Anda di halaman 1dari 60

BAB 6

PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

1. Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar

Sumber: www.hidupkatolik.com

Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar mengabdikan dirinya sebagai pendidik


selama 45 tahun tepatnya hingga tahun 1997, saat beliau menjadi guru besar
pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Selain itu, beliau juga pernah menjadi
Dekan Fakultas Pasca Sarjana IKIP sekarang (Universitas Negeri Jakarta)
pada tahun 1976-1980.

Pendidikan multikultural yang digagaskan oleh Prof. Henry Alexis Rudolf


Tilaar berangkat dari keragaman Indonesia sebagai negara multikultural
terbesar dan sejalan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, diharapkan
mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang
harmonis, toleran, dan saling menghargai. Pendidikan multikultural menurut
Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar dipandang sebagai proses pengembangan
sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan,
dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara
humanistik.

Menurut beliau, pendidikan merupakan sebuah konsep, ide, atau gagasan


yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam
membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-
kesempatan individu kelompok, maupun negara. Nilai-nilai pendidikan
multikultural tersebut diantaranya apresiasi terhadap kenyataan pluralitas
budaya dalam masyarakat, pengakuan harkat dan martabat sebagai manusia
dan hak asasi manusia, pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia,
dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap bumi dan alam
semesta. Adapun tujuan dari pendidikan multikultural ialah untuk
menanamkan sikap simpati, respect, apresiasi dan empati terhadap penganut
agama dan budaya seseorang yang berbeda. Bacalah artikel berikut
mengenai pendidikan multikulturalisme dalam pandangan Prof. Henry Alexis
Rudolf Tilaar (silahkan klik link ini).

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk ditandai dengan banyaknya
etnis, suku, agama, budaya, dan kebiasaan di dalamnya. Di sisi lain, masyarakat
Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural pada setiap lapisan memiliki latar
belakang budaya (cultural background) yang beragam.
Semboyan bhinneka tunggal ika menggambarkan wujud persatuan dan kesatuan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas aneka ragam
budaya, bahasa daerah, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Berdasarkan semboyan bhinneka tunggal ika, yakni hal yang berbeda-beda namun
memiliki satu tujuan yang sama, konsep pendidikan yang dibasiskan pada pengenalan
dan pemahaman akan perbedaan kebudayaan Indonesia ditawarkan oleh H.A.R Tilaar.
Prof. Dr. Henry Alexis Rudolf Tilaar, M.Sc.Ed. lahir 16 Juni 1932 di desa yang relatif
terpencil di tepi Danau Tondano, Sulawesi Utara. Beliau adalah suami dari Martha
Tilaar, seorang pengusaha terkenal yang bergerak di bidang kosmetik dan jamu
dengan brand-nya yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu Sariayu.
H.A.R Tilaar merupakan seorang pendidik, pemikir, praktisi pendidikan yang bersedia
terjun langsung untuk menyikapi kinerja pendidikan nasional. Tilaar merupakan salah
satu tokoh pemikir critical yang masih produktif hingga usia 80 tahun, tidak heran kini
menjadi aset nasional bangsa karena pemikiran-pemikiran beliau banyak dijadikan
acuan bagi para pendidik maupun pemerhati pendidikan.
Selain itu Tilaar banyak menuangkan puluhan karyanya dalam bentuk buku maupun
artikel. Atas jasa-jasanya kepada negara, pada tahun 1988 ia dianugerahi Bintang Jasa
Utama Republik Indonesia. Selama puluhan tahun gagasan pemikiran Tilaar dalam
mengembangkan dunia pendidikan Indonesia, mengantarkan dirinya mendapatkan
penghargaan bergengsi dari salah satu universitas terkemuka di Amerika Serikat.
Pada 11 September 2009, Tilaar mendapatkan penghargaan Distinguished Alumni
Award dari Indiana University School of Education. Distinguished Alumni
Award merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan setiap tahunnya oleh Indiana
University School of Education. Penghargaan tersebut diberikan pada seseorang yang
dinilai memiliki kontribusi besar bagi pengembangan dalam dunia pendidikan.
Istilah multikultural berasal dari kata “kultur”. Secara etimologis, multikulturalisme
menurut H.A.R Tilaar (2004) berakar dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme
(aliran atau paham). Multikultur merupakan kata dasar, kata dasar itu adalah kultur yang
berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan, sedangkan multi berarti banyak,
aneka, atau beragam. Diartikan, multikultur bermakna keragaman kebudayaan, aneka
kesopanan, atau banyak pemeliharaan.
Secara khusus, H.A.R. Tilaar (2000) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu
keseluruhan yang kompleks. Hal ini dimaksudkan bahwa kebudayaan merupakan suatu
kesatuan dan bukan jumlah dari bagian-bagian. Multikulturalisme merupakan suatu
paham atau situasi-kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan.
Multikulturalisme sebagai sebuah pemahaman yang menekankan pada kesenjangan
dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi
budaya yang dimiliki. Bagi H.A.R Tilaar, multikulturalisme bukan sekadar pengenalan
terhadap berbagai jenis budaya di dunia ini, tetapi juga sebagai tuntutan dari berbagai
komunitas yang memiliki budaya-budaya itu.
H.A.R. Tilaar (2004) menekankan kebutuhan model pendidikan di Indonesia dengan
memperhatikan enam poin, hal ini terangkum secara ringkas antara lain 1) Pendidikan
multikultural harus berdimensi pada right to culture dan identitas lokal di tengah-tengah
kekuatan kebudayaan global, 2) Kebudayaan Indonesia yang berarti budaya Indonesia
merupakan pandangan dunia dan bagian integral dari proses mikro budaya, 3)
Pendidikan multikulturalisme yang terstandarisasi artinya model pendidikan yang
memperkuat keberlangsungan identitas etnis tanpa menghilangkan identitas budaya
lokal yang ada, 4) Pendidikan multikultural merupakan semacam rekonstruksi sosial
artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak dalam xenofobia, fanatisme, dan
fundamentalisme, baik yang bersifat nasional maupun agama, 5) Pendidikan
multikulturalisme merupakan pedagogi pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan
pedagogi kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity), 6)
Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi masa depan Indonesia dan
etika kebangsaan.
Pendidikan merupakan sistem guna meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala
aspek kehidupan manusia. Sistem pendidikan nasional diharapkan mampu melahirkan
Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas, bermoral, dan berbudi pekerti.
Sebagaimana halnya tercantum dalam Pasal 3 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 mengenai
Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan bertujuan untuk membentuk karakter
peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan serta mengembangkan
potensi peserta didik menjadi seseorang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berilmu, berakhlak mulia, dan menjadi warga negara demokratis dan
bertanggung jawab.
Sekolah merupakan institusi yang memiliki tugas penting, bukan hanya untuk
meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi peserta didik, namun juga bertugas
dalam pembentukan karakter anak dalam kemampuan untuk bertanggung jawab
pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Suyanto (2009) bahwa individu yang berkarakter baik mampu membuat keputusan dan
siap mempertanggungjawabkan dari setiap keputusan yang dibuatnya sendiri.
Oleh sebab itu sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang
bebas (free public education), di mana pendidikan selayaknya bersifat universal, tidak
memihak (non-sectarian) dan bebas. Para pakar meyakini bahwa seseorang tidak
secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga diperlukan upaya dalam
mendidik karakter secara efektif (efective character education).
H.A.R Tilaar mengungkapkan, pendidikan multikultural mampu menjadi jembatan guna
mencapai kehidupan umat manusia di dalam era globalisasi yang penuh dengan
tantangan baru. Kaitannya dengan konsep karakter keindonesiaan, pendidikan
multikultural diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara
etnik, kultural, dan beragam artinya, menjadi makhluk yang menghargai dan memahami
perbedaan dan bangga terhadap realitas lingkungan yang majemuk (Najmina, 2018).
Melalui pendidikan multikultural Tilaar membagi pengertian multikulturalisme pada dua
tahap, yaitu pertama multikulturalisme masih bersifat tradisional artinya terbatas pada
pengakuan dan legitimasi pluralisme budaya. Lalu kedua, multikulturalisme mengalami
perkembangan berdasarkan beragam pemikiran lainnya dengan perlakuan terhadap
budaya yang berbeda-beda.
Nilai-nilai pendidikan multikultural yang perlu ditanamkan kepada anak didik bangsa
menurut perspektif H.A.R Tilaar meliputi toleransi, menghormati hak asasi manusia,
menghargai dan menerima segala perbedaan, serta memiliki akhlak mulia dan sopan
santun.
Nilai-nilai tersebut seharusnya dipelajari dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat
baik bagi pendidik maupun peserta didik, penanaman nilai-nilai perlu ditanamkan untuk
melahirkan masyarakat yang multikultural.
Keberagaman perlu ditanamkan sejak dini agar generasi muda mampu memiliki
paradigma berpikir yang lebih positif dalam memandang sesuatu yang “berbeda”
dengan dirinya. Harapannya adalah terbentuknya sikap dan perilaku moral yang
simpatik. Melintas dari pendidikan multikultural menurut perspektif H.A.R Tilaar,
diharapkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan degradasi moral bangsa dan
negara.

Suami dari Martha Tilaar ini melalui tulisannya mampu memberikan


pandangan yang mencerahkan ihwal pendidikan. Beberapa bukunya banyak
menguraikan masalah-masalah pendidikan, mulai dari kurikulum, guru, dan
sistem pendidikan kita. Rumusan yang dikeluarkan Prof. Henry Alexis Rudolf
Tilaar selalu kritis dan tajam. Tentu ini tidak terlepas dari refleksi
mendalamnya ketika hendak dan saat melakukan pengkajian. Hal ditunjang
dengan kemampuannya melakukan sintesa dari banyak penulis progresif
lainnya, dalam konteks pendidikan ia banyak mengambil saripati dari
pemikiran Ki Hadjar Dewantara, Freire, Giroux, Illich, Gramsci, dan pemikir
besar lainnya.

Meskipun buku-bukunya lebih banyak membahas persoalan pendidikan,


namun tidak sekedar membahas masalah teknis dan satu perspektif semata.
Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar selalu mengkaji masalah pendidikan dalam
tinjauan yang multiperspektif. Sehingga hasil kajiannya selain mendalam juga
komprehensif. Selain itu Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar juga selalu
mengingatkan agar pendidikan kita tidak diam di tempat, dalam arti tidak mau
berinovasi dan lepas dari feodalisme. Ia selalu mencoba menawarkan
gagasan-gagasan baru demi perbaikan kualitas pendidikan Indonesia. Dari
Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar jugalah gagasan pedagogik kritis,
multikultural, dan transformasi pendidikan terus berkembang dan menambah
khazanah keilmuan kita hari ini. Berikut ini adalah link artikel analisis
pemikiran Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar mengenai konsep pendidikan
multikultural dalam merespon tantangan globalisasi

Hal lain juga ada dalam buku "Membenahi Pendidikan Nasional" yang
menyoroti pula permasalahan guru yang ada di Indonesia, dengan serta
merta mengkritik pemerintah agar segera mengentaskan permasalahan guru
tersebut. Selain mengkritik, Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar juga bisa
menciptakan mahakarya yang bisa menjadi landasan bagi kemajuan
pendidikan, hal itu misalnya tertera dalam buku "Pedagogik Teoretis",
"Pedagogik Kritis", "Multikulturalisme", dan banyak lagi yang lainnya. Hal lain
yang patut diteladani dari Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar adalah betapa
besar kecintaannya terhadap pendidikan Indonesia, meskipun dalam
pengamatan kritik dan gagasannya kadang tidak dihiraukan oleh pemerintah,
tetapi ia tetap menulis, ia tetap berkarya bahkan di usianya yang sudah
sangat tua. Berikut adalah ebook yang dapat memperkaya pengetahuanmu
mengenai pemikiran Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar ebook bunga rampai
Prof Tilaar.

Sebagai seorang akademisi, pengamat sekaligus praktisi pendidikan, Prof.


Henry Alexis Rudolf Tilaar tentu memiliki banyak gagasan, kritik dan
kegelisahan terhadap dunia pendidikan nasional. Gagasan, kritik dan
kegelisahannya kemudian ditorehkan melalui goresan pena berupa artikel
yang diterbitkan di sejumlah media massa dan disampaikan dalam forum-
forum ilmiah baik tingkat nasional maupun internasional. Dalam beberapa
diskusi Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar sering mempermasalahkan kebijakan
nasional yang kurang memihak pada rakyat kecil khususnya masalah
pendidikan, karena diyakini bahwa Indonesia merupakan negara berkembang
masih jauh dari tataran negara maju. Negara berkembang merupakan negara
yang angka kemiskinannya masih tinggi dan jika itu dipaksakan menjadi
negara maju maka secara otomatis kebijakannya pun akan menindas bagi
rakyat miskin. Dalam Judicial review yang digelar di Mahkamah konstitusi
H.A.R. Tilaar dengan jelas mengatakan bahwa:

“...mengangkat fakta bahwa Indonesia masih merupakan Negara berkembang


dengan tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi. Karena itu, perlu ada
kesempatan yang seluas-luasnya pada semua warga Negara untuk
mengembangkan bakatnya. Apalagi, Pendidikan Tinggi merupakan investasi
karena mempunyai “rate of returns” yang cukup besar sebagai modal kultural,
dan modal sosial ekonomi.

Selanjutnya beralih pada evaluasi pendidikan Indonesia, Ujian Nasional


(UN) merupakan salah satu momok yang mematikan kreatifitas siswa dan
menakutkan. UN seakan sebagai misteri yang pasti akan menimpa seorang
peserta didik. Menurut beliau, ujian nasional itu bisa saja perlu diadakan
mengingat luasnya wilayah Indonesia, akan tetapi fungsi dan tujuannya
bukanlah sebagai alah untuk menghakimi siswa. Ujian nasional seharusnya
sebagai wahana pemerintah untuk membantu siswa dan mengembangkan
potensinya, bukan sebagai alat mensetarakan siswa satu dengan lainnya.
Berikut adalah artikel Prof. HAR Tilaar mengenai kritiknya terhadap
kurikulum pendidikan Indonesia (silahkan buka link ini).

Kini pemikiran Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar sudah tersebar di mana-mana
dan diadopsi pemerintah dan berbagai lembaga pendidikan. Artikel yang
pernah ditulis Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar jumlahnya lebih dari 200 buah.
Selain rajin menulis artikel, Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar juga sudah
menulis sejumlah buku tentang pendidikan. Hingga saat ini Prof. Henry Alexis
Rudolf Tilaar telah menulis buku pendidikan sebanyak belasan buku yang
sudah dipublikasikan.

Sebagai seorang pakar pendidikan, Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar


merupakan figur yang memiliki ide-ide cemerlang mengenai bagaimana
caranya mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang tidak
meninggalkan nilai-nilai budaya lokal keIndonesiaan. Prof. H.A.R Tilaar
(begitu beliau disapa) juga melihat proses pendidikan sebagai sebagai proses
pembudayaan yang terjadi dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk, yang diarahkan menuju terciptanya suatu
masyarakat madani global yang berbasis masyarakat madani Indonesia
dengan ciri khas kebudayaan nasional Indonesia yang berbhinneka.

Pendidikan merupakan kunci dari semua aspek pembangunan manusia.


Seluruh aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, dan budaya, memiliki
keterkaitan dengan pendidikan. Perubahaan sosial dan peningkatan kapasitas
manusia hanya bisa terjadi melalui proses pendidikan, tidak bisa dilakukan
melalui kekuasaan. Hal inilah yang diyakini oleh Prof. Henry Alexis Rudolf
Tilaar dengan terus memperkenalkan pendidikan kritis dalam upaya untuk
mengembangkan pendidikan nasional di Indonesia. Karena tulisan-tulisan dan
karya-karyanya itulah, Beliau diminta untuk memberikan seminar di Harvard
University pada tahun 2003.

Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar merasa tidak diakui oleh bangsanya sendiri,
namun keahliannya dalam bidang pendidikan telah mendapat pengakuan dari
dunia internasional. Penulis lebih dari 200 artikel itu, mendapatkan Certificate
of Ceremony, World Record for Achievement in Pedagogy pada tahun 2007.
Biografinya tercantum dalam ensiklopedia pendidikan (2001); Who’s Who in
The World, Millenium Edition 2000, American Biographical Institute, 1000
Great Asean, International Biographical Center, England, 2003. Who’s Who in
American Education 2006-2007. Sebelumnya telah dikemukakan bahwa Prof.
Henry Alexis Rudolf Tilaar juga adalah orang pertama dari Indonesia yang
pernah diberikan penghargaan bergengsi Distinguished Alumni Award dari
salah satu universitas terkemuka di Amerika Serikat.

Sebagai penutup dari pemikiran tokoh pendidikan Prof. HAR Tilaar, berikut
adalah video yang membahas lengkap mengenai buku Beliau yang berjudul
Bunga Rampai Pendidikan Indonesia Klik link ini.

2. Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A.


Sumber: http://www.ispi.or.id/

Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. merupakan Guru Besar Ilmu Pendidikan IKIP
Jakarta/UNJ pada tahun 1989. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua
Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) selama 2 periode yaitu
tahun 1999-2009 dan 2009-2014.

Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. merupakan salah satu tokoh pendidikan yang
memperjuangkan kebijakan anggaran pendidikan yang mencapai sekurang-
kurangnya sebesar 20%. Alasan beliau memperjuangkan kebijakan anggaran
pendidikan untuk perbaikan mutu pendidikan Indonesia, namun kebijakan
anggaran pendidikan harus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan
lapangan. Sayangnya, anggaran pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan
di lapangan, hal ini dapat Anda baca pada link artikel berikut silahkan buka
link ini. Karena menurut beliau untuk mendukung pendidikan yang benar,
harus ada anggaran yang besar. Untuk menjalankan proses pendidikan,
diperlukan dukungan fasilitas seperti siswa harus diberi buku, adanya
lapangan luas untuk bisa berolahraga, lingkungan sekolah yang asri, dan
sebagainya. Hal ini didukung oleh pernyataan beliau yang tertuang dalam
artikel yang dapat dibaca pada link berikut (silahkan buka link ini). Pemerintah
diharapkan mampu berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan di tengah
masyarakat yang kurang mampu agar tercapai cita-cita nasional bangsa, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Akseslah link artikel berikut ini untuk
mengetahui mengenai keprihatinan seorang pendidik dalam sudut pandang
Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. (silahkan buka link ini).

Menurut Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. menjawab pertanyaan “Pendidikan


seperti apa yang dapat berperan menghadapi tantangan zaman atau
pembangunan suatu bangsa?” Jawaban beliau adalah bahwa hanya
pendidikan yang bermutu yang mampu menunjang proses pembangunan
bangsa. Salah satu strategi pengembangan mutu pendidikan dimulai dari
sekolah. Bagaimana manajemen pengembangan mutu sekolah yang baik?
Silahkan anda cermati pada artikel berikut (silahkan buka link ini). Pertanyaan
lainnya apakah indikator pendidikan yang bermutu itu? Menurut Beliau:

“Pendidikan yang bermutu sesungguhnya dapat ditarik dari berbagai


ketentuan dalam UU No. 20 Tahun 2003. Bila kita mendalami UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas kita akan menemukan sumber nilai yang dapat
dijadikan ukuran bermutu tidaknya program pendidikan.”

Menurut Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. hanya proses pembelajaran yang


memungkinkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
yang dapat dipandang bermutu. Karena tanpa proses pendidikan yang
demikian tidak mungkin dapat mendukung fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Masih menurut Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A., rumusan tentang fungsi dan
tujuan pendidikan nasional menunjukkan betapa “berkembangnya
kemampuan” dan “terbentuknya watak” merupakan fungsi yang harus
diemban oleh proses pendidikan, terutama di sekolah. Dan itu hanya mungkin
kalau proses pendidikan yang bermakna sebagai proses pembudayaan
sehingga mutu pendidikan terutama harus dilihat dari “kemampuan” dan
“watak lulusan” yang bermakna bagi pembangunan peradaban banga yang
bermartabat. Pendidikan sebagai proses pembudayaan dijelaskan lebih lanjut
pada video berikut. Link video
.

Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A., berpendapat bahwa hanya pendidikan yang


bermutu, yaitu yang mampu mengembangkan kompetensi dan membentuk
watak lah yang relevan dengan upaya menghadapi tantangan zaman.
Pendidikan yang demikian adalah pendidikan yang bermakna sebagai proses
pembudayaan, yaitu membudayakan kemampuan memecahkan masalah,
kemampuan bekerja dan beretos kerja, kemampuan meneliti dan
mengembangkan IPTEK, dan membudayakan sikap mandiri, bertanggung
jawab, demokratis, jujur, dan bermoral. Bagaimana pendidikan sebagai
proses pembudayaan terjadi? Untuk memahaminya, Anda dapat membaca
artikel pada link berikut (silahkan klik link ini).

Masih menurut Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A., bila pembelajaran dapat


merangsang, menantang, dan menyenangkan, seperti yang dikemukakan
oleh Whitehead sampai pada tingkat “joy of discovery”, diharapkan proses
pembelajaran itu dapat bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses
penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini Unesco,
melalui International Commission on Education for The 21st Century, yang
antara lain bertujuan untuk mengubah dunia “from technologically divided
world where high technology is privilege of the few to technologically united
world” mengusulkan empat pilar belajar.
Menerapkan empat pilar belajar tersebut berarti bahwa proses
pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh
pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya,
dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sesama peserta didik sehingga
dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat
berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang
memadai, materi yang terpilih, dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar
target ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreativitas belajar
sampai tingkatan “joy of discovery”
Kita bisa melihat, betapa tingginya tuntutan terhadap peran yang
diharapkan dari pendidikan dalam membentuk karakter dan mental generasi
muda agar dapat melakukan transformasi budaya. Suatu tuntutan yang pada
hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
Tetapi untuk melaksanakan peran itu, kondisi pendidikan di negara
berkembang pada umumnya, termasuk Indonesia, jauh dari memadai.
Akibat dari perkembangan ini, yaitu perluasan kesempatan belajar yang
terjadi adalah sekolah dengan terlalu banyaknya guru yang secara profesional
kurang memenuhi syarat, dan proses pembelajaran tidak lebih dari mencatat,
menghafal, dan mengingat kembali. Mufti yakin bahwa tidak adanya
kesempatan bagi peserta didik untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
akan merugikan masyarakat, karena sumber daya manusia yang baik untuk
pembangunan masyarakat sukar diperoleh.

Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. setuju dengan apa yang UNESCO perkenalkan
sebagai empat pilar belajar, yaitu: Learning to know, Learning to do, Learning
to live together, dan Learning to be. Menurut beliau penjelasan mengenai 4
pilar tersebut adalah sebagai berikut:

a. Learning to Know adalah proses pembelajaran yang memungkinkan


pelajar/mahasiswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan
semata-mata memperoleh pengetahuan.

b. Learning to do, sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk


mendukung dan memasuki ekonomi industri. Dalam masyarakat industri atau
ekonomi industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan
motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan seperti controlling, monitoring, maintaining, designing,
organizing, yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik
telah diganti dengan mesin.
c. Learning to live together, kemampuan untuk hidup bersama dengan orang
lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka.
Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan
setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa
hakikat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat
persamaan.

d. Learning to be yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar. Pendidikan yang
berlangsung selama ini pada umumnya tidak mampu membantu peserta didik
(pelajar/mahasiswa) mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan
mandiri atau manusia yang utuh karena proses pembelajaran pada berbagai
pilar tidak pernah sampai kepada tingkatan “joy of discovery”

Akseslah link youtube berikut untuk memperdalam pengetahuanmu mengenai


4 pilar pendidikan Silahkan klik link ini.

3. Prof. Dr. Conny R. Semiawan (11 Juni 1930– 1 Juli 2021)

Sumber: www.alumniunj.com

Prof. Dr. Conny R. Semiawan merupakan Guru Bangsa dan tokoh pendidik
nasional yang berasal dari FIP UNJ. Selain itu, Prof. Dr. Conny R.
Semiawan juga merupakan mantan Rektor IKIP Jakarta/UNJ Periode 1984-
1992. Pada tahun 2015 Prof. Dr. Conny R. Semiawan pernah menerima
penghargaan dari UNESCO sebagai tokoh nasional yang berjasa di bidang
pendidikan, kebudayaan, sains, dan komunikasi.

Prof. Dr. Conny R. Semiawan berjasa besar dalam penerapan student-


centered learning, yakni pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam
paradigma tersebut, ditegaskan bahwa siswa bukanlah objek dalam
pembelajaran, melainkan subjek dalam pembelajaran. Maka, saat itu
populerlah “CBSA” (Cara Belajar Siswa Aktif), yang juga menjadi istilah bagi
kurikulum yang berlaku saat itu. Akseslah link berikut untuk lebih mengetahui
CBSA secara lebih mendalam ( Silahkan klik link ini
). Saat itu pemikiran dan agenda pemajuan pendidikan yang mengutamakan
peserta didik dengan CBSA menjadi milestone perubahan
paradigma Pendidikan modern Indonesia. Kurikulum berdiversifikasi juga
merupakan pemikiran Prof. Dr. Conny R. Semiawan yang lain, yang
membongkar paradigma pendidikan dari yang sentralistik ke desentralistik.
UNJ menjadi basis pengembangan pemikiran pendidikan beliau, termasuk
Labschool di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, akseslah link berikut ini untuk
mengetahui pembelajaran yang diterapkan di labschool (silahkan klik link ini)

Prof. Dr. Conny R. Semiawan pernah menyindir model pendidikan taman


kanak-kanak di Indonesia karena lebih banyak memaksa anak untuk
belajar. Beliau juga mengkritik model pendidikan di tanah air yang terlalu
menjejali anak dengan begitu banyak hal:

“Anak-anak kita terlalu dipaksa untuk menghafal ini dan itu. Anak disuruh
untuk belajar, belajar untuk mengejar ranking, tetapi dia kehilangan masa
bermain. Padahal bermain itu merupakan kebutuhan paling penting buat
anak”.

menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan, pendidikan usia dini muncul karena
dalam perkembangannya bersinggungan dengan ilmu lain (common
ground) yang menjadi objek penelaahan yaitu perilaku anak usia 0-8 tahun
dalam situasi pendidikan, sehingga muncul ilmu baru yang bernama
Pendidikan anak usia dini. Menurut Beliau, Anak berkembang (from
within) dan belajar (dari lingkungan). Keduanya selalu mengalami perubahan.
Tiga fase utama merupakan interaksi antara faktor
genetis (nature), lingkungan (nurture) dan individu (self generating trend).
Untuk lebih jelasnya, akseslah link berikut ini untuk mempelajari lebih lanjut
(silahkan klik link ini)

Menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan pendidikan bagi anak pada usia-usia
ini adalah belajar sambil bermain. Bagi anak, bermain adalah kegiatan yang
serius, namun mengasyikkan. Melalui bermain, semua aspek perkembangan
anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas, anak dapat
berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah
diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan anak juga dapat
mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun
mental, intelektual, dan spiritual. Akseslah link artikel berikut untuk
mengetahui segala aspek penting dalam perkembangan anak usia dini
(Silahkan klik link ini).
4. Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., (25 Agustus 1930 – 1 Juli 2016)

Sumber: unjkita.com

Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., adalah guru besar Universitas
Negeri Jakarta. Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., menjabat
sebagai Rektor IKIP Jakarta (kini menjadi UNJ) periode 1975-1980. Selain itu,
Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., juga pernah menjabat sebagai
Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dan Penasihat
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Menurut Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., meskipun sudah


berpuluh tahun kebijakan dan praktik pendidikan nasional tak punya arah
yang jelas lantaran nihilnya filosofi pendidikan. Praktik pendidikan yang
didasarkan pada filosofi yang relevan senantiasa akan dapat memberi
pembenaran, arah, tujuan dan makna pada seluruh spektrum kegiatan
pendidikan. Bagi Beliau, guru yang punya paradigma filosofis, dapat
mengajarkan kebahagiaan yang abadi pada muridnya, karena guru tersebut
mampu berpendapat bahwa kebahagiaan adalah hal yang ingin dicapai dari
sebuah proses pendidikan.

Dalam buku Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, Prof. Dr. H. Winarno
Surakhmad, M.Sc., Ed., mengatakan:

“Memang pada saat tertentu, dalam konteks tertentu, bisa muncul problem
pendidikan yang lebih dominan bersifat teknis dan di saat yang lain lebih
bersifat finansial, infrastruktural, institusional, ketenagaan, kultural atau politik.
Tetapi apakah problem yang mengemuka pada suatu saat bersifat teknis,
politis, yuridis, ekonomis atau gabungan dari semuanya, pada saat yang
sama problematik pendidikan itu juga selalu bersifat normatif, yakni terkait
dengan norma, standar atau nilai-nilai yang mendasar yang memberikan
relevansi dan makna kepada sifat problematik pendidikan yang teknis dan
pragmatis?”

Bagi Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., Keduanya tak bisa dipisah,
sebab praktik pendidikan yang didasarkan pada filosofi yang relevan
senantiasa dapat memberi pembenaran, arah, tujuan dan makna pada
seluruh spektrum kegiatan pendidikan.

Dalam istilah Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., kita butuh
manusia-manusia Indonesia yang mampu berfilosofi. Apa itu berfilosofi? Bagi
Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., secara sederhana berfilosofi
adalah kemampuan untuk bertanya. Mempertanyakan hidup untuk
menemukan kebenaran. Namun, kini akan sulit ditemui manusia Indonesia
yang mampu berfilosofi. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan,
khususnya para guru, filosofi pendidikan seringkali disimpulkan sebagai
pengetahuan yang sukar dipahami dan dalam praktik, kegunaannya pun
sangat disangsikan.

Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., menganalisis, kondisi ini tercipta
berkat beberapa hal. Pertama, ilmu filsafat yang memang sudah hadir lebih
dari 2000 tahun lalu dianggap sudah usang oleh para pemelajar. Kedua, kita
sedang hidup dalam dunia yang semakin pragmatis. Oleh karena itu,
pemeriksaan kekurangan pada kondisi pendidikan selalu mengarah pada
perangkat pengetahuan yang diberikan, yakni kurikulum bukan filosofi.
Akseslah link youtube berikut untuk mengenal filsafat yang memiliki cabang
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Silahkan klik link ini
.

Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed.,


filosofi pendidikan lahir sebagai bentuk kemampuan manusia untuk
memahami tujuan hidup, hakikat manusia dan untuk mencari tumpuan yang
universal mengenai nilai dan tujuan pendidikan. Akseslah link artikel berikut
untuk mempelajari Refilosofisasi Pendidikan Pemikiran Wirarno Surakhmad
secara lebih jelas. Akseslah link artikel berikut untuk mempelajari
Refilosofisasi Pendidikan Pemikiran Wirarno Surakhmad secara lebih jelas.
( silahkan klik link ini)

Menurut Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., pembelajaran dengan


landasan epistemologis akan membuka peluang kepada setiap murid untuk
mencari, mengeksplorasi, menguji coba atau bereksperimen dan
mengembangkan pengetahuannya. Dengan begitu, murid pun akan belajar
untuk membongkar relasi yang ada di balik pengetahuan yang sehari-hari
dipelajari, sehingga ia tidak pernah memahami pengetahuan sebagai hal yang
dogmatis. Karena ketumpulan epistemologis itu pula, banyak guru
berkesimpulan hanya pengetahuan objektif, terkendali dan terukur seperti
Matematika dan Fisika lah yang harus menjadi inti program pendidikan.
Belajar dari hal tersebut, maka dibutuhkan satu lagi landasan yang tak kalah
penting yakni aksiologi. Landasan aksiologi adalah landasan yang
memusatkan perhatian pada hakikat, makna dan peran nilai dalam kehidupan
ini menjadi penting karena pendidikan nasional cenderung mengorbankan
nilai kehidupan yang manusiawi. Karena pendidikan yang merupakan
pembelajaran tentang kehidupan dan untuk kehidupan, maka jelas praktik
pendidikan pun tidak lain dari menyiapkan anak bangsa menghadapi
kehidupan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Akseslah link youtube berikut
untuk mengetahui filosofi aksiologi secara lebih mudah Silahkan klik link ini
BAB V

Sejarah dan Pemikiran Tokoh Pendidikan Internasional

Pendidikan terbentuk dan berkembang dengan melalui proses yang panjang


sampai saat ini. Pembahasan tentang pendidikan telah berlangsung lama dan
melibatkan banyak tokoh pendidikan. Tokoh-tokoh pendidikan tersebut
mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berbeda terkait dengan konsep dan
implementasi pendidikan dalam konteksnya masing-masing. Melalui berbagai
konseptualisasi pendidikan yang berbeda, tokoh-tokoh pendidikan tersebut
menekankan pentingnya pendidikan sebagai bagian dari kehidupan dan
pengembangan diri seorang manusia dengan segala potensi yang dimilikinya.

Dalam arti luas, pendidikan adalah proses untuk mempengaruhi dan menguapayakan
perubahan progresif pada individu. Pendidikan dalam berbagai jenjang mengarahkan
proses pendidikan itu sendiri pada berbagai pengembangan intelektual, nilai-nilai
sosial dan moral, pengetahuan tentang fakta-fakta di bidang-bidang tertentu, dan
sebagainya. Dalam lingkungan pendidikan seperti ruang kelas, guru menggunakan
berbagai strategi dan materi didukung media dan bahan tertentu untuk mendukung
perubahan perserta didik menuju lebih baik. Hal ini biasanya dianggap sebagai proses
pembentuk, pengembang dan pendukung pengetahuan, keterampilan peserta didik.

Bahan ajar ini dimulai dengan pengenalan masing-masing teori pendidikan dan yang
diperkaya dengan sumber-sumber terlampir terkait masing-masing teori pendidikan
tersebut. Pemahaman teori pendidikan tersebut akan berdampak pada implikasi
pendidikan. Selanjutnya, analisis kasus terkait teori pendidikan tersebut dalam
prakteknya di lapangan akan menjadi ulasan tersendiri dalam memperdalam
pemahaman implikasi teori-teori pendidikan tersebut.

Analisis Kasus:

Mari ingat kembali fase-fase pendidikan yang sudah kita lewati dan coba refleksikan
proses pendidikan yang telah lewat dengan mengaitkan pada praktek pendidikan
yang merupakan implementasi pemikiran tokoh pendidikan berikut ini!

Sumber Belajar:

Video berikut dapat ditonton untuk memberikan gambaran umum berbagai


perspective pendidikan dengan masing-masing tokohnya.

Philosophical Perspectives of Education

A. Gagne
Robert Gagne (1916–2002) adalah seorang psikolog pendidikan yang
mempelopori ilmu pendidikan pada tahun 1940-an. Bukunya yang berjudul The
Conditions of Learning, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1965,
mengidentifikasi praktik pendidikan terkait kondisi pembelajaran efektif. Teori
belajar Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara pandangan
behaviorisme dan kognitifisme yang berdasar pada teori pemerosesan
informasi (Ratumanan, 2004). Menurut Teori Gagné, proses pendidikan dilihat
sebagai sebuah upaya dan proses pengembangan kognitif yang mana
bertujuan mengubah sifat pengetahuan atau stimulasi yang dikembangkan
melalui penerimaan dan pengelolaan informasi yang mana akan menjadi
sebuah pengetahuan yang baru. Dalam implementasinya terkait
pengembangan berbagai jenis pembelajaran, Gagné (1964) mengusulkan
enam jenis pembelajaran sebagai berikut: response learning, chaining, verbal
learning (paired associates), concept learning, principle learning, problem
solving (p. 312). Pemikiran Gagné tentang jenis-jenis pengembangan
pembelajaran tergambar dari pembahasannya tentang pemecahan masalah
sebagai bentuk pembelajaran yang berdasarkan pada pemikirannya tentang
pendidikan. Pemikiran Gagné tentang jenis-jenis pengembangan pembelajaran
tergambar dari pembahasannya tentang pemecahan masalah sebagai bentuk
pembelajaran. Berikut ini, ia menunjukkan bagaimana pemecahan masalah,
sebagai bentuk pembelajaran, yang dikembangkan pada pembelajaran
mencakup:

1. Keterampilan intelektual terkait konsep dan penyelesaian masalah

2. Strategi kognitif

3. Informasi lisan

4. Keterampilan motorik

5. Sikap

Deskripsi Gagné tentang kategori pemecahan masalah dan strategi kognitif


terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, dalam Gagné dan
Glaser (1987), "pemecahan masalah" digabungkan menjadi satu kategori
bersama dengan strategi kognitif sebagai penekanan dari konsep
pendidikan. Sebagai konsep pembelajaran yang berkembang dari awal
neobehaviorist, Gagne mengembangkan pembelajaran lebih berorientasi
kognitif. Gagné menekankan pada pemrolehan "konseptual" melalui
pembelajaran yang bermakna, dibandingkan dengan menghafal atau
pembelajaran asosiasi yang menjadi ciri karya Holland dan Skinner:

. . . dari evaluasi praktek pendidikan yang ada (misalnya, Holland, 1959;


Skinner, 1958), tidak terlihat penyampaian pemahaman dalam arti kemampuan
untuk mendorong penyelesaian masalah, namun lebih ke penggunaan kata-
kata dalam berbagai konteks stimulus. Sebagai hasilnya, Gagne menciptakan
proses yang mencakup sembilan langkah yang merinci setiap elemen yang
diperlukan untuk pembelajaran yang efektif dimana model ini berguna untuk
semua jenis pembelajaran.

· Level 1: Mendapatkan Perhatian Peserta didik (Penerimaan)

· Level 2: Menginformasikan Peserta didik tentang Tujuan (Harapan)

· Level 3: Merangsang Ingatan Pembelajaran Sebelumnya (Retrieval)

· Level 4: Menyajikan Stimulus/informasi baru kepada kelompok dengan


cara yang efektif dengan mempertimbangkan berbagai media dan gaya
pengajaran yang berbeda.

· Level 5: Memberikan Bimbingan Belajar (Semantic Encoding)

· Level 6: Memunculkan Performa (Menanggapi)

· Level 7: Memberikan Umpan Balik (Penguatan)

· Level 8: Menilai performace

· Level 9: Meningkatkan Retensi (Generalisasi)

Sumber Belajar:

Robert Gagne

B. Piaget
Jean Piaget (1896 – 1980) adalah seorang psikolog yang berfokus pada
pendidikan dan perkembangan manusia. Dia mengembangkan teori
perkembangan kognitif manusia berdasarkan minatnya pada biologi terkait
adaptasi manusia terhadap lingkungan. Teorinya bahwa kecerdasan manusia
juga merupakan mekanisme adaptif dinilai kontroversial pada eranya. Ini
menantang pendekatan psikometrik dan behavioris yang dominan terhadap
kecerdasan, yang mengukur kecerdasan (IQ) sebagai sifat yang tetap dan
diwariskan, atau mengacu pada pengkondisian eksternal (behavourisme)
sebagai sumber perubahan kognitif. Piaget lebih berpendapat bahwa manusia
adalah individu yang membangun pengetahuan secara aktif daripada hanya
sebagai penerima pengetahuan.

Teori Piaget adalah pengembangan paling komprehensif terkait dengan


perkembangan intelektual yang saat ini menjadi rujukan banyak praktisi
pendidikan. Piaget telah menggambarkan perkembangan berpikir sejak lahir
hingga dewasa di bidang-bidang yang mencakup logika, angka, waktu,
kausalitas fisik, ruang, geometri, persepsi, citra mental, pengujian hipotesis,
dan kesadaran. Piaget telah mengembangkan proses pemrolehan
pengetahuan dan bagaimana pengetahuan berkembang lebih jauh dengan
mengkaji proses berpikir manusia. Kontribusi Piaget pada pendidikan
didasarkan pada kekayaan teorinya tentang perkembangan pemikiran manusia
sebagai cara baru untuk memahami proses berpikir manusia yang terkait
berbagai bidang dan konteks. Konstruktivisme perkembangan teori Piaget
menawarkan dasar alternatif untuk praktik pendidikan yang dilihat lebih
potensial untuk pembelajaran peserta didik dibandingkan dengan praktik yang
berjalan.

Piaget mengembangkan metode eksperimen untuk mengkaji kemampuan


kognitif anak, serta penjelasan mendetail tentang bagaimana anak
mengembangkan pemikiran logis dan matematis. Menurut Piaget,
perkembangan dipahami sebagai peningkatan kompleksitas, mobilitas dan
sistematisasi struktur kognitif. Piaget melihat berpikir yang mencakup
kemampuan untuk menalar, menghubungkan ide, dan memecahkan masalah
sebagai hasil dari struktur kognitif yang secara bertahap dibangun di dalam otak
sebagai akibat dari paparan langsung dan interaksi dengan lingkungan.
Perkembangan tersebut terjadi dalam empat tahap progresif di mana proses
berpikir berkembang dari proses berpikir yang 'konkret', egosentris yang sangat
terkait dengan pengalaman fisik, menuju penalaran abstrak

'formal' yang melibatkan manipulasi mental daripada fisik dari konsep dan ide.
Setiap tahap mewakili perbedaan kualitatif mendasar dalam cara memahami
dunia, memproses dan menanggapi informasi, dan mengembangkan konsep.
Tahapan tersebut secara rinci:

1. Sensori-motorik (lahir hingga 2 tahun): pemahaman tentang dunia


terbatas pada interaksi visual dan sentuhan dengan dunia. Imitasi memberikan
landasan untuk berpikir dalam gambar visual.

2. Pra-operasional (2 hingga 4 tahun): berpikir melibatkan gambaran visual


tentang tindakan dan pengalaman sensorimotor, dan pemikiran simbolis
dimana proses berpikir difokuskan pada informasi khusus dengan
mengandalkan persepsi dan intuisi.

3. Operasional konkret (7-8 hingga 11-12 tahun): struktur kognitif telah cukup
berkembang untuk digunakan sebagai sistem logis dan digunakan di seluruh
konteks

4. Operasional formal (11-12 hingga 16-17 tahun): penalaran abstrak dan


dekontekstualisasi menggunakan proposisi verbal, premis, ide, dan konsep
dimungkinkan tanpa akses ke objek konkret. Peserta didik dapat berhipotesis,
memecahkan masalah, mencatat hubungan antara ide dan benda, menyimpan
sejumlah ide dalam pikiran, dan mengembangkan serta menghubungkan
konsep.
Norma usia yang diberikan oleh Piaget adalah perkiraan, meskipun Piaget
percaya bahwa semua manusia menjalani tahapan ini, dalam urutan ini, saat
mengembangkan kognisi dan kecerdasan. Sedangkan, belajar adalah proses
adaptasi terhadap rangsangan lingkungan, yang melibatkan proses
berkelanjutan dan berkesinambungan yang kemudian disebut Piaget sebagai
asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Dalam mengasimilasi pengetahuan,
peserta didik menggabungkan pengalaman dan pengamatan mereka ke dalam
logika pemahaman mereka yang telah ada atau berkembang. Akomodasi
terjadi ketika ada konflik atau ketidakcocokan antara informasi baru dan
pengetahuan internal peserta didik, yang menyebabkan peserta didik
menyesuaikan pemahaman dan harapan yang ada untuk memasukkan
persepsi dan pengalaman baru mereka. Belajar tidak hanya bergantung pada
pengalaman tetapi juga pada kematangan peserta didik dan kemampuan
peserta didik untuk menyerap dan belajar dari rangsangan yang diberikan.
Piaget mengamati bahwa peserta didik dibatasi oleh struktur kognitif yang ada
dalam mengembangkan cara baru untuk memahami fenomena. Pembelajaran
bergantung pada interaksi siswa secara langsung dengan objek, bukan pada
transmisi informasi.

Fokus Piaget pada pembelajaran sebagai pengembangan individu tercermin


dalam pengorganisasian sebagian besar sistem pendidikan, di mana
pembelajaran bersifat individual dan peserta didik diukur berdasarkan
performance individu daripada performance kolaboratif. Piaget berpikir bahwa
eksplorasi dan penemuan mandiri adalah penting di semua tahap
perkembangan kognitif dalam memungkinkan siswa untuk mengembangkan
pembelajaran aktif secara konkret dimana peserta didik berkesempatan untuk
belajar langsung, bereksperimen dan menguji objek untuk membangun konsep.

Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut:

Teori Perkembangan Kognitif Piaget

Teori Konstruktivisme Perkembangan Kognitif Jean Piaget


Play Video

Teori Piaget tentang Perkembangan Kognitif


Play Video

C. Vygotsky
Lev Vygotsky menggunakan pendekatan konstruktivis sosial dalam mengembangkan
pemikirannya terkait pendidikan. Teori konstruktivis ini membahas tentang bagaimana
pengetahuan siswa terbentuk sebagai dampak dari proses pendidikan. Pengetahuan seseorang
terbentuk karena adanya interaksi antara seseorang individu dan lingkungan dan orang lain
yang secara terus-menerus melakukan eksplorasi terhadap lingkungan yang ada disekitarnya.
Teori Vygotsky lebih mengedepankan aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky,
proses pembelajaran akan terjadi jika seseorang mencoba hal baru atau mencoba untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya secara mandiri. Tetapi,
tugas-tugas tersebut tetap dalam jangkauan orang yang lebih dewasa atau lebih mampu. Ini
disebut dengan Zone of Proximal Development dan Scaffolding (Daniels, 2016). Salah satu
komponen yang paling mendasar dalam teori Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding
merupakan memberikan bantuan kepada seseorang yang dilakukan melalui tahap-tahap
pembelajaran dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan bagi seseorang
agar melanjutkan tugas-tugasnya (Anthis & Adams, 2012). Ide-ide Vygotsky serupa dalam
beberapa hal dengan ide Piaget: Keduanya percaya bahwa belajar adalah hasil dari pengalaman
langsung yang berasal dari lingkungan seseorang; keduanya menganggap bermain dan
eksplorasi sebagai kegiatan edukatif utama; dan keduanya percaya bahwa interaksi sosial
dengan orang lain, baik teman sebaya atau orang dewasa, sangat penting untuk terjadinya
pembelajaran.

Vygotsky sendiri menekankan bahwa salah satu karakteristik yang membedakan antara
manusia dan hewan adalah bahwa manusia mewarisi pengalaman sosial dan historis. Artinya,
manusia tidak harus menemukan sendiri bahwa, misalnya gurun Sahara adalah daerah yang
sangat kering, dan bahwa pada masa lalu itu belum menjadi gurun. Fakta-fakta ini dapat
dijelaskan oleh guru atau dapat dibaca dalam buku (Van der Veer, 2011). Vygotsky sendiri
memiliki konsep pendidikan Zone of Proximal Development. Seseorang pada dasarnya
memiliki perkembangan aktual yang bisa membuat seseorang menjadi lebih mandiri. Menurut
Hedegaard (2005), Tingkat perkembangan aktual mencirikan keberhasilan perkembangan
sebelumnya, hasil perkembangan di masa lampau, tetapi zona perkembangan proksimal adalah
ciri perkembangan mental masa depan. Seseorang yang memiliki IQ atau kecerdasan tinggi
umumnya cenderung kehilangan keunggulan mereka setelah beberapa tahun, mereka juga
kurang beruntung di sekolah. Berbeda dengan seseorang yang memiliki IQ atau kecerdasan
normal, mereka cenderung stabil. Ini dikarenakan individu yang cerdas tidak terstimulasi
dengan baik. Pembelajaran biasa untuk mereka tidak terlalu menantang atau terlalu mudah
karena usia mental mereka tidak seperti individu lainnya. Menurut Vygotsky (Chaiklin, 2003),
Ini merupakan situasi yang disayangkan. Dengan begitu, pembelajaran harus menawarkan
tugas-tugas yang berada di atas tingkat intelektual seseorang, tetapi tidak terlalu jauh di atas
itu. Seseorang akan cukup terstimulasi untuk mencoba masalah baru dan naik di tingkat
intelektualnya. Jarak antara tingkat kompleksitas tugas yang harus dilakukan dengan
kemampuan intelektual seseorang untuk melakukannya itulah yang dinamakan zona
perkembangan proksimal.

Keterampilan-keterampilan dalam berfungsinya mental dapat berkembang melalui interaksi


secara langsung. Tentang informasi alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-
hubungan interpersonal kognitif dipancarkan ketika terdapat interaksi secara langsung dengan
manusia yang lain. Dengan melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman dalam suatu
interaksi sosial dapat mengembangkan mental dan kemampuan berpikir pada seorang individu
menjadi matang (Vygotsky, 1962). Teori Vygotsky dapat diterapkan dalam interaksi belajar
mengajar yaitu dengan cara tetap melibatkan orang dewasa untuk turut aktif dalam
mendampingi proses pembelajaran, memberikan tugas kelompok pada seseorang dan teman
atau rekan sebayanya secara kooperatif guna mempercepat perkembangan seorang individu,
lalu dengan tugas kelompok tersebut dapat dikembangkan menjadi pengajaran pribadi oleh
teman atau rekan sebayanya (Peer Tutoring).
Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut:

Educational Implications of Vygotsky’s Theory


Play Video

Vygotsky’s Theory of Cognitive Development in Social Relationship


Play Video

Vugotsky’s Learning Theory


Play Video

D. John Dewey
John Dewey adalah seorang pragmatis, progresivis, pendidik, filsuf, dan pembaharu sosial
(Gutek, 2014). Pengaruh Dewey pada pendidikan terbukti dalam teorinya tentang pembelajaran
sosial dimana dia percaya bahwa pendidikan melalui institusi sekolah harus mewakili
lingkungan sosial dan bahwa seorang peserta didik belajar paling baik ketika berada dalam
lingkungan sosial yang alami (Flinders & Thornton, 2013). Ide-idenya berdampak pada
pendidikan di sisi lain karena dia percaya bahwa semua peserta didik merupakan pembelajar
yang unik. Pendidikan merupakan upaya untuk mendukung minat siswa yang dikembangkan
melalui instruksi pendidik (Dewey, 1938). Pendidikan di sebagian besar ruang kelas saat ini
adalah apa yang Dewey gambarkan sebagai pengaturan dan implementasi kelas tradisional. Dia
percaya bahwa pengaturan kelas tradisional tidak sesuai dengan perkembangan untuk peserta
didik (Dewey, 1938). Menurut Schiro (2012), Dewey percaya bahwa pendidikan adalah "bahan
penting dalam perkembangan sosial dan moral" (hal. 174). Keyakinan dan filosofi Dewey
tentang pendidikan dan pembelajaran telah berdampak pada pendidik yang tak terhitung
jumlahnya selama bertahun-tahun dan dikembangkan di banyak teori pembelajaran seperti
pendidikan progresif, konstruktivisme, teori yang berpusat pada peserta didik, pengetahuan dan
pengalaman, yang semuanya berbeda dari apa yang Dewey gambarkan pengaturan sebagai
ruang kelas tradisional yang umum diterapkan (Dewey, 1938; Schiro, 2012). Perspektif
Teoritis Dewey (1938) menggambarkan pendidikan progresif sebagai produk ketidakpuasan
dengan pendidikan tradisional. Dewey berpikir bahwa pendidikan yang efektif datang terutama
melalui interaksi sosial dan bahwa lingkungan sekolah harus dianggap sebagai institusi sosial
(Flinders & Thornton, 2013). Dia menganggap pendidikan sebagai “proses hidup dan bukan
hanya merupakan persiapan untuk kehidupan masa depan” (Flinders & Thornton, 2013, p.35;
Gutek, 2014).

Pemikiran dan filosofis pendidikan Dewey memiliki pengaruh besar dalam dunia pendidikan,
pada kurikulum pendidikan tradisional yang menuntut peserta didik harus patuh dan tidak
memiliki kebebasan untuk mengeksplor lingkungan dan proses pendidikan yang dialami
sehingga tidak cukup memadai dalam menyelesaikan persoalan, maka Dewey menperkenalkan
sebuah metode pendidikan yang berbasis pengalaman atau yang umumnya dikenal dengan
learning by doing (Dewey, 1838; Schiro, 2012). Menurut Dewey (1838), ia percaya bahwa
sekolah harus mewakili kehidupan saat ini sebagai suatu yang nyata dan vital bagi seorang
individu seperti dengan apa yang dilakukan di lingkungan keluarga, lingkungan rumah,
maupun lingkungan bermain. Halaman dan ruangan kelas sebagai entitas sosial bagi seorang
individu untuk belajar dan memecahkan masalah bersama sebagai sebuah komunitas
merupakan implementasi pemikiran Dewey terkait konsep pendidikan. Di ruang kelas ini,
peserta didik dipandang sebagai individu yang unik dimana peserta didik dapat ditemukan
sibuk bekerja membangun pengetahuan mereka sendiri melalui pengembangan makna pribadi,
daripada mengarah kepada pengetahuan yang dipaksakan oleh pendidik melalui kegiatan yang
dilaksanakan oleh pendidik (Schiro, 2013). Peserta didik akan terlihat belajar sambil bekerja
di kelas ini dan mereka akan memecahkan masalah melalui pendekatan dan praktek
pembelajaran langsung. Ketika pendidik merencanakan pengajaran dan pembelajaran, minat
peserta didik akan dipertimbangkan dan diintegrasikan dengan pengembangan pembelajaran
proyek. Pengalaman pendidikan meliputi pertumbuhan intelektual, sosial, emosional, fisik, dan
spiritual seseorang secara keseluruhan, bukan hanya menekankan pada pertumbuhan akademik
(Schiro, 2013).

Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut:

Teori Pendidikan John Dewey


Play Video

4 Prinsip Pendidikan John Dewey

John Dewey
Play Video

E. JJ. Rousseau
Dalam tulisan Rousseau yang berjudul “emile” atau tentang “pendidikan”,
Rousseau memberikan suatu ide pedagogis yang berdasarkan prinsip “Back
To Nature”. Kosep pendidikannya menekankan pada kebudayaan yang
melawan alam dan berhubungan erat dengan ajaran tentang negara dan
masyarakat. Tugas pendidikan untuk membebaskan seorang individu dari
pengaruh kebudayaan dan untuk memberi kesempatan kepada individu
tersebut untuk mengembangkan potensinya sendiri secara alamiah atau
spontan (Hamersma, 1984; Hadiwijono, 2002). Menurut Smith (1986) prinsip
dasar pendidikan harus dikembangkan sesuai dengan sifat dan kebutuhan
setiap individu dimana dorongan hati setiap seseorang tidak boleh dibatasi.
Seorang anak lahir dalam keadaan yang baik, ia memiliki sifat jahat apabila ada
pengaruh dari orang dewasa. Smith (1986) kembali menjelaskan bahwa
penerapan bagi pendidik berdasarkan pandangan Rousseau adalah hanya
boleh mengawasi gerak-gerik, reaksi terhadap lingkungan dan cara-cara
peserta didik tersebut mengekspresikan diri dalam proses pembelajaran yang
dialami.

Pendidikan memiliki tiga sumber yaitu bersumber dari alam, berasal dari
manusia, dan berasal dari hal-hal yang sangat disukai atau minat seseorang.
Pembebasan untuk pengembangan pembelajaran dimana ide, minat dan
pandangan serta kebutuhan seseorang dapat dipenuhi sebagai bagian dari
proses pendidikan. Peserta didik dipandang sebagai makhluk yang bebas,
rasional, dan sebagai individu yang berkembang dan berpendidikan. Dan
dalam proses pendidikan melibatkan kurikulum yang diwujudkan dalam proses
belajar mengajar yang sesuai dengan konsep pendidikan kembali kea lam atau
Back to Nature. Tidak hanya itu peran orang tua juga sangat di perlukan
sebagai bagian dari proses pendidikan.

Rousseau mengajukan pendidikan alam dimana artinya sesorang hendaklah


dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya atau secara
alamiah, manusia atau masyarakat tidak banyak mencampurinya. Rousseau
juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa dapat
merusak pembawaan dan pengembangan anak. Aliran ini juga disebut aliran
negativism, dengan kata lain pendidikan dipandang tidak diperlukan. Aliran
negativism dapat berarti pula menyerahkan peserta didik ke alam, agar
pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui
proses dan kegiatan pendidikan. Hal ini dikarenakan ketika mendapatkan
pengaruh baik maka akan menghasilkan yang baik, akan tetapi jika pengaruh
itu buruk, maka akan buruk pula hasilnya.

Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut: Rousseau tentang Pendidikan


Play Video

Introduction to Rousseau
Play Video

F. John Locke
Pemikiran John Locke memiliki dampak besar dalam sejarah filsafat yaitu
tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuannya. Menurut Locke,
proses manusia mendapatkan pengetahuannya adalah dari pengalaman
(Tarcov, 1969). Locke berpendapat bahwa sebelum seorang manusia
mengalami sesuatu, pikiran manusia itu belum berfungsi atau masih kosong.
Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan pemikiran yang sebelumnya
telah diungkapkan oleh Descartes. Yang mana Descartes memiliki pemikiran
bahwa sumber pengetahuan itu berasal dari akal. Artinya mereka meyakini
bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berakal.

Pemikiran John Locke diumpamakan melalui pikiran manusia yang hanya


berupa lembaran kertas kosong atau dikenal dengan konsep tabula rasa.
Melalui pengalaman yang dianggap sebagai bagian dari konsep pendidikan lah
kertas tersebut akan terisi. Locke berpendapat bahwa cara manusia
memperoleh pengetahuan itu dengan proses belajar yang meliputi percobaan
atau experiment dan pengalaman atau experience yang melibatkan perasaan
atau emosi yakni melibatkan pengalaman inderawi dan refleksi (Hadiwijono,
1985).
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa pemikiran John Locke memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam berbagai bidang. Mulai dari bidang filsafat
pengetahuan, politik, agama, bahkan psikologi. Pemikirannya mengenai proses
pemrolehan pengetahuan manusia dari pengalaman terbukti dengan
banyaknya pemikirannya mempengaruhi para filsuf setelahnya. Pemikirannya
juga memberi dampak pada pengembangan praktek pendidikan yang terlihat
pada berbagai upaya pengembangan praktek pembelajaran. Sedangkan
dalam bidang psikologi, pemikiran John Locke berhasil memengaruhi dalam hal
analisis pengalaman manusia berdasarkan unsur-unsur pengalaman,
pengkombinasiannya, dan asosiasi-asosiasi yang terjadi.

Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut: John Locke’s Thoughts on


Education
Play Video

John Locke’s Blank Slate Theory


Play Video

Locke’s Empiricism
Play Video

G. M. J. Langeveld
Martinus Jan Langeveld merupakan seorang ahli pedagogik yang lahir di
Haarlem, Belanda pada 30 Oktober 1905. Langveld merupakan seorang yang
berpengaruh di bidang pendidikan dan seorang pengembang Sekolah
Fenomenologi Utrecht. Menurut Langveld (1971), Pendidikan ialah setiap
usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada seseorang
yang bertujuan kepada pendewasaan seseorang atau lebih tepat, membantu
seseorang agar cukup dewasa dan cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya
secara mandiri. Pengaruh dan pengembangan tersebut datangnya dari orang
dewasa atau diciptakan oleh orang dewasa, yaitu pendidik dan orang tua
melalui institusi sekolah dimana melibatkan buku, peraturan hidup sehari-hari,
dan sebagainya dan ditujukan kepada pengembangan orang yang belum
dewasa. Pendidikan muncul dari adanya interaksi antara orang dewasa yaitu
pendidik dan juga peserta didik yang berada dalam suatu kesatuan yang utuh
dalam proses pendidikan. Pendidikan yang dilakukan secara sadar oleh orang
dewasa didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan yang diutamakan dan bukan
hanya sebatas transfer pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki orang
dewasa kepada peserta didik (Hendrowibowo, 1994).

Langeveld menjelaskan bahwa pedagogik atau ilmu mendidik merupakan suatu


ilmu yang bukan hanya menelaah objeknya untuk mengetahui betapa keadaan
atau hakiki objek tersebut, melainkan mempelajari pula bagaimana hendaknya
harus bertindak terkait dengan objek tersebut. Atas dasar tersebut, maka ilmu
mendidik disebut juga-seperti halnya dengan semua ilmu yang bersamaan
sifatnya-suatu “ilmu praktis”. Tetapi biarpun demikian, namun dapat dibedakan
ilmu mendidik teoritis daripada ilmu mendidik praktis. (Langeveld, 1971).

Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut: Biografi Martinus Jan


Langeveld
Play Video

Tokoh-tokoh Pendidikan Dunia.


Play Video
BAB IV

SEJARAH DAN TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN YANG BERPENGARUH

A. Sejarah dan pemikiran Ki Hajar Dewantara

Apakah Anda mengenal tokoh-tokoh Pendidikan Nasional yang berpengaruh


kepada sejaran Pendidikan di Indonesia? Ki Hajar Dewantara adalah salah
satu tokoh pendidikan yang berkontribusi besar terhadap pendidikan di
Indonesia. Ia adalah tokoh pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia
dari jaman penjajahan Belanda. Ia merupakan pendiri Perguruan Taman
Siswa, suatu Lembaga Pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
kaum pribumi yang pada saat itu tidak memperoleh hak pendidikan, agar bisa
memperoleh hak Pendidikan seperti halnya para priyayi (golongan
bangsawan atau keluarga kerajaan) maupun orang-orang Belanda pada saat
itu. Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan
nama Raden Mas Soewardi Soeryadiningrat. Ia berasal dari lingkungan
keluarga Pakualaman dan dibesarkan di lingkungan keraton Yogyakarta. Ki
Hajar Dewantara menempuh Pendidikan di Europeesche Legere School
(ELS) yang merupakan sekolah dasar pada jaman penjajahan Belanda.
Setelah lulus dari ELS ia melanjutka pendidikannya di STOVIA (Sekolah
Dokter Bumiputera) di Batavia pada jaman Kolonial Hindia Belanda, namun ia
tidak dapat menamatkan sekolah tersebut karena sakit. Ki Hajar Dewantara
bekerja sebagai penulis dan wartawan di berbagai surat kabar pada saat itu,
tulisan-, tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat anti kolonial. Ia
juga aktif dalam organisasi sosial politik Boedi Oetomo sebagai seksi
propaganda yang mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia akan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara.

Pada tahun 1919 setelah kembali dari pengasingan di pulau Belanda selama
6 tahun, Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia dan menjadi guru di
sekolah binaan saudaranya. Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara medirikan
Sekolah Perguruan Nasional Taman Siswa yang menekankan pendidikan
kebangsaan kepada para pribumi.

Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada masa lalu


Taman Siswa adalah sebuah organisasi pendidikan alternatif yang didirikan
oleh Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara. Taman Siswa berdiri
pada 3 Juli 1922 di kota Yogyakarta. Taman Siswa selalu menekankan prinsip
nasionalisme dan kemerdekaan dalam pelaksanaan pendidikannya. Taman
Siswa juga bersikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Pendirian Taman Siswa merupakan bentuk perlawanan Ki Hadjar Dewantara
terhadap deskriminasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Dalam buku Munculnya Elite Modern Indonesia (2009) karya Robert
Van Niel, pada masa Politik Etis (1901-1916), Belanda menerapkan sistem
pendidikan bertingkat sesuai dengan status sosial masyarakat Indonesia.
Rakyat jelata hanya diberikan pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD),
sedangkan kaum priyayi dan bangsawan Eropa diperbolehkan untuk
menempuh pendidikan tinggi. Bahkan, banyak kaum priyayi yang mendapat
akses untuk berkuliah di Eropa.

Perguruan Taman Siswa saat ini

Apakah konsep penting yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara?


Beberapa konsep yang dikemukakannya antara lain:

1. Mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah “tri-nga” (“nga”


adalah huruf terakhir dalam abjad Jawa Ajisaka). Nga pertama adalah
ngerti (memahami atau aspek intelektual), nga kedua ngrasa
(merasakan atau aspek afeksi), dan nga ketiga adalah nglakoni
(mengerjakan atau aspek psikomotorik). Menurutnya. pembelajaran
harus mendidik anak menjadi manusia merdeka batin, pikiran dan
tenaga; jangan terlalu mengutamakan kecerdasan pikiran karena akan
memisahkan orang terpelajar dari rakyat. Konsep pendidikan “tri nga”
ini masih sangat relevan sampai saat ini dan setara dengan Taksonomi
Bloom dengan tiga domain Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik. Ketiga
domain tujuan pembelajaran ini secara simultan harus menjadi capaian
pembalajaran para pemelajar siswa, jangan hanya menekankan aspek
konitif saja (pengetahuan) atau aspek psikomotor (keterampilan) saja.
2. Konsep lain yang dikemukakannya adalah “Ing ngarso sung tulodo, ing
madyo mangun karso, tut wuri handayani. Konsep ini berbicara tentang
peran guru yang di depan memberikan teladan, di tengah membangun
kekuatan dan terus berkarya, dan di belakang memberikan dorongan.
3. Satu lagi pemikiran penting dari Ki Hajar Dewantara adalah Sistem
pendidikan dan pembelajaran di Indonesia harus disesuaikan dengan
kepentingan rakyat, nusa dan bangsa, kepentingan hidup kebudayaan
dan hidup kemasyarakatan dalam arti yang seluas-luasnya.
Untuk mempelajari lebih jauh mengenai biografi Ki Hajar Dewantara
dan konsep Pendidikan yang diajukannya, Anda dapat membaca pada link
berikut ini:

Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!

Bacalah artikel jurnal yang berjudul “Konsep Pendidikan Taman Siswa Sebagai Dasar
Kebijakan Nasional Merdeka Belajar di Indonesia” pada link berikut:

Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!

Kajilah artikel tersebut dan berikan penjelasan mengapa konsep Pendidikan Ki Hajar
Dewantara, masih relevan dengan kebijakan pendidikan pada saat ini!

B. Sejarah dan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan

Salah satu tokoh Pendidikan nasional yang penting adalah Kyai Haji Ahmad
Dahlan atau Muhammad Darwis (1Agustus 1868 – 23 . Februari 1923). Ia
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan
pendiri Muhammadiyah. Dia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari
keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari
H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat pada masa itu. Pada umur 15 tahun, Ahmad Dahlan pergi haji
dan tinggal di Mekah selama lima tahun.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan


organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di
bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam
cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Perkumpulan ini
berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan
telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Bacalah sejarah tokoh
pendiri Muhammadiyah pada link berikut:

Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!


Sekolah Muhammadiyah dan KH Ahmad Dahlan sebagai pendirinya

Konsep pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan bahwa:

1. Tujuan pendidikan berupa pembentukan kepribadian serta menjadi


manusia unggul. Pendidik bagi K.H. Ahmad Dahlan harus bisa memberi
contoh kepada peserta didik.
2. Peserta didik harus mempunyai ilmu yang dapat diamalkan dalam
kehidupan sehari hari serta memiliki kemampuan. Kurikulum pendidikan
K.H. Ahmad Dahlan bersumber dari al-Quran dan Hadis,
3. Materi Pendidikan meliputi pengajaran al-Quran dan Hadits, membaca,
menulis, menghitung, ilmu bumi. materi Al-Quran dan Hadits seperti
ibadah, persamaan derajat, Akidah, Akhlak.
4. Metode pendidikan yang dilakukan berupa metode sorogan, bandongan
dan wetonan menjadi bentuk madrasah atau sekolah dengan
menerapkan metode belajar secara klasikal.
5. Bentuk evaluasi tidak perlu dilaksanakan secara gamblang atau
eksplisit dalam bentuk tes, akan tetapi hasil belajar siswa dapat dilihat
dari diamalkannya materi yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini sejalan dengan konsep asesmen alternatif atau asesmen otentik
yang sekarang ini banyak diterapkan dalam mengevaluasi hasil belajar.

SMA I Muhammadiyah masa kini di Yogyakarta

Kiyai Haji Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai pendiri organisasi keagamaan
dengan nama Muhammadiyah yang berdiri sejak tahun 1912, merupakan
organisasi keagamaan yang di anut oleh jutaan ummat di seluruh Nusantara.
Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang didirikan oleh Kyai Haji
Ahmad Dahlan, merupakan organisasi sebagai sarana dakwah, dengan
pendekatan secara rasional, sehingga tidak bisa kita pungkiri, bahwasanya
sarana dakwah dari organisasi Muhammadiyah ini lebih pada masyarakat
perkotaan. Untuk mengenal lebih jauh tentang tokoh Kyai Haji Ahmad Dahlan
dan pendirian Muhammadyah, tontonlah video pada pada link berikut ini:
Play Video

Setelah menyaksikan video tersebut, berikanlah pendapat Anda untuk


pertanyaan berikut ini:

1. Pembaharuan Pendidikan apakah yang dilakukan oleh KH.Ahmad


Dahlan?
2.

Setelah Anda telah mengenal konsep pendidikan dari Kyai Haji Ahmad Dahlan,
bacalah artikel berikut ini yang berjudul “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dan
Pendidikan” pada link berikut ini: Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!

Kajilah konsep Pendidikan KH Ahmad Dahlan yang manakah yang masih relevan dengan
Pendidikan saat ini? Berikanlah pendapat anda secara jelas dan singkat!

3.
Mengapa banyak pihak yang menentang pembaharuan yang dilakukan
oleh KH.Ahmad Dahlan? Jelaskan secara singkat pihak mana saja dan
apa alasannya!

C. Sejarah dan Pemikiran M. Syafei

Tokoh Pendidikan Nasional lainnya yang cukup terkenal dan memberikan


kontribusi pada Pendidikan di Indonesia adalah Mohammad Syafei. Ia lahir
tahun 1893 di Ketapang (Kalimantan Barat) dan diangkat jadi anak oleh
Ibrahim Marah Sutan dan ibunya Andung Chalijah. Kemudian dibawa pindah
ke Sumatra Barat dan menetap di Bukit Tinggi. Marah Sutan adalah seorang
pendidik dan intelektual ternama. Dia sudah mengajar di berbagai daerah di
nusantara pindah ke Batavia pada tahun 1912 dan aktif di Indische Partij.
Pendidikan yang ditempuh Moh.Syafei adalah sekolah raja di Bukit Tinggi dan
kemudian belajar melukis di Batavia (Jakarta) sambal mengajar di Sekolah
Kartini. Pada tahun 1922 Moh.Syafei menuntut ilmu ilmu keguruan di Negara
Belanda dengan tujuan agar Syafei bisa membuka sekolah untuk kaum
bumiputera, ia bersekolah dengan biaya sendiri. Di nengeri Belanda ia
bergabung dengan “Perhimpunan Indonesia” sebagi Ketua seksi Pendidikan.
ada tahun 1922 menuntut. Syafei akhirnya mendirikan sekolah Indonesische
Nederland School (INS) pada tanggal 31 Oktober 1926 di Desa Kayutanam,
Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sekolah ini didirikan sebagai reaksi
terhadap sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan Hindia
Belanda.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang Mohammad Syafei, bacalah artikel


“Engku Mohammad Syafei melawan system pendiidkan Belanda dengan INS
Kayu Tanam” pada link berikut ini:

Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!


Indonesisch Nederlandsche School (INS) Kayu Tanam, Sumatera Barat

Sjafei pernah merantau ke Belanda atas usaha sendiri untuk belajar di sana.
Dari negeri Belanda, Sjafei memperoleh empat ijazah: ijazah guru Eropa,
menggambar, pekerjaan tangan, dan musik. Di samping itu ia ikut aktif dalam
organisasi pelajar yang didirikan oleh Mohammad Hatta yaitu ”Indonesische
Vereeniging” dan menjadi redaktur rubrik pendidikan pada organisasi itu.
Setelah sering berdiskusi, Hatta dan Sjafei sepakat soal pentingnya
pendidikan bagi kemerdekaan. Tak heran jika Sjafei menolak tawaran
mengajar di sekolah pemerintah dan memilih membangun sekolah sendiri.
Sjafei bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan
bakat-bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat
Indonesia.

Di Kayutanam-lah ia mendirikan sekolah yang dimaksud. Dalam memimpin


sekolahnya, ia akan menolak secara keras bantuan dari luar, terutama bila
bantuan tersebut bersifat mengikat dan tidak memberinya kebebasan. Semua
bangunan dan fasilitas sekolah adalah hasil buah karya dan kemandirian
murid-muridnya sendiri. INS Kayutanam dikategorikan sebagai sekolah
kejuruan. Semboyannya sangat terkenal: “Apa yang saya dengar saya lupa,
apa yang saya lihat saya ingat dan yang saya perbuat saya tahu.” Murid-
muridnya yang pertama, sebanyak 110 orang, tidak duduk di bangku,
melainkan di atas tikar. Keadaan seperti itu berlangsung selama 9 bulan.
Setelah itu, secara bergotong royong, murid-murid mendirikan sebuah
bangsal yang sederhana di tengah-tengah kebun kopi. Bangsal tersebut
dijadikan 4 kelas dimana saat itu muridnya sudah bertambah menjadi 200
orang. Pada masa Jepang singkatan INS berubah menjadi “Indonesia Nippon
Sekolah” dan setelah proklamasi, disesuaikan dengan Indonesia Nationale
School (INS).

Adapun tujuan sekolah yang diselengarakan oleh Mohammad Syafei adalah:


(1) mendidik anak-anak agar mampu berpikir secara rasional, (2) mendidik
anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh, (3)
mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang berwatak baik, (4)
menanamkan rasa persatuan. Pandangan Syafei tentang pendidikan bahkan
telah melampaui zamannya mengenai peranan pendidikan dasar bagi
kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

Untuk mengetahui lebih jauh, saksikanlah video berikut dengan judul


“Muhammad Syafei Tokoh Terlupakan Pendiri Sekolah Bumiputera
Pertama” pada link:
Play Video
Setelah menonton video tersebut, diskusikan pertanyaan berikut dalam
kelompok Anda masing-masing dan berikan jawabannya:

1. Apakah yang dimaksud oleh M.Syafei bahwa Pendidikan ingin


menghilangkan verbalisme? Apakah masih relevan hingga saat ini,
bagaimana contohnya?
2. Bagaimanakan Pendidikan yang mengutamakan proses? Apakah
kaitannya dengan pendekatan proses atau keterampilan proses saat
ini? Berikanlah contohnya!

INS Kayu Tanam saat ini di Padang Pariaman, Sumatera Barat

Sebagaimana diketahui, konsep pendidikan Sjafei tak sekedar mendidik nalar


menjadi pintar, melainkan harus ditambahkan kekuatan jiwa, antara lain
kebangsaan. “Pertolongan untuk keluar dari keaktipan yang rendah itu ialah
pendidikan dan pengajaran yang efektif. Artinya pendidikan dan pengajaran
yang mengandung sekalian inti-inti dari tjita-tjita bangsa Indonesia! Inti-inti dari
cita-cita kebanggaan itu terdiri dari sejumlah sistem nilai yang menjiwai
suasana bathin dan perilaku anakbangsa seperti kemandirian, dalam arti
percaya diri, siap menjadi diri sendiri, berani berdiri di atas kaki sendiri dalam
arti tidak tergantung pada orang lain. Dalam bahasa Belandanya ialah op zijn
eigen benen kunnen staan; aktif-kreatif dan inisiatif, berkecakapan untuk
mencipta dan bukan menjadi “pak tiru” bulat-bulat, “berperasaan” tanggung
djawab akan keselamatan negara dan bangsa Indonesia dan kemanusiaan;
berkeyakinan demokrasi dalam hak dan kewadjiban berjasmani sehat, ulet
tajam berpikir serta logis, berperasaan halus dan tajam.

Jika diringkas, beberapa dasar pendidikan yang diletakkan oleh Mohammad


Syafei adalah:

1. Berpikir logis dan rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan
takhayul, isi pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat dan kegunaan hasil Pendidikan untuk kemajuan
masyarakat.
2. Dengan sekolahnya yakni INS Kayutanam ingin menghilangkan
penyakit pendidikan pada waktu itu, yaitu verbalisme. Pendidikan yang
diajarkan oleh Syafei di INS Kayutanam menanamkan rasa percaya diri
dan bertanggung jawab siswa.
3. Menekankan pentingnya pendidikan karakter dalam sekolah,
mensinergikan antara akademik, kreativitas, dan akhlak mulia di INS
Kayutanam. Gagasan Mohammad Syafei ini menjadi contoh yang
bagus dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Dari beberapa konsep Pendidikan yang dikemukakannya, dapat disimpulkan
bahwa M. Syafei sudah menerapkan student center learning dan link and
match dalam Pendidikan. Unsur kebangsaan amat kuat dalam pemikiran Moh.
Sjafei. Di sini dijumpai semangat zaman yang menjiwai pemikiran
pendidikannya, yaitu semangat nasionalisme anti-kolonial. Semua ini
tercermin dari paradigma pendidikan yang dikembangkannya, yang
kesemuanya diarahkan untuk memperkuat karakter bangsa. Selepas
proklamasi Indonesia, Sjafei masuk politik. Pada 1946 ia diangkat menjadi
menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) dalam Kabinet
Syahrir yang kedua menggantikan Todung Sutan Gunung Mulia. Kemudian ia
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pada 1950 menjadi
anggota parlemen. Ia pernah mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari
IKIP Padang pada tahun 1968. Syafei meninggal dunia pada tanggal 5 Maret
1969.

Last modified: Wednesday, 2 February 2022, 2:49 PM


BAB III

HUBUNGAN DAN PERANAN PENDIDIKAN DALAM BIDANG SOSIAL,


EKONOMI, POLITIK DAN BUDAYA

A. PENDAHULUAN

Tema utama Sub tema Apa yang dilakukan dan


bagaimana
PENDIDIKAN Area kunci dalam ekonomi dan pendidikan :
DAN
EKONOMI 1. Pendidikan sebagai modal manusia (Human Capital) dan pertumbuhan
ekonomi (pertanyaannya: apakah pendidikan menyebabkan/mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi?)

2. Efisiensi dalam produksi pendidikan (bagaimana para ekonom


menerapkan standar kesuksesan kebijakan ekonomi?)

3. Pangsa kerja guru – bagaimanakah membuat kebijakan yang


meningkatkan fungsi pasar tenaga kerja guru?

4. Reformasi pasar dalam pendidikan


Kegiatan : Harga dan
keuntungan pendidikanmu
Pendidikan sebagai modal manusia
(Human Capital) dan pertumbuhan Para ekonom melakukan analisis
ekonomi (pertanyaannya: apakah cost-benefit dalam dunia
pendidikan pendidikan untuk menentukan
menyebabkan/mempengaruhi apakah kegiatan pendidikan itu
pertumbuhan ekonomi?) merupakan investasi yang layak.
Untuk itu marilah kita berpikir
seperti ekonom dengan memikirkan
cost yang anda keluarkan dalam
perkuliahan yang anda sekarang
akan memberikan keuntungan di
masa yang akan datang.

Secara individual :

Tulislah berapa uang perkuliahan


yang anda bayar tiap semester.
Mungkin terlihat banyak sekali,
namun kemungkinan pemerintah
memberikan subsidi terhadap
kuliahmu ini. Carilah di internet
untuk mengetahui berapa
pemerintah berkontribusi
mensubsidi kuliahmu?

Biaya terbesarmu sebenarnya


adalah penghasilan yang hilang
yang mungkin anda peroleh jika
anda tidak kuliah. Tulislah
beberapa pekerjaan yang mungkin
anda bisa dapatkan bila anda tidak
kuliah. Caritahulah kira-kira berapa
total penghasilan yang anda peroleh
dari pekerjaan ini selama anda
kuliah.

Sekarang mari kita daftar manfaat


kuliah. Pertama tulislah semua
pengetahuan, keterampilan,
kompetensi dan sikap yang kamu
dapatkan selama kamu kuliah.

Tulislah pekerjaan yang anda harap


anda dapatkan ketika kamu
menyelesaikan perkuliahan. Carilah
berapa gaji yang kamu dapatkan.
Berapa selisih banyaknya uang
yang kamu dapatkan dibanding
dengan pekerjaan yang kamu
lakukan (yang tadi kamu cari)
dibanding kalau kamu tidak kuliah?

Apa keuntungan non uang yang


mungkin kamu dan masyarakat
dapatkan sebagai hasil dari
pendidikanmu?

Dalam kelompok yang berbeda


prodi :

Buatlah kelompok yang terdiri dari


berbagai prodi. Silahkan saling
sharing hasil analisismu.
Bandingkan hasil pendidikanmu
dengan hasil pendidikan dari prodi
lain. Apakah ada pekerjaan yang
menurutmu tidak dibayar besar
walau pun keuntungannya besar
bagi masyarakat?
Efisiensi dalam produksi pendidikan Kegiatan : Meningkatkan
(bagaimana para ekonom menerapkan efisiensi dalam pengajaran di
standar kesuksesan kebijakan ekonomi?) universitas

Di universitas, mahasiswa biasanya


diajar dengan berbagai macam
metode mengajar termasuk kelas
besar, kelompok kecil (dalam
praktek misalnya) dan kegiatan
belajar mandiri. Misalnya
universitas kita akan meningkatkan
efisiensi pengajaran dengan
melakukan pengorganisasian ulang
pengajaran. Hal itu bisa dilakukan
dengan 1) mengubah metode
metode perkuliahan 2) mengubah
ukuran kelas 3) cara kuliah yang
digunakan.

Misalnya menejemen kampus ingin


meningkatkan kualitas perkuliahan
dengan tetap menjaga anggaran
yang ada. Apakah hal ini
dimungkinkan?

Misalnya terjadi pemotongan


anggaran. Bagaimana hal ini bisa
dilakukan sambil meminimalisir
kualitas?
Pangsa kerja guru – bagaimanakah
membuat kebijakan yang meningkatkan
fungsi pasar tenaga kerja guru?

Reformasi pasar dalam pendidikan


Tokoh luar : amartya Sen ;
Capabilities
Tokoh Indonesia : Moh Syafei
(pendidikan vokasi)
Tokoh UNJ : Sudiarto – budgeting
dalam pendidikan
PENDIDIKAN Area kunci dalam Politik dan pendidikan :
DAN
POLITIK · 
Privatisasi dalam pendidikan- kaitkan dengan GATTS

· Praktek pendidikan sebagai praktek politik : bagaimana pemerintah


dan oposisi dalam masyarakat mempengaruhi pendidikan – misal dalam
pendidikan seks, dalam kebijakan pendidikan gratis

· 
 Privatisasi dalam pendidikan- Diskusi:
kaitkan dengan GATTS
Misalnya pemerintah
mengumumkan reformasi di tempat
tinggalmu dengan mengijinkan
perusahaan swasta atau organisasi
masyarakat mendirikan sekolah dan
mendapatkan keuntungan dari
pendidikan yang mereka bangun
dan dapat memilih murid mana
yang bisa masuk ke sekolah itu
serta membuat kurikulum mereka
sendiri.

Menurutmu siapa yang mungkin


membangun sekolah seperti itu?
bisakah kamu memikirkan
perusahaan, organisasi keagamaan
atau organisasi lain?

Sekolah ini akan seperti apa?


Seberapa besar sekolah ini?
Apakah bentuknya sekolah umum
atau sekola khusus?

Apa saja bayaran yang akan


mereka tarik? 
mengapa?

Apakah akan mempengaruhi


sekolah negeri yang ada di area itu?
apakah sekolah negri itu akan bisa
bersaing dengan sekolah tersebut?

Siapa yang akan mendapatkan


keuntungan dari sekolah swasta
ini? Siapa yang mungkin masuk ke
sekolah itu?
Praktek pendidikan sebagai praktek
politik : bagaimana pemerintah dan
oposisi dalam masyarakat
mempengaruhi pendidikan – misal
dalam pendidikan seks, dalam kebijakan
pendidikan gratis

Tokoh luar ; John Dewey education


for democracy
Tokoh Indoensia : Ki Hajar
Dewantara Pendidikan melawan
kolonialisme
Tokoh ; Freire Pendidikan untuk
kaum tertindas
PENDIDIKAN Konsep Kunci dalam pendidikan dan sosial budaya :
DAN SOSIAL
BUDAYA Keragaman dan ketidakadilan sosial serta dampaknya pada proses dan hasil
pendidikan. 
(Bagaimana secara sosial kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang berbeda mencapai hasil yang berbeda sebagai hasil dari
pendidikan? Apakah identitas sosial mempengaruhi pembelajaran dan
prestasi?) 
 Bagaimana hubungan antara kelas sosial dan prestasi sekolah
mempengaruhi tujuan nasional dalam mempengaruhi kesempatan yang
setara bagi semua siswa dalam pendidikan?

Mass media and education (Bagaimana televisi, internet, medsos dan media
massa lain mempengaruhi pendidikan –murid, guru, kurikulum? Bagaimana
aspek-aspek budaya pop/anak muda mempengaruhi sekolah?

Pola kultural yang mempengaruhi pendidikan : Bagaimana kebijakan


pendidikan Indonesia memperlihatkan sudut pandang kelompok dominan
dalam masyarakat pada waktu tertentu? 

Keragaman dan ketidakadilan sosial Carilah batasan kelas sosial di
serta dampaknya pada proses dan hasil Indonesia
pendidikan. 
(Bagaimana secara sosial
kelompok-kelompok dalam masyarakat Kegiatan : Keadilan akses di
yang berbeda mencapai hasil yang pendidikan tinggi.
berbeda sebagai hasil dari pendidikan?
Apakah identitas sosial mempengaruhi Lihatkan tabel mengenai kelompok
pembelajaran dan yang sekolah. Berapa percen
prestasi?) 
 Bagaimana hubungan kelompok mana. Kelompok mana
antara kelas sosial dan prestasi sekolah yang bisa meneruskan kuliah –
mempengaruhi tujuan nasional dalam misal tabel persekolahan per
mempengaruhi kesempatan yang setara provinsi/gender/kelas sosial
bagi semua siswa dalam pendidikan?
Bisa juga data dropout

apakah tabel tersebut


memperlihatkan kebijakan
pendidikan yang adil? Mengapa?
Mengapa tidak?

Informasi apa yang kalian perlukan


mengenai kelompok ini yang bisa
membantumu memutuskan apakah
kebijakan pendidikan Indonesia
adil atau tidak?

Mengapa menurutmu kelompok ….


Banyak yang tidak meneruskan ke
pendidikan tinggi?

Jenis kebijakan seperti apa yang


memungkinkan kelompok ini bisa
mengakses pendidikan yang lbih
adil?

Aktivitas : Kunjungan sekolah

Kunjungilah sebuah sekolah yang


siswanya berasal dari kelas sosial
yang berbeda dari sekolahmu. Apa
perbedaan yang kamu lihat?
Bagaimana perbedaan ini akan
mempengaruhi prestasi?

Diskusi :

Jika populasi dari kelas menengah


menurun dan kelas bawah
meningkat, maka guru akan lebih
banyak mengajar anak dari kelas
bawah.

Apa potensi hambatan berprestasi


bagi siswa kelas bawah?

Bagaimana kamu sebagai kaum


profesional membantu guru
menghadapi situasi ini secara
efektif?
Mass media and education (Bagaimana
televisi, internet, medsos dan media
massa lain mempengaruhi pendidikan –
murid, guru, kurikulum? Bagaimana
aspek-aspek budaya pop/anak muda
mempengaruhi sekolah?
Pola kultural yang mempengaruhi
pendidikan : Bagaimana kebijakan
pendidikan Indonesia
Tokoh luar : Bordieu
Tokoh indoensia : Kartini :
pendidikan bagi kaum perempuan
Tokoh UNJ : Coni Semiawan :
pendidikan anak

Tilaar : Pendidikan sebagai proses


pembudayaan

Daftar Pustaka
Barry Dufour and Will Curtis. (2011) Studying Education AN INTRODUCTION
TO THE KEY DISCIPLINES IN EDUCATION STUDIES Edited by McGrawHill.
Open University Press

Last modified: Wednesday, 2 February 2022, 2:42 PM


BAB II

TUJUAN, FUNGSI, DAN URGENSI PENDIDIKAN BAGI


PENGEMBANGAN KARAKTER, BUDAYA, DAN PERADABAN
MANUSIA

A. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan merupakan komponen yang penting karena berfungsi sebagai pemberi
petunjuk arah kegiatan pendidikan dan sebagai hal yang ingin dicapai dari kegiatan
pendidikan. Secara hirarkis, tujuan pendidikan yang terjabarkan dalam kurikulum dapat
diklasifikasikan menjadi :

A. Tujuan Nasional

B. Tujuan Institusional

C. Tujuan Kurikuler

D. Tujuan Pembelajaran Umum dan Khusus.

Tujuan pendidikan nasional telah termaktub dalam Undang–Undang Dasar Republik


Indonesia 1945 Pasal 31 ayat 3 dan Pasal 31 ayat 5. Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 31
ayat 3 menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang” dan pada pasal
ayat 5 menyebutkan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia”.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional juga
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu,
tujuan pendidikan nasional dapat dikatakan berdasar pada cita – cita luhur dalam Pancasila.

Secara umum, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai seperangkat hasil pendidikan yang
dicapai oleh peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan pendidikan. Menurut Plato, tujuan
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan negara dan politik karena tujuan pendidikan
adalah menjadikan manusia warga negara yang baik. Menurut Kohnstamm, tujuan
pendidikan adalah proses pemanusiaan diri sendiri agar mencapai ketentraman batin, tanpa
menganggu, dan membebani orang lain.[1] Terkait dengan teori Plato, M.J.
Langeveld (Hasbullah:2011) mengemukakan pemikirannya, bahwa Pendidikan merupakan
upaya dalam membimbing manusia yang belum dewasa kearah kedewasaan. Pendidikan
adalah suatu usaha dalam menolong anak untuk melakukan tugas-tugas hidupnya, agar
mandiri dan bertanggung jawab secara susila. Pendidikan juga diartikan sebagai usaha untuk
mencapai penentuan diri dan tanggung jawab.

B. Fungsi Pendidikan

Dalam Undang Undang Nomor .20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, fungsi
pendidikan digabungkan dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan pada Pasal 3, yaitu
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.

Fungsi pendidikan di sini bukan hanya untuk meningkatkan kapasitas akademik tetapi lebih
jauh adalah untuk mengembangkan kapasitas kepribadian peserta didik. Menurut Tilaar
(2015), fungsi pendidikan, termasuk lembaga pendidikan, adalah membangun,
mengembangkan pribadi - pribadi peserta didik agar menjadi manusia susila dan cakap serta
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa dan tanah
air Indonesia.

Paulo Freire berpendapat bahwa proses pendidikan sebagai proses penyadaran agar terjadi
dialektika terhadap tindakan manusia dan terhadap obyektifikasi dunia di mana dia hidup
(Tilaar, 2015)[2]. Dengan kata lain, pendidikan menumbuhkan kesadaran/konsientasi
sehingga manusia, sesuai dengan fungsi pendidikan, dapat mengembangkan diri tanpa
dihalangi oleh sekat pembatas/kekuasaan .

Menurut Horton dan Hunt (2006), pendidikan memiliki dua fungsi. Fungsi yang pertama
adalah fungsi nyata (manifes) dengan rincian sebagai berikut:

· Mempersiapkan anggota warga untuk mencari nafkah.

· Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan untuk kebutuhan warga.

· Melestarikan kebiasaan istiadat.

· Menanamkan keterampilan yang perlu untuk partisipasi dalam demokrasi.

Fungsi kedua pendidikan adalah Fungsi laten yang terdapat dalam lembaga pendidikan
sebagai berikut.

· Mengurangi pengendalian orang tua. Menempuh pendidikan, sekolah orang tua


melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.

· Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah mempunyai potensi untuk


menanamkan nilai pembangkangan di warga. Hal ini tercermin dengan hal telah tersedia
perbedaan pandangan sela sekolah dan warga tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks
dan sikap terbuka.
· Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat
mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese,
dan status yang telah tersedia dalam warga. Sekolah juga diharapkan menjadi arus mobilitas
siswa ke status sosial yang semakin tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang
tuanya.

· Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa
seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.

Menurut David Popenoe (Maryati ;2007), pendidikan memiliki 4 fungsi


yang termanifestasikan dalam tujuan pendidikan dimana fungsi – fungsi tersebut terdiri dari :

· Fungsi Transmisi (pemindahan) kebudayaan dan sosialisasi.

Untuk dapat hidup bersama dalam suatu masyarakat, maka anak sebagai individu harus
mengetahui dan memahami nilai – nilai dan norma sosial yang berlaku. Pendidikan berfungsi
untuk mewariskan nilai – nilai dan norma tersebut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Adapun proses mempelajari nilai dan norma yang berlaku ini disebut sebagai sosialisasi.
Institusi sosial seperti keluarga dan sekolah “bertugas” untuk menjalankan fungsi ini.
Contohnya dalam mensosialisasikan nilai kejujuran, keluarga melalui orang tua mengajarkan
anak untuk tidak berbohong yang kemudian diperkuat sekolah melalui guru yang
mengajarkan anak untuk tidak mencontek.

· Menjamin integrasi sosial.

Agar masyarakat dapat bekerja sebagaimana mestinya, tanpa muncul konflik yang merugikan
kehidupan sosial, maka individu harus mengikuti nilai-nilai yang telah diyakini bersama.
Proses mengikuti atau ikut meyakini nilai-nilai yang telah diikuti oleh individu atau
kelompok lain dalam masyarakat disebut sebagai proses integrasi sosial.

· Mengajarkan corak kepribadian atau penempatan sosial

Pendidik melakukan proses identifikasi terhadap anak didik terkait kepribadian, karakter,
keterampilan dan keahliannya. Proses identifikasi ini menentukan penempatan pada posisi
sosial yang mana anak didik kelak berlabuh. Sebagai contoh, individu yang dididik ilmu
keagamaan, maka penempatan yang sesuai adalah di Institusi lembaga pendidikan Agama,
atau dimanapun individu tersebut bisa berkontribusi pada lembaga agama.

· Sumber inovasi sosial.

Fungsi pendidikan sebagai inovasi sosial terkait erat dengan segala macam penemuan-
penemuan baru di berbagai bidang yang mempengaruhi kehidupan sosial. Kita tidak bisa
berharap adanya penemuan-penemuan baru yang mengubah dunia baik dalam skala kecil atau
pun besar apabila individu yang terlibat dalam penemuan tidak mengalami proses pendidikan
terlebih dahulu.

klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!

C. Urgensi Pendidikan dalam Pengembangan Karakter


Pribadi - pribadi tersebut tentunya merupakan pribadi - pribadi yang takwa terhadap Tuhan
YME, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kesehatan
jasmani dan rohani, berilmu, kreatif, dan memiliki rasa kebangsaan yang mantap (Tilaar,
2015).

Menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), karakter


didefinisikan sebagai bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, temperamen, watak. Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari
bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan and Bohlin, 1999:
5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau
menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987: 214). Secara terminologis, karakter menurut
Lickona, (1991:51). adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally
good way. Karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu
menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan
kebaikan.

Karakter bukanlah sekedar hasil dari sebuah tindakan melainkan secara simultan merupakan
hasil dan proses (Santrock, 2008). Lebih lanjut dikatakan oleh Doni Koesoema (2007),
pengembangan karakter merupakan proses terus-menerus, karakter bukanlah kenyataan,
melainkan keutuhan perilaku, karakter bukan hasil atau produk melainkan usaha hidup.
Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona
dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return
of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our
School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku buku itu, ia menyadarkan dunia
Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona
mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai
kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991).

Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni
sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai
baik dan buruk. Dalam pandangan Paterson & Seligman (2004) karakter merupakan spirit
dari kepribadian yang merupakan pengembangan dari perspektif psikologi pendidikan
tentang karakter yang dikemukakan Crobanch (1970) bahwa karakter merupakan aspek
kepribadian.

Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia
harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena hal
inilah yang akan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya, serta
bermartabat. Jika pembangunan karakter tidak dilakukan maka bangsa Indonesia akan
mnejadi bangsa kuli atau buruh (Hermino:2014).

Terkait dengan aspek kepribadian, diperlukan adanya penguatan pendidikan moral (moral
education) atau pendidikan karakter (character education). Penguatan pendidikan
karakter dalam konteks situasi sosial masyarakat saat sekarang, cukup relevan untuk
mengatasi krisis moral yang melanda negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa
meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan pada anak-anak dan remaja,
kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-
obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain. Kondisi yang digambarkan tentang
masyarakat sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara
tuntas, oleh karena itu perlu adanya pemikiran dan upaya untuk
mewujudkan betapa pentingnya pendidikan karakter.

Menurut Lickona (Hunt:2006), karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing),
sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga
komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan
tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan
di bawah ini merupakan bagan keterkaitan ketiga kerangka pikir dari Lickona.

Gambar: Keterkaitan antara komponen moral dalam rangka pembentukan karakter

Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat
dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang
tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas
Lickona. Pengertian pendidikan karakter menurut Lickona adalah suatu usaha yang disengaja
untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan
nilai-nilai etika yang inti.

Masih terkait dengan konsep Karakter, di dalam kamus psikologi, karakter adalah
kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan
biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29). Dalam
pendidikan pengembangan karakter, seluruh lingkungan pendidikan sangat berperan.
Pendidikan watak (makna sama dengan karakter) yang telah dialami oleh peserta didik di
sekolah dapat diperkuat dengan pendidikan informal yang berlangsung dalam keluarga.
Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa bila tujuan pendidikan menyebutkan
perkembangan manusia seutuhnya maka lingkungan pendidikan yang formal, informal, dan
nonformal akan mempunyai peranan yang kurang lebih “sama” (Barnadib, 2002).

D. Urgensi Pendidikan Dalam Budaya

Secara etimologis, kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta, budhayah, yaitu
bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal (Setiadi, Hakam & Effendi, 2006).
Budaya merupakan hal yang diturunkan/diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang
melalui proses enkulturasi (pembudayaan) yang dilakukan di semua lingkup lingkungan
pendidikan, yaitu formal, informal, dan nonformal. Ada beberapa definisi kebudayaan
menurut para ahli, antara lain (dalam Setiadi, Hakam & Effendi, 2006) :

1. E.B. Tylor : budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain,
serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2. Ralph Linton : kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang
dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan
diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
3. Koentjaraningrat : kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia
dengan belajar.

4. Ki Hadjar Dewantara : buah budi manusia, hasil perjuangan manusia terhadap alam dan
zaman (kodrat dan masyarakat) dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, dalam
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai (Tilaar,
2015).

Kebudayaan sebagai blueprints dan pedoman manusia dalam bertingkahlaku dan


menjalankan setiap aspek kehidupannya pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara (dalam Tilaar, 2015), pendidikan adalah suatu
usaha untuk memberikan segala nilai - nilai kebatinan, yang ada dalam hidup masyarakat
yang berkebudayaan, kepada tiap - tiap turunan baru (penyerahan kultur) tidak hanya berupa
penyuaraan, akan tetapi juga termasuk memajukan serta memperkembangkan kebudayaan,
menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan. Pendidikan dan kebudayaan pun sebenarnya
bukanlah hal yang baru karena pada dasarnya dalam suatu masyarakat sudah terjadi dan
mengenal sistem pendidikan dalam bentuk kearifan lokal (local wisdom) (Tilaar, 2015)
dimana kearifan lokal tersebut berakar dari nilai – nilai budaya.

Profil karakteristik masyarakat Indonesia antara lain adalah beragama, yaitu berke-Tuhan-an
YME dan memiliki kebudayaan nasional. Memperhatikan hal tersebut maka pendidikan yang
dikembangkan di Indonesia harus berakar pada nilai- nilai agama dan kebudayaan sehingga
pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa secara utuh, tidak menimbulkan
kesenjangan sosial budaya, dan menguatkan identitas bangsa (Wahyudin, 2008).

Budaya dan Pendidikan saling terkait satu sama lain. Budaya memiliki dukungan yang besar
dalam dunia pendidikan. Sumbangan nilai-nilai budaya dalam pendidikan
merupakan cerminan wujud seluruh unsur yang terdapat di dalam suatu kebudayaan. Tanpa
adanya budaya maka sikap, moral, dan keterampilan pada peserta didik tidak akan bisa
diterapkan dalam kehidupan sosial. Wujud penerapan budaya dapat disalurkan melalui :

Diri sendiri atau Individu

Pada diri seseorang pasti mengetahui tingkat pendidikan yang ada pada dirinya sendiri,
kemudian diri sendiri itu berusaha untuk memengaruhi orang-orang terdekat agar dapat
melakukan hal yang sama, budaya seperti itu termasuk dalam budaya sosial.

Keluarga

Lingkungan keluarga merupakan lembaga utama dalam pendidikan, orang tua selalu
memberikan gambaran pada diri anak, kehidupan pada anak sangat bergantung pada orang
tua. Oleh karena itu orang tua harus mengajarkan budaya yang baik pada diri anak, agar
mempunyai pendidikan yang baik juga.

Sekolah

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Sekolah hanyalah pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga karena pendidikan yang
utama adalah dalam lingkup keluarga, orang tua harus memotivasi dan membimbing anak
dalam belajar. Sekolah terdiri dari pendidik dan anak didik yang melalui proses pendidikan,
suatu bangsa berusaha untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang seperti
ekonomi, sosial, politik, teknologi dan bidang kehidupan budaya lainnya.

Lingkungan masyarakat

Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, pendidikan dan budaya tidak dapat berkembang
dan tumbuh sebagaimana yang di harapkan. Pada dasarnya, masyarakat selalu tumbuh dan
berkembang. Suatu masyaratkat maju karena adanya pendidikan yang maju dan bisa
menerapkan nilai budaya yang baik.

Nomor Fungsi Pendidikan Budaya

1 Memperkenalkan, memelihara dan mengembangkan unsur-unsur budaya

Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi


2 berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku
yang mencerminkan budaya bangsa
Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab
3
dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat
Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain
4 yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang
bermartabat
5 Menumbuhkembangkan semangat kebudayaan bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi
dari sumber-sumber sebagai berikut:

1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama.

2. Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip


kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila.

3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat
yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat.

4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki


oleh setiap negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai
jenjang.

Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!

E. Urgensi Pendidikan Dalam Peradaban Manusia


Menurut Fairchild (dalam Setiadi, Hakam, & Effendi, 2006), peradaban adalah
perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang dicirikan oleh taraf
intelektual, keindahan, teknologi, dan spiritual tertentu yang diperoleh manusia
pendukungnya. Peradaban manusia merupakan titik kulminasi dari serangkaiana proses
panjang pendidikan yang terencana dan terukur dengan target yang jelas. Hasil proses
pendidikan dalam konstruksi peradaban tidak semata dalam arti material melainkan yang
lebih utama adalah terwujud dalam aspek immaterial.

Perubahan dan perkembangan zaman merupakan suatu hal yang mutlak terjadi. Manusia,
baik secara individu maupun kelompok, tentunya akan beradaptasi terhadap berbagai
perubahan yang ada agar dapat bertahan hidup dimana bentuk adaptasi tersebut dapat bersifat
material maupun non-material. Suatu masyarakat yang telah mencapai tahapan peradaban
tertentu, berarti telah mengalami evolusi kebudayaan yang lama dan bermakna sampai pada
tahap tertentu yang diakui tingkat iptek dan unsur-unsur budaya lain.

Analisis Kasus:

Pendidikan memiliki peranan yang strategis dalam membentuk peradaban bangsa. Meskipun
peradaban bangsa-bangsa yang telah maju pada beberapa ratus tahun sebelum masehi, tidak
serta merta akibat sistem pendidikan yang maju. Anda diminta berkelompok masing-masing
terdiri atas 3 orang, lalu analisis kasus terkait relevansi pendidikan terhadap peradaban
manusia!

Daftar Pustaka:

Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Adicita

Hermino, Agustinus. 2014. Manajemen Kurikulum Berbasis Karakter Konsep, Pendekatan,


dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta.

Koesoma, Doni A. 2007. Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Anak di Zaman


Global. Jakarta : Grasindo.

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character How Our Schools Can

Teach Respect and Responsibility. New York : Bantam Books

Probowati, Yust, dkk. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Guru dan Psikolog. Malang:
Laras.

Santrock, J.W. 2008. Educational Psychology (3th Edition). Boston : McGraw - Hill

Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, Ridwan Effendi. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
(Edisi Ketiga). Jakarta : Kencana

Tilaar, H.A.R. 2015. Pedagogik Kritis Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas

Wahyudin, Dinn dkk. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Universitas Terbuka.


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Last modified: Wednesday, 2 February 2022, 2:37 PM


BAB I

KONSEP MANUSIA, PENDIDIKAN DAN KARAKTER PENDIDIK

Subyek dan obyek pendidikan adalah manusia. Pendidikann bermaksud


membantu manusia untuk menumbuh-kembangkan potensi-potensi
kemanusiaannya. Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar
dan tepat, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia
itu sebenarnya.

Berbicara tentang manusia sepertinya membicarakan tentang sesuatu.


Bukankah manusia mempunyai kemampuan dengan kekuatannya sendiri
untuk memenuhi kebutuhan dan mampu mengembangkan dirinya sendiri?
Pemenuhan kebutuhan akan pengembangan diri manusia sendiri tampaknya
memang dapat dilaksanakan dari, untuk dan oleh manusia itu sendiri (animal
educandum – J.H.Langeveld dalam I.P.Simandjuntak, 1982). Pernyataan
inilah yang tepat bahwa manusia adalah mahluk yang luar biasa, dibawah
kekuasaan Tuhan YME, dengan kekuatan dan keterbatasannya. Manusia
dengan segala perkembangan yang ada dalam potensi dirinya
mengimplikasikan bahwa manusia memang hebat, bisa berbuat dan membuat
apa saja, untuk kehidupan kemanusiannya sesuai dengan kebutuhan dan
kemauanya. Pernyataan di atas perlu dikaji lebih lanjut lagi.

A. KONSEP MANUSIA

Semua yang ada di dunia adalah untuk manusia. Alam semesta dan isinya
untuk manusia, karena tidak ada mahluk lainnya yang lebih memerlukan
semuanya selain manusia. Manusia dengan kesadarannya tentang adanya
dan gunanya alam semester beserta isinya dan hanya hanya manusia yang
mampu mengolah, menggunakan dan menarik manfaat untuk keperluan
kehidupan kemanusiaannya dalam arti luas.

Perkembangan, kemajuan dan kebudayaan manusia terjadi oleh karena


manusia, hanya manusialah yang memiliki potensi dan pikiran yang mampu
mengembangkan berbagai kekuatan, daya, upaya dan usaha untuk
memenuhi kebutuhaan serta hasrat kehidupannya. Memang manusialah yang
merubah, mengolah dan memanfaatkan isi alam semesta untuk kepentingan
manusia. Misalnya memberdayakan isi bumi untuk kepentingan kehidupan
manusia. Manusia memang kuat, hebat dan mahluk sempurna. Bumi dan
alam semesta menjadi ruang yang digarap oleh manusia bagi segenap
kehidupan manusia.
Sekarang yang patut dipertanyakan apakah memang segala yang diperbuat
dan diperuntukan bagi manusia itu benar-benar berasal dari hasil kerja dan
karya manusia? Disadari dan dapat diterima akal sehat bahwa banyak hal
yang berasal dari manusia. Berbagai kaidah keilmuan dan teknologi berasal
dari buah pikiran manusia; berbagai aturan nilai dan moral tumbuh dan
berkembang dari kebijakan yang dibuat oleh manusia. Manusia memang bisa
dan semakin dapat menghasilkan segala sesuatu dari dirinya sendiri menjadi
berbagai produk, bahkan memproduksi produk itu sendiri untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Sampai karya-karya besar dan monumental dimunculkan
oleh manusia.

Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya satu kesatuan antara apa
yang ada pada dirinya, yaitu pikiran, kehendak dan nafsu (Plato dalam
Raymond Boudon, 1974). Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan badan,
satu kesatuan psikofisik.Manusia terdiri dari unsur dualistic. Manusia tidak
semata-mata bertujuan memuaskan dorongan-dorongan dirinya , tetapi juga
memotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab social dan
pemenuhan kebutuhan dalam mencapai sesuatu. Manusia memiliki
kemampuan inheren untuk berbuat secara rasional ataupun tidak rasional.
Berpikir dan merasa sangat dekat satau sama lain.

Berbagai pandangan tentang manusia tersebut berorientasi pada keberadaan


dan kehidupan manusia sebagaimana adanya di dunia, dapat ditarik
kesimpulan tentang konsep manusia yang di dalamnya terkandung harkat
dan ,artabat manusia, yaitu manusia adalah mahluk yang beriman dan
bertakwa kepada tuhan YME; mahluk yang paling indah dan sempurna dalam
penciptaan dan pencitraannya; mahluk yang paling tinggi derajatnya; dan
pemilik hak-hak sasi manusia (HAM). Dalam rangka HAM secara menyeluruh,
aktualisasi kehidupan manusia berdasarkan hakikatnya manusia memerlukan
upaya pengembangan dirinya yang berlangsung terus menerus secara
bertahap (perkembangan dan pendidikan sepanjang hayat). Untuk
mengembangkan diri dan kehidupan selanjutnya, manusia dilengkapi dengan
dimensi kemanusiaan lainnya yang melekat secara langsung pada diri
individu manusia itu sendiri, yaitu dimensi keindividualan, kesosialan,
kesusilaan dan keberagamaan. Dimana ke-empat dimenensi kemanusiaan ini
saling terkait.

Pengembangan manusia sebagai mahluk individu, dimana setiap individu


yang dilahirkan telah dikaruniai potensi yang berbeda dengan individu lainnya.
Dikatakan oleh Langeveld bahwa setiap individu itu unik, artinya setiap
individu memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, semangat dan daya tahan
yang berbeda. Langeveld juga mengatakan bahwa tiap individu mempunyai
dorongan untuk mandiri, meskipun disisi lain pada diri individu terdapat rasa
tidak berdaya sehingga manusia tersebut memerlukan bimbingan dari
oranglain. Untuk menolong dirinya sendiri, manusia perlu mendapatkan
pengalaman di dalam mengembangkankonsep, prinsip, inisiatif, kreativitas,
tanggungjawab dan keterampilannya. Dengan kata lain, perwujudan manusia
sebagai mahluk individu memerlukan berbagai pengalaman melalui pendidik,
agar segala potensi yang ada dapat tumbuh dan berkembang menjadi
kenyataan.

Pengembangan manusia sebagai mahluk social, dimana sejak lahir manusia


dikaruniai potensi sosialitas artinya setiap individu mempunyai kemungkinan
untuk dapat bergaul, yang didalamnya ada kesediaan untuk member dan
menerima. Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkannya seorang
diri. Kehadiran manusia lain dihadapannya bukan saja penting untuk
mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga merupakan sarana untuk pertumbuhan
dan perkembangan kepribadiannya. Melalui pendidikan dapat dikembangkan
keseimbangan antara aspek individual dan aspek social manusia, artinya
individualitas manusia dapat dikembangkan dengan belajar dari orang lain,
mengidentifikasikan sifat-sifat yang yang dikagumi dari orang lain untuk
dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak diinginkannya.

Pengembangan manusia sebagai mahluk susila, dimana dalam kenyataannya


hanya manusialah yang dapat menghayati norm-norma dan nilai-nilai dalam
kehidupan. Manusia dapat menetapkan tingkah laku mana yang baik dan
bersifat susila serta tingkah laku mana yang tidak baik dan tidak bersifat
susila. Setiap masyarakat mempunyai norma dan nilai. Melalui pendidikan
diusahakan agar individu menjadi manusia pendukung norma kaidah dan
nilai-nilai susila yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan menjadi milik
pribadi yang tercermin dalam setiap tingkah laku sehari-hari. Penghayatan
dan perwujudan norma, nilai dan kaidah-kaidah social sangat penting dalam
rangka mnciptakan ketertiban dan stabilitas kehidupan masyarakat.
Penghayatan atas norma dan nilai tersebut hanya mungkin dilakukan oleh
individu dalam hubungannya dengan kehadirannya bersama orang lain.

Pengembangan manusia sebagai mahluk beragama, dimana pada hakikatnya


manusia adalah mahluk yang beragama. Beragama merupakan kebutuhan
manusia karena manusia adalah mahluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat untuk bersandar. Manusia memerlukan agama demi untuk
keselamatan hidupnya. Untuk itu, manusia dituntut agar dapat menghayati
dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan sebaik-baiknya
melalui pendidikan.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sifat hakikat manusia dan segenap
dimensinya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada mahluk hidup
lainnya. Ciri-ciri yang khas tersebut membedakan secara prinsip antara dunia
manusia dan mahluk hidup lainnya. Adanya sifat hakikat tersebut memberikan
tempat dan kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga manusia
derajatnya lebih tinggi daripada mahluk hidup lainnya. Semua sifat hakikat
kemanusiannya dapat dan harus ditumbuh kembangkan melalui pendidikan.
Berkat pendidikan, maka sifat hakikat kemanusiaannya dapat ditumbuh
kembangkan secara selaras dan seimbang sehingga menjadi manusia yang
utuh lahir dan bathin.

Manusia adalah sasaran, sumber dan pelaku pendidikan. Hakikat manusia


harus dilihat secara komprehensif sehingga menjangkau seluruh aspek
perkembangan dan kehidupannya, yaitu aspek-aspek jasmani-rohani, pribadi-
sosial, material-spiritual, dunia-akhirat, hubungan manusia dengan alam dan
penciptanya. Hakikat manusia seperti itu dilandasi oleh kondisi manusia
sebagai mahluk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, paling indah dan
sempurna, paling tinggi derajatnya, dan pemilik hak-hak asasi manusia
(HAM).

Diskusi kasus:

Kasus Bandar narkoba warga Negara asing yang divonis hukuman mati,
bagaimana pendapat anda melihat pelaksanaan hukuman mati ini terhadap
dari aspek konsep manusia dan kemanusia serta HAM.

B. PENDIDIKAN

Pendidikan tidak lain adalah upaya memuliakan kemanusiaan manusia untuk


mengisi dimensi kemanusiaan dengan orientasi hakikat kemanusiaan melalui
pengembangan jati diri manusia sepenuhnya. Pendidikan akan membuat jadi
manusia, maksudnya manusia memiliki potensi yang harus dikembangkan.
Potensi yang dimiliki manusia ini dikembangkan melalui pendidikan.
Pendidikan adalah segala tindakan yang terencana yang dilakukan oleh orang
dewasa yang bertanggung jawab moral untuk membantu manusia menjadi
dewasa dan mandiri (Langeveld, J.M., 1982).

Menurut Driyarkara dalam Umar Tirtorahardjo dan La Sulo (1994) pendidikan


adalah memanusiakan manusia muda.Pengangkatan manusia muda ke taraf
insane itulah menjelma dalam perbuatan mendidik. Sementara Godfrey
Thomson dalam Zahara Indris (1992) juga menegaskan bahwa pendidikan
adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang menetap (permanen) di dalam kebiasaan-
kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap dari individu tersebut. Dan Ki Hajar
Dewantara dalam Buku Akta V Mengajar Dewantara (1984) mengemukakan
bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup dan tumbuhnya manusia
kecil yang belum dewasa, maksudnya pendidikan itu menuntun segala
kekuatan kodrati yang ada pada manusia agar dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat diberikan beberapa ciri umum
dalam pendidikan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pendidikan, mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang


kemampuan dirinya terus berkembang sehingga bermanfaat untuk
kepentingan hidupnya sendiri sebagai seorang individu, maupun sebagai
warga masyarakat bahkan warga Negara.

2. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha


yang disengaja dan terencana dalam memilih isi (materi), strategi kegiatan
dan teknik penilaian yang sesuai.

3. Kegiatan tersebut dapat diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah


dan masyarakat.

Selanjutnya dibawah ini dapat dikemukakan beberapa batasan pendidikan


yang berbeda berdasarkan fungsinya:

a. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya. Disini diartikan bahwa


pendidikan diartikan sebagai pewarisan budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami transformasi dari
generasi tua ke generasi muda. Ada 3 bentuk transformasi:

 Nilai-nilai yang masih cocok diteruskan, misalnya nilai kejujuran,


disiplin, tanggungjawab dst nya.
 Nilai-nilai yang kurang cocok diperbaiki, misalnya tata cara adat
perkawinan.
 Nilai-nilai yang sudah tidak cocok harus diganti. Misalnya pendidikan
seks.

b. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, diartikan bahwa proses


pembentukan pribadi adalah suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik
terarah pada terbentuknya kepribadian manusia itu sendiri.

c. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara, satu proses kegiatan


yang tererncana untuk membekali individu agar menjadi warga Negara yang
baik.

d. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja, diartikan melalui pendidikan


diberikan bimbingan kepada individu untuk mengembangkan bakat yang
dapat digunakan untuk bekerja, karena bekerja merupakan kebutuhan dalam
kehidupan manusia.

Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pendidikan, dapat dikatakan


bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau tindakan yang terencana dan
kritis yang memiliki tujuan yang sudah pasti. Tujuan pendidikan tidak lain
adalah arah yang hendak dicapai demi terwujudnya tujuan hidup manusia,
yaitu hidup sesuai dengan harkat dan martabat manusia, dengan segenap
kandungannya, yaitu perkembangan secara optimal hakikat manusia dan
dimensi kemanusiannya. Tujuan pendidikan mengarah kepada pembentukan
manusia yang berperikehidupan takwa kepada Tuhan YME. Perilaku
kehidupan yang dijalani sesuai dengan tuntutan dimensi kemanusiaan yang
yang melekat pada individu.

Kegiatan pendidikan, terlaksana melalui hubungan atau interaksi pendidikan


antara pendidik dan individu/manusianya, merupakan peristiwa istimewa
sekaligus upaya yang istimewa dan unik untuk membuat jadi
manusia/individu. Istimewa karena pendidikan mempersiapkan
individu/manusia untuk menjalani kehidupannya, dan diarahkan serta
dimungkinkan untuk mencapai tujuan kehidupannya.

Diskusi Kasus:

Coba anda diskusikan tentang kondisi siswa yang membully guru baik yang
dilakukan dalam lingkungan sekolah maupun diluar sekolah sampai
menggunakan medsos yang dampaknya cukup besar terhadap hidup dan
kehidupan guru tersebut sebagai manusia. Bagaimana implementasi
pendidikan sebagai suatu tindakan yang disengaja dan terencana yang
dilakukan oleh orang dewasa yang bertanggungjawab moral untuk membantu
anak menjadi dewasa dan mandiri.

C. KARAKTER PENDIDIK

Karakter melekat pada setiapindividu, yang tercermin pada pola pikir dalam
kehidupan sehari-hari. Karakter seorang manusia dipengaruhi oleh factor
lingkungan (nurture) dan factor bawaan (nature). Karakteristik seperti
perawakan, warna mata, bentuk rambut serta wajah merupakan faktor
bawaan atau gen. Demikian pula dengan temperamen pada manusia,
merupakan cara khas manusia untuk merespon peristiwa yang emosional,
mendapatkan rangsangan baru dan impuls dipengaruhi oleh system genetic
dari orangtua (Wang, Zhe; Deater-Deckard, 2013). Sama hal dengan cepat
atau lambat seseoang dalam proses belajar yang didapat dari pengalaman
sehari-hari dipengaruhi oleh factor genetic (Luciano & Visscher, 2012). Kata
karakter sendiri diambil dari bahasa Inggris “character” dan Yunani “character.

Karakter merupakan akumulasi atau produk yang integral dari didikan


rumah/orangtua, pergaulan dengan teman sebaya (lingkungan dimana
manusia berada), kondisi social ekonomi lingkungan sekitar dan factor
psikologis lainnya. Pembentukan karakter karakter dibagi 2 yaitu karakter
strukturan dan karakter proses. Karakter structural, yaitu pembentukan
karakter berdasarkan keadaan social emosional dari orangtua, latar belakang
pendidikan dan bahasa keluarga. Sedangkan karakter proses adalah
pembentukan karakter melalui gaya pengasuhan dan kegiatan-kegiatan yang
sering dilakukan dalam keluarga (Loboda, Vogelbacher, & Gawlitzek, 2016).

Karakter adalah cirri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri
khas tersebut asli dan mengakar pada kepribadian manusia/individu yang
berfungsi sebagai mesin pendorong bagaimana manusia tersebut bertindak,
bersikap, berujar dalam merespon sesuatu. Manusia yang memiliki karakter
sifat alami perilakunya akan muncul dalam merespon situasi secara bermoral
yang dimanifestasikan dalam bentuk tindakan nyata melalui perilaku yang
berkarakter. Dari beberapa uaraian singkat tentang karakter dapat ditegaskan
bahwa karakter adalah pola perilaku yang dimiliki manusia/individu yang
berasal dari dalam diri manusia itu sendiri maupun dibentuk oleh lingkungan
dimana manusia/individu tersebut berada. Karakter yang dimiliki
manusia/individu merupakan cirri khas dari manusia/individu tersebut
sehingga berbeda satu dengan yang lainnya.

1. Nilai-Nilai Karakter

Nilai-Nilai karakter adalah sikap dan perilaku yang didasarkan pada norma
dan nilai yang berlaku di masyarakat, mencakup aspek spiritual, aspek
personal/kepribadian, aspek social, dan lingkungan. Berikut ada 18 karakter
yang harus dimiliki oleh manusia Indonesia sebagai berikut: (1) Religius; (2)
Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja keras; (6)Kreatif; (7)Mandiri; (8)
Demokratis; (9) Rasa Ingin Tahu; (10) Semangat kebangsaan; (11) Cinta
Tanah Air; (12) Menghargai Prestasi; (13) Bersahabat/Komunikatif; (14) Cinta
Damai; (15) Gemar Membaca; (16)Peduli Lingkungan; (17) Peduli Sosial dan;
(18) Tanggung jawab.

Sejalan dengan nilai karakter diatas, Lickona (2013) menegaskan bahwa


dalam pendidikan karakter secara psikologis harus mencakup dimensi yang
berlandaskan moral (moral reasoning), Perasaan (moral feeling), dan perilaku
berdasarkan moral (moral behavior). Pendidikan karakter yang terbaik dibagi
menjadi 3 , yaitu:

a. Moral knowing, yang berisikan moral awareness, knowing mral values,


perspective taking, moral reasoning, decision making and self knowledge.

b. Moral feeling, berisikan tentang conscience, self esteem, empathy, loving


the good, self control and humanity.

c. Moral action berisikan tentang competences, will and habit.


Selain pembentukan karakter diatas, karakter lain yang patut di renungkan
juga adalah santun, percaya diri, kerja keras, baik dan rendah diri, toleransi
dan kedamaian. Berdasarkana beberapa pendapat di atas nilai karakter
merupakan nilai-nilai sikap dan perilaku berdasarkan pada norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat.

2. 5 Pilar Karakter Dalam Proses Pendidikan

Dalam prakteknya, pendidikan merupakan usaha sadar, terencana serta


disengaja oleh pendidik agar peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikan.
Pada proses pendidikan inilah dituntut seorang pendidik memiliki karakter
yang mumpuni agar dapat menunjang amanah mulia yang diembannya
dengan baik. Kira-kira karakter apa saja yang sepatutnya dimiliki oleh seorang
pendidik selain kompetensi profesi yang wajib dimiliki, antara lain:

a. Karakter Kasih sayang dan kelembutan

karakter ini merupakan karakter utama yang harus dimiliki oleh pendidik.
Kasih saying dan kelembutan merupakan warna da kualitas hubungan yang
berawal dari pendidik kepada peserta didik, dalam bentuk komunikasi dan
sentuhan-sentuhan lainnya. Hubungan ini pada dasarnya adalah penerimaan
dan pengakuan, dioperasionalkan dalam nuansa social emosional yang sejuk,
hangat, dekat/akrab, terbuka serta permisif dan fasilitatif-konstruktif yang
bersifat pengembangan terhadap pesreta didik.

Warna cinta (love) dan caring (perhatian, kehati-hatian, pemeliharaan) dengan


focus yang terarah pada kepentingan dan kebahagiaan peserta didik dengan
prinsip sesuai dengan harkat martabat manusia akan mendominasi
penampilan kasih saying dan kelembutan pendidik. Suasana seperti ini
memungkinkan pendidik dan peserta didik membuka diri dan saling memasuki
serta mendalami secara intensif terkait komunikasi edukatif.

b. Karakter Keteladanan dan Pengarahan

Pendidik atau guru merupakan singkatan dari digugu dan ditiru. Seorang
pendidik harus dapat memberikan keteladanan. Keteladanan sendiri
merupakan puncak penampilan pendidik terhadap peserta didik. Seluruh
penampilan pendidik yang didasarkan pada penerimaan dan pengakuan,
kasih dan sayang serta kelembutan, yang seluruhnya positif dan normative
itu, diharapkan dapat diterima bahkan ditiru oleh peserta didik. Satu hal yang
,menjadi kunci bagi terlaksananya keteladanan adalah ketaatan asas
(konsistensi) penampilan pendidik baik fisik, psikologis maupun akademis.
Keteladanan demikian pertama-tama merupakan pengaaaruh social pendidik
terhadap peserta didik berdasarkan prinsip konformitas bersumber dari
pengarahan pendidik kepada peserta didik. Pengaruh keteladanan dan
pengarahan ini dapat mencapai taraf internalisasi bukan hanya sekedar
identifikasi, nyaman untuk diri sendiri.

c. Karakter Pengakuan dan Penerimaan

Pengakuan dan penerimaan adalah kesadaran dan pemahaman pendidik


tentang segenap yang ada pada makna harkat martabat manusia yang
sepenuhnya melekat pda diri peserta didik. Atas dasar kesadaran dan
pemahaman tersebut pendidik menghadapi dan memberikan perlakuan
kepada peserta didik sesai dengan harkat martabat manusia. Pengakuan dan
penerimaan ini merupakan dasar dari sikap dan perlakuan pendidik yang
memuliakan kemanusiaan peserta didik melalui pendidikan. Pengakuan dan
Penerimaan pendidik terhadap peserta didik didasarkan atas kondisi harkat
martabat kemanusiaan yang melekat pada diiri peserta didik, sedangkan
pengakuan dan penerimaan peserta didik didasarkan atas peranan dan
kualitas yang nyaman dari pribadi pendidik yang dirasakan oleh peserta didik.,
melalui penampilan pendidik itu sendiri Suasana yang saling mengakui dan
menerima antara peserta didik dan pendidik seperti ini menjadi dasar bagi
berlangsungnya komunikasi yang nyata antara keduanya.

d. Karakter Penguatan

Sebagaimana makna dasarnya, penguatan merupakan upaya pendidik untuk


menguatkan, memantapkan atau meneguhkan hal-hal tertentu yang ada pada
diri peserta didik. Apa saja yang dikuatkan tidak lain adalah hal-hal positif
yang ada pada diri peserta didik, terutama tingkah laku positif yang
merupakan hasil perubahan berkat upaya pengembangan diri peserta didik.
Penguatan (reinforcement) dilakukan pendidik melalui pemberian
penghargaan (reward) secara tepat yang didasarkan pada prinsip-prinsip
penguatan tingkah laku. Dengan penguatan yang dilakukan pendidik, peserta
didik akan semakin kaya dengan berbagai tingkah laku positif yang secara
kumulatif dan sinergis menunjang pencapaian tujuan pendidikan

e. Karakter Tindakan Tegas yang Mendidik

Sepintas terasa ada kontradiksi antara tindakan tegas yang mendidik dengan
sikap dan perlakuan kasih saying dan kelembutan. Sebenarnya bila dicermati
dengan baik, tidaklah demikian. Tindakan tegas yang mendidik adalah suatu
upaya pendidik untuk dapat mengubah tingkah laku peserta didik yang kurang
dikehendaki melalui penyadaran peserta didik atas kekeliruan dengan tetap
menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan dn hubungan baik antara
pendidik dan peserta didik. Dengan tindakan tegas yang mendidik ini pendidik
konsisten terhaap harkat martabat kemanusiaan, tujuan pendidik, pengakuan
dan penerimaan serta kasih saying dan kelembutan terhadap peserta didik.
Implementasi tindakan tegas yang mendidik dapat dikombinasikan dengan
penerapan cara-cara penguatan lainnya.

Dalam 5 Pilar Karakter Dalam Proses Pendidikan ini akan muncul karakter
dasar yang harus dimiliki pendidik, dimana yang pertama pendidik harus
menyadari bahwa profesi pendidik sangat mulia yang akan membuat jadi
manusia dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti
dan paham, dari tidak biasa menjadi terbiasa. Atau ada tokoh yang
menyatakan melalui pendidikan kita memanusia manusia. Jika ingin tugas
mulia ini dapat berhasil dengan baik harus dilakukan dengan penuh kasih
saying dan kelembutan, karena manusia yang didik bukanlah benda mati.
Manusia yang dididik memiliki potensi yang terus dan harus dibantu untuk
dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Boudon, Raymond, The Logical Sociological Explanation, Penguin Education,


London, 1974.

Dirjen Dikti (1984), Dasar-Dasar Pendidikan – Modul Akta V, Jakarta: Dirjen


Dikti.

Langeveld, J.H., Beknopte Theoritische Paedagogiek, J.B. Wolters, Jakarta,


1982 (Terjemahan Simanjuntak, MA).

Lickona, T. (2013). Educating For Character, Jakarta: Bumi Aksara.

Loboda,L. Vogelbacher,M. & Gawlitzek,I. (2016). The Role of Ethnic


Differences, Structural background and process characteristic in the Family in
preschool children’s language proficiency. Journal of Multilingual and
Multicultural Development, 0(0),1-
5. https://doi.org/10.1080/01434632.2016.1216555.

Luciano,M., & Visscher, P.M. (2012). Multivariate Genetic Analyses of


Cognition and Academic Achievement from Two Population Sample 0f
174,000,699-710. https://doi.org/10.1007/s10519-012-9549-7.
Prayitno. (2009). Pendidikan Dasar Teori dan Praksis – Jilid I. Padang: UNP
Press

Umar Tirtorahardjo dan La Sulo (1994), Pengantar Pendidikan, Jakarta: Dirjen


Dikti Depdikbud.

WANg, Zhe; Deater-Deckard,K. (2013). Resilinece in Gene-Environment


Transactions. In Goldstein S., Brooks R. Handbook Of Resilience in Childrens,
Springer, Boston, MA. https://doi.org/htppa://doi.org/10.1007/978-l-4614-3661-
4_4.

Zahara Indris dan Lisma Jamal (1992), Pengantar Pendidikan jilid I dan II,
Jakarta: Grasindo.
Last modified: Wednesday, 2 February 2022, 2:18 PM

Anda mungkin juga menyukai