Sumber: www.hidupkatolik.com
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk ditandai dengan banyaknya
etnis, suku, agama, budaya, dan kebiasaan di dalamnya. Di sisi lain, masyarakat
Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural pada setiap lapisan memiliki latar
belakang budaya (cultural background) yang beragam.
Semboyan bhinneka tunggal ika menggambarkan wujud persatuan dan kesatuan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas aneka ragam
budaya, bahasa daerah, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Berdasarkan semboyan bhinneka tunggal ika, yakni hal yang berbeda-beda namun
memiliki satu tujuan yang sama, konsep pendidikan yang dibasiskan pada pengenalan
dan pemahaman akan perbedaan kebudayaan Indonesia ditawarkan oleh H.A.R Tilaar.
Prof. Dr. Henry Alexis Rudolf Tilaar, M.Sc.Ed. lahir 16 Juni 1932 di desa yang relatif
terpencil di tepi Danau Tondano, Sulawesi Utara. Beliau adalah suami dari Martha
Tilaar, seorang pengusaha terkenal yang bergerak di bidang kosmetik dan jamu
dengan brand-nya yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu Sariayu.
H.A.R Tilaar merupakan seorang pendidik, pemikir, praktisi pendidikan yang bersedia
terjun langsung untuk menyikapi kinerja pendidikan nasional. Tilaar merupakan salah
satu tokoh pemikir critical yang masih produktif hingga usia 80 tahun, tidak heran kini
menjadi aset nasional bangsa karena pemikiran-pemikiran beliau banyak dijadikan
acuan bagi para pendidik maupun pemerhati pendidikan.
Selain itu Tilaar banyak menuangkan puluhan karyanya dalam bentuk buku maupun
artikel. Atas jasa-jasanya kepada negara, pada tahun 1988 ia dianugerahi Bintang Jasa
Utama Republik Indonesia. Selama puluhan tahun gagasan pemikiran Tilaar dalam
mengembangkan dunia pendidikan Indonesia, mengantarkan dirinya mendapatkan
penghargaan bergengsi dari salah satu universitas terkemuka di Amerika Serikat.
Pada 11 September 2009, Tilaar mendapatkan penghargaan Distinguished Alumni
Award dari Indiana University School of Education. Distinguished Alumni
Award merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan setiap tahunnya oleh Indiana
University School of Education. Penghargaan tersebut diberikan pada seseorang yang
dinilai memiliki kontribusi besar bagi pengembangan dalam dunia pendidikan.
Istilah multikultural berasal dari kata “kultur”. Secara etimologis, multikulturalisme
menurut H.A.R Tilaar (2004) berakar dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme
(aliran atau paham). Multikultur merupakan kata dasar, kata dasar itu adalah kultur yang
berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan, sedangkan multi berarti banyak,
aneka, atau beragam. Diartikan, multikultur bermakna keragaman kebudayaan, aneka
kesopanan, atau banyak pemeliharaan.
Secara khusus, H.A.R. Tilaar (2000) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu
keseluruhan yang kompleks. Hal ini dimaksudkan bahwa kebudayaan merupakan suatu
kesatuan dan bukan jumlah dari bagian-bagian. Multikulturalisme merupakan suatu
paham atau situasi-kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan.
Multikulturalisme sebagai sebuah pemahaman yang menekankan pada kesenjangan
dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi
budaya yang dimiliki. Bagi H.A.R Tilaar, multikulturalisme bukan sekadar pengenalan
terhadap berbagai jenis budaya di dunia ini, tetapi juga sebagai tuntutan dari berbagai
komunitas yang memiliki budaya-budaya itu.
H.A.R. Tilaar (2004) menekankan kebutuhan model pendidikan di Indonesia dengan
memperhatikan enam poin, hal ini terangkum secara ringkas antara lain 1) Pendidikan
multikultural harus berdimensi pada right to culture dan identitas lokal di tengah-tengah
kekuatan kebudayaan global, 2) Kebudayaan Indonesia yang berarti budaya Indonesia
merupakan pandangan dunia dan bagian integral dari proses mikro budaya, 3)
Pendidikan multikulturalisme yang terstandarisasi artinya model pendidikan yang
memperkuat keberlangsungan identitas etnis tanpa menghilangkan identitas budaya
lokal yang ada, 4) Pendidikan multikultural merupakan semacam rekonstruksi sosial
artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak dalam xenofobia, fanatisme, dan
fundamentalisme, baik yang bersifat nasional maupun agama, 5) Pendidikan
multikulturalisme merupakan pedagogi pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan
pedagogi kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity), 6)
Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi masa depan Indonesia dan
etika kebangsaan.
Pendidikan merupakan sistem guna meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala
aspek kehidupan manusia. Sistem pendidikan nasional diharapkan mampu melahirkan
Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas, bermoral, dan berbudi pekerti.
Sebagaimana halnya tercantum dalam Pasal 3 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 mengenai
Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan bertujuan untuk membentuk karakter
peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan serta mengembangkan
potensi peserta didik menjadi seseorang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berilmu, berakhlak mulia, dan menjadi warga negara demokratis dan
bertanggung jawab.
Sekolah merupakan institusi yang memiliki tugas penting, bukan hanya untuk
meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi peserta didik, namun juga bertugas
dalam pembentukan karakter anak dalam kemampuan untuk bertanggung jawab
pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Suyanto (2009) bahwa individu yang berkarakter baik mampu membuat keputusan dan
siap mempertanggungjawabkan dari setiap keputusan yang dibuatnya sendiri.
Oleh sebab itu sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang
bebas (free public education), di mana pendidikan selayaknya bersifat universal, tidak
memihak (non-sectarian) dan bebas. Para pakar meyakini bahwa seseorang tidak
secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga diperlukan upaya dalam
mendidik karakter secara efektif (efective character education).
H.A.R Tilaar mengungkapkan, pendidikan multikultural mampu menjadi jembatan guna
mencapai kehidupan umat manusia di dalam era globalisasi yang penuh dengan
tantangan baru. Kaitannya dengan konsep karakter keindonesiaan, pendidikan
multikultural diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara
etnik, kultural, dan beragam artinya, menjadi makhluk yang menghargai dan memahami
perbedaan dan bangga terhadap realitas lingkungan yang majemuk (Najmina, 2018).
Melalui pendidikan multikultural Tilaar membagi pengertian multikulturalisme pada dua
tahap, yaitu pertama multikulturalisme masih bersifat tradisional artinya terbatas pada
pengakuan dan legitimasi pluralisme budaya. Lalu kedua, multikulturalisme mengalami
perkembangan berdasarkan beragam pemikiran lainnya dengan perlakuan terhadap
budaya yang berbeda-beda.
Nilai-nilai pendidikan multikultural yang perlu ditanamkan kepada anak didik bangsa
menurut perspektif H.A.R Tilaar meliputi toleransi, menghormati hak asasi manusia,
menghargai dan menerima segala perbedaan, serta memiliki akhlak mulia dan sopan
santun.
Nilai-nilai tersebut seharusnya dipelajari dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat
baik bagi pendidik maupun peserta didik, penanaman nilai-nilai perlu ditanamkan untuk
melahirkan masyarakat yang multikultural.
Keberagaman perlu ditanamkan sejak dini agar generasi muda mampu memiliki
paradigma berpikir yang lebih positif dalam memandang sesuatu yang “berbeda”
dengan dirinya. Harapannya adalah terbentuknya sikap dan perilaku moral yang
simpatik. Melintas dari pendidikan multikultural menurut perspektif H.A.R Tilaar,
diharapkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan degradasi moral bangsa dan
negara.
Hal lain juga ada dalam buku "Membenahi Pendidikan Nasional" yang
menyoroti pula permasalahan guru yang ada di Indonesia, dengan serta
merta mengkritik pemerintah agar segera mengentaskan permasalahan guru
tersebut. Selain mengkritik, Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar juga bisa
menciptakan mahakarya yang bisa menjadi landasan bagi kemajuan
pendidikan, hal itu misalnya tertera dalam buku "Pedagogik Teoretis",
"Pedagogik Kritis", "Multikulturalisme", dan banyak lagi yang lainnya. Hal lain
yang patut diteladani dari Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar adalah betapa
besar kecintaannya terhadap pendidikan Indonesia, meskipun dalam
pengamatan kritik dan gagasannya kadang tidak dihiraukan oleh pemerintah,
tetapi ia tetap menulis, ia tetap berkarya bahkan di usianya yang sudah
sangat tua. Berikut adalah ebook yang dapat memperkaya pengetahuanmu
mengenai pemikiran Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar ebook bunga rampai
Prof Tilaar.
Kini pemikiran Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar sudah tersebar di mana-mana
dan diadopsi pemerintah dan berbagai lembaga pendidikan. Artikel yang
pernah ditulis Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar jumlahnya lebih dari 200 buah.
Selain rajin menulis artikel, Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar juga sudah
menulis sejumlah buku tentang pendidikan. Hingga saat ini Prof. Henry Alexis
Rudolf Tilaar telah menulis buku pendidikan sebanyak belasan buku yang
sudah dipublikasikan.
Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar merasa tidak diakui oleh bangsanya sendiri,
namun keahliannya dalam bidang pendidikan telah mendapat pengakuan dari
dunia internasional. Penulis lebih dari 200 artikel itu, mendapatkan Certificate
of Ceremony, World Record for Achievement in Pedagogy pada tahun 2007.
Biografinya tercantum dalam ensiklopedia pendidikan (2001); Who’s Who in
The World, Millenium Edition 2000, American Biographical Institute, 1000
Great Asean, International Biographical Center, England, 2003. Who’s Who in
American Education 2006-2007. Sebelumnya telah dikemukakan bahwa Prof.
Henry Alexis Rudolf Tilaar juga adalah orang pertama dari Indonesia yang
pernah diberikan penghargaan bergengsi Distinguished Alumni Award dari
salah satu universitas terkemuka di Amerika Serikat.
Sebagai penutup dari pemikiran tokoh pendidikan Prof. HAR Tilaar, berikut
adalah video yang membahas lengkap mengenai buku Beliau yang berjudul
Bunga Rampai Pendidikan Indonesia Klik link ini.
Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. merupakan Guru Besar Ilmu Pendidikan IKIP
Jakarta/UNJ pada tahun 1989. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua
Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) selama 2 periode yaitu
tahun 1999-2009 dan 2009-2014.
Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. merupakan salah satu tokoh pendidikan yang
memperjuangkan kebijakan anggaran pendidikan yang mencapai sekurang-
kurangnya sebesar 20%. Alasan beliau memperjuangkan kebijakan anggaran
pendidikan untuk perbaikan mutu pendidikan Indonesia, namun kebijakan
anggaran pendidikan harus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan
lapangan. Sayangnya, anggaran pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan
di lapangan, hal ini dapat Anda baca pada link artikel berikut silahkan buka
link ini. Karena menurut beliau untuk mendukung pendidikan yang benar,
harus ada anggaran yang besar. Untuk menjalankan proses pendidikan,
diperlukan dukungan fasilitas seperti siswa harus diberi buku, adanya
lapangan luas untuk bisa berolahraga, lingkungan sekolah yang asri, dan
sebagainya. Hal ini didukung oleh pernyataan beliau yang tertuang dalam
artikel yang dapat dibaca pada link berikut (silahkan buka link ini). Pemerintah
diharapkan mampu berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan di tengah
masyarakat yang kurang mampu agar tercapai cita-cita nasional bangsa, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Akseslah link artikel berikut ini untuk
mengetahui mengenai keprihatinan seorang pendidik dalam sudut pandang
Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. (silahkan buka link ini).
Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. setuju dengan apa yang UNESCO perkenalkan
sebagai empat pilar belajar, yaitu: Learning to know, Learning to do, Learning
to live together, dan Learning to be. Menurut beliau penjelasan mengenai 4
pilar tersebut adalah sebagai berikut:
d. Learning to be yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar. Pendidikan yang
berlangsung selama ini pada umumnya tidak mampu membantu peserta didik
(pelajar/mahasiswa) mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan
mandiri atau manusia yang utuh karena proses pembelajaran pada berbagai
pilar tidak pernah sampai kepada tingkatan “joy of discovery”
Sumber: www.alumniunj.com
Prof. Dr. Conny R. Semiawan merupakan Guru Bangsa dan tokoh pendidik
nasional yang berasal dari FIP UNJ. Selain itu, Prof. Dr. Conny R.
Semiawan juga merupakan mantan Rektor IKIP Jakarta/UNJ Periode 1984-
1992. Pada tahun 2015 Prof. Dr. Conny R. Semiawan pernah menerima
penghargaan dari UNESCO sebagai tokoh nasional yang berjasa di bidang
pendidikan, kebudayaan, sains, dan komunikasi.
“Anak-anak kita terlalu dipaksa untuk menghafal ini dan itu. Anak disuruh
untuk belajar, belajar untuk mengejar ranking, tetapi dia kehilangan masa
bermain. Padahal bermain itu merupakan kebutuhan paling penting buat
anak”.
menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan, pendidikan usia dini muncul karena
dalam perkembangannya bersinggungan dengan ilmu lain (common
ground) yang menjadi objek penelaahan yaitu perilaku anak usia 0-8 tahun
dalam situasi pendidikan, sehingga muncul ilmu baru yang bernama
Pendidikan anak usia dini. Menurut Beliau, Anak berkembang (from
within) dan belajar (dari lingkungan). Keduanya selalu mengalami perubahan.
Tiga fase utama merupakan interaksi antara faktor
genetis (nature), lingkungan (nurture) dan individu (self generating trend).
Untuk lebih jelasnya, akseslah link berikut ini untuk mempelajari lebih lanjut
(silahkan klik link ini)
Menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan pendidikan bagi anak pada usia-usia
ini adalah belajar sambil bermain. Bagi anak, bermain adalah kegiatan yang
serius, namun mengasyikkan. Melalui bermain, semua aspek perkembangan
anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas, anak dapat
berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah
diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan anak juga dapat
mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun
mental, intelektual, dan spiritual. Akseslah link artikel berikut untuk
mengetahui segala aspek penting dalam perkembangan anak usia dini
(Silahkan klik link ini).
4. Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., (25 Agustus 1930 – 1 Juli 2016)
Sumber: unjkita.com
Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., adalah guru besar Universitas
Negeri Jakarta. Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., menjabat
sebagai Rektor IKIP Jakarta (kini menjadi UNJ) periode 1975-1980. Selain itu,
Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., juga pernah menjabat sebagai
Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dan Penasihat
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Dalam buku Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, Prof. Dr. H. Winarno
Surakhmad, M.Sc., Ed., mengatakan:
“Memang pada saat tertentu, dalam konteks tertentu, bisa muncul problem
pendidikan yang lebih dominan bersifat teknis dan di saat yang lain lebih
bersifat finansial, infrastruktural, institusional, ketenagaan, kultural atau politik.
Tetapi apakah problem yang mengemuka pada suatu saat bersifat teknis,
politis, yuridis, ekonomis atau gabungan dari semuanya, pada saat yang
sama problematik pendidikan itu juga selalu bersifat normatif, yakni terkait
dengan norma, standar atau nilai-nilai yang mendasar yang memberikan
relevansi dan makna kepada sifat problematik pendidikan yang teknis dan
pragmatis?”
Bagi Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., Keduanya tak bisa dipisah,
sebab praktik pendidikan yang didasarkan pada filosofi yang relevan
senantiasa dapat memberi pembenaran, arah, tujuan dan makna pada
seluruh spektrum kegiatan pendidikan.
Dalam istilah Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., kita butuh
manusia-manusia Indonesia yang mampu berfilosofi. Apa itu berfilosofi? Bagi
Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., secara sederhana berfilosofi
adalah kemampuan untuk bertanya. Mempertanyakan hidup untuk
menemukan kebenaran. Namun, kini akan sulit ditemui manusia Indonesia
yang mampu berfilosofi. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan,
khususnya para guru, filosofi pendidikan seringkali disimpulkan sebagai
pengetahuan yang sukar dipahami dan dalam praktik, kegunaannya pun
sangat disangsikan.
Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., menganalisis, kondisi ini tercipta
berkat beberapa hal. Pertama, ilmu filsafat yang memang sudah hadir lebih
dari 2000 tahun lalu dianggap sudah usang oleh para pemelajar. Kedua, kita
sedang hidup dalam dunia yang semakin pragmatis. Oleh karena itu,
pemeriksaan kekurangan pada kondisi pendidikan selalu mengarah pada
perangkat pengetahuan yang diberikan, yakni kurikulum bukan filosofi.
Akseslah link youtube berikut untuk mengenal filsafat yang memiliki cabang
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Silahkan klik link ini
.
Dalam arti luas, pendidikan adalah proses untuk mempengaruhi dan menguapayakan
perubahan progresif pada individu. Pendidikan dalam berbagai jenjang mengarahkan
proses pendidikan itu sendiri pada berbagai pengembangan intelektual, nilai-nilai
sosial dan moral, pengetahuan tentang fakta-fakta di bidang-bidang tertentu, dan
sebagainya. Dalam lingkungan pendidikan seperti ruang kelas, guru menggunakan
berbagai strategi dan materi didukung media dan bahan tertentu untuk mendukung
perubahan perserta didik menuju lebih baik. Hal ini biasanya dianggap sebagai proses
pembentuk, pengembang dan pendukung pengetahuan, keterampilan peserta didik.
Bahan ajar ini dimulai dengan pengenalan masing-masing teori pendidikan dan yang
diperkaya dengan sumber-sumber terlampir terkait masing-masing teori pendidikan
tersebut. Pemahaman teori pendidikan tersebut akan berdampak pada implikasi
pendidikan. Selanjutnya, analisis kasus terkait teori pendidikan tersebut dalam
prakteknya di lapangan akan menjadi ulasan tersendiri dalam memperdalam
pemahaman implikasi teori-teori pendidikan tersebut.
Analisis Kasus:
Mari ingat kembali fase-fase pendidikan yang sudah kita lewati dan coba refleksikan
proses pendidikan yang telah lewat dengan mengaitkan pada praktek pendidikan
yang merupakan implementasi pemikiran tokoh pendidikan berikut ini!
Sumber Belajar:
A. Gagne
Robert Gagne (1916–2002) adalah seorang psikolog pendidikan yang
mempelopori ilmu pendidikan pada tahun 1940-an. Bukunya yang berjudul The
Conditions of Learning, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1965,
mengidentifikasi praktik pendidikan terkait kondisi pembelajaran efektif. Teori
belajar Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara pandangan
behaviorisme dan kognitifisme yang berdasar pada teori pemerosesan
informasi (Ratumanan, 2004). Menurut Teori Gagné, proses pendidikan dilihat
sebagai sebuah upaya dan proses pengembangan kognitif yang mana
bertujuan mengubah sifat pengetahuan atau stimulasi yang dikembangkan
melalui penerimaan dan pengelolaan informasi yang mana akan menjadi
sebuah pengetahuan yang baru. Dalam implementasinya terkait
pengembangan berbagai jenis pembelajaran, Gagné (1964) mengusulkan
enam jenis pembelajaran sebagai berikut: response learning, chaining, verbal
learning (paired associates), concept learning, principle learning, problem
solving (p. 312). Pemikiran Gagné tentang jenis-jenis pengembangan
pembelajaran tergambar dari pembahasannya tentang pemecahan masalah
sebagai bentuk pembelajaran yang berdasarkan pada pemikirannya tentang
pendidikan. Pemikiran Gagné tentang jenis-jenis pengembangan pembelajaran
tergambar dari pembahasannya tentang pemecahan masalah sebagai bentuk
pembelajaran. Berikut ini, ia menunjukkan bagaimana pemecahan masalah,
sebagai bentuk pembelajaran, yang dikembangkan pada pembelajaran
mencakup:
2. Strategi kognitif
3. Informasi lisan
4. Keterampilan motorik
5. Sikap
Sumber Belajar:
Robert Gagne
B. Piaget
Jean Piaget (1896 – 1980) adalah seorang psikolog yang berfokus pada
pendidikan dan perkembangan manusia. Dia mengembangkan teori
perkembangan kognitif manusia berdasarkan minatnya pada biologi terkait
adaptasi manusia terhadap lingkungan. Teorinya bahwa kecerdasan manusia
juga merupakan mekanisme adaptif dinilai kontroversial pada eranya. Ini
menantang pendekatan psikometrik dan behavioris yang dominan terhadap
kecerdasan, yang mengukur kecerdasan (IQ) sebagai sifat yang tetap dan
diwariskan, atau mengacu pada pengkondisian eksternal (behavourisme)
sebagai sumber perubahan kognitif. Piaget lebih berpendapat bahwa manusia
adalah individu yang membangun pengetahuan secara aktif daripada hanya
sebagai penerima pengetahuan.
'formal' yang melibatkan manipulasi mental daripada fisik dari konsep dan ide.
Setiap tahap mewakili perbedaan kualitatif mendasar dalam cara memahami
dunia, memproses dan menanggapi informasi, dan mengembangkan konsep.
Tahapan tersebut secara rinci:
3. Operasional konkret (7-8 hingga 11-12 tahun): struktur kognitif telah cukup
berkembang untuk digunakan sebagai sistem logis dan digunakan di seluruh
konteks
C. Vygotsky
Lev Vygotsky menggunakan pendekatan konstruktivis sosial dalam mengembangkan
pemikirannya terkait pendidikan. Teori konstruktivis ini membahas tentang bagaimana
pengetahuan siswa terbentuk sebagai dampak dari proses pendidikan. Pengetahuan seseorang
terbentuk karena adanya interaksi antara seseorang individu dan lingkungan dan orang lain
yang secara terus-menerus melakukan eksplorasi terhadap lingkungan yang ada disekitarnya.
Teori Vygotsky lebih mengedepankan aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky,
proses pembelajaran akan terjadi jika seseorang mencoba hal baru atau mencoba untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya secara mandiri. Tetapi,
tugas-tugas tersebut tetap dalam jangkauan orang yang lebih dewasa atau lebih mampu. Ini
disebut dengan Zone of Proximal Development dan Scaffolding (Daniels, 2016). Salah satu
komponen yang paling mendasar dalam teori Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding
merupakan memberikan bantuan kepada seseorang yang dilakukan melalui tahap-tahap
pembelajaran dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan bagi seseorang
agar melanjutkan tugas-tugasnya (Anthis & Adams, 2012). Ide-ide Vygotsky serupa dalam
beberapa hal dengan ide Piaget: Keduanya percaya bahwa belajar adalah hasil dari pengalaman
langsung yang berasal dari lingkungan seseorang; keduanya menganggap bermain dan
eksplorasi sebagai kegiatan edukatif utama; dan keduanya percaya bahwa interaksi sosial
dengan orang lain, baik teman sebaya atau orang dewasa, sangat penting untuk terjadinya
pembelajaran.
Vygotsky sendiri menekankan bahwa salah satu karakteristik yang membedakan antara
manusia dan hewan adalah bahwa manusia mewarisi pengalaman sosial dan historis. Artinya,
manusia tidak harus menemukan sendiri bahwa, misalnya gurun Sahara adalah daerah yang
sangat kering, dan bahwa pada masa lalu itu belum menjadi gurun. Fakta-fakta ini dapat
dijelaskan oleh guru atau dapat dibaca dalam buku (Van der Veer, 2011). Vygotsky sendiri
memiliki konsep pendidikan Zone of Proximal Development. Seseorang pada dasarnya
memiliki perkembangan aktual yang bisa membuat seseorang menjadi lebih mandiri. Menurut
Hedegaard (2005), Tingkat perkembangan aktual mencirikan keberhasilan perkembangan
sebelumnya, hasil perkembangan di masa lampau, tetapi zona perkembangan proksimal adalah
ciri perkembangan mental masa depan. Seseorang yang memiliki IQ atau kecerdasan tinggi
umumnya cenderung kehilangan keunggulan mereka setelah beberapa tahun, mereka juga
kurang beruntung di sekolah. Berbeda dengan seseorang yang memiliki IQ atau kecerdasan
normal, mereka cenderung stabil. Ini dikarenakan individu yang cerdas tidak terstimulasi
dengan baik. Pembelajaran biasa untuk mereka tidak terlalu menantang atau terlalu mudah
karena usia mental mereka tidak seperti individu lainnya. Menurut Vygotsky (Chaiklin, 2003),
Ini merupakan situasi yang disayangkan. Dengan begitu, pembelajaran harus menawarkan
tugas-tugas yang berada di atas tingkat intelektual seseorang, tetapi tidak terlalu jauh di atas
itu. Seseorang akan cukup terstimulasi untuk mencoba masalah baru dan naik di tingkat
intelektualnya. Jarak antara tingkat kompleksitas tugas yang harus dilakukan dengan
kemampuan intelektual seseorang untuk melakukannya itulah yang dinamakan zona
perkembangan proksimal.
D. John Dewey
John Dewey adalah seorang pragmatis, progresivis, pendidik, filsuf, dan pembaharu sosial
(Gutek, 2014). Pengaruh Dewey pada pendidikan terbukti dalam teorinya tentang pembelajaran
sosial dimana dia percaya bahwa pendidikan melalui institusi sekolah harus mewakili
lingkungan sosial dan bahwa seorang peserta didik belajar paling baik ketika berada dalam
lingkungan sosial yang alami (Flinders & Thornton, 2013). Ide-idenya berdampak pada
pendidikan di sisi lain karena dia percaya bahwa semua peserta didik merupakan pembelajar
yang unik. Pendidikan merupakan upaya untuk mendukung minat siswa yang dikembangkan
melalui instruksi pendidik (Dewey, 1938). Pendidikan di sebagian besar ruang kelas saat ini
adalah apa yang Dewey gambarkan sebagai pengaturan dan implementasi kelas tradisional. Dia
percaya bahwa pengaturan kelas tradisional tidak sesuai dengan perkembangan untuk peserta
didik (Dewey, 1938). Menurut Schiro (2012), Dewey percaya bahwa pendidikan adalah "bahan
penting dalam perkembangan sosial dan moral" (hal. 174). Keyakinan dan filosofi Dewey
tentang pendidikan dan pembelajaran telah berdampak pada pendidik yang tak terhitung
jumlahnya selama bertahun-tahun dan dikembangkan di banyak teori pembelajaran seperti
pendidikan progresif, konstruktivisme, teori yang berpusat pada peserta didik, pengetahuan dan
pengalaman, yang semuanya berbeda dari apa yang Dewey gambarkan pengaturan sebagai
ruang kelas tradisional yang umum diterapkan (Dewey, 1938; Schiro, 2012). Perspektif
Teoritis Dewey (1938) menggambarkan pendidikan progresif sebagai produk ketidakpuasan
dengan pendidikan tradisional. Dewey berpikir bahwa pendidikan yang efektif datang terutama
melalui interaksi sosial dan bahwa lingkungan sekolah harus dianggap sebagai institusi sosial
(Flinders & Thornton, 2013). Dia menganggap pendidikan sebagai “proses hidup dan bukan
hanya merupakan persiapan untuk kehidupan masa depan” (Flinders & Thornton, 2013, p.35;
Gutek, 2014).
Pemikiran dan filosofis pendidikan Dewey memiliki pengaruh besar dalam dunia pendidikan,
pada kurikulum pendidikan tradisional yang menuntut peserta didik harus patuh dan tidak
memiliki kebebasan untuk mengeksplor lingkungan dan proses pendidikan yang dialami
sehingga tidak cukup memadai dalam menyelesaikan persoalan, maka Dewey menperkenalkan
sebuah metode pendidikan yang berbasis pengalaman atau yang umumnya dikenal dengan
learning by doing (Dewey, 1838; Schiro, 2012). Menurut Dewey (1838), ia percaya bahwa
sekolah harus mewakili kehidupan saat ini sebagai suatu yang nyata dan vital bagi seorang
individu seperti dengan apa yang dilakukan di lingkungan keluarga, lingkungan rumah,
maupun lingkungan bermain. Halaman dan ruangan kelas sebagai entitas sosial bagi seorang
individu untuk belajar dan memecahkan masalah bersama sebagai sebuah komunitas
merupakan implementasi pemikiran Dewey terkait konsep pendidikan. Di ruang kelas ini,
peserta didik dipandang sebagai individu yang unik dimana peserta didik dapat ditemukan
sibuk bekerja membangun pengetahuan mereka sendiri melalui pengembangan makna pribadi,
daripada mengarah kepada pengetahuan yang dipaksakan oleh pendidik melalui kegiatan yang
dilaksanakan oleh pendidik (Schiro, 2013). Peserta didik akan terlihat belajar sambil bekerja
di kelas ini dan mereka akan memecahkan masalah melalui pendekatan dan praktek
pembelajaran langsung. Ketika pendidik merencanakan pengajaran dan pembelajaran, minat
peserta didik akan dipertimbangkan dan diintegrasikan dengan pengembangan pembelajaran
proyek. Pengalaman pendidikan meliputi pertumbuhan intelektual, sosial, emosional, fisik, dan
spiritual seseorang secara keseluruhan, bukan hanya menekankan pada pertumbuhan akademik
(Schiro, 2013).
John Dewey
Play Video
E. JJ. Rousseau
Dalam tulisan Rousseau yang berjudul “emile” atau tentang “pendidikan”,
Rousseau memberikan suatu ide pedagogis yang berdasarkan prinsip “Back
To Nature”. Kosep pendidikannya menekankan pada kebudayaan yang
melawan alam dan berhubungan erat dengan ajaran tentang negara dan
masyarakat. Tugas pendidikan untuk membebaskan seorang individu dari
pengaruh kebudayaan dan untuk memberi kesempatan kepada individu
tersebut untuk mengembangkan potensinya sendiri secara alamiah atau
spontan (Hamersma, 1984; Hadiwijono, 2002). Menurut Smith (1986) prinsip
dasar pendidikan harus dikembangkan sesuai dengan sifat dan kebutuhan
setiap individu dimana dorongan hati setiap seseorang tidak boleh dibatasi.
Seorang anak lahir dalam keadaan yang baik, ia memiliki sifat jahat apabila ada
pengaruh dari orang dewasa. Smith (1986) kembali menjelaskan bahwa
penerapan bagi pendidik berdasarkan pandangan Rousseau adalah hanya
boleh mengawasi gerak-gerik, reaksi terhadap lingkungan dan cara-cara
peserta didik tersebut mengekspresikan diri dalam proses pembelajaran yang
dialami.
Pendidikan memiliki tiga sumber yaitu bersumber dari alam, berasal dari
manusia, dan berasal dari hal-hal yang sangat disukai atau minat seseorang.
Pembebasan untuk pengembangan pembelajaran dimana ide, minat dan
pandangan serta kebutuhan seseorang dapat dipenuhi sebagai bagian dari
proses pendidikan. Peserta didik dipandang sebagai makhluk yang bebas,
rasional, dan sebagai individu yang berkembang dan berpendidikan. Dan
dalam proses pendidikan melibatkan kurikulum yang diwujudkan dalam proses
belajar mengajar yang sesuai dengan konsep pendidikan kembali kea lam atau
Back to Nature. Tidak hanya itu peran orang tua juga sangat di perlukan
sebagai bagian dari proses pendidikan.
Introduction to Rousseau
Play Video
F. John Locke
Pemikiran John Locke memiliki dampak besar dalam sejarah filsafat yaitu
tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuannya. Menurut Locke,
proses manusia mendapatkan pengetahuannya adalah dari pengalaman
(Tarcov, 1969). Locke berpendapat bahwa sebelum seorang manusia
mengalami sesuatu, pikiran manusia itu belum berfungsi atau masih kosong.
Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan pemikiran yang sebelumnya
telah diungkapkan oleh Descartes. Yang mana Descartes memiliki pemikiran
bahwa sumber pengetahuan itu berasal dari akal. Artinya mereka meyakini
bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berakal.
Locke’s Empiricism
Play Video
G. M. J. Langeveld
Martinus Jan Langeveld merupakan seorang ahli pedagogik yang lahir di
Haarlem, Belanda pada 30 Oktober 1905. Langveld merupakan seorang yang
berpengaruh di bidang pendidikan dan seorang pengembang Sekolah
Fenomenologi Utrecht. Menurut Langveld (1971), Pendidikan ialah setiap
usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada seseorang
yang bertujuan kepada pendewasaan seseorang atau lebih tepat, membantu
seseorang agar cukup dewasa dan cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya
secara mandiri. Pengaruh dan pengembangan tersebut datangnya dari orang
dewasa atau diciptakan oleh orang dewasa, yaitu pendidik dan orang tua
melalui institusi sekolah dimana melibatkan buku, peraturan hidup sehari-hari,
dan sebagainya dan ditujukan kepada pengembangan orang yang belum
dewasa. Pendidikan muncul dari adanya interaksi antara orang dewasa yaitu
pendidik dan juga peserta didik yang berada dalam suatu kesatuan yang utuh
dalam proses pendidikan. Pendidikan yang dilakukan secara sadar oleh orang
dewasa didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan yang diutamakan dan bukan
hanya sebatas transfer pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki orang
dewasa kepada peserta didik (Hendrowibowo, 1994).
Pada tahun 1919 setelah kembali dari pengasingan di pulau Belanda selama
6 tahun, Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia dan menjadi guru di
sekolah binaan saudaranya. Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara medirikan
Sekolah Perguruan Nasional Taman Siswa yang menekankan pendidikan
kebangsaan kepada para pribumi.
Bacalah artikel jurnal yang berjudul “Konsep Pendidikan Taman Siswa Sebagai Dasar
Kebijakan Nasional Merdeka Belajar di Indonesia” pada link berikut:
Kajilah artikel tersebut dan berikan penjelasan mengapa konsep Pendidikan Ki Hajar
Dewantara, masih relevan dengan kebijakan pendidikan pada saat ini!
Salah satu tokoh Pendidikan nasional yang penting adalah Kyai Haji Ahmad
Dahlan atau Muhammad Darwis (1Agustus 1868 – 23 . Februari 1923). Ia
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan
pendiri Muhammadiyah. Dia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari
keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari
H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat pada masa itu. Pada umur 15 tahun, Ahmad Dahlan pergi haji
dan tinggal di Mekah selama lima tahun.
Kiyai Haji Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai pendiri organisasi keagamaan
dengan nama Muhammadiyah yang berdiri sejak tahun 1912, merupakan
organisasi keagamaan yang di anut oleh jutaan ummat di seluruh Nusantara.
Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang didirikan oleh Kyai Haji
Ahmad Dahlan, merupakan organisasi sebagai sarana dakwah, dengan
pendekatan secara rasional, sehingga tidak bisa kita pungkiri, bahwasanya
sarana dakwah dari organisasi Muhammadiyah ini lebih pada masyarakat
perkotaan. Untuk mengenal lebih jauh tentang tokoh Kyai Haji Ahmad Dahlan
dan pendirian Muhammadyah, tontonlah video pada pada link berikut ini:
Play Video
Setelah Anda telah mengenal konsep pendidikan dari Kyai Haji Ahmad Dahlan,
bacalah artikel berikut ini yang berjudul “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dan
Pendidikan” pada link berikut ini: Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!
Kajilah konsep Pendidikan KH Ahmad Dahlan yang manakah yang masih relevan dengan
Pendidikan saat ini? Berikanlah pendapat anda secara jelas dan singkat!
3.
Mengapa banyak pihak yang menentang pembaharuan yang dilakukan
oleh KH.Ahmad Dahlan? Jelaskan secara singkat pihak mana saja dan
apa alasannya!
Sjafei pernah merantau ke Belanda atas usaha sendiri untuk belajar di sana.
Dari negeri Belanda, Sjafei memperoleh empat ijazah: ijazah guru Eropa,
menggambar, pekerjaan tangan, dan musik. Di samping itu ia ikut aktif dalam
organisasi pelajar yang didirikan oleh Mohammad Hatta yaitu ”Indonesische
Vereeniging” dan menjadi redaktur rubrik pendidikan pada organisasi itu.
Setelah sering berdiskusi, Hatta dan Sjafei sepakat soal pentingnya
pendidikan bagi kemerdekaan. Tak heran jika Sjafei menolak tawaran
mengajar di sekolah pemerintah dan memilih membangun sekolah sendiri.
Sjafei bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan
bakat-bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat
Indonesia.
1. Berpikir logis dan rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan
takhayul, isi pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat dan kegunaan hasil Pendidikan untuk kemajuan
masyarakat.
2. Dengan sekolahnya yakni INS Kayutanam ingin menghilangkan
penyakit pendidikan pada waktu itu, yaitu verbalisme. Pendidikan yang
diajarkan oleh Syafei di INS Kayutanam menanamkan rasa percaya diri
dan bertanggung jawab siswa.
3. Menekankan pentingnya pendidikan karakter dalam sekolah,
mensinergikan antara akademik, kreativitas, dan akhlak mulia di INS
Kayutanam. Gagasan Mohammad Syafei ini menjadi contoh yang
bagus dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Dari beberapa konsep Pendidikan yang dikemukakannya, dapat disimpulkan
bahwa M. Syafei sudah menerapkan student center learning dan link and
match dalam Pendidikan. Unsur kebangsaan amat kuat dalam pemikiran Moh.
Sjafei. Di sini dijumpai semangat zaman yang menjiwai pemikiran
pendidikannya, yaitu semangat nasionalisme anti-kolonial. Semua ini
tercermin dari paradigma pendidikan yang dikembangkannya, yang
kesemuanya diarahkan untuk memperkuat karakter bangsa. Selepas
proklamasi Indonesia, Sjafei masuk politik. Pada 1946 ia diangkat menjadi
menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) dalam Kabinet
Syahrir yang kedua menggantikan Todung Sutan Gunung Mulia. Kemudian ia
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pada 1950 menjadi
anggota parlemen. Ia pernah mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari
IKIP Padang pada tahun 1968. Syafei meninggal dunia pada tanggal 5 Maret
1969.
A. PENDAHULUAN
Secara individual :
Mass media and education (Bagaimana televisi, internet, medsos dan media
massa lain mempengaruhi pendidikan –murid, guru, kurikulum? Bagaimana
aspek-aspek budaya pop/anak muda mempengaruhi sekolah?
Diskusi :
Daftar Pustaka
Barry Dufour and Will Curtis. (2011) Studying Education AN INTRODUCTION
TO THE KEY DISCIPLINES IN EDUCATION STUDIES Edited by McGrawHill.
Open University Press
A. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan komponen yang penting karena berfungsi sebagai pemberi
petunjuk arah kegiatan pendidikan dan sebagai hal yang ingin dicapai dari kegiatan
pendidikan. Secara hirarkis, tujuan pendidikan yang terjabarkan dalam kurikulum dapat
diklasifikasikan menjadi :
A. Tujuan Nasional
B. Tujuan Institusional
C. Tujuan Kurikuler
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional juga
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu,
tujuan pendidikan nasional dapat dikatakan berdasar pada cita – cita luhur dalam Pancasila.
Secara umum, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai seperangkat hasil pendidikan yang
dicapai oleh peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan pendidikan. Menurut Plato, tujuan
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan negara dan politik karena tujuan pendidikan
adalah menjadikan manusia warga negara yang baik. Menurut Kohnstamm, tujuan
pendidikan adalah proses pemanusiaan diri sendiri agar mencapai ketentraman batin, tanpa
menganggu, dan membebani orang lain.[1] Terkait dengan teori Plato, M.J.
Langeveld (Hasbullah:2011) mengemukakan pemikirannya, bahwa Pendidikan merupakan
upaya dalam membimbing manusia yang belum dewasa kearah kedewasaan. Pendidikan
adalah suatu usaha dalam menolong anak untuk melakukan tugas-tugas hidupnya, agar
mandiri dan bertanggung jawab secara susila. Pendidikan juga diartikan sebagai usaha untuk
mencapai penentuan diri dan tanggung jawab.
B. Fungsi Pendidikan
Dalam Undang Undang Nomor .20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, fungsi
pendidikan digabungkan dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan pada Pasal 3, yaitu
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fungsi pendidikan di sini bukan hanya untuk meningkatkan kapasitas akademik tetapi lebih
jauh adalah untuk mengembangkan kapasitas kepribadian peserta didik. Menurut Tilaar
(2015), fungsi pendidikan, termasuk lembaga pendidikan, adalah membangun,
mengembangkan pribadi - pribadi peserta didik agar menjadi manusia susila dan cakap serta
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa dan tanah
air Indonesia.
Paulo Freire berpendapat bahwa proses pendidikan sebagai proses penyadaran agar terjadi
dialektika terhadap tindakan manusia dan terhadap obyektifikasi dunia di mana dia hidup
(Tilaar, 2015)[2]. Dengan kata lain, pendidikan menumbuhkan kesadaran/konsientasi
sehingga manusia, sesuai dengan fungsi pendidikan, dapat mengembangkan diri tanpa
dihalangi oleh sekat pembatas/kekuasaan .
Menurut Horton dan Hunt (2006), pendidikan memiliki dua fungsi. Fungsi yang pertama
adalah fungsi nyata (manifes) dengan rincian sebagai berikut:
· Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan untuk kebutuhan warga.
Fungsi kedua pendidikan adalah Fungsi laten yang terdapat dalam lembaga pendidikan
sebagai berikut.
· Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa
seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Untuk dapat hidup bersama dalam suatu masyarakat, maka anak sebagai individu harus
mengetahui dan memahami nilai – nilai dan norma sosial yang berlaku. Pendidikan berfungsi
untuk mewariskan nilai – nilai dan norma tersebut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Adapun proses mempelajari nilai dan norma yang berlaku ini disebut sebagai sosialisasi.
Institusi sosial seperti keluarga dan sekolah “bertugas” untuk menjalankan fungsi ini.
Contohnya dalam mensosialisasikan nilai kejujuran, keluarga melalui orang tua mengajarkan
anak untuk tidak berbohong yang kemudian diperkuat sekolah melalui guru yang
mengajarkan anak untuk tidak mencontek.
Agar masyarakat dapat bekerja sebagaimana mestinya, tanpa muncul konflik yang merugikan
kehidupan sosial, maka individu harus mengikuti nilai-nilai yang telah diyakini bersama.
Proses mengikuti atau ikut meyakini nilai-nilai yang telah diikuti oleh individu atau
kelompok lain dalam masyarakat disebut sebagai proses integrasi sosial.
Pendidik melakukan proses identifikasi terhadap anak didik terkait kepribadian, karakter,
keterampilan dan keahliannya. Proses identifikasi ini menentukan penempatan pada posisi
sosial yang mana anak didik kelak berlabuh. Sebagai contoh, individu yang dididik ilmu
keagamaan, maka penempatan yang sesuai adalah di Institusi lembaga pendidikan Agama,
atau dimanapun individu tersebut bisa berkontribusi pada lembaga agama.
Fungsi pendidikan sebagai inovasi sosial terkait erat dengan segala macam penemuan-
penemuan baru di berbagai bidang yang mempengaruhi kehidupan sosial. Kita tidak bisa
berharap adanya penemuan-penemuan baru yang mengubah dunia baik dalam skala kecil atau
pun besar apabila individu yang terlibat dalam penemuan tidak mengalami proses pendidikan
terlebih dahulu.
Karakter bukanlah sekedar hasil dari sebuah tindakan melainkan secara simultan merupakan
hasil dan proses (Santrock, 2008). Lebih lanjut dikatakan oleh Doni Koesoema (2007),
pengembangan karakter merupakan proses terus-menerus, karakter bukanlah kenyataan,
melainkan keutuhan perilaku, karakter bukan hasil atau produk melainkan usaha hidup.
Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona
dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return
of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our
School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku buku itu, ia menyadarkan dunia
Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona
mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai
kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991).
Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni
sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai
baik dan buruk. Dalam pandangan Paterson & Seligman (2004) karakter merupakan spirit
dari kepribadian yang merupakan pengembangan dari perspektif psikologi pendidikan
tentang karakter yang dikemukakan Crobanch (1970) bahwa karakter merupakan aspek
kepribadian.
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia
harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena hal
inilah yang akan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya, serta
bermartabat. Jika pembangunan karakter tidak dilakukan maka bangsa Indonesia akan
mnejadi bangsa kuli atau buruh (Hermino:2014).
Terkait dengan aspek kepribadian, diperlukan adanya penguatan pendidikan moral (moral
education) atau pendidikan karakter (character education). Penguatan pendidikan
karakter dalam konteks situasi sosial masyarakat saat sekarang, cukup relevan untuk
mengatasi krisis moral yang melanda negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa
meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan pada anak-anak dan remaja,
kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-
obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain. Kondisi yang digambarkan tentang
masyarakat sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara
tuntas, oleh karena itu perlu adanya pemikiran dan upaya untuk
mewujudkan betapa pentingnya pendidikan karakter.
Menurut Lickona (Hunt:2006), karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing),
sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga
komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan
tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan
di bawah ini merupakan bagan keterkaitan ketiga kerangka pikir dari Lickona.
Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat
dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang
tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas
Lickona. Pengertian pendidikan karakter menurut Lickona adalah suatu usaha yang disengaja
untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan
nilai-nilai etika yang inti.
Masih terkait dengan konsep Karakter, di dalam kamus psikologi, karakter adalah
kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan
biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29). Dalam
pendidikan pengembangan karakter, seluruh lingkungan pendidikan sangat berperan.
Pendidikan watak (makna sama dengan karakter) yang telah dialami oleh peserta didik di
sekolah dapat diperkuat dengan pendidikan informal yang berlangsung dalam keluarga.
Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa bila tujuan pendidikan menyebutkan
perkembangan manusia seutuhnya maka lingkungan pendidikan yang formal, informal, dan
nonformal akan mempunyai peranan yang kurang lebih “sama” (Barnadib, 2002).
Secara etimologis, kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta, budhayah, yaitu
bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal (Setiadi, Hakam & Effendi, 2006).
Budaya merupakan hal yang diturunkan/diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang
melalui proses enkulturasi (pembudayaan) yang dilakukan di semua lingkup lingkungan
pendidikan, yaitu formal, informal, dan nonformal. Ada beberapa definisi kebudayaan
menurut para ahli, antara lain (dalam Setiadi, Hakam & Effendi, 2006) :
1. E.B. Tylor : budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain,
serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Ralph Linton : kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang
dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan
diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
3. Koentjaraningrat : kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia
dengan belajar.
4. Ki Hadjar Dewantara : buah budi manusia, hasil perjuangan manusia terhadap alam dan
zaman (kodrat dan masyarakat) dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, dalam
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai (Tilaar,
2015).
Profil karakteristik masyarakat Indonesia antara lain adalah beragama, yaitu berke-Tuhan-an
YME dan memiliki kebudayaan nasional. Memperhatikan hal tersebut maka pendidikan yang
dikembangkan di Indonesia harus berakar pada nilai- nilai agama dan kebudayaan sehingga
pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa secara utuh, tidak menimbulkan
kesenjangan sosial budaya, dan menguatkan identitas bangsa (Wahyudin, 2008).
Budaya dan Pendidikan saling terkait satu sama lain. Budaya memiliki dukungan yang besar
dalam dunia pendidikan. Sumbangan nilai-nilai budaya dalam pendidikan
merupakan cerminan wujud seluruh unsur yang terdapat di dalam suatu kebudayaan. Tanpa
adanya budaya maka sikap, moral, dan keterampilan pada peserta didik tidak akan bisa
diterapkan dalam kehidupan sosial. Wujud penerapan budaya dapat disalurkan melalui :
Pada diri seseorang pasti mengetahui tingkat pendidikan yang ada pada dirinya sendiri,
kemudian diri sendiri itu berusaha untuk memengaruhi orang-orang terdekat agar dapat
melakukan hal yang sama, budaya seperti itu termasuk dalam budaya sosial.
Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lembaga utama dalam pendidikan, orang tua selalu
memberikan gambaran pada diri anak, kehidupan pada anak sangat bergantung pada orang
tua. Oleh karena itu orang tua harus mengajarkan budaya yang baik pada diri anak, agar
mempunyai pendidikan yang baik juga.
Sekolah
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Sekolah hanyalah pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga karena pendidikan yang
utama adalah dalam lingkup keluarga, orang tua harus memotivasi dan membimbing anak
dalam belajar. Sekolah terdiri dari pendidik dan anak didik yang melalui proses pendidikan,
suatu bangsa berusaha untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang seperti
ekonomi, sosial, politik, teknologi dan bidang kehidupan budaya lainnya.
Lingkungan masyarakat
Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, pendidikan dan budaya tidak dapat berkembang
dan tumbuh sebagaimana yang di harapkan. Pada dasarnya, masyarakat selalu tumbuh dan
berkembang. Suatu masyaratkat maju karena adanya pendidikan yang maju dan bisa
menerapkan nilai budaya yang baik.
3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat
yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat.
Perubahan dan perkembangan zaman merupakan suatu hal yang mutlak terjadi. Manusia,
baik secara individu maupun kelompok, tentunya akan beradaptasi terhadap berbagai
perubahan yang ada agar dapat bertahan hidup dimana bentuk adaptasi tersebut dapat bersifat
material maupun non-material. Suatu masyarakat yang telah mencapai tahapan peradaban
tertentu, berarti telah mengalami evolusi kebudayaan yang lama dan bermakna sampai pada
tahap tertentu yang diakui tingkat iptek dan unsur-unsur budaya lain.
Analisis Kasus:
Pendidikan memiliki peranan yang strategis dalam membentuk peradaban bangsa. Meskipun
peradaban bangsa-bangsa yang telah maju pada beberapa ratus tahun sebelum masehi, tidak
serta merta akibat sistem pendidikan yang maju. Anda diminta berkelompok masing-masing
terdiri atas 3 orang, lalu analisis kasus terkait relevansi pendidikan terhadap peradaban
manusia!
Daftar Pustaka:
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character How Our Schools Can
Probowati, Yust, dkk. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Guru dan Psikolog. Malang:
Laras.
Santrock, J.W. 2008. Educational Psychology (3th Edition). Boston : McGraw - Hill
Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, Ridwan Effendi. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
(Edisi Ketiga). Jakarta : Kencana
A. KONSEP MANUSIA
Semua yang ada di dunia adalah untuk manusia. Alam semesta dan isinya
untuk manusia, karena tidak ada mahluk lainnya yang lebih memerlukan
semuanya selain manusia. Manusia dengan kesadarannya tentang adanya
dan gunanya alam semester beserta isinya dan hanya hanya manusia yang
mampu mengolah, menggunakan dan menarik manfaat untuk keperluan
kehidupan kemanusiaannya dalam arti luas.
Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya satu kesatuan antara apa
yang ada pada dirinya, yaitu pikiran, kehendak dan nafsu (Plato dalam
Raymond Boudon, 1974). Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan badan,
satu kesatuan psikofisik.Manusia terdiri dari unsur dualistic. Manusia tidak
semata-mata bertujuan memuaskan dorongan-dorongan dirinya , tetapi juga
memotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab social dan
pemenuhan kebutuhan dalam mencapai sesuatu. Manusia memiliki
kemampuan inheren untuk berbuat secara rasional ataupun tidak rasional.
Berpikir dan merasa sangat dekat satau sama lain.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sifat hakikat manusia dan segenap
dimensinya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada mahluk hidup
lainnya. Ciri-ciri yang khas tersebut membedakan secara prinsip antara dunia
manusia dan mahluk hidup lainnya. Adanya sifat hakikat tersebut memberikan
tempat dan kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga manusia
derajatnya lebih tinggi daripada mahluk hidup lainnya. Semua sifat hakikat
kemanusiannya dapat dan harus ditumbuh kembangkan melalui pendidikan.
Berkat pendidikan, maka sifat hakikat kemanusiaannya dapat ditumbuh
kembangkan secara selaras dan seimbang sehingga menjadi manusia yang
utuh lahir dan bathin.
Diskusi kasus:
Kasus Bandar narkoba warga Negara asing yang divonis hukuman mati,
bagaimana pendapat anda melihat pelaksanaan hukuman mati ini terhadap
dari aspek konsep manusia dan kemanusia serta HAM.
B. PENDIDIKAN
Diskusi Kasus:
Coba anda diskusikan tentang kondisi siswa yang membully guru baik yang
dilakukan dalam lingkungan sekolah maupun diluar sekolah sampai
menggunakan medsos yang dampaknya cukup besar terhadap hidup dan
kehidupan guru tersebut sebagai manusia. Bagaimana implementasi
pendidikan sebagai suatu tindakan yang disengaja dan terencana yang
dilakukan oleh orang dewasa yang bertanggungjawab moral untuk membantu
anak menjadi dewasa dan mandiri.
C. KARAKTER PENDIDIK
Karakter melekat pada setiapindividu, yang tercermin pada pola pikir dalam
kehidupan sehari-hari. Karakter seorang manusia dipengaruhi oleh factor
lingkungan (nurture) dan factor bawaan (nature). Karakteristik seperti
perawakan, warna mata, bentuk rambut serta wajah merupakan faktor
bawaan atau gen. Demikian pula dengan temperamen pada manusia,
merupakan cara khas manusia untuk merespon peristiwa yang emosional,
mendapatkan rangsangan baru dan impuls dipengaruhi oleh system genetic
dari orangtua (Wang, Zhe; Deater-Deckard, 2013). Sama hal dengan cepat
atau lambat seseoang dalam proses belajar yang didapat dari pengalaman
sehari-hari dipengaruhi oleh factor genetic (Luciano & Visscher, 2012). Kata
karakter sendiri diambil dari bahasa Inggris “character” dan Yunani “character.
Karakter adalah cirri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri
khas tersebut asli dan mengakar pada kepribadian manusia/individu yang
berfungsi sebagai mesin pendorong bagaimana manusia tersebut bertindak,
bersikap, berujar dalam merespon sesuatu. Manusia yang memiliki karakter
sifat alami perilakunya akan muncul dalam merespon situasi secara bermoral
yang dimanifestasikan dalam bentuk tindakan nyata melalui perilaku yang
berkarakter. Dari beberapa uaraian singkat tentang karakter dapat ditegaskan
bahwa karakter adalah pola perilaku yang dimiliki manusia/individu yang
berasal dari dalam diri manusia itu sendiri maupun dibentuk oleh lingkungan
dimana manusia/individu tersebut berada. Karakter yang dimiliki
manusia/individu merupakan cirri khas dari manusia/individu tersebut
sehingga berbeda satu dengan yang lainnya.
1. Nilai-Nilai Karakter
Nilai-Nilai karakter adalah sikap dan perilaku yang didasarkan pada norma
dan nilai yang berlaku di masyarakat, mencakup aspek spiritual, aspek
personal/kepribadian, aspek social, dan lingkungan. Berikut ada 18 karakter
yang harus dimiliki oleh manusia Indonesia sebagai berikut: (1) Religius; (2)
Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja keras; (6)Kreatif; (7)Mandiri; (8)
Demokratis; (9) Rasa Ingin Tahu; (10) Semangat kebangsaan; (11) Cinta
Tanah Air; (12) Menghargai Prestasi; (13) Bersahabat/Komunikatif; (14) Cinta
Damai; (15) Gemar Membaca; (16)Peduli Lingkungan; (17) Peduli Sosial dan;
(18) Tanggung jawab.
karakter ini merupakan karakter utama yang harus dimiliki oleh pendidik.
Kasih saying dan kelembutan merupakan warna da kualitas hubungan yang
berawal dari pendidik kepada peserta didik, dalam bentuk komunikasi dan
sentuhan-sentuhan lainnya. Hubungan ini pada dasarnya adalah penerimaan
dan pengakuan, dioperasionalkan dalam nuansa social emosional yang sejuk,
hangat, dekat/akrab, terbuka serta permisif dan fasilitatif-konstruktif yang
bersifat pengembangan terhadap pesreta didik.
Pendidik atau guru merupakan singkatan dari digugu dan ditiru. Seorang
pendidik harus dapat memberikan keteladanan. Keteladanan sendiri
merupakan puncak penampilan pendidik terhadap peserta didik. Seluruh
penampilan pendidik yang didasarkan pada penerimaan dan pengakuan,
kasih dan sayang serta kelembutan, yang seluruhnya positif dan normative
itu, diharapkan dapat diterima bahkan ditiru oleh peserta didik. Satu hal yang
,menjadi kunci bagi terlaksananya keteladanan adalah ketaatan asas
(konsistensi) penampilan pendidik baik fisik, psikologis maupun akademis.
Keteladanan demikian pertama-tama merupakan pengaaaruh social pendidik
terhadap peserta didik berdasarkan prinsip konformitas bersumber dari
pengarahan pendidik kepada peserta didik. Pengaruh keteladanan dan
pengarahan ini dapat mencapai taraf internalisasi bukan hanya sekedar
identifikasi, nyaman untuk diri sendiri.
d. Karakter Penguatan
Sepintas terasa ada kontradiksi antara tindakan tegas yang mendidik dengan
sikap dan perlakuan kasih saying dan kelembutan. Sebenarnya bila dicermati
dengan baik, tidaklah demikian. Tindakan tegas yang mendidik adalah suatu
upaya pendidik untuk dapat mengubah tingkah laku peserta didik yang kurang
dikehendaki melalui penyadaran peserta didik atas kekeliruan dengan tetap
menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan dn hubungan baik antara
pendidik dan peserta didik. Dengan tindakan tegas yang mendidik ini pendidik
konsisten terhaap harkat martabat kemanusiaan, tujuan pendidik, pengakuan
dan penerimaan serta kasih saying dan kelembutan terhadap peserta didik.
Implementasi tindakan tegas yang mendidik dapat dikombinasikan dengan
penerapan cara-cara penguatan lainnya.
Dalam 5 Pilar Karakter Dalam Proses Pendidikan ini akan muncul karakter
dasar yang harus dimiliki pendidik, dimana yang pertama pendidik harus
menyadari bahwa profesi pendidik sangat mulia yang akan membuat jadi
manusia dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti
dan paham, dari tidak biasa menjadi terbiasa. Atau ada tokoh yang
menyatakan melalui pendidikan kita memanusia manusia. Jika ingin tugas
mulia ini dapat berhasil dengan baik harus dilakukan dengan penuh kasih
saying dan kelembutan, karena manusia yang didik bukanlah benda mati.
Manusia yang dididik memiliki potensi yang terus dan harus dibantu untuk
dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Zahara Indris dan Lisma Jamal (1992), Pengantar Pendidikan jilid I dan II,
Jakarta: Grasindo.
Last modified: Wednesday, 2 February 2022, 2:18 PM