a. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
b. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang.
- Kejaksaaan Republik Indonesia merupakan salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman, yang harus melaksanakan penegakan hukum yang merdeka sesuai
tentang Kejaksaan RI, dan undang-undang lainnya yang khusus mengatur, baik di bidang pidana,
perdata dan tata usaha negara, di bidang ketertiban dan ketentraman umum.
- Jaksa merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kejaksaan RI, yang bertindak atas nama negara
sebagai pelindung kepentingan umum dan masyarakat dalam melaksanakan tugas dan wewenang
tersebut. Pentingnya peran jaksa dalam mengeksekusi dalam pasal 30 ayat (1) huruf b yaitu
melaksankan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Eksekusi putusan tetap dilaksankan oleh jaksa sebagimana diatur dalam ketentuan Pasal
270 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh
jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.
- Jaksa merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kejaksaan RI, yang bertindak atas nama negara
sebagai pelindung kepentingan umum dan masyarakat dalam melaksanakan tugas dan wewenang
tersebut. Pentingnya peran jaksa dalam mengeksekusi dalam pasal 30 ayat (1) huruf b yaitu
melaksankan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Eksekusi putusan tetap dilaksankan oleh jaksa sebagimana diatur dalam ketentuan Pasal
270 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh
jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.
- Pengertian Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Eksekusi putusan
pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa, setelah jaksa menerima salinan surat putusan dari
panitera.
- Dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu
dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
adalah:
a. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
b. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan
oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
c. putusan kasasi.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (eksekusi) dalam system
peradilan pidana di Indonesia merupakan bagian dari penegakan hukum pidana. Secara hukum atau
pelaksanaan hukum secara in- concreto oleh aparat-aparat pelaksanaan hukum Pidana Sebagaimana
telah diatur di dalam pasal 270 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Hal tersebut diatur juga dalam Pasal 30 ayat (3) huruf (b) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004
tentang kejaksaan republik Indonesia, Selanjutnya diatur dan ditekankan lagi pada pasal 54 ayat (1)
Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Bahwa dalam pelaksanaanya,
kejaksaan harus memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana dikatakan di dalam
undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Keadilan merupakan sesuatu yang sulit untuk didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan merupakan
unsur yang tidak dapat dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas dan kaidah yang menjamin
adanya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat
Hal itu diselaraskan dengan tujuan oleh KUHAP berdasarkan pedoman dari pelaksanaanya yaitu
untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidanknya mendekati kebenaran materil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat disinilah terjadi perbedaan fundamental antara KUHAP dan
Herziene Inlandsch Reglement.
- Bahwa dalam HIR tujuan utama ialah mencapai ketertiban dan kepastian hukum tanpa
mempersoalkan secara khusus sejauh mana yang ada dapat memberikan perlindungan atas harkat
dan martabat tersangka, tertuduh, atau terdakwa yang mana berbeda dengan KUHAP yang tujuan
utamanya untuk perlindungan atas harkat dan martabat seorang tersangka, tertuduh , dan
terdakwa.
- KUHAP mengatur mengenai eksekusi dalam Bab XIX tentang pelaksanaan putusan pengadilan
yang terdapat dalam pasal 207 – pasal 276. Kemudian mengenai waktu pelaksanaan dijelaskan di
dalam pasal 197 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Putusan dilaksanakaan dengan
- Bahwa didalam Undang-Undang ini yaitu KUHAP, putusan dilaksanakaan setelah putusan
berkekuatan hukum tetap dan jaksa telah menerima salinan putusan dari panitera sebagaimana
diamnatkan di dalam pasal 270 KUHAP.
- Kejaksaan sebenarnya sudah mengatur secara internal mengenai batas waktu pelaksanaan
eksekusi melalui peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Penaganan
Perkara Pidana Umum dalam Pasal 48 sebagai hitung-hitungan adminitrasi kejaksaan terhadap
jangka waktu pelaksanaan eksekusi.
- Surat perintah tentang pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dikeluarkan selambat-lambatnya 3(hari) sejak diterimanya putusan pengadilan tersebut dan
dalam hal putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum yang
terdakwanya ditahan, Jaksa pada hari yang sama meminta salinan atau petikan putusan
Pidana Umum, pelaksanaan putusan pengadilan secara tuntas (pidana badan, denda,
barang bukti, restitusi, dan biaya perkara selambat-lambatnya 7 hari setelah diterimanya
Dalam pelaksanaannya, terdapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht yang belum
dieksekusi oleh kejaksaan khususnya Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan yang penulis jadikan
lokasi penelitian dalam usulan Proposal Tesis ini.
- Salah satu putusan yang diantaranya belum dieksekusi padahal telah berkekuatan hukum tetap
adalah Putusan Pengadilan dengan Nomor Register 70/Pid.Sus/2020/PN Lbh atas nama
Terpidana Bahri Hamisi alias Bahri yang dipidana karena terbukti secara sah meyakinkan
melakukan Tindak Pidana Pemilu pada Pemilihan Gubernur Maluku Utara.
- Jika mengacu kepada KUHAP sebagai dasar hukum eksekusi, maka titik fokus permasalahan
eksekusi tersebut terdapat pada kata “segera” di Pasal 197 ayat (3) KUHAP, dimana “segera”
disini ialah setelah jaksa mendapatkan salinan putusan sebagaimana dalam Pasal 270 KUHAP
seperti beberapa kasus yang aktual sebagaimana disampaikan di atas. Namun dalam
pelaksanaanya, eksekusi dilaksanakan secara berlarut-larut sehingga makna “segera” disini
menjadi tidak efektif, maka dirasa penting serta menarik untuk dikaji dan diteliti.
1.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka pokok permasalahan dalam penelitian
a. Bagaimanakah keabsahan penundaan eksekusi oleh Jaksa terhadap putusan hakim yang telah
eksekusi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Jaksa?
Dalam penelitian ini, peneliti akan mencari tahu mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan penundaan eksekusi oleh Jaksa terhadap
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap serta implikasi hukumnya.
penegakan hukum pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap
oleh Jaksa.
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan suatu manfaat dan kegunaan khususnya bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya, baik ditinjau dari segi teoritis maupun
1) Secara teoritis, hasil dari penulisan ini diharapkan dapat terwujud menjadi sebuah karya
tulis ilmiah yang dapat berguna untuk ditelaah dan dipelajari lebih lanjut khususnya dalam
pengkajian dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya dalam persoalan pidana.
2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan referensi dan juga sebagai bahan
kepustakaan.
komprehensif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a.
Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang
menjadi target aturan hukum secara umum itu.
b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudh dipahami oleh target
diberlakukannya aturan hukum.
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya aturan bersifat
melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang
(prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan
(mandatur).
e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang
dilanggar tersebut.
f. Berat ringannya sanksi yang diancam dalam aturan hukum harus proporsional dan
memungkinkan untuk dilaksanakan.
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan
hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan
sanksi, memang tindakan konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk
diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman).
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih
efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-
orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut.
i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal
dan profesional tidak aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum tersebut.
j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya standar
hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.
- Berbeda dengan pendapat dari C.G. Howard & R.S. Mumnres yang berpendapat bahwa
seyogyanya yang dikaji, bukan ketaatan terhadap hukum pada umumya, melainkan ketaatan
terhadap aturan hukum tertentu saja.
Achmad Ali sendiri berpendapat bahwa kajian tetap dapat dilakukan terhadap keduanya:
a. Bagaimana ketaatan terhadap hukum secara umum dan faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya;
b. Bagaimana ketaatan terhadap suatu aturan hukum tertentu dan faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya
- Achmad Ali berpendapat bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas
suatu perundang-undngan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan
fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam penjelasan tugas yang dibebankan terhadap diri
mereka maupun dalam penegakan perundang-undangan tersebut
Tinjauan Umum tentang Kewenangan Jaksa Sebagai Eksekutor
- Kejaksaan merupakan Lembaga yang merdeka dalam menajalankan tugasnya serta dalam
- kejaksaan dalam melaksanakan “fungsi, tugas dan kewenangannya terlepas dari pengaruh
- Indonesia adalah negara hukum yang menjamin keadilan dan ketertiban masyarakat sehingga
- Jaksa memiliki kedudukan sebagai aparat penegak hukum sehingga jaksa memiliki wewenang
dalam melakukan penuntutan tanpa ada campur tangan oleh pemerintah. Wewenang dang
wewenang ini memberi kedudukan bagi jaksa selaku penuntut umum sekaligus penyidik maupun
melakukan eksekusi.
Tugas dan wewenang jaksa berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
a. Melakukan penuntutan.
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
penyidik.
- Dalam KUHAP bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa, bukan Penuntut
Umum, dikarenakan fungsi dan wewenang jaksa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 6
huruf a KUHAP bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
- Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku tersebut, Jaksa diberi tugas dan wewenang
sebagai pelaksana putusan pengadilan dan penetapan hakim. Dalam melaksanakan putusan
pengadilan dan penetapan hakim, jaksa harus memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
Tujuan Pemidanaan
wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun
sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada
Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.
a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-
nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang
sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi
rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk
a. “Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai
dengan suatu pemidanaan, yaitu:
b. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,
c. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan
d. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan
kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain
sudah tidak dapat diperbaiki lagi”.
Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga.
Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus
diikuti dengan pidana – tidak boleh tidak – tanpa tawar – menawar. Seseorang dipidana karena
telah melakukan kejahatan, sehingga dengan begitu tidak dilihat akibat – akibat apapun yang
Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini,
tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatgu
c. Teori Gabungan.
Disamping teori absolute dan teori relatif tentang hukum pidana, muncul teori ketiga yang disatu
pihak mengakui adanya unsur “pembalasan”, akan tetapi dipihak lain, mengakui pula unsur
prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori gabungan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu pertama bahwa teori gabungan mengutamakan pembalasan, tetapi
tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata
tertib masyarakat, kedua bahwa teori gabungan juga mengutamakan perlindungan tata tertib
1
P.A.F. Lamintang, 1988, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hlm. 23.
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib
masyarakat;
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan taat tertib masyarakat, tetapi penderitaan
atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.
- Hakim merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari keadilan dalam proses keadilan.
1. Dalam Pasal 1 ayat (8) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Hakim
adalah pejabat peradilan negeri yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk
mengadili.
2. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (mengadili), mengadili adalah
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana
berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Pasal 1 ayat (9) KUHAP, hakim tidak boleh menolak perkara dengan
alasan tidak ada aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas.
- Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang
baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009).
- Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai,
dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera (Pasal 30 ayat (1) UU
- Hakim Ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan bahasa
Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153
KUHAP).
- Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan
bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan.
- Putusan Akhir
a. Dalam praktiknya putusan akhir lazim disebut dengan istilah putusan atau eind vonnis
dan merupakan jenis putusan bersifat meteriil. Pada hakikatnya putusan ini dapat
terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai
dengan pokok perkara selesai diperiksa serta musyawarah majelis hakim dan
pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum dan harus ditandatangani
hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan (Pasal 50 ayat (1) dan (2)
b. Pada praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa
penetapan atau putusan sela sering pula disebut dengan istilah bahasa Belanda tussen-
vonnis. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan pasal 148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP,
yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasihat
umum.