Anda di halaman 1dari 6

KETERANGAN TERTULIS

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

ATAS PERMOHONAN PASAL 32 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOE 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

NOMOR :

KepadaYth:

Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia

di

Jakarta

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Dr. Felly Estelita Nainggolan, S.E., M.M., Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat
berdasarkan surat Nomor : tertanggal 20 Mei 2024 karena itu sah mewakili Dewan Perwakilan
Rakyat.

Bahwa berdasarkan surat panggilan Mahkamah Konstitusi No: .. Tanggal .. untuk


menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan keterangan secara lisan
kepada Majelis Mahkamah Konstitusi atas PERMOHONAN PENGUJIAN Pasal 32 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dimohonkan oleh pemohon. Dalam perkara yang terdaftar
dalam buku register perkaran Nomor ... Semua keterangan lisan yang disampaikan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat pada sidang Mahkamah Konstitusi tanggal merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari keterangan tertulis ini. Selanjutnya perkenakan Dewan Perwakilan Rakyat
menyampaikan keterangan tertulis sebagai berikut:

I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas
mencamtumkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang tercantum di
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dan juga dijelaskan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat diberi amanat untuk membentuk Undang-Undang dalam Pasal 20
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: "Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang". Selain berfungsi membuat atau
membentuk undang- undang, Dewan Perwakilan Rakyat juga berfungsi sebagai
pengawas terhadap pelaksanaan undang-undang, sebagaimana yang tertulis dalam
Pasal 20A ayat (1) yang berbunyi, "Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan". Pasal 20A ayat (2) berisi "Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-
Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak intetrplesi, hak angket
dan hak menyatakan pendapat". Pasal 20A ayat (3) berbunyi sebagai berikut "Segala
hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap angggota
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan
usulan dan pendapat, serta hak imunitas”.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum tersebut dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi penegak hukum adalah
sangatlah penting, untuk dapat menegakkan hal tersebut diatas, maka pejabat
memerlukan dasar hukum salah satunya ialah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan amanat UUD 1945 pada Pasal 5 ayat
(1) bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maka jelas pasal tersebut menyatakan
bahwa DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif memiliki wewenang untuk ikut
serta dalam pembentukan undang- undang, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal
21 UUD 1945. Selanjutnya mengenai tata cara pembuatan undang-undang itu sendiri
diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan Undang- Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan bahwa
dalam proses pembentukan perundang-undangan meliputi kegiatan sebagai berikut:
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Dalam hal ini DPR juga mengakui bahwa Negara Indonesia memberlakukan asas
fiksi (presumtio iuresde iure) yang menyatakan "setiap orang dianggap mengetahui
adanya undag-undang yang telah diundangkan, dengan kata lain, fiksi hukum
menganggap semua orang tahu hukum". Maka dari itu pemohon tentulah dapat
mengerti kriteria untuk menjadi pemohon yang tidak bertentangan dengan hukum di
Indonesia karena semua subjek hukum dianggap telah mengerti hukum.
Berdasarkan permohonan yang dimohonkan pemohon bahwa hak konstitusional
pemohon telah dirugikan karena berlakunya norma undang-undang in litis. Pemohon
dalam pemohonannya menyebutkan bahwa dengan berlakunya Pasal 32 poin (a) yang
berbunyi “warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga
puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan.”
Bertentangan dengan poin (f) “berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai
pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi.”

II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 24 Ayat (20 UUD 1945, berbunyi:
"kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah";
2. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 24c Ayat (1) UUD 1945, berbunyi:
"Mahkamah konstitusi berwenang mengdili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untunk mengunji undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan Umum";
3. Bahwa ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
mahkamah konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Nomor 4316, selanjutnya
disebut UU 24/2003, (Bukti P-3), sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU 8/2011,(Bukti P-4), yang berbunyi:
"Mahkmah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusanya bersifat final untuk (1) menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (3) Memutus
pembubaran partai politik dan (4) memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum";
4. Bahwa penegasan serupa juga diatur dalam pasal 29 Ayat (1) huruf a Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5076)(Bukti P-5)" berbunyi: "Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945":
5. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh mahkamah konstitusi
sebagaimana diatur dalam pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa;
dalam hal ini suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia btahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
mahkamah konstitusi";
6. Bahwa sebagai penegak dan pegawai konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga
berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan yang terdapat
dalam ayat, pasal atau bagian Undang-Undang agar berkesesuain dengan nilai-
nilai konstitusi yang hidup didalam masyarakat (the living of constitusion). Tafsir
mahkamah konstitusi terhadap konstitusionalisme yang terdapat dalam ayat, pasal
atau bagian undang-undang tersebut merupakan tafsir satu satunya (the sole
interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap
dalam ayat, pasal atau bagian Undang-Undang yang memiliki makna ambigu,
tidak jelas, dan/atatu multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada
mahkamah konstitusi. Dalam sejumlah perkara pengujian Undang- Undang,
mahkamah konstitusi telah beberapa kali menyatakan sebuah undang-undang,
mahkamh konstitusi telah beberapa kali menyatakan sebuah bagian dari undang-
undang konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang
ditafsirkan sesuai dengan tafsir yang diberikan mahkamah konstitusi atau
sebaliknya, tidak konstitusional jika tidak diartikan sesuai dengan penafsiran
mahkamah konstitusi;
7. Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut diatas mahkamah konstitusi
berwenang untuk melakukan pengujian konstitusionalisme suatu undang-
undang terhadap UUD NRI 1945

III. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Juncto Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai “UNDANG-UNDANG MK”),
menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau Hak
Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang - undang;
c. Badan hukum publik atau privat, atau;
d. Lembaga negara.”
Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Bahwa lebih lanjut terhadap kedudukan Pemohon dinyatakan pula dalam Pasal 4
ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 2/
2021), yang mengatur:
a. Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah Pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakuknya undang-undang atau perppu, yaitu:
b. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
c. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
d. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
e. Lembaga negara.
3. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 006/PUU-III/2005
tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUUV/2007
tanggal 20 September 2007 serta putusan- putusan selanjutnya, Mahkamah
Konstitusi telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh undang-undang yang diuji.
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
d. spesifik (khusus) dan aktual atau setidak - tidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan terjadi. d.
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan tersebut
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan tidak lagi terjadi.
4. Bahwa hak konstitusional sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 di antaranya meliputi hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
5. Bahwa atas ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk
menguji apakah Pemohon memiliki legal standing (dikualifikasi sebagai
Pemohon) dalam permohonan pengujian undang-undang tersebut. Adapun syarat
yang pertama adalah kualifikasi bertindak sebagai pemohon sebagaimana diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Syarat kedua
adalah adanya kerugian pemohon atas terbitnya undang-undang tersebut.
6. Bahwa oleh karena itu, Pemohon menguraikan kedudukan hukum (Legal
Standing) dalam mengajukan permohonan dalam perkara a quo, sebagai berikut:
Pertama: Kualifikasi sebagai Pemohon
Bahwa kualifikasi Pemohon adalah sebagai perorangan warga negara Republik
Indonesia.
Kedua: Kerugian Konstitusional Pemohon.
Bahwa terhadap kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan
pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena
berlakunya suatu undang-undang, di mana terdapat 5 (lima) syarat sebagaimana
Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005, Perkara Nomor
011/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya yang kemudian secara jelas
dimuat dan diatur dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021 dalam pasal 4 ayat (2) yaitu
sebagai berikut:
(2) Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dianggap dirugikan oleh berlakunya undangundang atau Perppu
apabila:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang atau Perppu yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional dan
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan
pengujian; dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
kerugian Konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau
tidak akan terjadi.
7. Pemohon memiliki pandangan bahwasanya untuk menjadi anggota Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak wajib ditentukan dengan batasan usia,
dalam hal ini semakin berkembangnya zaman, dibutuhkan pemikiran-pemikiran
baru dari generasi muda. Dalam perkembangan usaha berbasis teknologi, Fintech,
pengusaha-pengusaha yang bersifat start-up sudah mulai berkembang dan berhak
untuk turut menjadi bagian dari perkembangan dan pengawasan usaha di
Indonesia.
8. Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat BUKTI P-1 yang berbunyi:
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Tindak Usaha Tidak Sehat
Yang semula berbunyi
a. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30
(tiga puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun
pada saat pengangkatan;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. jujur, adil dan berkelakuan baik;
e. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
f. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan
dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi;
g. tidak pernah dipidana;
h. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
i. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.

Diubah menjadi

Pasal 32

a. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)


tahun dan atau memiliki pengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai
pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan at setinggi-tingginya 60
(enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. jujur, adil dan berkelakuan baik;
e. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
f. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan
keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi;
g. tidak pernah dipidana;
h. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
i. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.

IV. KETERANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ATAS ARGUMEN


HUKUM PEMOHON MENGENAI HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON
MENGENAI HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON YANG DIRUGIKAN
DENGAN BERLAKUNYA PASAL 32 UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Bahwa dalam permohonan yang dimohonkan pemohon menyatakan rumusan
Pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaga Tidak Sehat merugikan hak
konstitusional Pemohon, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon merasa dirugikan akibat adanya kebijak Undang-Undang,
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyatakan: ”warga
negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)
tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat
pengangkatan.”.
b. Bahwa ketentuan pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah
merugikan hak konstitusional pemohon dimana pasal tersebut membatasi
generasi muda dalam perkembangan kemajuan usaha baik dalam pengawasan
atau check and balances-nya.
c. Bahwa dengan diberlakukannya ketentuan dalam Pasal 32 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Tidak Usaha Tidak Sehat memperlihatkan bahwa Negara tidak
mengimplementasikan apa yang telah tercantum dalam Pasal 28C ayat (2) dan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
a. Yang lebih lengkap, terperinci dan menyeluruh sehubungan dengan anggapan
DPR mengenai argumen-argumen para pemohon dalam permohonannya DPR
menyatakan tidak setuju atas argumen-argumen pemohon tersebut dengan alasan-
alasan sebagai berikut:
a. Bahwa terhadap dalil pemohon yang menyatakan sebagaimana yang
telah tercantum dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
maka haruslah ditiadakannya batasan umur yang membatasi menjadi
anggota KPPU.
b. Bahwa terhadap dalil pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat dapat menimbulkan suatu pembatasan dimana generasi muda tidak
dapat mengajukan diri untuk menjadi anggota KPPU, dalam hal ini
perkembangan kemajuan usaha dan check and balances tidak dapat
berjalan dengan tepat dan efisien.
Maka dalam hal ini, Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
bertentangan dengan konstitusi yaitu Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945.

V. PETITUM
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebud diatas, DPR memohon kepada yang terhormat
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan
memutus permohonan pengujian Pasal 32 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Usaha untuk memberikan amar
putusan sebagai berikut:
a. Menyatakan permohonan disetujui untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
permohonan tidak dapat diterima;
b. Menyatakan keterangan DPR diterima seluruhnya;
c. Menyatakan pasal 32 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Usaha bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia;

Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka kami


memohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequote bono). Atas perhatian
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kami ucapkan
terima kasih.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, DPR memohon kepada yang terhormat Ketua
Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang terhormat Ketua Majelis
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus
permohonan Pasal 32 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ;
 Menyatakan permohonan pemohon ditolak atau setidak-tidaknya permohonan
pemohon dinyatakan tidak terima;
 Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
 Menyatakan pasal 32 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek dan Persaingan Tidak Sehat bertentangan dengan UUD 1945;
 Menyatakan Pasal 32 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek dan Persaingan Tidak Sehat tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.

Jakarta, 23 Mei 2024

Dr. Felly Estelita Nainggolan, S.E.,


M.M.

Anda mungkin juga menyukai