Anda di halaman 1dari 9

Jakarta, 21 April 2021

Yth. Ketua Mahkamah Konstitusi


di -
Jakarta

Hal : Permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945

Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Yosha Yonanda
Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 5 April 2000
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat lengkap : Jl. Tejonoto RT04/RW05, Danukusuman, Surakarta
Selanjutnya disebut sebagai -----------------------------------------------------PEMOHON (Bukti P-1)

Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30


Tahun 2014 Tentang Adminstrasi Pemerintahan (Bukti P-2) terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Bukti P-3)

I. KEWENANGAN MAHKAMAH
1. Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan pengujian terhadap
Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan; (Bukti P-2)
2. Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) huruf (a)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Mahkamah Konstitusi (MK, bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945;

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan :


“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar,…” (Bukti P-3)

1
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan :

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk, :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,…” (Bukti P-4)

3. Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan, mengatur bahwa secara hierarki kedudukan UUD
1945 lebih tinggi dari undang-undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan undang-
undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam
undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat
dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang; (Bukti P-5)
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa
dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini;

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa :
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Selanjutnya penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan :
Yang dimaksud dengan ”hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Bukti P-4)
2. Bahwa Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud
Pasal 52 ayat (1) huruf a UU MK yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan
dengan berlakunya Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan; (Bukti P-2)
3. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 tanggal 31 Mei 2005 (Bukti P-6) dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20
September 2007 (Bukti P-7) dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa

2
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu :
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan demikian maka ada 5 (lima) syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Syarat pertama, Pemohon
merupakan Warga Negara Indonesia, untuk bertindak sebagai Pemohon sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua dengan berlakunya suatu
undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan. Syarat
ketiga, kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik. Syarat keempat kerugian
tersebut timbul akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan. Syarat kelima,
kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi apabila permohonan ini
dikabulkan. (Bukti P-4)
4. Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa Pemohon (Perseorangan Warga Negara
Indonesia memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini. (Bukti P-1)
Berdasarkan kualifikasi dan syarat di atas, maka Pemohon sebagai Warga Negara
Indonesia, benar-benar dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat
berlakunya Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan karena hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi
Pemohon.
Apabila permohonan pengujian terhadap Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dikabulkan, maka hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon tidak lagi dirugikan. Dengan demikian, syarat
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon telah sesuai dan memenuhi ketentuan
yang berlaku.

3
III. ALASAN PERMOHONAN
1. Bahwa Pemohon mengajukan permohonan konstitusional Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Bukti P-2)
yang menyatakan “Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan Wewenang.” Dasar konstitusional yang digunakan ketentuan
materi : Ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD RI 1945 yang menyatakan ”Setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya” dan Ketentuan Pasal 28D
ayat (1) UUD RI 1945 (Bukti P-3) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum”. Bahwa Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 Tentang Administrasi Pemerintahan telah melanggar hak konstitusional
Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia karena tidak menjamin hak kepastian
hukum yang adil.
2. Bahwa permohonan a quo adalah permohonan materil yang sesuai dengan
Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi/PMK6/2005 Tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (Bukti P-8) yang
menyatakan : ”Pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan
dengan materi undang-undang dengan materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau
bagian dari undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD RI 1945”.
3. Bahwa Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Lembar
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 60 selanjutnya disebut sebagai
Undang-Undang MK (Bukti P-9), menyatakan :
a. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-
undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jikan
materi muatan dalam UUD RI 1945 yang dijadikan dasar pengujian
berbeda. sehingga dari pasal tersebut permohonan yang diajukan
sebelumnya oleh Pemohon selain Pemohon dalam permohonan ini;

IV. POKOK-POKOK PERMOHONAN

4
1. Bahwa menurut Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945, ”Negara Indonesia merupakan negara
hukum”; (Bukti P-3)
2. Bahwa menurut Aristoteles negara haruslah berdiri di atas hukum yang menjamin
keadilan kepada warganegaranya;
3. Bahwa menurut Gustav Radburch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas,
yaitu sebagai berikut : a) Asas kepastian hukum (rechtmatigheid); b) Asas keadilan
hukum (gerectigheit); c) Asas kemanfaatan huukum (zwech matigheid atau
doelmatigheid atau utily)
4. Bahwa hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif bukan
sosiologis;
5. Bahwa kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara nyata dan berisi ketentuan yang jelas dan logis;
6. Bahwa pengertian dari jelas adalah tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir);
7. Bahwa pengetian dari logis adalah hukum tersebut menjadi suatu rangkaian di dalam
sistem norma hukum sehingga tidak berbenturan dengan peraturan lain dan
menimbulkan konflik norma;
8. Bahwa kepastian hukum merupakan hak setiap Warga Negara Indonesia yang dijamin
oleh UUD RI 1945;
9. Bahwa pada Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan asas kepastian hukum;
10. Bahwa Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia secara konstitusional telah dirugikan
pemenuhan Hak Konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum;
11. Bahwa Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia secara konstitusional telah dirugikan
pemenuhan Hak Konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi dan menaati hukum yang
dipositifkan di dalam Undang-Undang a quo, oleh karena :
Pasal 20 ayat (6) yang menyatakan :
“Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan Wewenang.” (Bukti P-2)

Pasal 20 ayat (2) huruf c yang menyatakan :


”Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
....

5
c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan
negara;” (Bukti P-2)
Dapat disimpulkan pada Pasal 20 ayat (6) bahwa Pejabat Pemerintahan karena unsur
penyalahgunaan wewenang sehingga terjadi kesalahan administrasi yang menimbulkan
kerugian negara diberi sanksi untuk mengembalikan kerugian negara tersebut.

Bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan tidak


menjelaskan definisi, pengertian, maupun konsep penyalahgunaan wewenang;

Bahwa pada Pasal 17 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan hanya mengatur


tentang larangan penyalahgunaan wewenang dan tiga spesies larangan
penyalahgunaan wewenang, yang meliputi larangan melampaui wewenang, larangan
mencampuradukkan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang, yang
secara konseptual dan teoritis menurut ahli Hukum Administrasi Negara dan praktisi
Hukum Administrasi Negara (hakim PTUN) tidak tepat dan cenderung menyesatkan;
(Bukti P-2)

Pada frasa ”unsur penyalahgunaan” dan ”yang menimbulkan kerugian negara”


terkandung juga di pengertian korupsi menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara….” (Bukti P-10)

Berdasarkan alasan-alasan di atas maka Pasal 20 secara teoritis dan praktis merupakan
konsep yang sama dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Berdasarkan alasan-alasan di atas maka Pasal 20 ayat (6) bertentangan dengan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang menyatakan:
”Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3.” (Bukti P-10)

6
Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah” (Bukti P-10)

Kemudian sanksi yang diberikan berdasarkan Pasal 20 ayat (6) dapat dikualifikasikan
sebagai sanksi administrasi ringan padahal frasa “penyalahgunaan wewenang” menurut
PP Nomor 48 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Kepada
Pejabat Pemerintah dikategorikan sanksi administrasi berat. Sanksi administrasi berat
dapat berupa :
a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya;
b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya;
c. pemberhentian tetap pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak
keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa; atau
d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya serta dipublikasikan di media massa. (Bukti P-11)

Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas maka di dalam Pasal 20 Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2014 terdapat tumpang tindih dan saling bertentangan seperti yang
sudah dijelaskan di atas sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum yang dijamin
oleh Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945 yang menyatakan :
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” (Bukti P-3)
12. Bahwa sebagai contoh kasus pada Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
7/Pid.Pra/2020/PN.Mdn (Bukti P-12), pada putusan tersebut para pemohon ditetapkan
sebagai tersangka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2

7
ayat (1) Subs. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 dan Pasal 64 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Para pemohon, yang bekerja di Pemerintah Kabupaten Labusel,
mengajukan permohonan agar penetapannya sebagai tersangka tidak beralasan
menurut hukum karena penerimaan dana bagi hasil pemungutan pajak bumi dan
bangunan memiliki payung hukum. Bahwa berdasarkan keterangan ahli menyatakan
proses kejadian perkara ini merupakan ranah hukum administrasi sehingga hukum
pidana adalah jalah terakhir yang harus ditempuh.
13. Bahwa berdasarkan contoh kasus di atas terjadi kerancuan antara putusan pengadilan
negeri yang memberikan hukuman pidana dan keterangan ahli yang menyatakan bahwa
tindakan tersebut merupakan ranah hukum administrasi sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan;
14. Bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti
surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-12, sebagai berikut :

No Bukti Nama Bukti

1. P-1 Identitas Pemohon

2. P-2 Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang


Administrasi Pemerintahan

3. P-3 UUD RI 1945

4. P-4 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

5. P-5 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan

6. P-6 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005

7. P-7 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September


2007

8. P-8 Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi/PMK6/2005


Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang

9. P-9 Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

8
Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 60

10. P-10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi

11. P-11 PP Nomor 48 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administrasi Kepada Pejabat Pemerintah

12. P-12 Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 7/Pid.Pra/2020/PN.Mdn

V. PETITUM
Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, maka
Pemohon memohonkan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Materiil sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
2. Mengabulkan permohonan pengujian materiil Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang diajukan oleh
Pemohon;
3. Menyatakan bahwa Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945;
4. Menyatakan menerima dan mengabulkan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor
2014 dikenakan sanksi administrasi berat dan dapat dikenakan sanksi pidana
sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;

Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).
Hormat saya
Pemohon

(Yosha Yonanda)

Anda mungkin juga menyukai