2006481682
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi – Paralel B
PUTUSAN
Nomor 025/PUU-IX/2021
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
putusan dalam perkara Pengujian Formil dan Materiil Pasal 221 Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa PEMOHON telah mengajukan permohonan pada 27 Oktober 2021 yang telah
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 27 Oktober 2021 berdasarkan Akta Penerimaan
Berkas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 125/PAN.MK/2021 yang telah dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 025/PUU-IX/2021 pada tanggal 29 Oktober 2021,
yang kemudian telah diperbaiki dan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 November
2021, yang pada pokoknya ialah sebagai berikut:
2. Menurut Pasal 51 Ayat (1) UU MK, ketika seorang Pemohon telah menjalani
musyawarah hukum, dua syarat harus dipenuhi untuk memeriksa apakah
penggugat mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Yang pertama
adalah bertindak sebagaimana menjadi seorang Pemohon dan yang kedua
adalah adanya hak dan/atau hak konstitusional Pemohon yang dirugikan akibat
berjalannya Perundang-Undangan. Yang pertama adalah bagaimana kualifikasi
atau kapabilitas seseorang untuk menjadi Pemohon. Kualifikasi seseorang yang
dapat dianggap sebagai Pemohon adalah ia sebagai individu Warga Negara
Indonesia (WNI). Hal ini dibuktikan dengan dilanggarnya hak konstitusional
oleh Undang-Undang Nomor 27 Republik Indonesia Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).
Yang kedua adalah kerugian konstitusional Pemohon. Mengenai
parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi memberikan definisi
serta batasan kerugian konstitusional akibat berlakunya suatu Undang-Undang
dengan tunduk pada 5 (lima) syarat yang dituangkan dalam putusan MK No.
006/PUU-III/ 2005 dan No. 011/PUU-V/2007, yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian.
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian.
Raden Rara Tarizza Andra Brameswari
2006481682
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi – Paralel B
C. POSITA
1. Kerugian Konstitusional Pemohon
Bahwa Pemohon menganggap dirinya dirugikan hak konstitusionalnya dengan
adanya UU a quo ini sehingga mengajukan permohonan pengujian formil dan
materiil. Selanjutnya dijabarkan mengenai kerugian konstitusional Pemohon
yaitu:
a. Bahwa Pemohon telah dirugikan dalam pemenuhan hak konstitusionalnya
untuk mematuhi hukum yang berlaku di dalam UU a quo dikarenakan
pada Pasal 102 Ayat (1) huruf e menyangkut wewenang DPR untuk
Raden Rara Tarizza Andra Brameswari
2006481682
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi – Paralel B
c. Jadi, jika dikaitkan dengan pasal 22D, dapat dilihat bahwa dalam UU a
quo tidak ada kepastian hukum antara kekuasaan riil yang dipegang oleh
DPD sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam pasal 102 ayat (1) )
huruf e, kewenangan DPR membatasi bahkan melemahkan Kewenangan
DPD yang seharusnya DPD sebagai lembaga legislatif, untuk ikut
berpartisipasi dalam pembahasan RUU tersebut, namun pada praktiknya
selama ini terbatas pada pengajuan RUU untuk DPR.
D. PETITUM
Mengacu pada alasan-alasan yang diberikan oleh Pemohon, jelas dalam
permohonan pengujian formil dan materiil ini terbukti bahwa UU MD3 Tahun 2009
melanggar hak konstitusional Pemohon yang hak-nya dilindungi oleh UUD 1945. Oleh
karena itu, pemohon mengajukan permohonan pengujian formil dan materiil kepada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan memutuskan
permohonan pengujian formil dan materiil tentang perubahan Undang- Undang No 27
Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), antara lain:
1. Mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Pemohon;
2. Menyatakan bahwa terdapat perubahan atas Undang- Undang No 27 Tahun
1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) tidak terdapat kekuatan hukum yang mengikat;
3. Menginstuksikan Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tentang
dikabulkannya permohonan uji formil dan materiil harus diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia selambat-lambatnya tiga puluh (30) hari
terhitung sejak putusan dikeluarkan.
Aruna sekaligus peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi. Keterangan ahli ini
kemudian disampaikan dalam rangka permohonan pengujian pada Pasal 102 ayat (1)
huruf e Undang-undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang perubahan atas Undang-undang
27 Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) terhadap
Pasal 22D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Prinsip Negara hukum (rechstaat) mengisyaratkan bahwa setiap tindakan, baik
aparatur Negara, aparatur pemerintahan pusat, aparatur pemerintahan daerah maupun
unsur warga Negara dan atau warga daerah setempat, senantiasa harus bersendikan
peraturan hukum. Apabila terdapat sebuah tindakan yang melanggar otomatis tindakan
1Bahwa
tersebut merupakan Tindakan illegal. pada sistem ketatanegaraan Indonesia
yang menganut sistem trias politika, dimana terdapat kekuasaan legislatif sebagai
pembuat aturan, eksekutif sebagai pelaksana dari aturan dan yudikatif sebagai
pengawas dalam pelaksanaan aturan. Tujuan dari sistem trias politika adalah adanya
pemisahan kekuasaan agar terciptanya mekanisme check and balance.2
Adapun dalam Lembaga legistaif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
menganut sistem dua kamar (bikameral), dimana ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang merupakan perwakilan yang dipilih oleh rakyat melalui partai dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan perwakilan yang dipilih rakyat mewakili
daerah (provinsi). Akan tetapi, konsep bikameral yang dibangun dalam sistem legislatif
di Indonesia masih belum berjalan sesuai dengan koridornya. Hal ini dikarenakan DPD
tidak diberikan kewenangan legislasi secara penuh dalam Pasal 102 ayat (1) huruf e
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang perubahan atas Undang-undang 27
Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Undang-undang a quo sangat bertentangan dengan Pasal 22D UUD 1945 yang
menjelaskan bahwa Pasal 22D telah memberikan kewenangan kepada DPD untuk dapat
1 Agus Setiyono. 2008. Pembentukan Peraturan Hukum Daerah Yang Demokratis Oleh Pemerintah
Daerah. Tesis Undip Semarang. Diakses November 2021
2 Jimly Ashiddique, 2006, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK, hlm. 63.
Raden Rara Tarizza Andra Brameswari
2006481682
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi – Paralel B
3 I Putu Hendra Wijaya, I Made Subawa, dan Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, Fungsi Legislasi DPD RI
Berdasarkan Pasal 22D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bali, Program
Kekhususan Hukum Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 3.
Raden Rara Tarizza Andra Brameswari
2006481682
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi – Paralel B
1. Bahwa berdasarkan keterangan ahli Pasal 24 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang
berbunyi “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; sehingga pemohon
telah benar dalam mengacu gugatan pada badan peradilan yang berwenang.
2. Bahwa berdasarkan keterangan ahli, berdasarkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
secara hierarkis mengatur bahwa UUD 1945 memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari undang-undang. Maka dari itu, tidak ada ketentuan dalam Undang-
Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, dan apabila dalam suatu undang-
undang terdapat ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945, kita dapat
meminta peninjauan kembali terhadap ketentuan tersebut melalui mekanisme uji
materiil. Sehingga gugatan ini merupakan bentuk uji materiil atas Undang-undang
27 Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
MD3) terhadap UUD 1945.
3. Bahwa berdasarkan keterangan ahli di persidangan Pasal Pasal 102 ayat (1) huruf
e Undang-undang 27 Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (UU MD3) kontradiktif dengan Pasal 22D Ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945. Kontradiktif tersebut disebabkan kekuasaan legislatif DPD
yang mana harus ikut berpartisipasi dalam pembahasan RUU, terutama yang
menyangkut pemerintahan daerah sendiri. Karena itu, DPD tidak boleh hanya
mengajukan RUU untuk dipertimbangkan DPR.
4. Bahwa berdasarkan keterangan ahli di persidangan menjelaskan kewenangan
Dewan Perwakilan Daerah berdasarkan Pasal 22D Ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Raden Rara Tarizza Andra Brameswari
2006481682
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi – Paralel B
3. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 Ayat (1)
huruf (a) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang No. 8
Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), bahwasanya salah satu
wewenang dari MK adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Dalam Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar,...”
Menurut Pasal 10 Ayat (1) huruf a UU MK yang menyatakan bahwa
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk : Menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ...”
4. Selain itu, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 secara hierarkis mengatur bahwa
UUD 1945 memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari undang-undang. Maka
dari itu, tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan
UUD 1945, dan apabila dalam suatu undang-undang terdapat ketentuan yang
bertentangan dengan UUD 1945, kita dapat meminta peninjauan kembali
terhadap ketentuan tersebut melalui mekanisme uji materiil.
5. Mengacu pada ketentuan Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234). Jika suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disahkan pada tahun 1945,
dapat dilakukan pengujian kembali oleh Mahkamah Konstitusi.
6. Berdasarkan ketentuan tersebut, Pemohon berkeyakinan bahwa Mahkamah
Konstitusi memiliki wewenang untuk mempertimbangkan dan memutuskan
setiap permohonan perubahan Undang-undang ini.
IV. PETITUM
Merujuk kepada pendapat di atas, Pemerintah mengajukan permohonan kepada
yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengkaji ulang lalu
memberi putusan terhadap permohonan pengujian UU MD3 terhadap UUD 1945,
yang kemudian dapat menghasilkan putusan yaitu:
1. Menyatakan bahwa Pasal 102 ayat 1 huruf e tidak bertentangan dengan Pasal
22D ayat 2 UUD 1945;
2. Menerima keterangan yang dinyatakan oleh Pemerintah secara komprehensif,
dan;
3. Menolak permohonan pengujian Pemohon terkait Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2007 tentang perubahan atas Undang Undang No. 27 Tahun 1999 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD seluruhnya, atau paling tidak dengan menyatakan
bahwa pengujian yang diajukan tersebut tidak dapat diterima.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Raden Rara Tarizza Andra Brameswari
2006481682
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi – Paralel B
KEWENANGAN MAHKAMAH
[3.1] Menimbang bahwa merujuk kepada Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, Pasal 10 ayat 1 UU
MK, Mahkamah mempunyai wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir. Putusan tersebut bersifat final yang kemudian terikat dalam kekuatan hukum.
Kewenangan yang dimiliki MK salah satunya adalah menguji Undang-Undang terhadap
UUD 1945.
[3.2] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan atas pengujian Pasal 102
ayat 1 huruf e UU MD3 yang dilihat berlawanan dengan UUD 1945, akibatnya hal itu
menjadi wewenang Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo Pemohon.
[3.3] Menimbang bahwa merujuk pada Pasal 51 ayat 1 MK, mereka yang mengangggap
hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh
pemberlakuannya suatu Undang-Undang dapat mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang yang berlaku terhadap UUD 1945, antara lain:
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang;
d) Lembaga negara.
yaitu:
1. Bahwa Pemohon berprofesi sebagai wiraswasta dan Pemohon bertindak atas nama
sendiri.
2. Pemohon menyatakan bahwa mereka sangat dirugikan dan tidak setara dengan
kewenangan DPR, dimana pasal 102 ayat 1 huruf e UU MD3 mengatur bahwa DPD
hanya berhak mengajukan RUU. Dan yang berhak memeriksa kembali adalah DPR,
sekalipun kedudukan DPR dan DPD sederajat. Terlebih menurut para Pemohon,
DPD memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan aspirasi dari rakyat.
[3.5] Menimbang bahwa merujuk kepada bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon,
Mahkamah menemukan adanya keterkaitan antara kerugian dengan kerugian yang
diderita ketika diterapkannya pasal 102 ayat 1 huruf e MD3. Dengan demikian, jika
gugatan dikuatkan oleh Mahkamah, maka kerugian konstitusional yang diderita oleh
Pemohon tidak akan terulang kembali. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan
tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa Pemohon adalah sah dan diakui memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
POKOK PERMOHONAN
Indonesia, karena hukuman masih dapat dipertanyakan jika pasal tersebut tidak
menunjukkan tujuan yang jelas.
[3.8] Bukti Pemohon dan juga seorang ahli, Prof. Jefri Ananta Ekawira, S.H.,M.H. yang
secara lisan memberikan dan menerima informasi tertulis kepada Panitera pada
audiensi publik pada 9 November 2021 dan 13 November 2021. Bukti dan keterangan
ahli ini telah diajukan untuk mendukung klaim yang diajukan oleh Pemohon.
[3.9] Bahwa DPR juga mengajukan pendapat tertulis ke pengadilan pada 9 November
2021, yang intinya menjelaskan bahwa UU MD3 tidak dibutuhkan. Sebab, menurut
DPR, tidak ada anggapan bahwa keberadaan ketentuan ini tidak mengganggu fungsi
legislasinya, karena DPD tidak berwenang membahas ketentuan itu. DPR juga menilai
keberadaan UU MD3 ini memperkuat posisi legislatif untuk benar-benar menjalankan
kekuasaannya.
PENDAPAT MAHKAMAH
[3.11.1] Menurut Mahkamah, ketentuan Undang-Undang tersebut rancu dalam arti dan
tujuannya, karena pasal 102 ayat 1 huruf e UUD 1945 tidak secara spesifik dijelaskan
siapa saja yang ikut dalam pembahasan RUU tersebut, hal ini tentu akan menggoyahkan
dan melemahkan. hak konstitusional anggota DPD, karena Undang-Undang tersebut
sebenarnya merupakan ketentuan yang berakar pada UUD 1945 yang menjelaskan
secara lebih rinci suatu hal terkait. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang MD3
akan memungkinkan kita untuk memahami hak dan kewenangan masing-masing
lembaga legislatif. Namun dalam praktiknya, pemberlakuan UU MD3 justru menjadi
bumerang. Pasal 102 ayat 1 huruf e berbunyi sebagai berikut: “Memberikan
pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun
berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program
legislasi nasional;” Membuat orang beranggapan bahwa hanya DPR yang memiliki
kewenangan untuk mempertimbangkan RUU tersebut. Jika benar demikian, tentu
bertentangan dengan konstitusi yang memberi wewenang kepada DPD untuk
mengikuti seluruh proses RUU menjadi undang-undang. Akibatnya, informasi yang
terkandung dalam pasal ini menjadi ambigu dan dapat mengakibatkan hilangnya hak
konstitusional DPD.
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh tujuh Hakim Konstitusi
yaitu Tyo Arifin selaku Ketua merangkap Anggota, Kiswanto, Bambang Sodikin, Bayu Putra,
Kartono, Didit Hardoyo, dan Pandu Winoto, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu,
tanggal tiga belas, bulan Oktober, tahun dua ribu dua puluh satu, yang diucapkan dalam Sidang
Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh delapan,
bulan Oktober, tahun dua ribu dua puluh satu, selesai diucapkan pukul 11.35 WIB, oleh
sembilan Hakim Konstitusi tujuh Hakim Konstitusi yaitu Tyo Arifin selaku Ketua merangkap
Anggota, Kiswanto, Bambang Sodikin, Bayu Putra, Kartono, Didit Hardoyo, dan Pandu
Winoto, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Rr. Widya Putri Sentosa
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili.
Raden Rara Tarizza Andra Brameswari
2006481682
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi – Paralel B
KETUA
Ttd.
Tyo Arifin
ANGGOTA - ANGGOTA
Ttd. Ttd.
Ttd. Ttd.
Ttd. Ttd.
PANITERA PENGGANTI,
Ttd.