Anda di halaman 1dari 39

HUKUM ACARA

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh:
Maria Farida Indrati
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Jakarta, 16 Oktober 2021
PASAL 24 UUD 1945
SEBELUM PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan


kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
(1) Kekuasaan Kehakiman (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan
dilakukan oleh sebuah oleh sebuah Mahkamah Agung
Mahkamah Agung dan dan badan peradilan yang berada
lain-lain badan kehakiman di bawahnya dalam lingkungan
menurut undang-undang. peradilan umum, lingkungan
(2) Susunan dan kekuasaan peradilan agama, lingkungan
badan kehakiman itu peradilan militer, lingkungan
diatur dengan undang- peradilan tata usaha negara, dan
undang. oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-
undang.
2
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
MENURUT PASAL 24C UUD 1945
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 :
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.

3
PERATURAN TENTANG
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

1. Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang


Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang, ditetapkan 27 Juni 2005.
2. Peraturan MK Nomor 9 Tahun 2020 tentang
Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang, ditetapkan 30 Desember
2020.
3. Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang
Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang, ditetapkan 14 April 2021.
Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
Pasal 2
(1) Obyek Permohonan PUU adalah undang-undang dan
Perppu.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa Permohonan pengujian formil dan/atau
pengujian materiil.
(3) Pengujian formil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah pengujian terhadap proses pembentukan
undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
(4) Pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah pengujian yang berkenaan dengan materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-
undang atau Perppu yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945.
PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Nomor 2 Tahun 2021
Pasal 2
(1) Obyek Permohonan PUU adalah undang-undang dan
Perppu.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
beriupa Permohonan pengujian formil dan/atau pengujian
materiil.
(3) Pengujian formil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-
undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang atat Perppu sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.
(4) Pngujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah pengujian yang berkenaan dengan materi muatan
dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang
atau Perppu yang dianggap bertentangan dengan UUD
PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Nomor 2 Tahun 2021

Pasal 3
Para pihak dalam perkara PUU adalah:
a. Pemohon;
b. Pemberi Keterangan; dan
c. Pihak Terkait.

-----
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
TERHADAP UUD 1945
Pasal 50*
Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk
diuji adalah undang-undang yang diundangkan
setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945

*Pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat


berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004
mengenai Pengujian UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi & UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang & Industri
terhadap UUD 1945 tanggal 13 Desember 2004.

8
LEGAL STANDING DAN POSITA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
Pasal 51 UU MK
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon
wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 9
HAK KONSTITUSIONAL
MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 menyatakan bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang


diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut
harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
PENGAJUAN PERMOHONAN

Pasal 9
(1) Pemohon dapat mengajukan Permohonan kepada
Mahkamah:
a. secara luring (offline); atau
b. secara daring (online) atau melalui media elektronik
lainnya.
(2) Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) diajukan dalam jangka waktu
paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-
undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

-----
PENGAJUAN PERMOHONAN
(1)Pengajuan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. Permohonan;
b. fotokopi identitas Pemohon;
c. fotokopi indentitas kuasa hukum dan surat kuasa; dan/atau
d. anggaran dasar atau anggaran rumah tangga (AD/ART).
(2)Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau
kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a.Nama Pemohon dan/atau kuasa hukum, pekerjaan,
kewarganegaraan, alamat rumah/kantor, dan alamat surat elektronik;
b.Uraian yang jelas mengenai:
c.Petitum, yang meamuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam
paermohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (3)

(3)dst
PENGAJUAN PERMOHONAN
1. Ditulis dalam bahasa Indonesia.
2. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya.
3. Diajukan dalam 12 rangkap.
4. Jenis perkara.
5. Sistematika:
a. Identitas dan legal standing;
b. Posita;
c. Petitum.
6. Disertai bukti pendukung.
Khusus untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilu diajukan paling
lambat 3 X 24 jam sejak KPU mengumumkan hasil pemilu.
PENDAFTARAN PERMOHONAN
1. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera.
- Belum lengkap : diberitahukan
- 7 hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi
- Lengkap
2. Registrasi sesuai perkara.
3. 7 hari kerja sejak registrasi untuk perkara.
a. Pengujian undang-undang:
- Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
- Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
b. Sengketa kewenangan lembaga negara:
- Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
c. Pembubaran partai politik:
- Salinan permohonan disampaikan kepada partai politik yang
bersangkutan.
d. Pendapat DPR:
- Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.
Khusus untuk perkara perselisihan hasil pemilu, paling lambat 3 hari kerja sejak
registrasi Salinan Permohonan disampaikan kepada KPU.
PENJADWALAN SIDANG

• Dalam 14 hari kerja setelah registrasi


ditetapkan Hari Sidang Pertama
(kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).

• Para pihak diberitahu/dipanggil.

• Diumumkan kepada masyarakat.


PEMERIKSAAN PENDAHULUAN

Dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel


Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang
Hakim Konstitusi. [Pasal 10 ayat (1) PMK No. 06/PMK/2005]
Dilakukan dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi. [Pasal 10 ayat (2)
PMK Nomor 06/PMK/2005]

1. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:


- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Kejelasan materi Permohonan.
2. Memberi nasehat
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Perbaikan materi Permohonan.
3. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
• Terbuka untuk umum.
• Memeriksa permohonan dan alat bukti.
• Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan
keterangan.
• Lembaga negara dapat diminta keterangan,
Lembaga negara dimaksud dalam jangka waktu 7 hari
wajib memberi keterangan yang diminta.
• Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
• Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan
orang lain.

Pemeriksaan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 dilakukan


dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan
Hakim. (Pasal 2 PMK Nomor 06/PMK/2005)
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
(Pasal 13 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005)

a. Pemeriksaan pokok permohonan;


b. Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
c. Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
d. Mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
e. Mendengarkan keterangan saksi;
f. Mendengarkan keterangan ahli;
g. Mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
h. Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan,
keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan
alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk;
i. Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.
POSISI PEMBENTUK UNDANG-UNDANG
• Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003:
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah
rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.

• MK tidak mengadili pembentuk UU.


• Kedudukan pembentuk UU sebagai Pihak Terkait untuk memberikan
keterangan (lisan maupun tertulis).
• Dapat diwakili oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga negara
tersebut.
Presiden dapat memberikan kuasa subsitusi kepada Menteri Hukum
dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri
yang terkait dengan pokok perkara.
DPR diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat memberi kuasa kepada
pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi
terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)

a. RPH diikuti oleh seluruh hakim konstitusi dengan kuorum minimal


tujuh orang hakim, Panitera, PP, dan petugas lain yang dibutuhkan;
b. RPH dipimpin oleh Ketua, dalam hal Ketua berhalangan RPH
dipimpin oleh Wakil Ketua, dalam hal Ketua dan Wakil berhalangan,
RPH dipimpin oleh hakim yang tertua usianya;
c. RPH bersifat tertutup;
d. Agenda RPH:
• mendengar dan membahas laporan Panel;
• membahas perkembangan Sidang Panel/Pleno;
• membahas/mendiskusikan dan mengambil putusan;
• menunjuk drafter Putusan;
• membahas drafter Putusan yang disiapkan oleh Drafter;
• lain-lain agenda baik yang terkait perkara (justisial) maupun
nonjustisial, seperti laporan Panitera, laporan Sekjen, dsb.
e. Setiap RPH dibuat catatan oleh Panitera yang dibantu PP Perkara
dalam buku catatan rapat dan/atau Berita Acara Rapat.
PIHAK TERKAIT (1)
(Pasal 14 PMK Nomor 06/PMK/2005)

1. Pihak terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung


atau tidak langsung dengan pokok permohonan.
2. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak
yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok
permohonan.
3. Dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon
dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti
yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan
dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah,
DPR, dan/atau DPD.
4. Harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui
Panitera.
5. Apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua
Mahkamah.
Apabila tidak disetujui, pemberitahuan tertulis disampaikan
kepada yang bersangkutan oleh Panitera atas perintah
Ketua Mahkamah Konstitusi.
PIHAK TERKAIT (2)
(Pasal 14 PMK Nomor 06/PMK/2005)

6. Salinan Ketetapan disampaikan kepada Pihak Terkait.


7. Pemeriksaan dilakukan dengan mendengar keterangan
yang berkaitan dengan pokok permohonan. [Pasal 23 ayat
(1) PMK Nomor 06/PMK/2005]
8. Diberikan kesempatan untuk:
a. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis;
b. mengajukan pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi;
c. mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan
dengan hal-hal yang dinilai belum terwajili dalam
keterangan ahli dan/atau saksi yang telah didengar
keterangannya dalam persidangan;
d. menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan
dan/atau tertulis.
[Pasal 23 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005]
PIHAK TERKAIT (3)
Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung:
a. Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok,
dan fungsinya perlu didengar keterangan; atau
b. Pihak yang perlu didengar keterangannya
sebagai ad informandum, yaitu pihak yang
hak dan/atau kewenangannya tidak secara
langsung terpengaruh oleh pokok permohonan
tetapi karena kepeduliannya yang tinggi
terhadap permohonan dimaksud.
[Pasal 14 ayat (4) PMK Nomor 06/PMK/2005]
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN MK
(Pasal 45 UU No. 24/2003)

1. Secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno


hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
2. Setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan
atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
3. Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi tidak
menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai
musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.
4. Dalam hal musyawarah tidak dapat dicapai mufakat bulat,
putusan diambil dengan suara terbanyak.
5. Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir
ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
PEMBUKTIAN
Pembuktian dibebankan kepada Pemohon.
(Pasal 18 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005)
Alat bukti ialah:
a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan saksi;
c. Keterangan ahli;
d. Keterangan para pihak;
e. Petunjuk; dan
f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
(Pasal 36 ayat (1) UU MK)
ISI PUTUSAN
Putusan harus memuat sekurang-kurangnya :
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pemohon;
c. ringkasan permohonon yang telah diperbaiki;
d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan;
g. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan
i. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim
Konstitusi, serta Panitera.
(Pasal 48 ayat (2) UU MK dan Pasal 33 PMK Nomor 06/PMK/2005)
PUTUSAN
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
1. Menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard)
Dalam hal Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonan
pengujian materiil dan/atau formil tidak memenuhi syarat.
2. Menyatakan permohonan ditolak
Dalam hal Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonan
pengujian materiil dan/atau formil tidak bertentangan dengan UUD 1945.
3. Menyatakan permohonan dikabulkan
a. Dalam hal Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pengujian
materiil dan/atau formil beralasan menurut hukum.
b. Dalam hal amar putusan pengujian materiil menyatakan permohonan
dikabulkan, Mahkamah menyatakan materi muatan ayat dan/atau pasal
dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. Dalam hal amar putusan pengujian formil menyatakan permohonan
dikabulkan, Mahkamah menyatakan undang-undang dimaksud
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
POSITIVE LEGISLATOR
Di dalam Term of Reference (ToR) yang diberikan oleh Panitia Pelaksana, dikutip tiga putusan
pengujian undang-undang yang memuat penambahan norma baru, yakni Putusan Nomor
46/PUU-VIII/2010, Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, dan Putusan Nomor 110-111-112-
113/PUU-VII/2009.

Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009


MK menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara
yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara sebagai berikut:
1.Selain Warga Negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, Warga Negara Indonesia yang
belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara
Indonesia yang berada di luar negeri;
2.Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga
(KK) atau nama sejenisnya;
3.Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih
berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW
atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya;
4.Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum
menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
5.Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor
dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar
Negeri setempat.
NEGATIVE LEGISLATOR
Pada kesempatan lain, MK membatasi diri untuk tidak mengambil alih peran
Pembentuk Undang-Undang dalam proses legislasi melalui penafsiran hukum dan
penafsiran konstitusi. Setidaknya hal ini terlihat dalam:
 Putusan Nomor 132/PUU-XIII/2015 (Menolak memperluas ketentuan tentang
percabulan dalam Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP), tanggal 5 Juli 2017.
 Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 (Menolak memperluas ketentuan terkait
perzinahan, pemerkosaan, dan percabulan yang terdapat dalam Pasal 284 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292dalam KUHP),
tanggal 14 Desember 2017.

MK menilai bahwa memasukkan perbuatan perzinahan antara laki-laki dewasa yang


tidak terikat pernikahan dengan perempuan dewasa yang tidak terikat pernikahan
atas dasar suka sama suka menjadi bagian Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP,
sebagaimana dimintakan oleh Pemohon, merupakan kebijakan kriminal yang
menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk dirumuskan ke dalam
Undang-Undang. Dengan menegaskan hakikat pembentukan MK sebagai negative
legislator dan sejalan dengan doktrin judicial restraint, pengadilan harus dapat
melakukan pengekangan atau pengendalian diri untuk bertindak layaknya sebuah
“miniparliament”. [Putusan Nomor 132/PUU-XIII/2015]
VARIAN PUTUSAN
Dalam perkembangannya, MK tidak saja terikat pada amar yang menyatakan
permohonan tidak dapat diterima, mengabulkan permohonan, atau menolak
permohonan. Namun, MK menciptakan pula varian putusan, antara lain:
 Konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
 Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
 Putusan Nomor 147/PUU-VII/2009
 Inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)
 Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009
 Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014
 Menunda pemberlakuan putusan
 Putusan Nomor 016/PUU-IV/2006
 Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
 Putusan yang merumuskan norma baru

Laporan Penelitian Pusat P4TIK Mahkamah Konstitusi (2013), “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)”.
Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
disampaikan kepada DPR,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden,
dan Mahkamah Agung.
31
Pasal 39 PMK Nomor
06/PMK/2005

Putusan mempunyai kekuatan


hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam Sidang Pleno
yang terbuka untuk umum.
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah
Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-
undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

33
GAMBARAN UMUM PROSES BERACARA
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Ps. 29 ayat (2), Ps. 31 ayat (2) Ps. 32 ayat (1) Ps. 32 ayat (2)

PENGAJUAN PERKARA PEMERIKSAAN BELUM LENGKAP


•DIBERITAHUKAN
•12 RANGKAP SYARAT •DILENGKAPI DLM 7
•DISERTAI BUKTI ADMINISTRASI HARI KERJA

Ps. 32 ayat (3)

REGISTRASI PEMENUHAN Ps. 32


BRPK TELAH LENGKAP KELENGKAPAN ayat (2)
DALAM 7 HARI KERJA

Ps. 34 ayat (2)

Ps. 34 PENJADWALAN
ayat (1) 14 HARI KERJA PEMBERITAHUAN KEPADA PEMOHON
SETELAH REGISTRASI
Ps. 34 ayat (2), Ps. 34 ayat (3)

PENGUMUMAN KEPADA
MASYARAKAT

Ps. 35 ayat (1)

PERMOHONAN DAPAT DI TARIK


KEMBALI SELAMA PROSES

Ps. 39 ayat (1) Ps. 39 ayat (2)

TIDAK LENGKAP/JELAS
•DIBERITAHUKAN PEMOHON MELENGKAPI
PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
•DILENGKAPI 14 HARI ATAU MEMPERBAIKI
•KELENGKAPAN
•KEJELASAN PERMOHONAN DALAM 14 HARI
TELAH LENGKAP DAN JELAS
PEMERIKSAAN PERBAIKAN
DAN KELENGKAPAN PERMOHONAN

RAPAT PLENO
TERTUTUP
LAPORAN DAN PEMBAHASAN
TINDAK LANJUT

PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
PLENO TERBUKA UMUM Ps. 13 ayat (1)
•KEWENANGAN MK PMK No. 06/PMK/2005
•KEDUDUKAN HUKUM
•POKOK PERMOHONAN
•PEMBUKTIAN
Ps. 45 ayat (5)

RAPAT PLENO
TERTUTUP
Ps. 49
PENGAMBILAN PUTUSAN

SIDANG TERBUKA UMUM PENYAMPAIAN


PENGUCAPAN SALINAN PUTUSAN
PUTUSAN KEPADA PIHAK

Ps. 28 ayat (5), Ps. 47


PERMOHONAN PENGUJIAN KEMBALI
(NEBIS IN IDEM)

Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003


Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali.

Pasal 42 PMK No. 06/PMK/2005


(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan
pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan
pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus
oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali
dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi
alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.
37
Tanggung Jawab dan Akuntabilitas

Pasal 14 UU 24/2003
Masyarakat mempunyai akses untuk
mendapatkan putusan Mahkamah
Konstitusi.

Alamat website Mahkamah Konstitusi:


www.mahkamahkonstitusi.go.id
38
SEKIAN
DAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai