PUTUSAN
Nomor 28/PUU-IX/2011
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Umur : 31 Tahun
Pekerjaan : Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang
Alamat : Jalan Abdurrahman Saleh Nomor 89, Semarang
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
2. Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK), bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang Undang
Dasar 1945 (UUD 1945).
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi bahwa hakim adalah pejabat yang
melakukan kekuasaan kehakiman (rechters als uitvoerder van rechterlijke
macht) (Pasal 31 UU 48/2009), hakim wajib menjaga kemandirian peradilan
(Pasal 33 UU 48/2009) yang secara inheren hakim juga secara individual
menyandang kemandiriannya sebagai hakim, sehingga seorang ketua
pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang menangani
perkara.
5
Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU
17/2003 tersebut, telah menimbulkan ketergantungan Mahkamah Agung
(yudikatif) pada Presiden (Pemerintah) dalam hal penetapan anggaran
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
Ketergantungan ini mengakibatkan minimnya anggaran yang disediakan
negara kepada Mahkamah Agung karena pada akhirnya yang menentukan
berapa besar anggaran yang didapatkan oleh Mahkamah Agung adalah
Pemerintah yang selanjutnya disahkan menjadi materi APBN bersama-
sama DPR. Hal ini secara langsung berdampak sistemik pula terhadap
anggaran yang diberikan kepada pengadilan-pengadilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang tempat Pemohon bertugas.
7. Bahwa selain hal tersebut di atas, walaupun saat ini sudah ada tunjangan
kinerja/remunerasi, namun demikian tunjangan tersebut tidak cukup
signifikan untuk menunjang kebutuhan hidup seorang hakim secara layak
dalam kedudukannya sebagai pejabat negara, oleh karena tunjangan
tersebut selain tidak dibayarkan tiap bulan, juga dipakai untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga misal kebutuhan pangan dan sandang bagi
sebagian hakim juga harus dipakai untuk membayar kontrak rumah, biaya
pendidikan anak, biaya listrik/air/telp, kredit kendaraan/rumah, serta biaya-
biaya lain yang harus dipersiapkan ketika harus pindah dari satu daerah ke
daerah lain.
10
10. Bahwa permasalahan yang dihadapi Mahkamah Agung saat ini adalah
terbatasnya alokasi dana untuk melaksanakan kegiatan. Usulan
perencanaan anggaran yang diajukan oleh Mahkamah Agung melalui
proses pembahasan dengan Bappenas dan Kementerian Keuangan,
acap kali tidak mendapatkan alokasi dana sebagaimana yang diajukan
dalam rencana. Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab MA sebagai lembaga penegak hukum, maka
ketersediaan alokasi dana merupakan hal yang penting. (Cetak Biru
Pembaruan Peradilan 2010-2035, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2010,
hal. 55). [buktiP-7].
11
berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak tertentu dalam hal
Organisasi, administrasi, dan finansial.
C. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Undang-Undang Keuangan Negara
Men-downgrade kedudukan Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi
negara yang sejajar dengan Presiden
6. Bahwa kedudukan Mahkamah Agung dan lembaga tinggi negara yang lain
juga diturunkan dengan adanya ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b yang
menyatakan bahwa kekuasan Presiden dalam pengelolaan keuangan
negara dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
anggaran/pengguna barang kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya. Lembaga dalam ketentuan tersebut juga meliputi lembaga
tinggi negara yang kedudukannya sederajat dengan Presiden. Pada saat
Presiden menguasakan kepada pimpinan lembaga negara, in casu
Mahkamah Agung, maka kedudukan Ketua Mahkamah Agung dan ketua
lembaga tinggi negara lain akan turun menjadi di bawah Presiden.
7. Bahwa Hubungan pengelolaan keuangan negara yang menurunkan derajat
lembaga negara di bawah Presiden tersebut nyata-nyata bertentangan
dengan prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances yang dianut
oleh UUD 1945.
Penjelasannya:
“Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam
Ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang
bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan
umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain
penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN,
penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian
negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman
pengelolaan Penerimaan Negara.
17
Pasal 1
Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2011, Menteri/Pimpinan Lembaga
menyusun RKA-KL yang dipimpinnya.
Pasal 2
1) Penyusunan RKA-KL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan
dengan menggunakan pendekatan Penganggaran Terpadu, Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah, dan Penganggaran Berbasis Kinerja.
2) Penjabaran pendekatan penyusunan RKA-KL sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
23
Pasal 3
1) Dalam menyusun RKA-KL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan
Pasal 2, Menteri/Pimpinan Lembaga memperhatikan pedoman umum
penyusunan RKA-KL serta wajib:
a. mengacu pada Surat Edaran Menteri Keuangan tentang Pagu
Sementara Tahun Anggaran 2011;
b. mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011;
c. mengacu pada Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga Tahun
2011;
d. mengacu pada Standar Biaya Tahun 2011;
e. mencantumkan target kinerja secara spesifik dan terukur;
f. mencantumkan perhitungan Prakiraan Maju untuk 2 (dua) tahun
kedepan;
g. melampirkan dokumen pendukung berupa Kerangka Acuan Kerja
(KAK)/Term of Reference (TOR) dan Rincian Anggaran Biaya (RAB);
dan
h. melampirkan Rencana Bisnis Anggaran (RBA) untuk satuan kerja
Badan Layanan Umum (BLU).
13. Bahwa di dalam Surat Edaran Nomor Se-294/Mk.02/2010 tentang Pagu
Sementara Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2011, dijelaskan bahwa
dalam rangka penyusunan RAPBN Tahun Anggaran 2011, Pemerintah
akan menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2011
kepada DPR pada awal bulan Agustus 2010. Untuk keperluan tersebut
disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Rapat Kerja antara Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah dalam
rangka Pembahasan Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan RAPBN
Tahun Anggaran 2011 pada tanggal 10-15 Juni 2010 dan Rapat
Paripurna DPR tanggal 17 Juni 2010, telah menyepakati pokok-pokok
kebijakan belanja negara sebagai bahan acuan dalam rangka
penyusunan Pagu Sementara Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran
2011.
2. Rincian Pagu Sementara Anggaran Belanja Tahun Anggaran 2011
menurut program dan sumber dana untuk masing-masing
Kementerian/Lembaga adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran I.
24
15. Bahwa selanjutnya RKA-KL yang telah disusun tersebut, dibahas bersama
antara kementerian negara/lembaga (termasuk dalam hal ini Mahkamah
Agung) dengan komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RKA-KL
yang telah disepakati dan mendapat persetujuan dari DPR disampaikan
oleh menteri/pimpinan lembaga kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur
Jenderal Anggaran paling lama 2 (dua) minggu sebelum penetapan
Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat.
Dalam hal RKA-KL yang telah disepakati dan mendapat persetujuan dari
DPR belum diterima maka Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat disusun berdasarkan RKA-KL yang disampaikan
oleh Kementerian Negara/Lembaga (termasuk dalam hal ini Mahkamah
Agung) meskipun belum mendapat persetujuan dari DPR.
16. Bahwa berkenaan dengan RKA-KL hasil pembahasan antara Kementerian
Negara/Lembaga (termasuk dalam hal ini Mahkamah Agung) dengan DPR
tersebut Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
melakukan penelaahan untuk meneliti:
a. Kesesuaian Term of Reference (TOR), Rincian Anggaran Biaya (RAB)
dan dokumen pendukung dengan RKA-KL;
b. Relevansi/kesesuaian pencantuman target kinerja dan komponen input
yang digunakan.
17. Bahwa hasil penelaahan RKA-KL menjadi dasar penyusunan satuan
anggaran K/L. Satuan anggaran K/L dimaksud dijabarkan lebih lanjut untuk
setiap satuan kerja menjadi satuan anggaran per satuan kerja (SAPSK).
Apabila terjadi perubahan RKA-KL berdasarkan hasil kesepakatan dalam
pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara antara
Pemerintah dengan DPR, dilakukan penyesuaian RKA-KL dan SAPSK pada
Satuan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (termasuk dalam hal ini
Mahkamah Agung). Selanjutnya RKA-KL yang telah ditelaah menjadi dasar
penyusunan Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja
Pemerintah Pusat yang menjadi dasar bagi penyusunan dan pengesahan
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Negara/Lembaga
(termasuk dalam hal ini Mahkamah Agung).
18. Bahwa dari seluruh rangkaian dalil-dalil di atas, dapat dipahami bahwa UU
17/2003 sebagai Undang-Undang Organik Pasal 23 UUD 1945 dan
26
Penjelasannya:
“Kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang
bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan
umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain
penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN,
penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian
negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman
pengelolaan Penerimaan Negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis
yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang
kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan
dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang Negara”.
6. Bahwa frasa “Presiden memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara.” merupakan turunan dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar” juncto Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi: ”Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”.
7. Bahwa apabila frasa “Presiden memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara”, dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya”, maka hal ini bermakna bahwa
Presiden selaku pemegang kekuasaan Pemerintahan berkewajiban
menjalankan Undang-Undang termasuk menjalankan bunyi ketentuan Pasal
81A ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, sehingga dengan
demikian Pasal 6 ayat (1) UU 17/2003 dalam hubungannya dengan Pasal
30
yang demikian, maka pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan
dengan sendirinya melanggar Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
IV. PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti
terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada para Yang Mulia Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan memberikan putusan sebagai
berikut:
DALAM POKOK PERKARA
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1) dan
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286 (selanjutnya disebut UU 17/2003) terhadap Undang–Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4286 (selanjutnya disebut UU 17/2003)
bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang frasa “selaku Kepala
Pemerintahan” dan frasa “sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan”.
3. Menyatakan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4286 (selanjutnya disebut UU 17/2003),
sepanjang frasa “selaku Kepala Pemerintahan” dan frasa “sebagai bagian
dari kekuasaan pemerintahan” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dengan segala akibat hukumnya. Sehingga bunyi Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjadi
“Presiden memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara.”
32
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
34
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-
Undang terhadap UUD 1945;
kekuasaan Presiden. Padahal sangat jelas dan nyata dari sudut sistem
ketatanegaraan maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, kedudukan
Mahkamah Agung merupakan lembaga negara yang tidak berada di bawah
Presiden (Pemerintah). Ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf b UU
17/2003 tersebut telah menimbulkan ketergantungan Mahkamah Agung (yudisiil)
kepada Presiden (Pemerintah) dalam hal penetapan anggaran Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Ketergantungan ini
mengakibatkan minimnya anggaran yang disediakan negara kepada Mahkamah
Agung karena pada akhirnya yang menentukan berapa besar anggaran yang
didapatkan oleh Mahkamah Agung adalah pemerintah yang selanjutnya bersama-
sama DPR mengesahkannya menjadi materi APBN. Hal ini secara langsung
berdampak sistemik pula terhadap anggaran yang diberikan kepada pengadilan-
pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung termasuk Pengadilan Tata
Usaha Negara Semarang tempat Pemohon bertugas. Keadaan ini menyebabkan
hak-hak konstitusional Pemohon sebagai seorang hakim tidak dapat terpenuhi
karena kurangnya sarana dan prasarana pengadilan, pembiayaan persidangan,
serta jaminan kesejahteraan. Hal demikian telah mengurangi hak konstitusional
Pemohon untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban mengadili perkara, serta
menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan. Berdasarkan uraian tersebut,
telah nyata terdapat kepentingan langsung Pemohon sebagai seorang hakim
terhadap anggaran Mahkamah Agung dalam hubungan dengan bekerjanya sistem
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 UUD 1945. Apabila
permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf b
UU 17/2003 dikabulkan, maka anggaran Mahkamah Agung tidak akan bergantung
sepenuhnya kepada Pemerintah baik dari sisi besaran maupun penggunaan tanpa
mengesampingkan aspek pertanggungjawaban. Hal itu dengan sendirinya akan
memulihkan hak konstitusional Pemohon sebagai seorang hakim untuk dapat
menjalankan tugas secara independen dan turut menjaga kemerdekaan dan
kemandirian peradilan;
Pokok Permohonan
Pendapat Mahkamah
5. Pasal 6 ayat (1) UU 17/2003 tidak konsisten atau tidak sesuai dengan Pasal
24 ayat (1) UUD 1945;
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Hamdan
Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, dan M. Akil Mochtar, masing-
masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Wiwik Budi Wasito sebagai
Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, dan
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd.
M. Akil Mochtar
PANITERA PENGGANTI,
ttd.