Abstrak
Paper ini membahas tentang pembangunan domain afektif pendidikan masa depan
di Indonesia melalui reformasi pendidikan dasar dan menengah. Pengembangan
konsep domain pendidikan afektif masa depan di Indonesia dapat diwujudkan
melalui perbaikan pranata sosial pendidikan keluarga, sekolah, reformasi visi
pendidikan nasional yang lebih berpijak pada penguatan etika moral, adat dan
agama, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan budi pekerti bangsa berlandaskan
pancasila, menghidupkan perilaku demokrasi dalam masyarakat, melakukan
pengelolaan pendidikan yang seimbang, menjadikan budaya nasional sebagai
pondasi pengembangan kurikulum Pendidikan nasional yang kaya akan nilai-nilai
luhur yang menjunjung sikap demokratis, mengikis ego sektoral, toleran terhadap
perbedaan, pengertian dan saling menghormati, mengamalkan nilai-nilai spiritual dalam
kehiudpan berbangsa dan bernegara dalam rangka mewujudkan masyarakat madani
berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa serta memiliki motivasi belajar yang tinggi
menuju masyarakat yang berwawasan global.
Pendahuluan
Muncul berbagai pendapat dan pandangan mengenai perlunya reformasi pendidikan
nasional tidak lepas dari tuntutan reformasi total dalam kehidupan berbangsa. Salim dan
Syamsuddin (2006) mengatakan reformasi adalah perubahan yang perlu dilakukan untuk
keperluan masa depan. Menurut Banathy (2011), reformasi dikatakan sebagai usaha “doing
more of the same”. Usaha ini kemudian ditingkatkan dengan “doing more of the same but
doing it better”, yang merupakan usaha peningkatan efesiensi2.Reformasi adalah suatu
perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah
laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.
Reformasi pendidikan adalah perubahan sistem dalam pendidikan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan menjadi lebih baik. Perubahan dalam pendidikan adalah
suatu keharusan supaya sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Reformasi
pendidikan di indonesia berdasarkan pada UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003. Yang memuat visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan nasional serta strategi untuk
mewujudkan pendidikan bermutu agar relevan dengan masyarakat dan berdaya saing
global.
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian intergal dari hidup manusia sehingga
ia tidak bisa terlepas dari keseluruhan hidup manusia. Sejak dalam kandungan sampai ia
terlahir tetap membutuhkan pendidikan (long life education). Proses pendidikan
merupakan salah satu tuntutan konstitusi yang mengatakan bahwa tujuan untuk
membangun negara yang merdeka ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi
pendidikan tidak akan maju kalau tidak terjadi reformasi atau pembaharuan. Upaya
reformasi dan pembaharuan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja tapi harus
dilakukan oleh masyarakat dan anak anak bangsa baru akan terwujud tujuan dari
reformasi tersebut. Jadi, pemerintah hanya menaungi masyarakatnya dengan menetapkan
aturan aturan yang berlandaskan falsafah negara.
Reformasi dalam dunia pendidikan sangat diharuskan melihat pada perkembangan
ilmu pengetahuan, budaya, teknologi yang terus mengalami mobilitas yang sangat cepat.
Dan keadaan seperti ini membutuhkan kemampuan untuk menghadapinya karena itu
pendidikan sebagai lembaga yang menciptakan manusia yang berkemampuan mempunyai
tanggung jawab untuk menyiapkan generasi muda bangsa untuk menjawab semua
tantangan tersebut. Karena pendidikan sebagai “sarana terbaik yang didesain untuk
menciptakan suatu generasi baru pemuda pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan
dengan tradisi mereka sendiri tetapi juga sekligus tidak menjadi bodoh secara intelektual
atau terbelakang dalam pendidikan mereka”(Conference Book, London,1978).
Disinilah dinamika pendidikan akan senantiasa tampak dengan berbagai persaingan
dan refomasi merupakan hukum alam yang akan mencari jejak jalannya sendiri. supaya
kita yang ada dalam dunia pendidikan tersebut tidak mengalami keterkejutan dan merasa
asing dalam dunia kita sendiri (Suyanto dan Khisyam, 2000). Karena itulah pendidkan
didesain untuk menyesuaikan dengan perubahan dikemudian hari.
Perubahan pendidikan era reformasi menuntut kembali kedaulatan rakyat yang
mengembalikan fungsi pendidikan sebagai sarana pemberdayaan untuk membangun
dirinya sendiri. Pendidikan nasional perlu direformasi dalam rangka mewujudkan visi baru
masyarakat madani Indonesia kedepan. Namun ketika era reformasi berjalan, banyak sekali
permasalahan yang muncul dalam bida ng pendidikan. Kalau pada masa Orde Baru
kebebasan individu dipasung, dimana aspek-aspek pembentukan kepribadian yang lengkap
meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik diabaikan. Justru pada era reformasi, dimana
kebebasan digaungkan justru membawa dampak negatif berupa dekadensi moral yang
menjadi sumber dari segala macam krisis akhlak yang berkepanjangan. Untuk mengatasi
hal ini, diperlukan reformasi pendidikan dasar dan menengah terkait dengan pembenahan
evaluasi domain afektif pada pendidikan dasar dan menengah agar mewarisi etika moral
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya tinggi dan beradab. Paper ini membahas
tentang pembangunan domain afektif pendidikan masa depan di Indonesia melalui
reformasi pendidikan dasar dan menengah.
Taksonomi afektif Krathwohl, Bloom, dan Masia ini terdiri dari lima kategori
utama (masing-masing dengan subkategori) yang mencerminkan konsep internalisasi nilai
dari yang sederhana (simple) sampai yang kompleks melalui langkah-langkah: Menerima,
Menanggapi, Menilai, Mengorganisir, dan Karakterisasi. Taksonomi ini dikembangkan,
diantaranya agar membantu guru menulis tujuan afektif untuk masing-masing dari lima
kategori utama serta subkategori, dan untuk membantu mereka merancang tindakan
afektif. Tujuan ini dapat ditulis untuk mencerminkan tingkat internalisasi yang berbeda,
dan dapat dibedakan dari tujuan kognitif karena mereka menekankan nada perasaan,
emosi, atau tingkat penerimaan atau penolakan terhadap beberapa fenomena (Krathwohl,
Bloom, & Masia, 1964).
Taksonomi Krathwohl dkk ini sarat kritik, di antaranya karena terlalu umum,
terlalu abstrak, terlalu bergantung pada kognisi, dan terbatas dalam lingkup (Martin &
Briggs, 1986). Selain itu, sebagai taksonomi, tidak ada metode pembelajaran yang
disertakan untuk mendorong pengembangan hasil afektif yang berbeda. Mengenai
cakupannya yang terbatas, Krathwohl dkk. mengindikasikan bahwa mereka berusaha
mengorganisir taksonomi dari banyak skema yang berbeda, termasuk menggunakan
konstruksi afektif seperti nilai, sikap, emosi, dan pengembangan diri, namun sayangnya
konstruksi tersebut juga kurang didefinisikan secara aplikatif, padahal masalah definisional
ini masih belum terselesaikan (Martin & Reigeluth, 1999).
Ada beberapa taksonomi afektif lain yang dikembangkan misalnya oleh Brandhorst
(1978); Foshay (1978); Gephart & Ingle (1976); Hoepfner (1972); dan Nunnally (1978),
namun dalam telaah Martin & Reigeluth, semuanya berkisar pada respon fisiologis dan
psikososial untuk menekankan pengembangan diri sebagai tujuan. Taksonomi ini juga
mencakup beragam konstruksi afektif, termasuk sentimen, minat, kepercayaan, emosi,
temperamen sosial, dan respons mendalam. Foshay misalnya menggambarkan enam ranah
pembelajaran: intelektual, emosional, sosial, fisik, estetis, dan spiritual. Dia memasukkan
dua konstruksi afektif, estetika dan spiritualitas, yang tidak termasuk dalam taksonomi
lainnya (Martin & Briggs, 1986; Martin & Reigeluth, 1999).
Sebagian didasarkan pada kritik terhadap taksonomi di atas, Martin dan Briggs
(1986) mengembangkan taksonomi afektif mereka sendiri dengan pengembangan diri
sebagai konstruksi afektif yang paling inklusif, serta kompetensi sosial, nilai, moral dan
etika, motivasi, minat, sikap, serta emosi dan perasaan sebagai subkomponen. Taksonomi
ini dimaksudkan untuk menggambarkan hasil belajar di ranah afektif sebagai alat untuk
mencapai tujuan.
Model konseptual lain dikembangkan oleh The Lethbridge Catholic Schools di
Alberta, Kanada, pada tahun 1989 (Lambert & Himsl, 1993). Mereka melakukan sebuah
proyek untuk mengidentifikasi kualitas afektif yang dinilai sebagai hasil pendidikan yang
signifikan. Berdasarkan tinjauan literatur dan survei pendidik di Alberta, mereka
merancang sebuah model konseptual yang mencakup apa yang mereka sebut sebagai
indikator, tapi apa yang akan kita sebut konstruksi afektif (misalnya pengembangan diri)
atau dimensi (misalnya, pengembangan spiritual) dari domain afektif: harga diri,
berhubungan dengan orang lain, kesadaran dunia, pembelajaran, dan kehidupan spiritual.
Mereka menyajikan model konseptual lingkaran saling terkait yang menunjukkan
keterkaitan antar bidang ini.
Model ini mewakili formasi dan pertumbuhan perilaku yang menunjukkan sikap
positif terhadap DIRI saat mereka menjalani pengalaman saling terkait dengan ORANG
LAIN, melalui kesadaran akan DUNIA, dan melalui proses BELAJAR. Dimensi
SPIRITUAL LIFE menyatukan empat lainnya, dengan mengidentifikasi suatu tujuan
dalam kehidupan, kejadian dan aktivitasnya; Ini memberikan harapan yang mengarahkan
pebelajar. (Lambert & Himsl, 1993, hal 17)
Berikutnya, dalam studi lintas budaya di 17 negara, Education for Affective
Development (1992), para penulis mempresentasikan sebuah model konseptual, atau
"peta," dari ranah konten pendidikan pembangunan afektif. Model ini mengidentifikasi
lima domain: intelektual, estetis, fisik, spiritual, dan sosial. Domain sosial dibagi lagi
menjadi dua cabang: (a) penekanan: etika moral, hukum, politik, dan konvensional
(misalnya, tata krama, etiket, protokol sosial) dan (b) perspektif: individu, keluarga,
sekolah, masyarakat, masyarakat , bangsa, dan dunia.
Dari tinjauan di atas, tampak taksonomi dan model konseptual domain afektif tidak
memberikan klasifikasi yang rapi dan jelas. Karenanya, Martin dan Reigelut menawarkan
model konseptual mereka (lihat Gambar 2) yang berfokus pada pengembangan afektif baik
sebagai proses yang membahas pertumbuhan individu dan perubahan internal dan sebagai
produk akhir yang menunjuk orang "yang baik secara afektif".
DIMENSI KOMPONEN
PENGETAHUAN KETERAMPILAN SIKAP
Pengetahuan bahwa
EMOSI orang lain mengalami terampil mengenali saya ingin bahagia;
emosi yg sama seperti pelbagai macam emosi saya tidak suka
senang dan marah. dan mengontrolnya marah
memahami pelbagai
MORAL aturan moral dan terampil dalam
etika (kebudayaan) penalaran moral; saya ingin jujur; saya
seperti kepedulian, terampil ingin memiliki
keadilan dan menyelesaikan standar etik
kesetaraan. masalah moralitas
saya ingin berinteraksi
SOSIAL memahami dinamika terampil bersosial; dgn orang lain secara
kelompok dan termasuk baik; saya menentang
idealisme demokrasi, keterampilan perkelahian sebagai
seperti peran seorang komunikasi antar- cara selesaikan
fasilitator personal. perselisihan.
saya menginginkan
SPIRITUAL mengetahui persepsi terampil menyelam kehidupan ruhaniah;
keagamaan ttg dunia dalam di kesejatian- saya ingin menjadi
spiritual, seperti diri (ruhaniah) untuk ahli ibadah untuk
hakikat jiwa (soul; mencintai sesama membangun hubungan
ruhani) yg baik dengan Tuhan.
terampil dalam menilai
memahami hakikat (assess) kualitas- saya ingin dikelilingi
ESTETIKA subjektif suatu kualitas keindahan; oleh barang/benda-
keindahan, seperti terampil dalam benda yang indah;
hubungan antara nilai- mengeneralisir saya mengapresiasi
nilai dan penilaian (menyimpulkan) karya- suatu teori yang elegan
seseorang kaya estetis.
mamahami
MOTIVASI penghargaan internal terampil dalam saya menginginkan
dan eksternal untuk mengembangkan karir yang saya nikmati;
aktivitas berkelanjutan; minat, baik langsung saya tidak suka hobi
seperti kesenangan dan maupun sepanjang- yang terkait dengan
rasa berprestasi hayat senjata
Daftar Pustaka
Albarobis Muhyidin dan Sutrisno. (2012). Pendidikan Islam Berbasis problem sosial, Jogjakarta:
AR-Ruzz Media,
Bagus, L. (Ed.) (2005) Kamus Filsafat (4 ed.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Banathy B. H. (2011). Systems Design of Education. Englewoods Cliff, NJ: Educational
Technology Publications. In contrast with the incremental improvement, problem- fixing,
and teaching- focused approach, this text introduces “transcending the existing system”,
designing a new, learning- focused approach
H.A.R.Tilaar. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa depan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya,
H.A.R.Tilaar. 2008. Manajemen Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
H.A.R.Tilaar. 2002. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya,
Kholilah dan Muzakki akhmad. (2013). Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Kopertais IV Press,
Knight George R. 2007. Filsafat Pendidikan, Yogjakarta: Gama Media
Krathwohl, D. R., Bloom, B. S., & Masia, B. B. (1964). Taxonomy of Educational Objectives: The
Clasification of Educational Goals, Handbook II: Affective Domain. New York: Longman
Lohithakshan, P. M. (Ed.) (2002) Dictionary of Education: A Practical Approach. New Delhi:
Kanishka Publishers.
Martin, B. L., & Briggs, L. (1986). The Affective and Cognitive Domains: Integration for
Instruction and Research Englewood Cliff, NJ: Educational Technology Publications.
Martin, B. L., & Reigeluth, C. M. (1999). Affective Education and the Affective Domain:
Implications for Instructional-Design Theories and Models. In C.
M. Reigeluth (Ed.), Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm of Instructional
Theory (Vol. II, pp. 485-509). New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates
Moissinac, L. (2003). affect. In J. W. Guthrie (Ed.), Encyclopedia of Education (2 ed., Vol. 1, pp.
3357). New York: Macmillan Reference Library.
Page, G. T., Thomas, J. B., & Marshall, A. R. (Eds.). (1979) International Dictionary of Education.
London: Kogan Page.
Pierre, E., & Oughton, J. (2007). The Affective Domain: Undiscovered Country. College
Quartelly, 10(4).
Salim, P. (Ed.) (2006) The Contemporary English-Indonesia Dictionary (7 ed.). Jakarta: Modern
English Press.
Spafford, C. S., Pesce, A. J. I., & Grosser, G. S. (Eds.). (1998) The Cyclopedic Education
Dictionary. New York: Delmar Publishers.
Suyanto dan Djihad Hisyam. (2000). Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia Memasuki
Millenium III. Yogyakarta: Adi Cita.
VandenBos, G. R. (Ed.) (2015) APA dictionary of psychology (2 ed.). Washington, DC: American
Psychological Association.
Zuharini, (2012). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,