Anda di halaman 1dari 11

MEMBANGUN KONSEP DOMAIN AFEKTF PENDIDIKAN MASA DEPAN

(Menakar Reformasi Pendidikan Dasar dan Menengah)

Farida Ariani, Bambang Budi Wiyono, imron Arifin


Universitas Negeri Malang, Email - arianifarida148@gmail.com

Abstrak
Paper ini membahas tentang pembangunan domain afektif pendidikan masa depan
di Indonesia melalui reformasi pendidikan dasar dan menengah. Pengembangan
konsep domain pendidikan afektif masa depan di Indonesia dapat diwujudkan
melalui perbaikan pranata sosial pendidikan keluarga, sekolah, reformasi visi
pendidikan nasional yang lebih berpijak pada penguatan etika moral, adat dan
agama, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan budi pekerti bangsa berlandaskan
pancasila, menghidupkan perilaku demokrasi dalam masyarakat, melakukan
pengelolaan pendidikan yang seimbang, menjadikan budaya nasional sebagai
pondasi pengembangan kurikulum Pendidikan nasional yang kaya akan nilai-nilai
luhur yang menjunjung sikap demokratis, mengikis ego sektoral, toleran terhadap
perbedaan, pengertian dan saling menghormati, mengamalkan nilai-nilai spiritual dalam
kehiudpan berbangsa dan bernegara dalam rangka mewujudkan masyarakat madani
berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa serta memiliki motivasi belajar yang tinggi
menuju masyarakat yang berwawasan global.

Kata kunci: Domain Afektif, Pendidikan, Reformasi

Pendahuluan
Muncul berbagai pendapat dan pandangan mengenai perlunya reformasi pendidikan
nasional tidak lepas dari tuntutan reformasi total dalam kehidupan berbangsa. Salim dan
Syamsuddin (2006) mengatakan reformasi adalah perubahan yang perlu dilakukan untuk
keperluan masa depan. Menurut Banathy (2011), reformasi dikatakan sebagai usaha “doing
more of the same”. Usaha ini kemudian ditingkatkan dengan “doing more of the same but
doing it better”, yang merupakan usaha peningkatan efesiensi2.Reformasi adalah suatu
perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah
laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.
Reformasi pendidikan adalah perubahan sistem dalam pendidikan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan menjadi lebih baik. Perubahan dalam pendidikan adalah
suatu keharusan supaya sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Reformasi
pendidikan di indonesia berdasarkan pada UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003. Yang memuat visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan nasional serta strategi untuk
mewujudkan pendidikan bermutu agar relevan dengan masyarakat dan berdaya saing
global.

Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian intergal dari hidup manusia sehingga
ia tidak bisa terlepas dari keseluruhan hidup manusia. Sejak dalam kandungan sampai ia
terlahir tetap membutuhkan pendidikan (long life education). Proses pendidikan
merupakan salah satu tuntutan konstitusi yang mengatakan bahwa tujuan untuk
membangun negara yang merdeka ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi
pendidikan tidak akan maju kalau tidak terjadi reformasi atau pembaharuan. Upaya
reformasi dan pembaharuan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja tapi harus
dilakukan oleh masyarakat dan anak anak bangsa baru akan terwujud tujuan dari
reformasi tersebut. Jadi, pemerintah hanya menaungi masyarakatnya dengan menetapkan
aturan aturan yang berlandaskan falsafah negara.
Reformasi dalam dunia pendidikan sangat diharuskan melihat pada perkembangan
ilmu pengetahuan, budaya, teknologi yang terus mengalami mobilitas yang sangat cepat.
Dan keadaan seperti ini membutuhkan kemampuan untuk menghadapinya karena itu
pendidikan sebagai lembaga yang menciptakan manusia yang berkemampuan mempunyai
tanggung jawab untuk menyiapkan generasi muda bangsa untuk menjawab semua
tantangan tersebut. Karena pendidikan sebagai “sarana terbaik yang didesain untuk
menciptakan suatu generasi baru pemuda pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan
dengan tradisi mereka sendiri tetapi juga sekligus tidak menjadi bodoh secara intelektual
atau terbelakang dalam pendidikan mereka”(Conference Book, London,1978).
Disinilah dinamika pendidikan akan senantiasa tampak dengan berbagai persaingan
dan refomasi merupakan hukum alam yang akan mencari jejak jalannya sendiri. supaya
kita yang ada dalam dunia pendidikan tersebut tidak mengalami keterkejutan dan merasa
asing dalam dunia kita sendiri (Suyanto dan Khisyam, 2000). Karena itulah pendidkan
didesain untuk menyesuaikan dengan perubahan dikemudian hari.
Perubahan pendidikan era reformasi menuntut kembali kedaulatan rakyat yang
mengembalikan fungsi pendidikan sebagai sarana pemberdayaan untuk membangun
dirinya sendiri. Pendidikan nasional perlu direformasi dalam rangka mewujudkan visi baru
masyarakat madani Indonesia kedepan. Namun ketika era reformasi berjalan, banyak sekali
permasalahan yang muncul dalam bida ng pendidikan. Kalau pada masa Orde Baru
kebebasan individu dipasung, dimana aspek-aspek pembentukan kepribadian yang lengkap
meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik diabaikan. Justru pada era reformasi, dimana
kebebasan digaungkan justru membawa dampak negatif berupa dekadensi moral yang
menjadi sumber dari segala macam krisis akhlak yang berkepanjangan. Untuk mengatasi
hal ini, diperlukan reformasi pendidikan dasar dan menengah terkait dengan pembenahan
evaluasi domain afektif pada pendidikan dasar dan menengah agar mewarisi etika moral
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya tinggi dan beradab. Paper ini membahas
tentang pembangunan domain afektif pendidikan masa depan di Indonesia melalui
reformasi pendidikan dasar dan menengah.

Reformasi Pendidikan dan Domain Afektif


Saat ini fokus kerja kerja pemerintah masih bertumpu pada sector pendidikan
formal. Untuk kinerja itupun pemerintah Indonesia oleh UNDP (United Nations
Development Programs) dalam “Human Development Report 2016” untuk kualitas
pembangunan manusia diganjar peringkat 113 dari 188 negara didunia. Potret UNDP itu
sebangun dengan data Biro Pusat Statistik tahun 2015 tentang angka penangguran menurut
pendidikan dan wilayah desa- kota: persentase pengangguran tamatan SMA ke atas lebih
besar disbanding tamatan SMP kebawah. Artinya, sistem pendidikan nasional belum
berhasil mengantarkan anak bangsa untuk mandiri dan terampil berwirusaha untuk
kelangsungan hidupnya sendiri.
Selain itu, aspek moral tidak boleh dilupakan. Sekolah adalah tempat menumbuh
suburkan nilai-nilai luhur dalam diri anak bangsa yang menjadi peserta didik. Tawuran
perilaku asusila sebagian oknum pelajar/ mahasiswa adalah cermin belum
terimplementasikannya amanat UUD 1945 dan UU system pendidikan nasional tentang
nilai- nilai kultur dan agama. Kegiatan sekolah lebih besar porsinya untuk pengajaran.
Padahal pengajaran tanpa bingkai pendidikan moral hanya menciptakan orang pintar yang
kehilangan arah dari hakikat kemuliaan eksistensinya sebagai makhluk mulia yang
bertakwa kepada tuhan yang maha esa.
Di era reformasi pendidikan ini, orientasi penanaman akhlak dalam diri siswa di
sekolah dasar dan menengah terus dilakukan melalui reformasi evaluasi domain afektif yang
dibangun dalam konstruk pendidikan karakter pada kurikulum pendidikan dasar dan
menengah. R.E. Bills tahun 1976 menyatakan bahwa“ definisi afeksi” amatlah kabur dan
tidak fokus, serta pengukurannya sangat sulit, di mana para pendidik tidak akan bisa
mengatasinya secara memadai di dalam kelas sampai memiliki pemahaman yang lebih
baik tentangnya (Martin & Reigeluth, 1999).
Setelah tiga decade, di tahun 2007, Piere dan Oughton masih mengulang
keprihatinan yang sama tentang kekaburan definisi dan ranah afektif dengan mengatakan
bahwa ranah afektif merupakan wilayah yang belum banyak diungkap (undiscovered
country). Dari tiga domain yang diidentifikasi oleh komite Bloom & Krathwols, ranah
afektiflah yang paling banyak diabaikan. Padahal domain afektif adalah pintu gerbang
untuk belajar, namun ranah kognitif dan psikomotor jauh lebih diutamakan. Akibatnya,
beberapa kompleksitas domain afektif menjadi terbengkalai dari lokus kajian
pembelajaran (Pierre & Oughton, 2007).
Dalam reformasi pendidikan berorientasi pendidikan moral, Martin dan Reigeluth
menyebutkan ada tiga alasan untuk pembelajaran afektif moral: Pertama, mengetahui jenis
pembelajaran yang meliputi domain afektif, membantu kita memahami apa saja yang
termasuk domain afektif dan apa yang tidak; Kedua, untuk menyiapkan strategi yang
membantu pendidik dalam rangka memutuskan apa yang penting untuk diajarkan; dan
ketiga, berbagai jenis pembelajaran afektif mungkin memerlukan beragam jenis metode
pembelajaran untuk mendorong perkembangan peserta didik, dan ini adalah fokus utama
dari teori instruksional (Martin & Reigeluth, 1999).
Secara bahasa, “afektif” (Inggris: affective) berarti yang membangkitkan perasaan,
emosionil. Kata ini seakar dengan “affection” (afeksi) yang berarti kasih sayang, cinta
(Salim, 2006). Afeksi berasal dari bahasa Latin “affectio” yang diartikan keadaan
tersentuh, tergerak; seakar dengan “afficere” yang berarti menghasilkan, mempengaruhi.
Secara filosofis, kata ini sering dimaknai sebagai pengalaman kuat dan menggelora.
Karena itu tidak sama dengan suasana hati atau nafsu yang relatif singkat dan tidak
berkepanjangan seperti kemarahan, ketakutan. Lebih jauh, Loren Bagus menjelaskan:
“Afeksi disertai gerakan-gerakan ekspresif, dan sentakan serta reaksi- reaksi vokal
(jeritan, teriakan). Sebaliknya, terkadang afeksi diikuti mati rasa. Ekspresi lahiriah
dari afeksi dan kedalamannya tergantung pada sifat-sifat individual, khususnya
pada kehendak dan segi-segi tipologis dari kegiatan saraf yang lebih tinggi. Pribadi
dalam keadaan afeksi mempunyai kekuatan apa saja yang menyebabkan afeksi.
Karena itu afeksi mencampuri perjalanan proses intelektual dan melemahkan
kontrol atas perilaku. Afeksi hanya dapat diatasi oleh kekuatan kemauan yang besar.
Dan lebih mudah lagi diatasi pada tahap-tahap awal” (Bagus, 2005)
Dari akar Latin “afficere” itu, muncul kata “affectivus” (Inggris: affective) yang
berarti mengekspresikan perasaan. Secara filosofis, diartikan sebagai nama umum untuk
kualitas, keadaan pengalaman emosional atau perasaan seperti ditemukan dalam
kesenangan, kesakitan, dan keanekaan emosi, seperti rasa cinta, benci, takut, marah
(Bagus, 2005).
Secara psikologis, Afeksi menunjuk pada setiap pengalaman perasaan atau emosi,
mulai dari penderitaan sampai kegembiraan, dari sensasi perasaan paling sederhana sampai
yang paling kompleks, dan dari reaksi emosional paling normal sampai yang paling
patologis. Sering digambarkan dalam hal ini, ada afeksi positif atau afeksi negative.
Keduanya baik berupa mood maupun emosi dianggap afektif. Seiring dengan kognisi dan
konasi, afeksi adalah salah satu dari tiga komponen otak yang dikenali secara tradisional
(VandenBos, 2015).
Dalam beberapa kamus pendidikan, afeksi dipahami sebagai istilah umum yang
secara teknis menunjuk pada kondisi emosional, aspek perasaan (feeling) dari pengalaman
dan prilaku (behavior) seseorang (Lohithakshan, 2002; Page, Thomas, & Marshall, 1979).
Perasaan itu bisa positif atau negatif yang mengiringi kondisi emosional (Spafford, Pesce,
& Grosser, 1998). Afeksi mencakup mood (suasana hati) dan emosi. Mood adalah perasaan
yang meluas selama periode waktu yang berlarut-larut dan bukan tentang objek tertentu.
Sedangkan emosi umumnya dianggap sebagai keadaan perasaan sementara yang biasanya
sekitar satu objek tertentu (Moissinac, 2003).
Dari definisi bahasa dan istilah di atas dapat disimpulkan bahwa kata afeksi dan
afektif lebih tertuju pada makna berupa pengalaman atau kondisi emosional dan perasaan
seseorang. Tentunya, arti seperti ini amatlah luas. Karena kondisi perasaan dan emosi bisa
mencakup banyak hal. Tahun 1986,
Martin dan Briggs menemukan ada 21 istilah berbeda yang diasosiasikan dengan
kata afeksi, termasuk di dalamya: konsep diri (self-concept), motivasi, minat (interest),
kepercayaan (beliefs), sehat-mental (mental-health), dinamika kelompok (group
dynamics), perkembangan kepribadian (personality development), harga diri (self-esteem),
moralitas (morality), sikap (attitude), nilai (values), perkembangan ego (ego development),
perasaan (feeling), kebutuhan berprestasi (need achievement), lokus kontrol (locus of
control), rasa ingin tahu (curiosity), kreativitas (creativity), kemandirian (independence),
pertumbuhan personal (personal growth), citra diri (mental imagery), dan kepribadian
(personality) (Martin & Briggs, 1986).
Dari luasnya cakupan arti afeksi itulah maka definisi terma turunannya juga meluas.
Martin dan Reigeluth misalnya menemukan: Pertama, Ackerson (1991/1992)
mendefinisikan istilah “pendidikan afektif” (Affective Education) mencakup secara luas
semua pengalaman peserta didik di sekolah; dan itu digunakan untuk mendeskripsikan
program pengembangan personal dan sosialnya. Demikian pula, Beane (1990) menguatkan
bahwa “istilah pendidikan afektif” menunjuk kepada pendidikan untuk pengembangan
personal-sosial, perasaan, emosi, moral dan etika yang semuanya tercakup di dalam
kurikulum.
Kedua, istilah “perkembangan afektif sebagai proses” (Affective development as a
process) ditujukan pada pertumbuhan individual atau perubahan internal untuk melayani
kepentingan "terbaik" seseorang dan masyarakat; sedangkan “perkembangan afektif
sebagai produk akhir” (Affective development as end-product) menunjuk pada hasil dari
proses tersebut, yakni perkembangan terbaik afeksi seseorang.
Ketiga, istilah “pendidikan pengembangan afektif” (affective development education)
merujuk pada satu proses intervensi yang disengaja dalam pengembangan peserta didik;
bisa jadi mencakup afeksi yang merupakan bagian dari pelajaran tertentu, atau termasuk
dalam kurikulum; atau menjadi satu program terpisah untuk pengembangan afeksi baik
proses maupun produk akhirnya.
Terakhir, istilah “ranah afektif” (affective domain) ditujukan pada komponen-
komponen dari pengembangan afektif yang fokus pada perubahan dan proses internal; atau
pada pelbagai katagori prilaku di dalam pendidikan afektif baik sebagai proses maupun
produk-akhir (Martin & Reigeluth, 1999).

Taksonomi Domain Afektif


Menurut Martin & Reigeluth, taksonomi domain afektif yang paling banyak
dikenal dan paling sering digunakan dikembangkan oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia
pada tahun 1964. Disebut "taksonomi afektif," karena didasarkan pada prinsip
internalisasi, proses dimana suatu sikap atau nilai menjadi bagian dari individu.
Internalisasi adalah konsep dasar dalam memahami taksonomi karena, dari perspektif
teoretis, semakin besar nilai atau sikap yang diinternalisasi, semakin besar kemungkinan
nilai atau sikap tersebut mempengaruhi perilaku.

Gambar 1. Taksonomi Domain Afektif Krathwohl, Bloom & Masia

Taksonomi afektif Krathwohl, Bloom, dan Masia ini terdiri dari lima kategori
utama (masing-masing dengan subkategori) yang mencerminkan konsep internalisasi nilai
dari yang sederhana (simple) sampai yang kompleks melalui langkah-langkah: Menerima,
Menanggapi, Menilai, Mengorganisir, dan Karakterisasi. Taksonomi ini dikembangkan,
diantaranya agar membantu guru menulis tujuan afektif untuk masing-masing dari lima
kategori utama serta subkategori, dan untuk membantu mereka merancang tindakan
afektif. Tujuan ini dapat ditulis untuk mencerminkan tingkat internalisasi yang berbeda,
dan dapat dibedakan dari tujuan kognitif karena mereka menekankan nada perasaan,
emosi, atau tingkat penerimaan atau penolakan terhadap beberapa fenomena (Krathwohl,
Bloom, & Masia, 1964).
Taksonomi Krathwohl dkk ini sarat kritik, di antaranya karena terlalu umum,
terlalu abstrak, terlalu bergantung pada kognisi, dan terbatas dalam lingkup (Martin &
Briggs, 1986). Selain itu, sebagai taksonomi, tidak ada metode pembelajaran yang
disertakan untuk mendorong pengembangan hasil afektif yang berbeda. Mengenai
cakupannya yang terbatas, Krathwohl dkk. mengindikasikan bahwa mereka berusaha
mengorganisir taksonomi dari banyak skema yang berbeda, termasuk menggunakan
konstruksi afektif seperti nilai, sikap, emosi, dan pengembangan diri, namun sayangnya
konstruksi tersebut juga kurang didefinisikan secara aplikatif, padahal masalah definisional
ini masih belum terselesaikan (Martin & Reigeluth, 1999).
Ada beberapa taksonomi afektif lain yang dikembangkan misalnya oleh Brandhorst
(1978); Foshay (1978); Gephart & Ingle (1976); Hoepfner (1972); dan Nunnally (1978),
namun dalam telaah Martin & Reigeluth, semuanya berkisar pada respon fisiologis dan
psikososial untuk menekankan pengembangan diri sebagai tujuan. Taksonomi ini juga
mencakup beragam konstruksi afektif, termasuk sentimen, minat, kepercayaan, emosi,
temperamen sosial, dan respons mendalam. Foshay misalnya menggambarkan enam ranah
pembelajaran: intelektual, emosional, sosial, fisik, estetis, dan spiritual. Dia memasukkan
dua konstruksi afektif, estetika dan spiritualitas, yang tidak termasuk dalam taksonomi
lainnya (Martin & Briggs, 1986; Martin & Reigeluth, 1999).
Sebagian didasarkan pada kritik terhadap taksonomi di atas, Martin dan Briggs
(1986) mengembangkan taksonomi afektif mereka sendiri dengan pengembangan diri
sebagai konstruksi afektif yang paling inklusif, serta kompetensi sosial, nilai, moral dan
etika, motivasi, minat, sikap, serta emosi dan perasaan sebagai subkomponen. Taksonomi
ini dimaksudkan untuk menggambarkan hasil belajar di ranah afektif sebagai alat untuk
mencapai tujuan.
Model konseptual lain dikembangkan oleh The Lethbridge Catholic Schools di
Alberta, Kanada, pada tahun 1989 (Lambert & Himsl, 1993). Mereka melakukan sebuah
proyek untuk mengidentifikasi kualitas afektif yang dinilai sebagai hasil pendidikan yang
signifikan. Berdasarkan tinjauan literatur dan survei pendidik di Alberta, mereka
merancang sebuah model konseptual yang mencakup apa yang mereka sebut sebagai
indikator, tapi apa yang akan kita sebut konstruksi afektif (misalnya pengembangan diri)
atau dimensi (misalnya, pengembangan spiritual) dari domain afektif: harga diri,
berhubungan dengan orang lain, kesadaran dunia, pembelajaran, dan kehidupan spiritual.
Mereka menyajikan model konseptual lingkaran saling terkait yang menunjukkan
keterkaitan antar bidang ini.
Model ini mewakili formasi dan pertumbuhan perilaku yang menunjukkan sikap
positif terhadap DIRI saat mereka menjalani pengalaman saling terkait dengan ORANG
LAIN, melalui kesadaran akan DUNIA, dan melalui proses BELAJAR. Dimensi
SPIRITUAL LIFE menyatukan empat lainnya, dengan mengidentifikasi suatu tujuan
dalam kehidupan, kejadian dan aktivitasnya; Ini memberikan harapan yang mengarahkan
pebelajar. (Lambert & Himsl, 1993, hal 17)
Berikutnya, dalam studi lintas budaya di 17 negara, Education for Affective
Development (1992), para penulis mempresentasikan sebuah model konseptual, atau
"peta," dari ranah konten pendidikan pembangunan afektif. Model ini mengidentifikasi
lima domain: intelektual, estetis, fisik, spiritual, dan sosial. Domain sosial dibagi lagi
menjadi dua cabang: (a) penekanan: etika moral, hukum, politik, dan konvensional
(misalnya, tata krama, etiket, protokol sosial) dan (b) perspektif: individu, keluarga,
sekolah, masyarakat, masyarakat , bangsa, dan dunia.
Dari tinjauan di atas, tampak taksonomi dan model konseptual domain afektif tidak
memberikan klasifikasi yang rapi dan jelas. Karenanya, Martin dan Reigelut menawarkan
model konseptual mereka (lihat Gambar 2) yang berfokus pada pengembangan afektif baik
sebagai proses yang membahas pertumbuhan individu dan perubahan internal dan sebagai
produk akhir yang menunjuk orang "yang baik secara afektif".

DIMENSI KOMPONEN
PENGETAHUAN KETERAMPILAN SIKAP
Pengetahuan bahwa
EMOSI orang lain mengalami terampil mengenali saya ingin bahagia;
emosi yg sama seperti pelbagai macam emosi saya tidak suka
senang dan marah. dan mengontrolnya marah
memahami pelbagai
MORAL aturan moral dan terampil dalam
etika (kebudayaan) penalaran moral; saya ingin jujur; saya
seperti kepedulian, terampil ingin memiliki
keadilan dan menyelesaikan standar etik
kesetaraan. masalah moralitas
saya ingin berinteraksi
SOSIAL memahami dinamika terampil bersosial; dgn orang lain secara
kelompok dan termasuk baik; saya menentang
idealisme demokrasi, keterampilan perkelahian sebagai
seperti peran seorang komunikasi antar- cara selesaikan
fasilitator personal. perselisihan.
saya menginginkan
SPIRITUAL mengetahui persepsi terampil menyelam kehidupan ruhaniah;
keagamaan ttg dunia dalam di kesejatian- saya ingin menjadi
spiritual, seperti diri (ruhaniah) untuk ahli ibadah untuk
hakikat jiwa (soul; mencintai sesama membangun hubungan
ruhani) yg baik dengan Tuhan.
terampil dalam menilai
memahami hakikat (assess) kualitas- saya ingin dikelilingi
ESTETIKA subjektif suatu kualitas keindahan; oleh barang/benda-
keindahan, seperti terampil dalam benda yang indah;
hubungan antara nilai- mengeneralisir saya mengapresiasi
nilai dan penilaian (menyimpulkan) karya- suatu teori yang elegan
seseorang kaya estetis.
mamahami
MOTIVASI penghargaan internal terampil dalam saya menginginkan
dan eksternal untuk mengembangkan karir yang saya nikmati;
aktivitas berkelanjutan; minat, baik langsung saya tidak suka hobi
seperti kesenangan dan maupun sepanjang- yang terkait dengan
rasa berprestasi hayat senjata

Gambar 2. Model Konseptual Pengembangan Domain Afektif Martin & Reigeluth

Membangun Konsep Domain Afektf Pendidikan Masa Depan


Pendidikan dasar dan menengah di Indonesia sampai saat ini, belum menunjang
jiwa reformasi yang menginginkan masyarakat demokrasi, masyarakat terbuka,
pemerintahan yang bersih (clean government), masyarakat transparan yang jauh dari kolusi
ataupun untuk kepentingan kelompok sendiri. Pendidikan nasional kita telah terpisah dari
kebudayaan, etika moral dan adat isitiadat yang berlaku di tingkat daerah maupun
nasional. Untuk itu perlu dimasukkan kembali sehingga kurikulum pendidikan dasar dan
menengah benar-benar hidup, dihidupi dan menghidupi kebudayaan nasional yang
menjunjung nilai-nilai moral, adat dan agama bangsa. Dari pergeseran paradigma
masyarakat Indonesia dalam memasuki kehidupan baru milenium ketiga, memerlukan
strategi reformasi pendidikan nasional berorientasi moral melalui penguatan evaluasi
domain afektif dalam pendidikan. Langkah ini dapat dicapai melalui:
a. Perbaikan pranata sosial pendidikan keluarga, sekolah, haruslah dijadikan pusat
pengembangan kebudayaan daerah dan nasional.
b. Reformasi Visi pendidikan nasional yang harus berakar pada kebudayaan etika
moral, adat dan agama nasional, perlu dijabarkan secara rinci dalam semua program
pendidikan dasar dan menengah.
c. Prinsip-prinsip kehidupan nasional berdasarkan Pancasila yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moral dan budi pekerti bangsa yang beradab dan berbudaya tinggi untuk
dilaksanakan dalam kehidupan kehidupan nyata dalam seluruh lembaga pendidikan
dasar dan menengah. Toleransi, disiplin, keterbukaan dan menghilangkan sikap hidup
eksklusif, serta rasa bangga menjadi orang Indonesia perlu ditanamkan dengan
kokoh.(Tilaar, 2002)
d. Menghidupkan dan mengembangkan tata cara hidup demokrasi yang perlu
dibudayakan dalam seluruh aspek proses pendidikan, yaitu:
- Semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
dalam mendapatkan pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Pendidikan
swasta dengan ciri khasnya mendapatkan tempat di dalam masyarakat demokrasi
tanpa merugikan kepentingan bersama untuk seluruh bangsa.
- Pengakuan atas adanya perbedaan individu dan memberikan kesempatan yang
sama untuk perkembangan seluruh peserta didik yang berbeda kemampuannya.
- Mengembangkan persaingan dalam kerjasama (competing within the sphere of
cooperation) untuk mencapai sesuatu yang semakin baik kualitasnya.
- Proses belajar dikembangkan dalam suasana demokrasi, artinya pendidikan
bukan menggunakan “sistem bank” tetapi yang menghidupkan berpikir mandiri
dan kritis, dapat berdialog dan menerima pendapat orang lain yang berbeda.
Belajar mencapai konsensus berdasarkan penawaran alternatif serta ikut serta
bertanggungjawab di dalam suatu yang telah diambil secara demokratis.
e. Desentralisasi dan sentralisasi pengelolaan pendidikan yang seimbang. Sentralisasi
diperlukan untuk mengarahkan dan membimbing tanpa mematikan inisiatif dari
bawah. Desentralisasi pengelolaan pendidikan diarahkan kepada otonomi yang luas
kedalam masing- masing lembaga pendidikan.
f. Kelembagaan departemen pendidikan dan kebudayaan. Reorganisasi Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Departemen Pendidikan akan lebih menuntut
pendidikan nasional itu haruslah didasarkan kepada kebudayaan nasional. (Tilaar,
2002)
Pendidikan nasional yang berakar dari dan untuk pengembangan kebudayaan
nasional harus menumbuhkembangkan berbagai sikap manusia Indonesia yang bermoral
tinggi masa depan. Salah satunya dengan konsepsi pendidikan Indonesia masa depan
yang memungkunkan masyarakat madani Indonesia yang dicita- citakan. Konsep itu
terwujud kedalam berbagai sikap dan ketauladanan dalam domain afektf pendidikan
Martin & Reigeluth, yaitu:
a. Membangun Sikap demokratis dengan mengikis ego sektoral
Konsep sikap demokratis ini selain mengenai pembentukan individu yang
mempunyai harga diri, berbudaya, memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia yang
bhinneka. Juga menumbuhkan sikap kreatif , sanggup mengemukakan pendapat,
menghargai perbedaan pendapat, semua itu perlu dimasukkan ke dalam proses belajar
serta kurikulum. Pendidik jangan menjadi otoriter agar bisa menumbuhkan sikap
demokratis dari para peserta didiknya. Sikap demokratis dapat diwujudkan melaui
perilaku ketauladanan rendah hati, sabar, ulet, penguatan stabilitas emosional dan
mengikis ego sektoral dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Mengembangkan Sikap toleran dalam kehidupan sosial
Wajah budaya Indonesia yang bhinneka menuntut sikap toleran yang tinggi dari
setiap anggota masyarakat. Dengan sikap toleran yang diwujudkan oleh semua
lapisan masyarakat maka terbentuk masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga
kaya akan ide- ide baru.Menurut Juwono Sudarsono disamping sikap toleran juga
penting sikap kompromi perlu dikembangkan dalam pendidikan.
c. Membudayakan hidup Saling pengertian, mengedepankan moral dan estetika dalam pergaulan
di masyarakat.
Pendidikan nasional harus menampung akan kebutuhan masyarakat yang beragam.
Keanekaragaman budaya daerah haruslah dikembangkan seoptimal mungkin
sehingga nantinya dapat mewujudkan suatu budaya nasional. Saling pengertian hanya
dapat ditumbuhkan apabila komunikasi antar penduduk dan antar etnis dapat
etrwujud dengan bebas dan intens. Pengembangan budaya daerah, pertukaran
kunjungan antar masyarakat dan budaya daerah haruslah diintensifkan. Tujuan in
dapat terwujud melalui penguatan afektif domain pendidikan melalui penanaman
nilai-nilai moral dan estetika dalam diri anak tentang norma-norma pergaulan dalam
masyarakat lokal dan internasional.
d. Berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa (menanamkan nilai-nilai spiritual)
Pendidikan agama di dalam sistem pendidikan nasional haruslah dilaksanakan dengan
maksimal.Sehingga terwujud suatu kehidupan bersama yang mengandung unsur
toleransi dan saling pengertian yang mendalam.K ita perlu menghindari ramalan
Huntington yang memprediksi adanya konflik-konflik budaya dan agama sebagai
pengganti konflik kekerasan senjata dalam kehidupan manusia pada milenium ketiga
yang akan datang. Kita harus membentengi generasi penerus dengan akhlak tinggi,
beriman dan bertaqwa.
e. Manusia dan mayarakat yang berwawasan global
Pendidikan nasional perlu mempersiapkan kualitas sumber daya manusia Indonesia
yang menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, juga terampil dalam
memecahkan masalah yang muncul akibat gelombang globalisasi. Untuk itu
diperlukan motivasi yang tinggi dalam pembangunan diri bangsa melalui pendidikan
untuk dapat menguasai berbagai perkemangan ilmu dan teknologi yang dapat
membawa kemajuan besar bagi negara.
Kesimpulan
Reformasi adalah suatu perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang
bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.
Tujuan reformasi pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan menjadi
lebih baik yang mampu mewariskan etika moral bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
berbudaya tinggi dan beradab. Untuk itu perlu dimasukkan kembali nilai-nilai moral
budaya bangsa ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah agar nilai-nilai etika
moral masyarakat kembali menghidupi kebudayaan nasional yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, etika, social, spiritual, estetika dan motivasi kehidupan berbangsa
multikultural. Dari pergeseran paradigma masyarakat Indonesia dalam memasuki
kehidupan baru milenium ketiga, memerlukan strategi reformasi pendidikan nasional
berorientasi moral dengan membangun konsep domain afektf pendidikan masa depan
melalui 1) Perbaikan pranata sosial pendidikan keluarga, sekolah, 2) Reformasi Visi
pendidikan nasional yang berpijak pada penguatan etika moral, adat dan agama, 3)
Menjunjung nilai-nilai moral dan budi pekerti bangsa yang beradab dan berbudaya tinggi
berlandaskan pancasila, 4) Menghidupkan dan mengembangkan tata cara hidup
demokrasi, 5) Desentralisasi dan sentralisasi pengelolaan pendidikan yang seimbang dan
6) Menjadikan budaya nasional sebagai pondasi pengembangan kurikulum Pendidikan
nasional. Konsep dapat terwujud melalui penkedalam berbagai sikap dan ketauladanan
dalam domain afektf pendidikan karakter Martin & Reigeluth, yaitu: 1) Membangun
Sikap demokratis dengan mengikis ego sektoral, 2) Mengembangkan Sikap toleran dalam
kehidupan social, 3) Membudayakan hidup Saling pengertian dengan mengedepankan moral dan
estetika dalam pergaulan di masyarakat.4) Pendidikan nasional harus menampung akan
kebutuhan masyarakat yang beragam. 5) Menanamkan nilai-nilai spiritual yang menjadikan
insane yang berakhlak, beriman dan bertaqwa), 6) Meningkatkan motivasi belajar masyarakat
yang berwawasan global

Daftar Pustaka
Albarobis Muhyidin dan Sutrisno. (2012). Pendidikan Islam Berbasis problem sosial, Jogjakarta:
AR-Ruzz Media,
Bagus, L. (Ed.) (2005) Kamus Filsafat (4 ed.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Banathy B. H. (2011). Systems Design of Education. Englewoods Cliff, NJ: Educational
Technology Publications. In contrast with the incremental improvement, problem- fixing,
and teaching- focused approach, this text introduces “transcending the existing system”,
designing a new, learning- focused approach
H.A.R.Tilaar. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa depan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya,
H.A.R.Tilaar. 2008. Manajemen Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
H.A.R.Tilaar. 2002. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya,
Kholilah dan Muzakki akhmad. (2013). Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Kopertais IV Press,
Knight George R. 2007. Filsafat Pendidikan, Yogjakarta: Gama Media
Krathwohl, D. R., Bloom, B. S., & Masia, B. B. (1964). Taxonomy of Educational Objectives: The
Clasification of Educational Goals, Handbook II: Affective Domain. New York: Longman
Lohithakshan, P. M. (Ed.) (2002) Dictionary of Education: A Practical Approach. New Delhi:
Kanishka Publishers.
Martin, B. L., & Briggs, L. (1986). The Affective and Cognitive Domains: Integration for
Instruction and Research Englewood Cliff, NJ: Educational Technology Publications.
Martin, B. L., & Reigeluth, C. M. (1999). Affective Education and the Affective Domain:
Implications for Instructional-Design Theories and Models. In C.
M. Reigeluth (Ed.), Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm of Instructional
Theory (Vol. II, pp. 485-509). New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates
Moissinac, L. (2003). affect. In J. W. Guthrie (Ed.), Encyclopedia of Education (2 ed., Vol. 1, pp.
3357). New York: Macmillan Reference Library.
Page, G. T., Thomas, J. B., & Marshall, A. R. (Eds.). (1979) International Dictionary of Education.
London: Kogan Page.
Pierre, E., & Oughton, J. (2007). The Affective Domain: Undiscovered Country. College
Quartelly, 10(4).
Salim, P. (Ed.) (2006) The Contemporary English-Indonesia Dictionary (7 ed.). Jakarta: Modern
English Press.
Spafford, C. S., Pesce, A. J. I., & Grosser, G. S. (Eds.). (1998) The Cyclopedic Education
Dictionary. New York: Delmar Publishers.
Suyanto dan Djihad Hisyam. (2000). Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia Memasuki
Millenium III. Yogyakarta: Adi Cita.
VandenBos, G. R. (Ed.) (2015) APA dictionary of psychology (2 ed.). Washington, DC: American
Psychological Association.
Zuharini, (2012). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,

Anda mungkin juga menyukai