TUJUAN, FUNGSI, DAN URGENSI PENDIDIKAN BAGI PENGEMBANGAN KARAKTER, BUDAYA, DAN
PERADABAN MANUSIA
A. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan komponen yang penting karena berfungsi sebagai pemberi petunjuk
arah kegiatan pendidikan dan sebagai hal yang ingin dicapai dari kegiatan pendidikan. Secara
hirarkis, tujuan pendidikan yang terjabarkan dalam kurikulum dapat diklasifikasikan menjadi :
A. Tujuan Nasional
B. Tujuan Institusional
C. Tujuan Kurikuler
Tujuan pendidikan nasional telah termaktub dalam Undang–Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Pasal 31 ayat 3 dan Pasal 31 ayat 5. Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-undang” dan pada pasal ayat 5 menyebutkan “Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional juga untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan nasional dapat
dikatakan berdasar pada cita – cita luhur dalam Pancasila.
Secara umum, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai seperangkat hasil pendidikan yang dicapai
oleh peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan pendidikan. Menurut Plato, tujuan pendidikan
tidak dapat dipisahkan dari tujuan negara dan politik karena tujuan pendidikan adalah menjadikan
manusia warga negara yang baik. Menurut Kohnstamm, tujuan pendidikan adalah proses
pemanusiaan diri sendiri agar mencapai ketentraman batin, tanpa menganggu, dan membebani
orang lain.[1] Terkait dengan teori Plato, M.J. Langeveld (Hasbullah:2011) mengemukakan
pemikirannya, bahwa Pendidikan merupakan upaya dalam membimbing manusia yang belum
dewasa kearah kedewasaan. Pendidikan adalah suatu usaha dalam menolong anak untuk melakukan
tugas-tugas hidupnya, agar mandiri dan bertanggung jawab secara susila. Pendidikan juga diartikan
sebagai usaha untuk mencapai penentuan diri dan tanggung jawab.
B. Fungsi Pendidikan
Dalam Undang Undang Nomor .20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, fungsi
pendidikan digabungkan dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan pada Pasal 3, yaitu
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fungsi pendidikan di sini bukan hanya untuk meningkatkan kapasitas akademik tetapi lebih jauh
adalah untuk mengembangkan kapasitas kepribadian peserta didik. Menurut Tilaar (2015), fungsi
pendidikan, termasuk lembaga pendidikan, adalah membangun, mengembangkan pribadi - pribadi
peserta didik agar menjadi manusia susila dan cakap serta warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa dan tanah air Indonesia.
Paulo Freire berpendapat bahwa proses pendidikan sebagai proses penyadaran agar terjadi
dialektika terhadap tindakan manusia dan terhadap obyektifikasi dunia di mana dia hidup (Tilaar,
2015)[2]. Dengan kata lain, pendidikan menumbuhkan kesadaran/konsientasi sehingga manusia,
sesuai dengan fungsi pendidikan, dapat mengembangkan diri tanpa dihalangi oleh sekat
pembatas/kekuasaan .
· Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan untuk kebutuhan warga.
· Mengurangi pengendalian orang tua. Menempuh pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan
tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
· Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa
seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Untuk dapat hidup bersama dalam suatu masyarakat, maka anak sebagai individu harus mengetahui
dan memahami nilai – nilai dan norma sosial yang berlaku. Pendidikan berfungsi untuk mewariskan
nilai – nilai dan norma tersebut dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Adapun proses
mempelajari nilai dan norma yang berlaku ini disebut sebagai sosialisasi. Institusi sosial seperti
keluarga dan sekolah “bertugas” untuk menjalankan fungsi ini. Contohnya dalam mensosialisasikan
nilai kejujuran, keluarga melalui orang tua mengajarkan anak untuk tidak berbohong yang kemudian
diperkuat sekolah melalui guru yang mengajarkan anak untuk tidak mencontek.
Agar masyarakat dapat bekerja sebagaimana mestinya, tanpa muncul konflik yang merugikan
kehidupan sosial, maka individu harus mengikuti nilai-nilai yang telah diyakini bersama. Proses
mengikuti atau ikut meyakini nilai-nilai yang telah diikuti oleh individu atau kelompok lain dalam
masyarakat disebut sebagai proses integrasi sosial.
Pendidik melakukan proses identifikasi terhadap anak didik terkait kepribadian, karakter,
keterampilan dan keahliannya. Proses identifikasi ini menentukan penempatan pada posisi sosial
yang mana anak didik kelak berlabuh. Sebagai contoh, individu yang dididik ilmu keagamaan, maka
penempatan yang sesuai adalah di Institusi lembaga pendidikan Agama, atau dimanapun individu
tersebut bisa berkontribusi pada lembaga agama.
Fungsi pendidikan sebagai inovasi sosial terkait erat dengan segala macam penemuan-penemuan
baru di berbagai bidang yang mempengaruhi kehidupan sosial. Kita tidak bisa berharap adanya
penemuan-penemuan baru yang mengubah dunia baik dalam skala kecil atau pun besar apabila
individu yang terlibat dalam penemuan tidak mengalami proses pendidikan terlebih dahulu.
Pribadi - pribadi tersebut tentunya merupakan pribadi - pribadi yang takwa terhadap Tuhan YME,
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kesehatan jasmani dan
rohani, berilmu, kreatif, dan memiliki rasa kebangsaan yang mantap (Tilaar, 2015).
Karakter bukanlah sekedar hasil dari sebuah tindakan melainkan secara simultan merupakan hasil
dan proses (Santrock, 2008). Lebih lanjut dikatakan oleh Doni Koesoema (2007), pengembangan
karakter merupakan proses terus-menerus, karakter bukanlah kenyataan, melainkan keutuhan
perilaku, karakter bukan hasil atau produk melainkan usaha hidup. Terminologi pendidikan karakter
mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama
ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul
bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui
buku buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan
karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the
good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona,
1991).
Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-
sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan
buruk. Dalam pandangan Paterson & Seligman (2004) karakter merupakan spirit dari kepribadian
yang merupakan pengembangan dari perspektif psikologi pendidikan tentang karakter yang
dikemukakan Crobanch (1970) bahwa karakter merupakan aspek kepribadian.
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus
dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena hal inilah yang
akan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya, serta bermartabat. Jika
pembangunan karakter tidak dilakukan maka bangsa Indonesia akan mnejadi bangsa kuli atau buruh
(Hermino:2014).
Terkait dengan aspek kepribadian, diperlukan adanya penguatan pendidikan moral (moral
education) atau pendidikan karakter (character education). Penguatan pendidikan karakter dalam
konteks situasi sosial masyarakat saat sekarang, cukup relevan untuk mengatasi krisis moral yang
melanda negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya
angka kekerasan pada anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja,
kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain.
Kondisi yang digambarkan tentang masyarakat sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini
belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu perlu adanya pemikiran dan upaya untuk
mewujudkan betapa pentingnya pendidikan karakter.
Menurut Lickona (Hunt:2006), karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap
moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat
dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk
berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan di bawah ini merupakan bagan keterkaitan
ketiga kerangka pikir dari Lickona.
Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat
dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat,
dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona.
Pengertian pendidikan karakter menurut Lickona adalah suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika
yang inti.
Masih terkait dengan konsep Karakter, di dalam kamus psikologi, karakter adalah kepribadian
ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan
sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29). Dalam pendidikan pengembangan karakter,
seluruh lingkungan pendidikan sangat berperan. Pendidikan watak (makna sama dengan karakter)
yang telah dialami oleh peserta didik di sekolah dapat diperkuat dengan pendidikan informal yang
berlangsung dalam keluarga. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa bila tujuan pendidikan
menyebutkan perkembangan manusia seutuhnya maka lingkungan pendidikan yang formal,
informal, dan nonformal akan mempunyai peranan yang kurang lebih “sama” (Barnadib, 2002).
Secara etimologis, kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta, budhayah, yaitu bentuk
jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal (Setiadi, Hakam & Effendi, 2006). Budaya merupakan
hal yang diturunkan/diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang melalui proses enkulturasi
(pembudayaan) yang dilakukan di semua lingkup lingkungan pendidikan, yaitu formal, informal, dan
nonformal. Ada beberapa definisi kebudayaan menurut para ahli, antara lain (dalam Setiadi, Hakam
& Effendi, 2006) :
1. E.B. Tylor : budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Ralph Linton : kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan
hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh
anggota masyarakat lainnya.
3. Koentjaraningrat : kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan
belajar.
4. Ki Hadjar Dewantara : buah budi manusia, hasil perjuangan manusia terhadap alam dan zaman
(kodrat dan masyarakat) dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai
rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, dalam mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai (Tilaar, 2015).
Kebudayaan sebagai blueprints dan pedoman manusia dalam bertingkahlaku dan menjalankan
setiap aspek kehidupannya pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Menurut Ki
Hadjar Dewantara (dalam Tilaar, 2015), pendidikan adalah suatu usaha untuk memberikan segala
nilai - nilai kebatinan, yang ada dalam hidup masyarakat yang berkebudayaan, kepada tiap - tiap
turunan baru (penyerahan kultur) tidak hanya berupa penyuaraan, akan tetapi juga termasuk
memajukan serta memperkembangkan kebudayaan, menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.
Pendidikan dan kebudayaan pun sebenarnya bukanlah hal yang baru karena pada dasarnya dalam
suatu masyarakat sudah terjadi dan mengenal sistem pendidikan dalam bentuk kearifan lokal (local
wisdom) (Tilaar, 2015) dimana kearifan lokal tersebut berakar dari nilai – nilai budaya.
Profil karakteristik masyarakat Indonesia antara lain adalah beragama, yaitu berke-Tuhan-an YME
dan memiliki kebudayaan nasional. Memperhatikan hal tersebut maka pendidikan yang
dikembangkan di Indonesia harus berakar pada nilai- nilai agama dan kebudayaan sehingga
pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa secara utuh, tidak menimbulkan kesenjangan
sosial budaya, dan menguatkan identitas bangsa (Wahyudin, 2008).
Budaya dan Pendidikan saling terkait satu sama lain. Budaya memiliki dukungan yang besar dalam
dunia pendidikan. Sumbangan nilai-nilai budaya dalam pendidikan merupakan cerminan wujud
seluruh unsur yang terdapat di dalam suatu kebudayaan. Tanpa adanya budaya maka sikap, moral,
dan keterampilan pada peserta didik tidak akan bisa diterapkan dalam kehidupan sosial. Wujud
penerapan budaya dapat disalurkan melalui :
Pada diri seseorang pasti mengetahui tingkat pendidikan yang ada pada dirinya sendiri, kemudian
diri sendiri itu berusaha untuk memengaruhi orang-orang terdekat agar dapat melakukan hal yang
sama, budaya seperti itu termasuk dalam budaya sosial.
Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lembaga utama dalam pendidikan, orang tua selalu memberikan
gambaran pada diri anak, kehidupan pada anak sangat bergantung pada orang tua. Oleh karena itu
orang tua harus mengajarkan budaya yang baik pada diri anak, agar mempunyai pendidikan yang
baik juga.
Sekolah
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah
hanyalah pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga karena pendidikan yang utama adalah
dalam lingkup keluarga, orang tua harus memotivasi dan membimbing anak dalam belajar. Sekolah
terdiri dari pendidik dan anak didik yang melalui proses pendidikan, suatu bangsa berusaha untuk
mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, teknologi dan
bidang kehidupan budaya lainnya.
Lingkungan masyarakat
Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, pendidikan dan budaya tidak dapat berkembang dan
tumbuh sebagaimana yang di harapkan. Pada dasarnya, masyarakat selalu tumbuh dan berkembang.
Suatu masyaratkat maju karena adanya pendidikan yang maju dan bisa menerapkan nilai budaya
yang baik.
Nomor Fungsi Pendidikan Budaya
1 Memperkenalkan, memelihara dan mengembangkan unsur-unsur budaya Nilai-
nilai
yang
Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi
2 berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang
mencerminkan budaya bangsa
Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang
4
tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat
3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang
tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat.
4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki oleh setiap negara
Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang.
Mengapa Budaya penting dalam dunia pendidikan. Budaya itu dijadikan sebagai salah satu cara agar
hidup itu berkembang, jika tanpa adanya budaya maka tidak akan bisa berkembang dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Apakah bisa pendidikan itu berkembang tanpa adanya budaya? Begitupun
sebaliknya budaya bisa berkembang tanpa didasari dengan pendidikan?. Perlu diketahui bahwa
Budaya berkembang melalui proses pendidikan yang tidak lepas dari peserta didik, lingkungan sosial,
dan budaya masyarakat. Dalam pendidikan, budaya sangat penting karena dapat mendukung
pembelajaran siswa, dengan adanya budaya dalam pendidikan, potensi peserta didik semakin
berkembang. Seni dan budaya dalam pendidikan bisa mengembangkan potensi anak didik agar tidak
hanya cerdas secara intelektual akan tetapi juga mempunyai akhlak dan moral yang baik.
Dalam kurikulum pendidikan didalamnya terdapat pelajaran tentang keterampilan dan sikap, maka
nilai kebudayaan harus ada didalam pendidikan. Kemudian sikap mempunyai nilai utama pada
peserta didik yang bertujuan agar mereka dapat bersikap baik dilingkungan masyarakat. Tentu
antara pendidikan dan budaya tidak bisa dipisahkan, budaya dengan pendidikan saling berkaitan.
Budaya sangat mendukung dalam dunia pendidikan, pendidikan tanpa adanya budaya maka sikap,
moral, keterampilan pada peserta didik tidak akan bisa diterapkan dalam kehidupan sosial. Wujud
penerapan budaya dapat disalurkan melalui
Diri sendiri.
Pada diri seseorang pasti mengetahui tingkat pendidikan yang ada pada dirinya sendiri, kemudian
diri sendiri itu berusaha untuk memengaruhi orang-orang terdekat agar dapat melakukan hal yang
sama, budaya seperti itu termasuk dalam budaya sosial.
Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lembaga utama dalam pendidikan, orang tua selalu memberikan
gambaran pada diri anak, kehidupan pada anak sangat bergantung pada orang tua. Oleh karena itu
orang tua harus mengajarkan budaya yang baik pada diri anak, agar mempunyai pendidikan yang
baik juga.
Sekolah
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah
hanyalah pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga karena pendidikan yang utama adalah
dalam lingkup keluarga, orang tua harus memotivasi dan membimbing anak dalam belajar. Sekolah
terdiri dari pendidik dan anak didik yang melalui proses pendidikan, suatu bangsa berusaha untuk
mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, teknologi dan
bidang kehidupan budaya lainnya.
Lingkungan masyarakat
Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, pendidikan dan budaya tidak dapat berkembang dan
tumbuh sebagaimana yang di harapkan. Pada dasarnya, masyarakat selalu tumbuh dan berkembang.
Suatu masyaratkat maju karena adanya pendidikan yang maju dan bisa menerapkan nilai budaya
yang baik.
Menurut Fairchild (dalam Setiadi, Hakam, & Effendi, 2006), peradaban adalah perkembangan
kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang dicirikan oleh taraf intelektual, keindahan,
teknologi, dan spiritual tertentu yang diperoleh manusia pendukungnya. Peradaban manusia
merupakan titik kulminasi dari serangkaiana proses panjang pendidikan yang terencana dan terukur
dengan target yang jelas. Hasil proses pendidikan dalam konstruksi peradaban tidak semata dalam
arti material melainkan yang lebih utama adalah terwujud dalam aspek immaterial.
Perubahan dan perkembangan zaman merupakan suatu hal yang mutlak terjadi. Manusia, baik
secara individu maupun kelompok, tentunya akan beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang
ada agar dapat bertahan hidup dimana bentuk adaptasi tersebut dapat bersifat material maupun
non-material. Suatu masyarakat yang telah mencapai tahapan peradaban tertentu, berarti telah
mengalami evolusi kebudayaan yang lama dan bermakna sampai pada tahap tertentu yang diakui
tingkat iptek dan unsur-unsur budaya lain.
Analisis Kasus:
Pendidikan memiliki peranan yang strategis dalam membentuk peradaban bangsa. Meskipun
peradaban bangsa-bangsa yang telah maju pada beberapa ratus tahun sebelum masehi, tidak serta
merta akibat sistem pendidikan yang maju. Anda diminta berkelompok masing-masing terdiri atas 3
orang, lalu analisis kasus terkait relevansi pendidikan terhadap peradaban manusia!
Daftar Pustaka:
Probowati, Yust, dkk. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Guru dan Psikolog. Malang: Laras.
Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, Ridwan Effendi. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Edisi Ketiga).
Jakarta : Kencana