealamat penggugat dan tergugat paling
lama 3 hari kerja sebelum sidang dilaksanakan.
5. Dalam  persidangan diupayakan perdamaian dan dilanjutkan dengan mediasi bagi kedua belah
pihak yang hadir dimuka sidang. Penggugat dan tergugat bebas memilih hakim mediator atau pihak
lain yang sudah punya sertifikasi sebagai mediator, dan biayanya menggunakan  mediator dari luar
ditanggung sepenuhnya oleh penggugat.
6. Pengajuan gugatan harta bersama ini atau dalam persidangan,  pihak penggugat atau tergugat
dapat menggunakan jasa pengacara/advokat atau kuasa insidentil.
7. Proses sidang, dimulai dari upaya perdamaian, pembacaaan gugatan, jawaban tergugat, replik
penggugat, duplik tergugat, pembuktian yang dilanjutkan dengan pemeriksaan setempat,
kesimpulan, musyawarah majelis dan putusan.
30
D. Gugatan Waris
1. Gugatan waris diajukan ke Pengadilan Agama oleh penggugat selaku ahli waris dan dapat pula  mengguganakan
jasa pengacara/advokat atau kuasa insidentil. Jika menggunakan kuasa insidentil, terlebih dahulu harus
mengajukan permohonan  kepada Ketua Pengadilan Agama untuk menjadi kuasa insidentil, kemudian Ketua
Pengadilan mengeluarkan surat izinnya.
2. Pengajuan gugatan waris disertai dengan bukti  kematian pewaris dari Lurah/Kepala Desa dan silsilah ahli warisnya
dan dipersiapkan pula dokumen bukti-bukti kepemilikan objek sengketa seperti sertifikat, akta jual beli, dan bukti
kepemilikan lainnya.
3. Dalam surat gugatan harus memuat secara lengkap objek-objek sengketa mengenai ukuran dan batas-batasnya
tanah, merek dan tahun pembuatan dan kalau perlu dengan warnanya jika objeknya berupa mobil/Sepeda motor
atau barang-barang elektronik.
4. Pengujuan gugatan waris diajukan ke Pengadilan Agama  yang daerah hukumnya meliputi letak barang tetap 
(objek sengketa) itu berada, kecuali barang-barang sengketa itu menyebar kepada beberapa wilayah Pengadilan
Agama, maka penggugat dapat memilih salah satunya Pengadilan Agama dimana objek sengketa waris itu berada.
5. Penggugat membayar panjar biaya perkara melalui Bank dan jumlahnya sesuai dengan taksiran meja 1 (SKUM)
yang didasarkan pada PP 53 tahun 2008 dan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama tentang panjar biaya
perkara. Bagi yang tidak mampu/miskin dapat mengajukan gugatan waris secara cuma-Cuma/prodeo, dengan
melampirkan surat keterangan tidak mampu dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang diketahui oleh camat.
6. Setelah gugatan didaftarkan di Pengadilan Agama, penggugat/kuasanya tinggal menuggu panggilan sidang yang
disampaikan oleh juru sita. Panggilan disampaikan minimal 3 hari kerja sebelum sidang dilaksanakan.
7. Proses sidang dimulai dari upaya perdamaian dan dilanjutkan dengan mediasi jika para pihak hadir dipersidangan.
Dalam mediasi, para pihak bebas memilih mediator apakah berasal dari hakim atau pihak lain yang sudah memiliki
sertifikat mediasi, dan segala biaya pengeluaran mediasi ditanggung oleh penggugat atau kedua belah pihak jika
terdapat kesepakatan dengan tergugat.  Namun apabila  mengguganakan hakim mediator  tidak dipungut biaya.
8. Setelah proses mediasi dilaksanakan, dan ternyata damai, maka dibuatkan akte perdamaian yang dikuatkan dalam
putusan  majelis hakim yang bersangkutan. Namun jika tidak terjadi damai, pemeriksaan gugatan dilanjutkan
dengan pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian yang dilanjutkan
dengan pemeriksaan setempat, kesimpulan, musyawarah majelis dan putusan.

31
E. Itsbat Nikah (Voluntair)
1. Permohonan isbat nikah dapat di ajukan oleh suami isteri, atau salah satunya, anak, wali nikah,
atau pihak lain yang berkepentingan yang ditujukan kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
2. Pengajuan isbat nikah dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan/permohonan perceraian. 
Permohonan isbat nikah adalah termasuk perkara voluntair, tetapi jika salah seorang suami atau
isteri meninggal dunia, maka permohonan perkara isbat nikah seperti ini termasuk kontentius, dan
semua ahli warisnya harus dijadikan “pihak”.
3. Pihak Pemohon yang mengajukan isbat nikah, terlebih dahulu harus membayar panjar biaya
perkara melaui Bank yang jumlahnya sesuai dengan taksiran meja 1 seperti tersebut dalam SKUM.
Bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat mengajukannya dengan
Cuma-Cuma/prodeo.
4. Setelah pembayaran panjar biaya perkara dilakukan, kemudian pemohon mendaftarkan perkaranya
ke Pengadilan Agama dengan melampirkan bukti slip pembayarkan lewat  Bank tersebut, dan
selanjutnya pemohon pulang dan menunggu panggilan sidang.
5. Ketua Pengadilan Agama, membuatkan PMH dan majelis hakim yang ditetapkan harus segera
membuatkan PHS/ penetapan hari sidang, yang sebelumnya diumumkan dalam waktu 14 hari
melalui radio. Dan setelah 14 hari  diumumkan itu, baru sidang dapat dilakukan, dan pemohon
dipanggil oleh juru sita untuk menghadiri sidang itu,  minimal 3 hari kerja sebelum  sidang 
dilaksanakan.
6. Jika permohonan dikabulkan, Pengadilan Agama akan mengeluarkan Penetapan,  salinan
penetapan ini dapat diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari sidang pembacaan penetapat
tersebut/sidang berakhir.
7. Salinan Penetapan dapat diambil sendiri atau mewakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa,
dan selanjutnya salinan penetapan ini dibawa dan diserahkan kepada Kantor KUA tempat tinggal
pemohon, untuk dicatatkan dalam register dan menggantikannya dengan Buku Nikah.
32

Anda mungkin juga menyukai