Anda di halaman 1dari 6

I.

KETERANGAN PEMERINTAH
A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :
“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Berdasarkan pasal di atas bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia merupakan kewenangan atribusi yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang mana salah satu
kewenangannya adalah untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 98) juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70) yang menyatakan bahwa:
“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentanh hasil pemilihan umum.”
Dari pasal tersebut di atas, bahwasanya pengaturan mengenai kewenangan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terkait pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur
lebih lanjut dalam bentuk undang-undang.
Dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan harus berpedoman
pada hierarki yang telah ditentukan dalam undang-undang a quo. Hal tersebut
diperlukan agar peraturan yang lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferior). Selain itu, adanya hieraki
peraturan perundang-undangan juga berfungsi untuk menentukan suatu peraturan
perundang-undangan tersebut masuk ke dalam ranah kewenangan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia atau Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
melakukan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review).
Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2011 Nomor
82) yang menyatakan bahwa :
“(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Agung.”
Pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam melakukan pengujian
peraturan perundang-undangan dimuat dalam undang-undang a quo.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka Pemerintah menyerahkan sepenuhnya
kepada Yang Mulia Ketua atau Majelis Hakim terkait dengan kewenangan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam hal pengujian undang-undang.
Mengingat hal tersebut di atas termasuk dalam kewenangan daripada Mahkamah
Agung Republik Indonesia, selaku organ yang berwenang melakukan pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 maupun beradasarkan Pasal 9 ayat (2) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2011 Nomor
82).

B. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON


1. Kualifikasi seseorang dan/atau badan hukum yang harus dipenuhi untuk menjadi
pemohon dalam suatu perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Perubahan ke-empat) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 14) juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5266) menyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara;
Pemohon mendalilkan diri sebagai perorangan warga negara indonesia, yang
mana berkaitan dengan hal-hal tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) menyerahkan kepada Ketua dan/atau Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah
para pemohon memiliki kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan
pasal atas;
2. Bahwa dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai parameter dari parameter kerugian
konstitusional pemohon, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 telah menentukan
5 (lima) syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4316) adalah sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
c. Hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak terpenuhi oleh pemohon dalam perkara
pengujian undang-undang a quo, maka para pemohon tidak memiliki kualifikasi
kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon;

3. Bahwa berkaitan dengan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian


konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 29 huruf g Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Lembaran negara
undang-undang no 6 tahun 2014 tentang desa) yang berbunyi:
g. menjadi pengurus partai politik

Bahwa dalam hal ini pemohon memdalilkan dirinya sebagai perseorangan warga
negara Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya pasal 29
huruf g Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
karena ketentuan tersebut dinilai telah menjadi alasan pemohon untuk telah
kehilangan hak untuk kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat. Pemohon mendalilkan bahwa dengan adanya pasal tersebut telah
membuat kerugian secara konstitusional dan spesifik bagi pemohon berupa adanya
sanksi administratif dalam bentuk teguran tertulis dari bupati yang menyatakan
bahwa kepala desa telah melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal
29, terhitung dari tanggal 18 November 2018. Alasan-alasan pemohon sebagaimana
dikemukakan dalam permohonan pada dasarnya tidak dapat diterima. Karena
kerugian spesifik yang dikatakan pemohon memanglah sudah sesuai peraturan yang
berlaku. sehingga terhadap alasan pemohon seharusnya ditolak oleh Mahkamah;

4. Terhadap kerugian yang didalilkan oleh pemohon dalam permohonannya,


mendalilkan bahwa pembentukan ketentuan pasal yang diujikan telah menimbulkan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia berupa (Pasal 27 ayat (1) Jo. Pasal 28E ayat
(3) Undang – Undang Dasar 1945), Pasal 27 ayat (1) berbunyi segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pmerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sedangkan Pasal 28E
ayat (3) berbunyi setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat. Padahal pembentukan pasal yang diujikan yakni Pasal 29
huruf g UU Desa sendiri dimaksudkan untuk melindungi jabatannya sebagai kepala
desa. Pemohon dalam mendalilkan kerugiannya terhadap batu uji yakni Pasal 27
ayat (1) Jo. Pasal 28E ayat (3) tidak ada hubungannya sama sekali. Dalam pasal
yang di uji materikan tersebut pada dasarnya tidak melanggar warga negara dan
penduduk serta hak asasi manusia dalam hal ini pemohon memfokuskan hanya pada
bergabung di partai politik. Seharusnya apabila seseorang hanya ingin untuk
mendapatkan suatu kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
orang tersebut tidak harus bergabung dalam suatu partai politik. jadi, batu uji yang
diajukan pemohon tidak sesuai dan kabur.

C. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS ALASAN – ALASAN


PERMOHONAN PEMOHON

Sebelum pemerintah menyampaikan argumen atas permohonan pengujian


ketentuan Pasal 29 huruf g Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun --- Nomor ---),
terlebih dahulu disampaikan hal – hal sebagai berikut :
Bahwa dalam ketentuan pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 292)(Vide Bukti T1-) yang menyatakan bahwa :
“Kewenangan diperoleh melalui Atribusi, Delegasi, dan/atau Mandat.”
Yang kemudian dijabarkan lebih lanjut mengenai kewenangan berasal dari atribusi
pada pasal 12 ayat (1) Undang-Undang a quo yaitu :
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui
Atribusi apabila:
a. Diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan/atau undang-undang;
b. Merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan
c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal diatas dapat diketahui bahwa kewenangan
atribusi, yang mana kewenangan tersebut langsung berasal dari Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Anda mungkin juga menyukai