Anda di halaman 1dari 14

MEMPERKUAT PERAN JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI PADA PENGADILAN AGAMA Oleh : Alimuddin, S.HI (Calon Hakim PA Baturaja) A.

Pendahuluan Sebenarnya eksistensi Peradilan Agama sudah ditetapkan melalui UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dan ditambah dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan : a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan betul-betul eksis setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dengan demikian, lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan yang signifikan bagi Peradilan Agama, yaitu: Pertama, sejak berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 semua aturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia didasarkan kepada peraturan yang sama dan seragam. Kedua, mengenai kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya pengadilan
1

dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini sebelumnya tercermin dengan harus adanya pengukuhan atas putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri yang dikenal dengan istilah fiat eksekusi, yakni semua putusan Pengadilan Agama baru akan mempunyai kekuatan eksekusi kalau sudah disetujui dan dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Maka dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 kemudian dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti tanpa harus disetujui dan dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, karena Pengadilan Agama sudah menjadi bagian dari Mahkamah Agung untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman (one roof system). Sementara itu, kejurusitaan merupakan pranata baru dalam susunan organisasi Pengadilan Agama. Ketiga, kedudukan hakim. Menurut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hakim pada Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Hal ini sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum. Keempat, tentang wewenang pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan
2

i. ekonomi syari'ah." Lalu, dalam Pasal 52A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dijelaskan pula kewenangan bahwa Pengadilan Agama dapat memberikan istbat

kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Kelima, tentang hukum acara. Menurut Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Keenam, tentang penyelenggaraan administrasi peradilan yang meliputi administrasi peradilan dan administrasi umum menjadi satu kesatuan yang langsung di bawah koordinasi ketua Pengadilan Agama yang dikenal dengan istilah pola Bindalmin (Pembinaan dan Pengendalian Administrasi). Ketujuh, perlindungan terhadap wanita, yaitu bahwa gugatan perceraian tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman tergugat, tetapi ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman isteri, yakni kediaman Penggugat dalam perkara cerai gugat atau kediaman Termohon dalam perkara cerai talak. Jurusita/Jurusita Pengganti merupakan bagian dari pelaksana tugas Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan pejabat lain di Pengadilan, karena keberadaannya diperlukan sejak belum dimulainya persidangan hingga pelaksanaan putusan Pengadilan. Pembangunan hukum tidak hanya lahir dari pembentuk Undang-Undang, namum praktik peradilan tidak kecil peranannya untuk pembangunan hukum. Bahkan, pembaharuan hukum kebanyakan lahir dan diciptakan oleh praktik peradilan. Oleh karena itulah pemahaman dan penguasaan bidang teknis peradilan sangatlah penting dikuasai oleh para pejabat peradilan, termasuk Jurusita/Jurusita Pengganti. Bagi para pejabat peradilan penguasaan hukum acara dan bidang
3

teknis peradilan merupakan pegangan pokok atau aturan main sehari-hari untuk memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara. Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kepustakaan (literatur) para pejabat peradilan, khususnya para Jurusita/Jurusita Pengganti dalam menjalankan tugas, sehingga melalui makalah ini diharapkan mereka mendapat gambaran yang singkat namum mendalam tentang bidang tugas kejurusitaan yang mesti dilaksanakannya, agar di kemudian hari lebih memahami landasan teoritis dan segi-segi praktis praktik kejurusitaan. Oleh karena itulah, dalam makalah ini bukan hanya sekedar menguraikan tentang apa tugas seorang Jurusita/Jurusita Pengganti serta dasar pengaturannya atau pasal-pasalnya, tetapi lebih menekankan pada pokok permasalahan dan penemuan hukum tentang bagaimanakah praktik kejurusitaan mesti dilaksanakan secara baik dan benar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Menyadari bahwa ilmu hukum memerlukan bahan-bahan dari praktik untuk disistimatisir dan dikaji, sehingga memungkinkan lahirnya teori-teori baru.

Sebaliknya praktik peradilan juga memerlukan dukungan ilmiah yang obyektif.

B. Kedudukan dan Tugas Jurusita/Jurusita Pengganti Pada Pengadilan Agama Kedudukan Jurusita/Jurusita Pengganti termuat dalam Pasal 45 Undangundang 48 Tahun 2009 perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa, " Selain hakim, pada Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dapat diangkat panitera, sekretaris, dan/atau jurusita. Kemudian pada Pasal 47 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman lebih detail lagi dijelaskan tentang kedudukan Jurusita yaitu, Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian panitera, sekretaris, dan jurusita serta tugas dan fungsinya diatur dalam undang-undang. Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan (lihat Pasal 54 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009).

Kedudukan Jurusita pada Pengadilan Agama diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada Pasal 38 yang berbunyi : "Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Jurusita dan Jurusita Pengganti." Lebih lanjut dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa, 1. Jurusita Pengadilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan; 2. Jurusita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan; Dalam Pasal 103 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 10, 13 dan 16 KMA/004/SK/11/92, tercantum bahwa tugas Jurusita adalah sebagai berikut : 1. Jurusita bertugas : a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang; b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan

pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang; c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan; d. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Jurusita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan. Sebelum adanya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 untuk

menjalankan paksa putusan (eksekusi) oleh Jurusita, termasuk sita jaminan (conservatoir beslag) atau sita untuk mendapatkan kembali barangnya (revindicatoir-beslag) masih harus meminta bantuan kepada badan Peradilan umum (fiat eksekusi). Namun dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 setiap putusan Pengadilan Agama tidak perlu lagi meminta bantuan atau pengukuhan oleh Peradilan Umum melainkan dapat dilaksanakan langsung oleh Pengadilan Agama, termasuk dalam perihal Jurusita.
5

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam putusan, yaitu putusan akhir (eindvonnis) dan putusan sela (tussenvonnis). Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata yang diperiksa oleh hakim, sedangkan putusan sela adalah yang diadakan sebelum hakim memutuskan pokok perkaranya, yaitu untuk memungkinkan atau mempermudah melanjutkan pemeriksaan perkara. Dalam putusan sela ada dua jenis putusan yaitu putusan praeparatoir, yaitu Putusan yang tidak mempengaruhi akan bunyi putusan akhir, dan putusan interlocutoir yaitu putusan yang dapat mempengaruhi bunyi putusan akhir. Sedangkan putusan hakim menurut sifatnya dikenal tiga macam putusan, yaitu : 1. Putusan declaratoir, yaitu putusan yang bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya, bahwa A adalah anak angkat yang sah dari X dan Y, atau bahwa A, B, dan C adalah ahli waris dari almarhum X. 2. Putusan constitutif, yaitu putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Contohnya, adalah putusan perceraian, putusan yang menyatakan seorang jatuh pailit. 3. Putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi penghukuman. Misalnya, di mana pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan rumahnya, membayar utang. Pada umumnya dalam suatu putusan Hakim memuat beberapa macam bentuk putusan, atau dengan lain perkataan merupakan penggabungan dari putusan declaratoir dan putusan constitutif atau penggabungan antara putusan declaratoir dengan putusan condemnatoir dan sebagainya. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/055/SK/X/1996 tentang Tugas dan Tanggung Jawab serta Tata Kerja Jurusita pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, dalam Pasal 5 diatur Jurusita/Jurusita Pengganti mempunyai tugas untuk melakukan pemanggilan, melakukan tugas pelaksanaan putusan, membuat berita acara pelaksanaan putusan yang salinan resminya disampaikan kepada pihak-pihak yang
6

berkepentingan, melakukan penawaran pembayaran uang, serta membuat berita acara penawaran pembayaran uang dengan menyebutkan jumlah dan uraian jenis mata uang yang ditawarkan. Pemanggilan secara patut juga dirumuskan dalam Pasal 26 PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu terdapat ketentuan dalam proses pemanggilan bagi seorang Jurusita/Jurusita Pengganti, antara lain : A. Pemanggilan sebelum pemeriksaan dimulai Dalam ketentuan Pasal 145 RBg : (pasal 121 HIR.) (1) Panggilan baru dapat mulai di jalankan apabila sudah ada penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri (Hakim) tentang hari dan jam pemeriksaan

(persidangan), dalam penetapan mana sekaligus diperintahkan kepada pegawai yang ditunjuk untuk memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada hari dan jam yang telah ditentukan. Biasanya Berita Acara panggilan ini dibuat menjadi satu meskipun mungkin hari pemanggilannya tidak sama, dalam mana harus dijelaskan berbicara dengan siapa dan jika mungkin juga harus memuat tanda tangan masing-masing yang dipanggil (dengan siapa ia berbicara), tapi panggilannya terpisah juga diperbolehkan. Pasal 145 ayat (2) RBg : (pasal 121 (2) HIR) (2) Terhadap tergugat pada waktu memanggil menurut pasal 121 ayat (2) harus diserahkan satu turunan resmi dan surat gugatan asli, tindakan mana harus dinyatakan dalam surat panggilan terhadap tergugat. Apabila ada lebih dari satu tergugat, jika perlu mereka sendiri-sendiri harus diberi surat turunan surat gugat resmi. Pasal 718 ayat (1) R.Bg : (Pasal 121 (2) HIR). (3) Pada umumnya tiap-tiap panggilan, pemberitahuan dan sebagainya, pokoknya semuanya yang disebut exploit seperti diterangkan diatas harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri (yaitu penggugat maupun tergugat) ditempat kediamannya atau ditempat tinggalnya, tetapi jika tidak dapat bertemu sendiri dengan orang yang bersangkutan itu, harus disampaikan kepada
7

kepala

desanya

atau

wakilnya

yang

selanjutnya

berkewajiban

segera

memberitahu pada yang bersangkutan sendiri tentang adanya panggilan tersebut. Pasal 718 ayat(2) RBg.(pasal 390 (2) HIR : (4) Apabila yang harus dipanggil ternyata telah meninggal dunia, maka panggilan (exploit) harus disampaikan pada ahli warisnya dan jika ini tidak ada, kepada Kepala Desanya. Pasal 718 ayat (2) RBg.(pasal 390 (3) HIR) (4) Apabila yang bersangkutan tidak diketahui tempat tinggalnya maka exploit harus disampaikan kepada Bupati Kepala Daerah dimana penggugat bertempat tinggal.

B. Selama Pemeriksaan Sidang Berjalan Pasal 150 RBg.(pasal 126 HIR:) (1) Apabila pada hari pemeriksaan pertama salah satu pihak ataupun keduaduanya tidak hadir, meskipun telah ada panggilan yang sah, tapi Hakim memandang perlu untuk memanggil lagi yang tidak hadir, maka atas perintah Ketua (Hakim) Pengadilan dapat dilakukan lagi terhadap yang tidak hadir, untuk kedua kalinya. Pasal 151 RBg.(pasal 127 HIR:) (2) Apabila ada dua tergugat atau lebih dan pada sidang pertama ada salah satu tergugat tidak hadir, tanpa menyuruh Kuasa atau Wakilnya maka pemeriksaan harus ditunda dengan memanggil tergugat yang tidak hadir pada hari sidang berikutnya. Pasal 186 ayat (3) RBg.(pasal 159 ayat(3) HIR:) (3) Apabila seorang penggugat atau tergugat yang pada hari sidang pertama dan berikutnya hadir tetapi pada saat itu berhalangan hadir, maka bila pemeriksaan ditunda, yang tidak hadir harus dipanggil untuk hadir pada hari sidang berikutnya.

Pasal 165 ayat (1) RBg.(pasal 139 ayat (1) HIR;) (4) Apabila baik penggugat maupun tergugat mengajukan permohonan untuk memanggil saksi-saksinya, maka panggilannya harus dilakukan oleh seorang juru sita, yang semuanya harus dinyatakan dalam satu relaas. Pasal 165 ayat (2) RBg.(pasal 139 ayat (2) HIR:) (5) Kemungkinan selanjutnya dapat terjadi apabila bukan pihak yang bersangkutan tetapi Pengadilan sendiri memandang perlu untuk memanggil saksi. (6) Akhirnya apabila saksi yang telah dipanggil dengan sah tidak datang, hingga harus dipanggil lagi, caranya sama dengan panggilan-panggilan untuk pertama kali. Kemudian secara lebih spesifik, pada Pengadilan Agama, Jurusita/Jurusita Pengganti memiliki tugas-tugas yang lebih rinci, karena Jurusita/Jurusita Pengganti pada pelaksanaan tugasnya lebih menitikberatkan pada bidang pekerjaan teknis, tugas-tugasnya tersebut meliputi : 1. Bertanggungjawab atas sah dan patut tugas kejurusitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2. Berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam tugas Jurusita Pengganti secara vertikal dan horizontal; 3. Melaksanakan surat perintah Ketua Pengadilan untuk melaksanakan penyitaan terhadap obyek sengketa tertentu dalam perkara; 4. Betanggungjawab terhadap misi dan visi serta integritas citra pengadilan yang terkait dengan pelaksanaan tugas kejurusitaan; 5. Meneliti instrument dan PHS yang diterima terutama hari dan tanggal sidang serta alamat para pihak yang akan dipanggil; 6. Mempersiapkan blanko-blanko dan surat kejurusitaan yang akan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan; 7. Membuat surat panggilan (relaas) yang akan disampaikan kepada pihak yang bersangkutan;
9

8. Menyampaikan surat-surat kejurusitaan kepada alamat yang bersangkutan; 9. Dalam menyampaikan surat pemanggilan dengan memperhatikan alokasi waktu sidang agar klasifikasi surat menjadi patut; 10. Mengupayakan penyampaian surat kejurusitaan agar benar-benar diterima oleh pihak yang berhak atau yang berwenang sehingga klasifikasi surat menjadi sah; 11. Berusaha menyampaikan surat kejurusitaan pada saat waktu dan tempat yang tepat agar berhasil guna dan berdayaguna; 12. Membuat dan menandatangani berita acara penyitaan; 13. Menyerahkan salinan resmi berita acara penyitaan kepada pihak yang berkepentingan; 14. Menyerahkan surat-surat yang telah menjadi akta otentik kepada pihak yang berkepentingan; 15. Menyampaikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan tentang situasi di lapangan; 16. Memberikan informasi kepada pihak terkait untuk kelancaran pelaksanaan tugas. Demikian macam-macam pengaturan dan kemungkinan yang harus dilakukan selama pemeriksaan sedang berjalan dan belum selesai.

C. Memperkuat Peran Jurusita/Jurusita Pengganti Pada Pengadilan Agama Aga Kedudukan Jurusita/Jurusita Pengganti dalam struktur organisasi Peradilan Agama jelas bahwa kedudukan Jurusita/Jurusita Pengganti memiliki koordinasi dengan Panitera, dimana kedudukan tugasnya membantu Panitera, sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa, "Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Jurusita." Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka peran Jurusita/Jurusita Pengganti pada Pengadilan Agama semakin kuat dan kokoh.
10

Sebagai pejabat peradilan, keberadaannya diatur di dalam undang-undang (Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan TUN) sedangkan bekerjanya diatur dalam hukum acara (RBg /HIR). Tidak mudah menemukan Literatur, khususnya yang membahas tentang kejurusitaan, tidak banyak mendapat perhatian dari para sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang tugas hukum lainnya di Pengadilan, disamping itu bidang kejurusitaan ini kurang diajarkan secara mendalam dalam pendidikan ilmu hukum. Padahal, bidang tugas kejurusitaan merupakan hal yang sangat penting dan sangat menentukan untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara. Suatu perkara tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik dan benar menurut hukum, tanpa peran dan bantuan tugas di bidang kejurusitaan. Hakim tidak mungkin dapat menyelesaikan perkara tanpa dukungan jurusita/jurusita pengganti, sebaliknya Jurusita/Jurusita Pengganti juga tidak mungkin bertugas tanpa perintah Hakim. Keduanya dalam melaksanakan tugasnya tidak mungkin lepas sendiri-sendiri, kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain. Salah satu cara untuk memperkuat peran dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti pada Pengadilan Agama antara lain, bidang yuridis formal, bidang teknis yudisial, sarana dan prasarana. Bidang yuridis formal telah ada sejak Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan menjadi Undang-undang, secara yuridis peran dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti pada Pengadilan Agama telah mempunyai payung hukum, tinggal lagi bagaimana ia menjalankan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan ketentuan

hukum yang berlaku. Bidang teknis yudisial, peran dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti pada Pengadilan Agama juga telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan secara teknis diatur dalam HIR dan R.Bg. namun, teknis pelaksanaannya terkadang belum mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, masih banyak Jurusita/Jurusita Pengganti yang menyimpang dari hukum acara dan masih banyak pula panggilan yang disampaikan kepada para pihak tidak patut. Oleh sebab itu, untuk memperkuat
11

peran dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Agama diperlukan pembinaan tenaga teknis bidang kejurusitaan secara berkala. Kemudian dalam bidang sarana dan prasarana pada Pengadilan Agama juga sangat mempengaruhi peran dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti, untuk memperkuat tugas pokok dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti, Pengadilan Agama perlu juga menyediakan sarana dan prasarana yang cukup bagi seorang Jurusita/Jurusita Pengganti. Tidak sedikit Jurusita/Jurusita Pengganti yang

memanggil para pihak dengan menggunakan ojek karena tidak mempunyai kendaraan dinas, selain itu jarak yang jauh dan cenderung melewati pulau dan pegunungan sangat rentan dengan gangguan keamanan bagi seorang

Jurusita/Jurusita Pengganti. Sebaiknya, melihat kondisi tersebut di atas, maka kelengkapan sarana dan prasarana bagi seorang Jurusita/Jurusita Pengganti pada Pengadilan Agama adalah sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu, dipandang perlu dalam makalah ini disampaikan peran serta Jurusita/Jurusita Pengganti dalam menjalankan tugas yudisial pada Pengadilan Agama yang pengaruhnya sangat penting bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga peradilan itu sendiri. Dengan memperkuat peran dan tugas

Jurusita/Jurusita Pengganti pada Pengadilan Agama, diharapkan untuk masa mendatang Peradilan Agama benar-benar dapat mewujudkan Badan Peradilan Agama yang Agung. D. Penutup Sebagai kata penutup, lembaga Peradilan Agama hendaknya benar-benar melihat sosok Jurusita/Jurusita Pengganti sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sendiri. Aturan mainnya sudah sangat jelas, baik dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maupun berupa Peraturan Mahkamah Agung/Surat Edaran MA. Dengan eksis dan mandirinya Pengadilan Agama, maka menjadi mandiri pula bagi Pengadilan Agama untuk melaksanakan putusannya tanpa harus melakukan pengukuhan putusan kepada Pengadilan Negerii (fiat eksekusi), karena Pengadilan
12

Agama sudah memiliki Jurusita dan atau Jurusita Pengganti yang sama dan sederajat dengan Jurusita dan atau Jurusita Pengganti yang dimiliki oleh Pengadilan Negeri/umum. Untuk memperkuat peran dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti pada Pengadilan Agama, paling tidak diperlukan 3 (tiga) hal pokok antara lain, bidang yuridis formal, bidang teknis yudisial dan kelengkapan sarana dan prasarana kejurusitaan. Daftar Pustaka Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006. Abdul Gani Abdullah, Badan Hukum Syara' Kesultanan Bima 1947-1957: Sebuah Studi mengenai Peradilan, Disertasi, IAIN Syahid Jakarta,1987. Cik Hasan Bisri, Peradilan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Mulijanto, Tugas Jurusita Pengadilan Negeri Dalam Proses Perkara Perdata, Makalah Acara Sosialisasi Hukum Untuk Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri se -Kalimantan Selatan, t.th R. Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1992. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1995. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Umar, Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan (Menurut Teori dan Praktek), Garut: Al-Umaro, t.th.
13

Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adrian, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Surabaya: Bina I1mu,1980. Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan, Jakarta: Hikmah, t.th.

14

Anda mungkin juga menyukai