Anda di halaman 1dari 15

PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM

TETAP (INKRACHT) OLEH JAKSA


BAB I
Pendahuluan
 Indonesia adalah negara hukum, sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 yang dimana telah mengalami tiga kali amandemen.
Amandemen terakhir berbunyi "Negara Indonesia adalah negara hukum". UUD 1945 pasal
1 ayat 3 berisikan soal negara Indonesia sebagai negara hukum yang mengandung
pengertian bahwa segala tatanan dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan
bernegara didasarkan atas hukum yang berlaku. Pernyataan negara hukum ditandai dengan
adanya lembaga yudikatif yang bertugas untuk menegakkan aturan hukum. Sebagaimana
diatur dalam pasal 24 ayat 1 bahwa kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
 Mochtar Kusumaatmaja memberikan pengertian negara hukum yang berdasar hukum,
dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama dihadapan hukum.
 Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa: “Hukum merupakan suatu alat untuk
memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya
adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah
tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang
sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan
diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita
berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi
demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan
yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti
statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak
dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.”
 Adapun prinsip negara hokum menururt HM. Ali Mansyur, yaitu:
a. Supermasi Hukum;
b. Persamaan dalam Hukum;
c. Asas Legalitas;
d. Pembatasan Kekuasaan;
e. Peradilan bebas dan Tindak Memihak;
f. Peradilan Tata Usaha Negara;
g. Peradilan Tata Negara;
h. Perlindungan Hak Asasi Manusia;
i. Bersifat Demokratis;
j. Berfungsi sebagai saranan mewujudkan tujuan negara;
k. Transparansi dan Kontrol Sosial
 Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negarap Republik Indonesia, prinsip negara hukum

dinyatakan: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

a. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.

b. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam

undang-undang.

- Kejaksaaan Republik Indonesia merupakan salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan

kekuasaan kehakiman, yang harus melaksanakan penegakan hukum yang merdeka sesuai

kewenangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan RI, dan undang-undang lainnya yang khusus mengatur, baik di bidang pidana,

perdata dan tata usaha negara, di bidang ketertiban dan ketentraman umum.

- Jaksa merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kejaksaan RI, yang bertindak atas nama negara

sebagai pelindung kepentingan umum dan masyarakat dalam melaksanakan tugas dan wewenang

tersebut. Pentingnya peran jaksa dalam mengeksekusi dalam pasal 30 ayat (1) huruf b yaitu

melaksankan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Eksekusi putusan tetap dilaksankan oleh jaksa sebagimana diatur dalam ketentuan Pasal

270 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh

jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.

- Jaksa merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kejaksaan RI, yang bertindak atas nama negara

sebagai pelindung kepentingan umum dan masyarakat dalam melaksanakan tugas dan wewenang

tersebut. Pentingnya peran jaksa dalam mengeksekusi dalam pasal 30 ayat (1) huruf b yaitu

melaksankan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap. Eksekusi putusan tetap dilaksankan oleh jaksa sebagimana diatur dalam ketentuan Pasal

270 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh

jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.

- Pengertian Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Eksekusi putusan

pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa, setelah jaksa menerima salinan surat putusan dari

panitera.

- Dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan

yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu

dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
adalah:
a. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
b. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan
oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
c. putusan kasasi.
 Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (eksekusi) dalam system
peradilan pidana di Indonesia merupakan bagian dari penegakan hukum pidana. Secara hukum atau
pelaksanaan hukum secara in- concreto oleh aparat-aparat pelaksanaan hukum Pidana Sebagaimana
telah diatur di dalam pasal 270 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Hal tersebut diatur juga dalam Pasal 30 ayat (3) huruf (b) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004
tentang kejaksaan republik Indonesia, Selanjutnya diatur dan ditekankan lagi pada pasal 54 ayat (1)
Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Bahwa dalam pelaksanaanya,
kejaksaan harus memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana dikatakan di dalam
undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
 Keadilan merupakan sesuatu yang sulit untuk didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan merupakan
unsur yang tidak dapat dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas dan kaidah yang menjamin
adanya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat
 Hal itu diselaraskan dengan tujuan oleh KUHAP berdasarkan pedoman dari pelaksanaanya yaitu
untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidanknya mendekati kebenaran materil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat disinilah terjadi perbedaan fundamental antara KUHAP dan
Herziene Inlandsch Reglement.
- Bahwa dalam HIR tujuan utama ialah mencapai ketertiban dan kepastian hukum tanpa
mempersoalkan secara khusus sejauh mana yang ada dapat memberikan perlindungan atas harkat
dan martabat tersangka, tertuduh, atau terdakwa yang mana berbeda dengan KUHAP yang tujuan
utamanya untuk perlindungan atas harkat dan martabat seorang tersangka, tertuduh , dan
terdakwa.
- KUHAP mengatur mengenai eksekusi dalam Bab XIX tentang pelaksanaan putusan pengadilan

yang terdapat dalam pasal 207 – pasal 276. Kemudian mengenai waktu pelaksanaan dijelaskan di

dalam pasal 197 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Putusan dilaksanakaan dengan

segera menurut ketentuan dalam Undang – undang ini.”

- Bahwa didalam Undang-Undang ini yaitu KUHAP, putusan dilaksanakaan setelah putusan
berkekuatan hukum tetap dan jaksa telah menerima salinan putusan dari panitera sebagaimana
diamnatkan di dalam pasal 270 KUHAP.
- Kejaksaan sebenarnya sudah mengatur secara internal mengenai batas waktu pelaksanaan
eksekusi melalui peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Penaganan
Perkara Pidana Umum dalam Pasal 48 sebagai hitung-hitungan adminitrasi kejaksaan terhadap
jangka waktu pelaksanaan eksekusi.
- Surat perintah tentang pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap dikeluarkan selambat-lambatnya 3(hari) sejak diterimanya putusan pengadilan tersebut dan

dalam hal putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum yang

terdakwanya ditahan, Jaksa pada hari yang sama meminta salinan atau petikan putusan

pengadilan dan segera mengeluarkan terdakwa dari tahanan.

- Bahwa berdasarkan pasal 48 ayat (8) PER-036/A/JA/09/2011 tentang Penegakan Perkara

Pidana Umum, pelaksanaan putusan pengadilan secara tuntas (pidana badan, denda,

barang bukti, restitusi, dan biaya perkara selambat-lambatnya 7 hari setelah diterimanya

surat pelaksanaan peritntah putusan pengadilan berdasarkan pasal 48 ayat (2)

PER/036/A/JA/09/2011 Tentang penaganan perkara pidana umum dikeluarkan selambat-

lambatnya 3 (tiga) hari sejak diterima putusan pengadilan tersebut.

 Dalam pelaksanaannya, terdapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht yang belum
dieksekusi oleh kejaksaan khususnya Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan yang penulis jadikan
lokasi penelitian dalam usulan Proposal Tesis ini.
- Salah satu putusan yang diantaranya belum dieksekusi padahal telah berkekuatan hukum tetap
adalah Putusan Pengadilan dengan Nomor Register 70/Pid.Sus/2020/PN Lbh atas nama
Terpidana Bahri Hamisi alias Bahri yang dipidana karena terbukti secara sah meyakinkan
melakukan Tindak Pidana Pemilu pada Pemilihan Gubernur Maluku Utara.
- Jika mengacu kepada KUHAP sebagai dasar hukum eksekusi, maka titik fokus permasalahan
eksekusi tersebut terdapat pada kata “segera” di Pasal 197 ayat (3) KUHAP, dimana “segera”
disini ialah setelah jaksa mendapatkan salinan putusan sebagaimana dalam Pasal 270 KUHAP
seperti beberapa kasus yang aktual sebagaimana disampaikan di atas. Namun dalam
pelaksanaanya, eksekusi dilaksanakan secara berlarut-larut sehingga makna “segera” disini
menjadi tidak efektif, maka dirasa penting serta menarik untuk dikaji dan diteliti.
1.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka pokok permasalahan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah keabsahan penundaan eksekusi oleh Jaksa terhadap putusan hakim yang telah

berkekuatan hukum tetap serta apa implikasi hukumnya?

b. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terlaksananya penegakan hukum pelaksanaan

eksekusi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Jaksa?

1.2. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti akan mencari tahu mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan penundaan eksekusi oleh Jaksa terhadap

putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap serta implikasi hukumnya.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terlaksananya

penegakan hukum pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap

oleh Jaksa.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan suatu manfaat dan kegunaan khususnya bagi

pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya, baik ditinjau dari segi teoritis maupun

segi praktis, yaitu:

a. Manfaat Secara Teoritis

1) Secara teoritis, hasil dari penulisan ini diharapkan dapat terwujud menjadi sebuah karya

tulis ilmiah yang dapat berguna untuk ditelaah dan dipelajari lebih lanjut khususnya dalam

pengkajian dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya dalam persoalan pidana.

2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan referensi dan juga sebagai bahan

kepustakaan.

b. Manfaat Secara Praktis


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi instansi-

instansi pemerintahaan yang terkait dalam merumuskan ketentuan-ketentuan tentang hukum

acara pidana, sehingga diharapkan dapat menghasilkan peraturan-peraturan yang lebih

komprehensif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 Tinjauan Umum tentang Penegakan Hukum


- Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool of social control yaitu upaya
untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu
keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.
- Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool of social engineering yang
maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat.
- Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang
tradisional ke dalam pola pemikirn yang rasional atau modern.
- Efektivitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif.
Faktor-faktor yang mengukur ketaatan terhadap hukum secara umum antara lain:

a.
Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang
menjadi target aturan hukum secara umum itu.
b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudh dipahami oleh target
diberlakukannya aturan hukum.
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya aturan bersifat
melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang
(prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan
(mandatur).
e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang
dilanggar tersebut.
f. Berat ringannya sanksi yang diancam dalam aturan hukum harus proporsional dan
memungkinkan untuk dilaksanakan.
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan
hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan
sanksi, memang tindakan konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk
diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman).
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih
efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-
orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut.
i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal
dan profesional tidak aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum tersebut.
j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya standar
hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.
- Berbeda dengan pendapat dari C.G. Howard & R.S. Mumnres yang berpendapat bahwa
seyogyanya yang dikaji, bukan ketaatan terhadap hukum pada umumya, melainkan ketaatan
terhadap aturan hukum tertentu saja.
Achmad Ali sendiri berpendapat bahwa kajian tetap dapat dilakukan terhadap keduanya:

a. Bagaimana ketaatan terhadap hukum secara umum dan faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya;
b. Bagaimana ketaatan terhadap suatu aturan hukum tertentu dan faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya
- Achmad Ali berpendapat bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas
suatu perundang-undngan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan
fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam penjelasan tugas yang dibebankan terhadap diri
mereka maupun dalam penegakan perundang-undangan tersebut
 Tinjauan Umum tentang Kewenangan Jaksa Sebagai Eksekutor

- Kejaksaan merupakan Lembaga yang merdeka dalam menajalankan tugasnya serta dalam

melaksanakan kekuasaan di bidang penuntutan

- kejaksaan dalam melaksanakan “fungsi, tugas dan kewenangannya terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya”.

- Indonesia adalah negara hukum yang menjamin keadilan dan ketertiban masyarakat sehingga

dibutuhkan penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan semestinya.

- Jaksa memiliki kedudukan sebagai aparat penegak hukum sehingga jaksa memiliki wewenang

dalam melakukan penuntutan tanpa ada campur tangan oleh pemerintah. Wewenang dang

kedudukan jaksa adalah melakukan penuntutan, pengawasan dan penyidikan. Sehingga

wewenang ini memberi kedudukan bagi jaksa selaku penuntut umum sekaligus penyidik maupun

melakukan eksekusi.

Tugas dan wewenang jaksa berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonsia diantaranya di bidang pidana yakni:

a. Melakukan penuntutan.

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana

pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.


d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan

sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan

penyidik.

- Dalam KUHAP bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa, bukan Penuntut

Umum, dikarenakan fungsi dan wewenang jaksa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 6

huruf a KUHAP bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

- Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku tersebut, Jaksa diberi tugas dan wewenang

sebagai pelaksana putusan pengadilan dan penetapan hakim. Dalam melaksanakan putusan

pengadilan dan penetapan hakim, jaksa harus memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan

dalam bersikap dan bertindak.

 Tinjauan Umum tentang Pemidanaan


- Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi
dalam hukum pidana.
- Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil.
- J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut: “Hukum pidana materil
terdiri atas tindak pidana yang disebut berturutturut, peraturan umum yang dapat diterapkan
terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana
formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib
yang harus diperhatikan pada kesempatan itu”.
- Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana meteril dan hukum pidana formil sebagai berikut:
a. Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana,
menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang
dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas pelanggaran pidana.
b. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan
hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau
dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga
memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.
- dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi
diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil dalah aturan hukum yang mengatur cara
menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil.
- Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat
jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa
- pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai
upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap
terjadinya kejahatan serupa.
- pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai
berikut:
1. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;

2. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

3. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

 Tujuan Pemidanaan

 Di indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan.

 wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun

sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada

Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.

Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu:

a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-

nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang

sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi

(speciale preventif), atau

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar

menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.


 Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat,

rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk

menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.

 P.A.F. Lamintang menyatakan:1

a. “Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai
dengan suatu pemidanaan, yaitu:
b. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,
c. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan
d. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan
kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain
sudah tidak dapat diperbaiki lagi”.
 Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga.

a. Teori Absolut atau Mutlak (Vergeldings Theorien)

Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus

diikuti dengan pidana – tidak boleh tidak – tanpa tawar – menawar. Seseorang dipidana karena

telah melakukan kejahatan, sehingga dengan begitu tidak dilihat akibat – akibat apapun yang

mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana.

b. Teori Relatif atau Nisbi (Doel Theorien)

Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini,

tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatgu

pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri

c. Teori Gabungan.

Disamping teori absolute dan teori relatif tentang hukum pidana, muncul teori ketiga yang disatu

pihak mengakui adanya unsur “pembalasan”, akan tetapi dipihak lain, mengakui pula unsur

prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori gabungan dapat

dibedakan menjadi dua yaitu pertama bahwa teori gabungan mengutamakan pembalasan, tetapi

tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata

tertib masyarakat, kedua bahwa teori gabungan juga mengutamakan perlindungan tata tertib
1
P.A.F. Lamintang, 1988, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hlm. 23.
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada

perbuatan yang dilakukan terpidana.

 Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh

melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib

masyarakat;

2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan taat tertib masyarakat, tetapi penderitaan

atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.

 Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim

- Hakim merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari keadilan dalam proses keadilan.

- Fungsi dan Tugas Hakim

1. Dalam Pasal 1 ayat (8) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Hakim

adalah pejabat peradilan negeri yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk

mengadili.

2. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (mengadili), mengadili adalah

serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana

berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam Pasal 1 ayat (9) KUHAP, hakim tidak boleh menolak perkara dengan

alasan tidak ada aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas.

- Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam

mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang

baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009).

- Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga

sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai,
dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera (Pasal 30 ayat (1) UU

No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009).

- Hakim Ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan bahasa

Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153

KUHAP).

- Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan

bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau

pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan.

 Pengertian Putusan Hakim


- Putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan;
kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mempuni dan
faktual, serta cerminan etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.
- Putusan Pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini. Semua putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan
hukum jika diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
- Menurut Lilik Mulyadi, dengan berlandaskan pada visi teoritis dan praktik maka putusan hakim
itu merupakan:
“Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana
yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada
umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum
dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.”
 Jenis-Jenis Putusan Hakim

- Putusan Akhir

a. Dalam praktiknya putusan akhir lazim disebut dengan istilah putusan atau eind vonnis

dan merupakan jenis putusan bersifat meteriil. Pada hakikatnya putusan ini dapat

terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai
dengan pokok perkara selesai diperiksa serta musyawarah majelis hakim dan

pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum dan harus ditandatangani

hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan (Pasal 50 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009).

- Putusan yang Bukan Putusan Akhir

b. Pada praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa

penetapan atau putusan sela sering pula disebut dengan istilah bahasa Belanda tussen-

vonnis. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan pasal 148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP,

yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasihat

hukumnya mengajukan keberatan/eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut

umum.

Anda mungkin juga menyukai