NDRIANI
NIM : 1103620039
KELAS : MANAJEMEN PENDIDIKAN 2020 C
DOSEN : PROF. Dr. SARKADI,M.Si
MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN
Kepada Yth.
Ketua Mahkamah Konstitusi RI
Jalan Medan Merdeka Barat No.6
Di Jakarta Pusat
1. Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang
berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya
disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan
Ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.
2. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan
pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal
24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar…”
3. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
Hak untuk memajukan diri dalam melakukan usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan, memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas kekeluargaan,
hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan layak berdasarkan Pasal 28C Ayat
(2) UUD NRI 1945 yang berbunyi:
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Tentu nya hal ini sudah menyangkal hak pekerja dimana mereka seharusnya bekerja
sesuai dengan bidang mereka saat pertama diterima di sebuah tempat bekerja tersebut,
jika ingin dialihkerjakan atau diganti penugasan harus terdapat pelatihan terlebih
dahulu.
3. Selain itu masyarakat tingkat ekonomi kebawah yang rata-rata menjadi buruh
tenaga kerja akan semakin tertindas jika tidak ada batasan pekerjaan, namun itu
semua juga bisa disesuailkan dengan upah mereka apabila dinaikan dan harus masih
dalam konteks urusan didalam perusahaan, namun yang tertera pada pembaharuan
Undang-undang bahwa tidak ada pembatasan kerja serta diluar produksi. Dan lagi-
lagi hal ini merugikan pekerja dan menguntungkan pengusaha, jika seperti ini maka
satu pekerja bisa melakukan berbagai pekerjaan dengan upah yang sama.
4. Uang pesangon yang dihapuskan juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak
pekerja, karena pesangon itu layaknya seperti ucapan terimakasih dari perusahaan
terhadap pekerja, pekerja jugalah manusia yang sama-sama memiliki hak
mendapapatkan keadilan yang sama, dan pekerja yang sudah bekerja bertahun-tahun,
menuai banyak keuntungan bagi perusahaan maka layak mendapatkan uang pesangon
sebagai bentuk terimakasih atas pengabdiannya kepada perusahaan selama ia bekerja.
Seperti dalam Pasal 156 UU No.13 Tahun 2003 yang berisi: “pemutusan hubungan
kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
5. Kita tidak tahu alasan seseorang resingn dari pekerjaan mereka dan uang pesangon
bisa menjadi bentuk modal awal dari mereka yang sudah berhenti bekerja untuk
memulai usaha baru yang dapat menopang hidup mereka setelah berhenti dari tempat
mereka bekerja
IV. Petitum
Hormat Saya
Silvia Andriani